Jumat, 25 Januari 2019

Manusia hanya Mengaku-ngaku

Apa yang dapat kupegang hari ini sebagai pedoman hidup? Harus diakui bahwa ini memang persoalan rumit seperti melacak hakikat manusia; yang dalam term Sunda disebut “manusa”. Merupakan kepanjangan dari "mana nu salira?" Kalimat ini mempertanyakan hal kepemilikan sejati. Mana yang menjadi milikmu? Apakah tubuh dan jiwa dimiliki oleh dirimu?

​Benarkah tubuh (raga) adalah entitas sejati manusia? Bukan, ia berasal dari materi yang mengalami proses dan dianggap milik manusia. Benarkah jiwa/nyawa adalah entitas sejati manusia? Juga bukan, karena ia berasal dari yang imaterial yang masuk saat proses berlangsung dan dianggap milik manusia.

Jadi, apa entitas sejati manusia itu? Jawabannya bahwa manusia hanya “mengaku-ngaku” yang tidak ia punyai, yang suatu saat nanti akan kembali ke asalnya.

Tubuh kembali pada tanah (yang nanti pun dihancurkan saat qiamat) dan jiwa pun kembali ke tempatnya. Inilah realitas yang ada dalam pemahamanku, bahwa tidak ada apapun dan siapapun di alam semesta ini (termasuk manusia) kecuali wujud yang maujud sekaligus ghair-maujud.

Seperti al-Hallaj yang berkata, “Ana al-Haqq” (Akulah Yang Mahabenar) adalah ungkapan yang benar-benar mengakui dirinya (manusia) itu fana atau telah meniadakan sekaligus menyerahkan dirinya kepada Yang Mahatinggi nan agung sebagai yang paling pantas dan berwenang untuk mengatakan sang “Aku” yang sebenarnya.

Pada konteks inilah kasus al-Hallaj dapat dipahami sebagai sosok manusia yang benar-benar telah merendahkan dirinya (yang lemah) di hadapan Yang Mahasegalanya. Berbeda dengan ungkapan  Ana al-Abd Allah (Aku-hamba Allah). Manusia yang mengatakan Ana al-Abd Allah, berarti telah mengakui adanya dualisme eksistensi (wujud yang maujud), yaitu eksistensi hamba dan eksistensi Tuhan. Ini yang kuanggap sebagai ungkapan kesombongan yang akan menjerumuskan seseorang ke luar dari tauhid ilahiyah.

Aku  menganggap bahwa dualisme tersebut boleh diakui hanya dalam konteks realitas dunia dan persepsi pikiran dan perasaan kita semata. Tetapi di luar itu, atau secara haqiqiyah yang pantas disebut dan dianggap real-reality adalah eksistensi dari Wujud Qua Wujud; sehingga kita dan makhluk-makhluk ciptaannya disebut pseudo-reality. Layaknya cahaya lilin tidak akan berarti di hadapan cahaya matahari.

Begitu pun aku (manusia) tidak berarti apa-apa di muka sang Maha Aku-yang-sejati sehingga aku sendiri yakin sepenuhnya bahwa engke manusa mah salain ti bilatungan teh bakal balitungan.

Terakhir, ini mungkin sangat subjektif dan yang akhir-akhir ini kurasakan, yaitu rasa takut akan hari esok yang benar-benar nyata dan teramat sangat takut. Inilah bait-bait yang mampu kubahasakan dari rasa yang tidak bisa kuingkari adanya bahwa :

jika malam tiba kurasakan takut
karena esok tidak tahu siapa yang akan menjaminku ada

dan sekiranya masih berada di buana ini
apakah terus seperti itu hari-hari yang hinggapi aku

aku takut dan benar-benar khawatir
was-was akan hari esok yang tidak tahu
akan seperti apa dan bagaimana

Duh, Yang Mahapembimbing
bimbing aku, jauhkan aku dari rasa takut dan was-was
dan dekatkan aku dengan pengetahuan-Mu
amiin.. ya rabbal a`lamin. ***

(Rabiul Awwal 1426 H./2014/Ahmad Sahidin)