Selasa, 25 Juli 2017

Politik Dunia Islam Modern: Monarki dan Wilayah Faqih

Pada abad pertengahan hingga awal modern, Dunia Islam diwarnai dengan perebutan identitas mazhab Islam pada setiap daulah dan kawasan-kawasan Islam. Hal ini tidak aneh karena setiap Muslim atau Muslimah memiliki kewajiban untuk berdakwah sehingga kawasan atau pemerintahan pun disesuaikan dengan mazhab yang dianutnya. Karena itu, tindakan kejam dan peperangan sesama Muslim menjadi masalah yang tidak pernah selesai. Kemudian orang-orang yang anti-Islam menggunakan fakta tersebut sebagai landasan untuk menuding Islam sebagai agama perang.

Kemudian umat Islam memasuki masa modern yang ditandai dengan munculnya gerakan pembaruan Islam dan bangkitnya negeri-negeri yang dihuni umat Islam dari penjajahan Barat. Bersamaan dengan gerakan pembaruan dalam pemikiran, muncul gerakan politik Islam modern yang kemudian membentuk pemerintahan baru.  

Beberapa negeri yang dihuni umat Islam ada yang masih mempertahankan bentuk pemerintahan monarki (kerajaan) seperti Arab Saudi, Maroko, Jordania, Malaysia, dan Brunei Darussalam.  

Ada juga yang menjadi negara modern republik seperti Mesir, Al-Jazair, Irak, Suriah (Syiria), Pakistan, dan Turki. Identitas politik tersebut jelas terpengaruh dengan pemikiran politik Barat dan menyesuaikan dengan zaman yang sedang dihadapi.

Selain yang bertahan dalam model lama (kerajaan) dan mengambil bentuk pemerintahan modern (Barat), terdapat juga negeri yang menggabungkan doktrin Islam dengan sistem pemerintahan republik seperti Republik Islam Iran dengan pemerintahan Wilayah Faqih. Bentuk pemerintahan Iran modern merupakan pola politik Islam yang baru dan lahir dari ijtihad seorang Muslim yang tercerahkan.

Wilayah Faqih  merupakan bentuk politik dan pemeritahan Islam Syiah modern. Konsep wilayah faqih ini dikembangkan oleh Imam Khomeini sebagai bentuk pemerintahan di bawah otoritas ulama yang menjadi bagian dari teologi Syi`ah Imamiyah modern.  Imam Khomeini mengembangkan pemikiran politik  wilayah faqih  saat  berlangsung masa rezim Pahlevi yang memerintah dengan tangan besi. Pada 1962, Khomeini memulai perjuangan politik menentang kekuasaan Pahlevi. Pada 1964, rezim Syah Pahlevi membuang Imam Khomeini ke Irak dan pada 1978 ke Paris, Perancis. Meski berada di negeri orang, tetapi perjuangannya tidak pernah berhenti.

Seruan Imam Khomeini tentang perlawanan terhadap kezaliman disambut masyarakat Iran dengan menggelar demonstrasi menentang rezim Syah dan menuntut adanya pemerintahan Islam. Dalam sebuah demontrasi besar-besaran yang saat itu bersamaan dengan asyura, lebih dari 60.000 orang meninggal dan lebih dari 100.000 orang terluka atau cacat akibat ditembak oleh tentara penguasa Syah Pahlevi yang coba membubarkan demonstrasi. Semakin hari yang menentang terus-menerus tumbuh dan meminta Pahlevi untuk turun dari kekuasaannya sehingga pada akhir 1978 Pahlevi pergi ke Mesir meninggalkan Iran.  Setelah perginya Pahlevi, Imam Khomeini kembali ke Iran pada 1979.

Untuk menentukan pemimpin dan sistem pemerintahan yang baru diadakan referendum pada 29 dan 30 Maret 1979. Hasilnya, 98,2 % masyarakat Iran mendukung dibentuknya negara Republik Islam Iran dengan sistem pemerintahan wilayatul faqih yang dicetuskan Imam Khomeini. Kemudian Imam Khomeini terpilih sebagai wilayatul faqih atau disebut Rahbar (Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran).

Selanjutnya, memilih presiden melalui pemilu dan Bani Shadr terpilih sebagai presiden. Karena tidak mengikuti aturan, Bani Shadr diturunkan dari jabatannya. Lalu, diadakan pemilu dan terpilihlah Syahid Rajai yang kemudian dibunuh oleh teroris. Pemilu lagi dan terpilihlah Sayyid Ali Khamenei`sebagai presiden sampai dua periode.

Setelah wafat Imam Khomeini, Sayyid Ali Khamenei` terpilih sebagai Rahbar oleh Dewan Ahli (Majlis-e Khubregan) yang terdiri dari 72 ulama yang mendapat kepercayaan dari rakyat (yang dipilih melalui pemilihan umum). Pergantian Rahbar Republik Islam Iran ini dilakukan setiap enam tahun sekali yang dipilih oleh Dewan Ahli.

Wilayatul Faqih yang dicetuskan Imam Khomeini merupakan sistem pemerintahan Islam Syiah modern. Wilayah Faqih dapat disebut penyiapan kekuasaan dan pemerintahan Islam  untuk Imam Mahdi yang akan mengisi ‘kursi’ kepemimpinan Islam. Untuk mengisi masa kekosongan ini, Imam Khomeini mencetuskan konsep Wilayah Faqih dengan terlebih dahulu membentuk Dewan Ahli.  Dewan Ahli ini diisi oleh para ulama yang memiliki pengetahuan agama yang luas dan mendalam (faqahah), ulama yang mampu bersikap adil dan berani mewujudkannya dalam kehidupan serta berakhlak mulia (`adalah) dan memiliki kecakapan dalam berbagai urusan atau kompeten dalam memegang sebuah jabatan (kafa`ah). Ulama yang masuk menjadi Dewan Ahli ini dipilih oleh Anggota Parlemen. Sedangkan Anggota Parlemen dan Presiden dipilih langsung oleh masyarakat melalui pemilihan umum yang dilakukan dengan sistem distrik. Selain memilih Rahbar (Wali Faqih), Dewan Ahli juga bertugas menguji Undang-Undang Dasar yang dibuat oleh Anggota Parlemen.

Singkatnya, konsep wilayah faqih ini merupakan kepemimpinan manusia yang bersumber pada kepemimpinan Ilahiah. Allah selaku penguasa semesta alam telah memilih utusan-Nya yang disebut Nabi dan Rasul untuk membimbing manusia agar berada di jalan yang benar. Para Nabi dan Rasul ini kemudian menjalankan fungsinya sebagai pemimpin agama, sosial, dan kemasyarakatan.

Mengenai sistem politik yang dibentuknya, Imam Khomeini mengatakan, “Wali Faqih adalah seorang individu yang memiliki moralitas (akhlak), patriotisme, pengetahuan, kompetensi yang telah diakui oleh rakyat. Rakyat sendirilah yang memilih figur mana yang memenuhi kriteria semacam itu” (Yamani, 2002: 136-137).

Terbukti, Imam Khomeini berhasil mendirikan Republik Islam Iran pada saat Dunia Islam mengalami krisis akibat kolonialisme bangsa Barat. Masyarakat dunia pun mengakui bahwa Imam Khomeini merupakan pemimpin besar yang disegani Barat sampai sekarang. Walaupun sudah wafat, tetapi Imam Khomeini telah meninggalkan jasa yang besar bagi rakyat Iran dan umat Islam. []

(Diambil dari buku SEJARAH POLITIK ISLAM karya Ahmad Sahidin. Penerbit:  Acarya Media Utama, Bandung, tahun 2010)