Imam
Jafar bin Muhammad As-Shadiq lahir di Madinah pada 17 Rabiul Awwal 83 H./20
April 702 M. Sejak kecil Imam Jafar dididik oleh ayahnya. Usia 12 tahun, Imam
Jafar menyaksikan kejahatan Daulah Umayyah, terutama masa Al-Walid I (86-89 H.)
dan Sulaiman (96-99 H.), serta menyaksikan keadilan Umar bin Abdul Aziz (99-101
H.).
Masa
hidup Imam Jafar penuh dengan pergolakan politik antara Daulah Umayyah dan Daulah
Abbasiyah yang saling berebut kekuasaan. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh
Imam Jafar untuk meyebarkan ilmu sehingga memiliki empat ribu murid yang
terdiri dari para ulama dan ilmuwan, seperti Abi Musa Jabir bin Hayyan (Geber)
yang dikenal ahli matematika dan kimia, Hisyam bin Al-Hakam, Mu’min Thaq,
Zararah, Muhammad bin Muslim, Aban bin Taghlib, Hisyam bin Salim, Huraiz,
Hisyam Kaibi Nassabah, dan beberapa fuqaha seperti Abi Hanifah, Al-Qadi
As-Sukuni, Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal, Asy-Syafii, dan lainnya.
Pendiri
mazhab Hanafiyah, Abu Hanifah bercerita tentang pertemuannya dengan Imam Jafar
ketika diundang penguasa Daulah Abbasiyah. Abu Hanifah merasa kagum saat
memandang Imam Jafar yang duduk penuh wibawa. Dalam pertemuan itu,
Al-Mansur—penguasa Daulah Abbasiyah—meminta Abu Hanifah agar mengemukakan
pertanyaan kepada Imam Jafar.
Pertanyaan
demi pertanyaan dijawab oleh Imam Jafar. Orang-orang yang hadir pun segera
mengetahui kedudukan Imam Jafar yang tinggi dalam ilmu. Abu Hanifah berkata
kepada Al-Mansur, “Tidakkah telah aku katakan bahwa dalam soal keilmuan, orang
yang paling `alim dan mengetahui adalah Ja’far bin Muhammad.”
Mendengar
itu, Imam Ja’far Ash-Shadiq berkata, “Hadits-hadits yang aku keluarkan adalah
hadits-hadits dari bapakku. Hadits-hadits dari bapakku adalah dari kakekku.
Hadits-hadits dari kakekku adalah dari Amirul Mukminin Ali bin Abi
Thalib. Hadits-hadits dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib adalah
hadist-hadits dari Rasulullah saw dan hadits-hadits dari Rasulullah saw adalah
wahyu Allah Azza wa Jalla.”
Pada
25 Syawal 148 H./13 Desember 765 M., Imam Jafar wafat akibat racun yang ditanam
dalam makanannya atas perintah Mansur Al-Dawaliki, penguasa Daulah Abbasiyah.[]
(Diambil dari buku SEJARAH
POLITIK ISLAM karya Ahmad Sahidin. Penerbit:
Acarya
Media Utama, Bandung, tahun 2010)