Sabtu, 01 Juli 2017

Bermula dari Saqifah Bani Saidah

Setelah melayat jenazah Rasulullah saw, Abu Bakar bin Abi Quhafah dan Umar bin Khaththab berangkat menuju Saqifah Bani Sa'idah. Kedua sahabat ini pergi meninggalkan jenazah Rasulullah saw. 

Ketika sampai di Saqifah, Abu Bakar dan Umar melihat para sahabat Muhajirin dan Anshar berkumpul membahas kepemimpinan Islam. Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas bahwa ada enam orang dari kaum Muhajirin (Makkah) yang datang ke Saqifah. Mereka adalah Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Abu Ubaidah, Mughirah bin Syu’bah, Abdurra­hman bin Auf, dan Salim (maula Abu Hudzaifah). 

Setibanya di sana, seorang dari Anshar yang bernama Hubab bin Mundzir berkata, “Berkat pedang kaum Ansharlah Islam memperoleh kemenangan. Kami adalah Anshar Allah dan pasukan Islam. Sedangkan kamu, wahai kaum Muhajirin, pada hakikatnya adalah kelompok kami karena kalian telah hijrah ke Madînah dan bercampur dengan kami” (Rasul Ja`farian, 2006: 3).

Perkataan Hubab itu dikomentari oleh Umar bin Khaththab, “Coba lihat, mereka hendak memutuskan kita dari asal usul kita.”

“Pelan, wahai Umar,” cegah Abu Bakar. Abu Bakar berkata lagi: “Kebaikan yang kalian katakan tentang diri kalian, patut. Namun, orang-orang Arab tidak menerima selain kepemimpinan Quraisy. Mereka adalah orang Arab yang paling mulia dari segi keturunan maupun dari segi tempat tinggal mereka” (O.Hashem, 1983: bab 8).

Abu Bakar juga mengatakan, “Kami adalah orang pertama dalam Islam. Di antara kaum Muslim, kedudukan kami di tengah-tengah, keturunan kami yang mulia, dan kami adalah saudara Rasul yang paling dekat. Sedang kamu, kaum anshar adalah saudara-saudara kami dalam Islam dan kawan-kawan kami dalam agama. Kalian menolong kami, melindungi kami, dan menunjang kami; mudah-mudahan Allah membalas kebaikan kalian. Karena itu, kami adalah pemimpin (umara’), sedangkan kalian adalah pembantu (wuzara’, menteri). Orang Arab tidak akan tunduk kecuali kepada orang Quraisy. Tentu sebagian dari kamu mengetahui betul sabda Rasul: ‘Para pemimpin adalah dari orang Quraisy (al-a’immah min Quraisy). Maka janganlah kalian bersaing dengan saudara-saudara kalian kaum Quraisy yang telah mendapat anugerah dari Allah.”

Kemudian Abu Bakar berkata: “Saya relakan kepada kalian satu dari dua orang. Pilihlah siapa yang kalian senangi.” 

Sambil berkata ia mengangkat tangan Umar dan tangan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, “Kaum Quraisy lebih dekat kepada Rasulullah dari pada kalian. Maka inilah Umar bin Khaththab kepada siapa Nabi berdoa, ‘Ya Allah, kuatkanlah imannya!’ dan yang lain adalah Abu Ubaidah, yang oleh Rasulullah disebut sebagai ‘seorang terpercaya dari umat ini’. Pilihlah orang yang kalian kehendaki dari mereka dan baiatlah kepadanya.” Namun, segera keduanya menolak dengan mengatakan, “Kami tidak menyukai diri kami melebi­hi Anda. Anda adalah sahabat Nabi dan orang kedua dari yang ada dalam gua (saat hijrah)."

Umar berkata, “Sementara Anda masih hidup? Siapa yang dapat menggeser Anda dari kedudukan Anda yang telah ditentu­kan Rasul?” 

Abu Ubaidah turut berkata: “Wahai kaum anshar, kalian adalah yang pertama membela Islam; janganlah kamu menjadi orang yang pertama memisahkan diri dan berubah.”

Abdurrahman bin Auf berdiri sambil berkata: “Kalian memang berjasa, tetapi kalian tidak memiliki orang-orang seperti Abu Bakar, Umar, dan Alî.”

Kemudian seorang anshar bernama Al-Mundzir bin Arqam menjawab, “Kami tidak menolak kebajikan-kebajikan yang kalian sebutkan, tetapi sesungguhnya ada seorang di antara kalian yang tidak akan ada seorang pun menolak, jika ia menginginkan kepemimpinan ini; orang itu ialah Ali bin Abi Thalib.”

Kemudian Sa’d bin Ubadah, tokoh kaum Anshar, berkata, “Saya adalah orang yang sudah tua, biarkan kami mengangkat seor­ang pemimpin di antara kami, dan seorang pemimpin lain di antara kalian, wahai kaum Quraisy.”

Umar bin Khaththab berkata, “Bentangkan tangan Anda, Abu Bakar!” Ia memben­tangkan tangannya kemudian Umar membaiatnya. Selanjutnya orang-orang mendukungnya melakukan baiat kepada Abu Bakar.

Orang-orang yang membaiat Abu Bakar melangkahi permadani tempat Sa’d bin Ubadah duduk. Melihat kelakuan itu penga­wal Sa’d langsung berteriak: “Minggir, beri ruang agar Sa’d dapat bernafas.”

Umar bin Khaththab mendekati Sa’d bin Ubadah sambil berkata: “Saya ingin menginjak engkau sampai remuk!” Mendengar itu, putra Sa’d bin Ubadah, Qais, berteriak kepada Umar: “Jika engkau menyentuh sehelai rambutnya, akan aku rontokkan semua gigimu!”

Melihat kejadian itu, Abu Bakar berteriak: “Umar, tenang! Dalam keadaan seperti ini kita perlu ketenangan!” Umar lalu meninggalkan Sa’d. Dengan lantang Sa’d bin Ubadah berkata: “Jika aku dapat berdiri, aku akan membuat huru-hara di kota Madînah agar engkau dan teman-temanmu bersembunyi ketakutan. Kemudian aku akan menjadikanmu pelayan, bukan penguasa.”

Setelah itu, Sa’d meminta kepada pengawalnya untuk membawanya pergi. Sejak peristiwa Saqifah Bani Sa’idah itu dikabarkan ia tidak mau membaiat Abu Bakar. Bahkan ketika seorang utusan dikirim untuk mengajaknya membaiat Abu Bakar, Sa’d bin Ubâdah berkata: “Demi Allah, aku bersama keluargaku dan kaumku yang masih patuh kepadaku akan memerangimu dengan panah, tombak dan pisau. Demi Allah, andaikata seluruh jin dan manusia berkumpul membantumu, aku tetap tidak akan membaiatmu sampai aku melaporkannya kepada Tuhanku yang Maha Mengetahui tentang hisab-ku.”

Setelah mendengar laporan tersebut, Umar berkata kepada Abu Bakar: “Jangan tinggalkan sebelum dia membaiat!” Basyir bin Sa’d pun menambah: “Ia adalah seorang kepala batu dan ia telah menolak untuk mem­baiat. Ia tidak akan membaiat sampai ia terbunuh. Kalau ia dibu­nuh, harus dibunuh juga anaknya, keluarganya, dan sebagian dari kaumnya. Maka lebih baik, tinggalkan! Ia tidak akan merugikan kamu. Ia hanya seorang diri!”

Sejak itu Sa’d bin Ubadah tidak shalat berjamaah dan tidak berkumpul dengan mereka. Ketika Umar bin Khaththab berkuasa, Sa’d bin Ubadah pergi ke Syam. Di negeri inilah Sa’d dibunuh pada 15 Hijriah oleh Muhammad bin Maslamah Al-Anshari yang dibantu Khalid bin Walid (Rasul Ja`farian, 2006:16).[]

(Diambil dari buku SEJARAH POLITIK ISLAM karya Ahmad Sahidin. Penerbit:  Acarya Media Utama, Bandung, tahun 2010)