Pada abad
pertengahan hingga awal modern, Dunia Islam diwarnai dengan perebutan identitas
mazhab Islam pada setiap daulah dan kawasan-kawasan Islam. Hal ini tidak aneh
karena setiap Muslim atau Muslimah memiliki kewajiban untuk berdakwah sehingga
kawasan atau pemerintahan pun disesuaikan dengan mazhab yang dianutnya. Karena
itu, tindakan kejam dan peperangan sesama Muslim menjadi masalah yang tidak
pernah selesai. Kemudian orang-orang yang anti-Islam menggunakan fakta tersebut
sebagai landasan untuk menuding Islam sebagai agama perang.
Kemudian
umat Islam memasuki masa modern yang ditandai dengan munculnya gerakan
pembaruan Islam dan bangkitnya negeri-negeri yang dihuni umat Islam dari
penjajahan Barat. Bersamaan dengan gerakan pembaruan dalam pemikiran, muncul
gerakan politik Islam modern yang kemudian membentuk pemerintahan baru.
Beberapa negeri yang dihuni umat Islam ada
yang masih mempertahankan bentuk pemerintahan monarki (kerajaan) seperti Arab
Saudi, Maroko, Jordania, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Ada juga yang menjadi negara modern republik
seperti Mesir, Al-Jazair, Irak, Suriah (Syiria), Pakistan, dan Turki. Identitas
politik tersebut jelas terpengaruh dengan pemikiran politik Barat dan
menyesuaikan dengan zaman yang sedang dihadapi.
Selain yang
bertahan dalam model lama (kerajaan) dan mengambil bentuk pemerintahan modern
(Barat), terdapat juga negeri yang menggabungkan doktrin Islam dengan sistem
pemerintahan republik seperti Republik Islam Iran dengan pemerintahan Wilayah
Faqih. Bentuk pemerintahan Iran modern merupakan pola politik Islam yang
baru dan lahir dari ijtihad seorang Muslim yang tercerahkan.
Wilayah
Faqih merupakan bentuk politik dan pemeritahan Islam Syiah
modern. Konsep wilayah faqih ini dikembangkan oleh Imam Khomeini sebagai bentuk pemerintahan di
bawah otoritas ulama yang menjadi bagian dari teologi Syi`ah Imamiyah modern.
Imam Khomeini mengembangkan pemikiran politik wilayah faqih saat
berlangsung masa rezim Pahlevi yang memerintah dengan tangan besi. Pada 1962, Khomeini
memulai perjuangan politik menentang kekuasaan Pahlevi. Pada 1964, rezim
Syah Pahlevi membuang Imam Khomeini ke Irak dan pada 1978 ke Paris, Perancis.
Meski berada di negeri orang, tetapi perjuangannya tidak pernah berhenti.
Seruan Imam Khomeini tentang perlawanan terhadap
kezaliman disambut masyarakat Iran dengan menggelar demonstrasi menentang rezim
Syah dan menuntut adanya pemerintahan Islam. Dalam sebuah demontrasi
besar-besaran yang saat itu bersamaan dengan asyura, lebih dari 60.000
orang meninggal dan lebih dari 100.000 orang terluka atau cacat akibat ditembak
oleh tentara
penguasa Syah Pahlevi yang coba membubarkan demonstrasi. Semakin hari yang menentang
terus-menerus tumbuh
dan meminta Pahlevi untuk turun dari kekuasaannya sehingga pada akhir
1978 Pahlevi pergi ke Mesir meninggalkan Iran. Setelah perginya Pahlevi, Imam
Khomeini kembali ke Iran pada 1979.
Untuk menentukan pemimpin dan sistem pemerintahan yang
baru diadakan referendum pada 29 dan 30 Maret 1979. Hasilnya, 98,2 % masyarakat
Iran mendukung dibentuknya negara Republik Islam Iran dengan sistem
pemerintahan wilayatul faqih yang dicetuskan Imam Khomeini. Kemudian Imam
Khomeini terpilih sebagai wilayatul faqih atau disebut Rahbar (Pemimpin
Tertinggi
Republik Islam Iran).
Selanjutnya, memilih presiden melalui pemilu dan Bani
Shadr terpilih sebagai presiden. Karena tidak mengikuti aturan, Bani Shadr
diturunkan dari jabatannya. Lalu, diadakan pemilu dan terpilihlah Syahid Rajai
yang kemudian dibunuh oleh teroris. Pemilu lagi dan terpilihlah Sayyid Ali
Khamenei`sebagai presiden sampai
dua periode.
Setelah wafat Imam Khomeini, Sayyid Ali Khamenei`
terpilih sebagai Rahbar oleh Dewan Ahli (Majlis-e Khubregan) yang
terdiri dari 72 ulama yang mendapat kepercayaan dari rakyat (yang dipilih
melalui pemilihan umum). Pergantian Rahbar Republik Islam Iran ini dilakukan
setiap enam tahun sekali yang dipilih oleh Dewan Ahli.
Wilayatul Faqih yang dicetuskan Imam Khomeini
merupakan sistem pemerintahan Islam Syiah
modern. Wilayah Faqih dapat disebut penyiapan kekuasaan dan pemerintahan
Islam untuk Imam Mahdi yang
akan mengisi ‘kursi’ kepemimpinan Islam. Untuk mengisi masa kekosongan ini,
Imam Khomeini mencetuskan konsep Wilayah Faqih dengan terlebih dahulu
membentuk Dewan Ahli. Dewan Ahli ini diisi oleh para ulama yang memiliki
pengetahuan agama yang luas dan mendalam (faqahah), ulama yang mampu
bersikap adil dan berani mewujudkannya dalam kehidupan serta berakhlak mulia (`adalah)
dan memiliki kecakapan dalam berbagai urusan atau kompeten dalam memegang
sebuah jabatan (kafa`ah). Ulama yang masuk menjadi Dewan Ahli ini
dipilih oleh Anggota Parlemen. Sedangkan Anggota Parlemen dan Presiden dipilih
langsung oleh masyarakat melalui pemilihan umum yang dilakukan dengan sistem
distrik. Selain memilih Rahbar (Wali Faqih), Dewan Ahli juga bertugas menguji
Undang-Undang Dasar yang dibuat oleh Anggota Parlemen.
Singkatnya, konsep wilayah faqih ini merupakan
kepemimpinan manusia yang bersumber pada kepemimpinan Ilahiah. Allah selaku
penguasa semesta alam telah memilih utusan-Nya yang disebut Nabi dan Rasul
untuk membimbing manusia agar berada di jalan yang benar. Para Nabi dan Rasul
ini kemudian menjalankan fungsinya sebagai pemimpin agama, sosial, dan
kemasyarakatan.
Mengenai sistem
politik yang dibentuknya, Imam Khomeini mengatakan, “Wali Faqih adalah seorang
individu yang memiliki moralitas (akhlak), patriotisme, pengetahuan, kompetensi
yang telah diakui oleh rakyat. Rakyat sendirilah yang memilih figur mana yang
memenuhi kriteria semacam itu”
(Yamani, 2002: 136-137).
Terbukti,
Imam Khomeini berhasil mendirikan Republik Islam Iran pada saat Dunia Islam
mengalami krisis akibat kolonialisme bangsa Barat. Masyarakat dunia pun mengakui bahwa
Imam Khomeini merupakan pemimpin besar yang disegani Barat sampai sekarang.
Walaupun sudah wafat, tetapi Imam
Khomeini telah meninggalkan jasa yang besar bagi rakyat Iran dan umat Islam. []
(Diambil dari buku SEJARAH POLITIK ISLAM karya
Ahmad Sahidin. Penerbit: Acarya Media Utama, Bandung, tahun 2010)