Setelah
wafatnya Imam Hasan, kepemimpinan Islam dan otoritas agama dilanjutkan cucu
Rasulullah saw yang kedua, Imam Husain Asy-Syuhada, yang juga adik Imam Hasan. Ia
lahir di Madinah, 5 Sya`ban 4 H. dari pasangan Imam Ali bin Abi Thalib dan
Sayyidah Fathimah Az-Zahra. Imam Husain bin Ali menikah dengan putri Khosru
Yazdajird III, raja terakhir dari kerajaan Sasanid di Persia (Iran). Dari
pernikahannya, Imam Husain dianugerahi delapan anak, empat putra dan empat
putri.
Saat Daulah
Umayyah berkuasa, Imam Husain tidak mau memberikan bai`at kepada Yazid
bin Muawiyah. Penolakannya itu kemudian diketahui penduduk Kufah dan mereka
meminta kesediaannya untuk menjadi pemimpin dengan mengundangnya datang. Imam
Husain pun menyanggupinya. Namun, salah seorang saudaranya melarang pergi
karena di Kufah masih banyak orang-orang Yazid bin Muawiyah.
“Ya
Husain, sebaiknya engkau terlebih dahulu meminta mereka menyingkirkan para
pejabat Yazid dari sana. Jika mereka melaksanakannya engkau akan aman di sana,”
sarannya.
“Tidak!
Aku akan berangkat sebab aku datang untuk menimbulkan perbaikan dalam tubuh umat
kakekku, Muhammad saw. Aku ingin mengikuti perjalanan hidup ayahku, Ali bin Abi
Thalib. Aku ingin melakukan amar ma`ruf nahi munkar. Jika orang
menerimaku dengan penerimaan kebenaran maka Allah lebih utama untuk dipatuhi
kebenaran-Nya. Barangsiapa yang menolakku, aku akan bersabar sampai Allah
memutuskan kebenaran antara aku dan mereka. Karena Dialah sebaik-baiknya
hakim,” tegasnya.
Lalu,
Imam Husain bersama keluarga dan rombongannya menempuh jarak sekitar 600 km
menuju Mekkah. Setibanya di sana, cucu Rasulullah saw itu mengumumkan perihal
keberangkatannya ke Kufah. Kemudian berangkat menuju Kufah dan beristirahat di
Karbala, Irak. Imam Husain bin Ali mengetahui bahwa pasukan musuh sudah siap
menghadang perjalanannya.
Pada
malam 10 Muharam 61 H., Imam Husain mengutus rombongan kecil untuk mengambil
air. Setelah semua meminumnya, ia memberitahukan bahwa air itu merupakan
persediaan terakhir yang dapat mereka peroleh karena esok akan berhadapan
dengan musuh. Malam itu, Husain memberi pilihan kepada pengikutnya antara tetap
bersamanya atau pulang kembali ke kampungnya masing-masing. Rombongan itu
menyatakan tetap ikut bersama keluarga Rasulullah saw.
Pada
hari ke-10 Muharram, rombongan Husain bin Ali yang semuanya berjumlah 73 orang
dihadang pasukan sekitar 30.000 orang. Peperangan yang tidak seimbang pun
terjadi. Satu persatu sahabat dan keluarga Imam Husain bin Ali gugur. Bahkan,
Ali Ar-Radhi, bayi yang dalam gendongan pun disambar anak panah. Husain bin Ali
berlari ke medan laga dan tidak sedikit musuh yang jatuh ditangannya. Namun,
tiba-tiba saja sebatang anak panah menancap didahinya. Disusul beberapa anak
panah mengenai tubuhnya. Perlahan-lahan wajah dan janggutnya bermandikan darah.
Imam
Husain bin Ali tersenyum melihat darahnya mengalir. Husain dengan darah yang
mengucur berdiri tegak siap bertarung. Kemudian, beberapa anak panah melesat
menancap pada dada Imam Husain bin Ali. Tiba-tiba, blugh, rubuh tidak
berdaya. Pasukan Yazid pun cepat-cepat menggerubutinya. Ada yang
menusuk-nusukkan tombak. Ada yang menginjak-injakkan kuda pada punggungnya.
Bahkan, ada yang memenggal kepalanya hingga putus. Gugurlah cucu tersayang Nabi
Muhammad saw sebagai syuhada.[]
(Diambil dari buku SEJARAH
POLITIK ISLAM karya Ahmad Sahidin. Penerbit:
Acarya
Media Utama, Bandung, tahun 2010)