Kamis, 06 Juli 2017

Imam Hasan bin Ali

Setelah Khalifah Ali bin Abi Thalib wafat, Imam Hasan bin Ali dibaiat menjadi khalifah Islam oleh umat Islam pada Jumat, 21 Ramadhan 40 Hijriah.  

Secara politik, pemerintahan Imam Hasan lemah karena beberapa wilayah Islam seperti Suriah dan Damaskus dikuasai Muawiyah bin Abu Sufyan. Sedangkan wilayah kekuasaan Imam Hasan hanya Makkah dan Madinah. 

Keadaan tersebut diperburuk dengan gencarnya gerakan Khawarij yang banyak melakukan pembantaian terhadap umat Islam.  Bahkan, kalangan munafik jumlahnya semakin bertambah disertai dengan hadirnya orang-orang Muawiyah yang gencar menanamkan isu-isu negatif terhadap keluarga Nabi Muhammad saw. Merasa khawatir terhadap umat Islam yang menjadi sasaran kezaliman mereka, Imam Hasan menyanggupi perjanjian damai yang ditawarkan Muawiyah dengan syarat menghentikan pembunuhan terhadap kaum Muslim. Tidak lama kemudian Muawiyah memproklamirkan dirinya sebagai penguasa di Damaskus, Syiria.

“Demi Allah, aku letakkan jabatan itu karena tidak ada yang mendukung dan membantuku. Kalau saja ada yang membantu dan mendukungku, tentu setiap hari aku perangi dia sampai Allah memutuskan antara dia dan aku,” kata Imam Hasan dalam sebuah pidatonya (Rasul Ja`farian, 2006: 378-454).

Imam Hasan beserta keluarga meninggalkan Kufah menuju Madinah sehingga pemerintahan Khulafa Ar-Rasyidun berakhir tanpa perlawanan fisik. Tidak salah jika Imam Hasan disebut pendiri mazhab ukhuwah yang tidak menginginkan umatnya menjadi korban kezaliman musuh. Dengan sikap ini wajar kalau dahulu kakeknya, Rasulullah saw, menyebut Imam Hasan sebagai pemuda ahli surga.

Dari Abu Said Al-Khudriy bahwa Rasulullah saw bersabda, “Al-Hasan dan Al-Husain adalah penghulu para pemuda ahli surga” (HR Ahmad dan Al-Hakim) dan Abu Hazm menceritakan bahwa Abu Hurairah mendengar Rasulullah saw berkata, “Barangsiapa yang mencintai Hasan dan Husain berarti telah mencintaiku, dan barang siapa yang membencinya berarti telah membenciku” (HR Ahmad).

Meski sudah menyerahkan kekuasaannya, Imam Hasan tetap diawasi dan dibunuh dengan racun sehingga wafat pada 660 M. []


(Diambil dari buku SEJARAH POLITIK ISLAM karya Ahmad Sahidin. Penerbit:  Acarya Media Utama, Bandung, tahun 2010)