Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma
shalli ‘ala Muhammad wa aali Muhammad
Masalah
politik tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia. Kehidupan di sebuah
negara tidak lepas dari politik. Bahkan, dengan politik segala perubahan
terjadi. Perkembangan ekonomi pun kerap terjadi hanya dengan perubahan penguasa
yang memerintah. Perilaku politisi yang berkuasa dan memerintah kadang menjadi
pemicu perubahan-perubahan di sebuah negeri. Apalagi kalau pemerintah yang berkuasa itu
berganti, pasti memiliki kekhasan, karakter, dan kepentingan yang berbeda dari pemerintah
sebelumnya.
Politik
tidak hanya berpengaruh di dalam negeri, tetapi juga bagi sektor luar negeri.
Salah satunya aspek pariwisata. Seperti yang terjadi di Mesir, berdasarkan pada
tulisan Ahmed Moussa Elsamadicy dan Eiman Medhat Negm, yang meneliti minat
pariwisata ke Mesir setelah dominasi pemerintahan Ikhwanul Muslimin.
Elsamadicy
dan Negm meneliti minat parawisata ke Mesir yang dihubungan dengan situasi politik.
Dalam penelitian itu, keduanya menggunakan pendekatan emperis dengan melakukan
wawancara terhadap lima belas narasumber. Kemudian dihubungkan dengan data-data
dari WTO hingga kemudian menyimpulkan bahwa politik memiliki hubungan yang kuat
dengan minat parawisata.
Dasar
pemikiran dari penelitian Elsamadicy dan Negm ini didasarkan pada asumsi bahwa
perjalanan berwisata ke luar negeri sangat bermanfaat. Bahkan, bisa menyehatkan
pemikiran dari stres. Apalagi pariwisata yang bernuansa religius.
Selain
hiburan, tentu yang diinginkan (apalagi kalau turisnya Muslim) adalah mendapatkan
pengalaman dan hikmah dari ciptaan Tuhan di alam raya ini. Dalam agama Islam,
kegiatan untuk bepergian atau berwisata pada tempat-tempat bersejarah sangat
dianjurkan karena dari sana seseorang dapat mengambil ibrah atau pelajaran
berharga.
Karena
itu, banyak orang yang datang untuk mengunjungi Mesir karena faktor jejak
sejarah dan negeri yang dikenal sebagai kawasan peradaban. Mesir memang diakui
negeri yang memiliki jejak sejarah yang berkaitan dengan keagamaan dan
kebudayaan kuno. Agama Islam juga memiliki kontribusi dalam membentuk kebudayaan
Mesir. Dari asumsi ini kedua peneliti
menyebut Mesir sebagai negeri wisata kaum Muslim untuk mengambil ibrah atau
hikmah dari kebesaran Allah atas ciptaannya.
Benarkah
demikian? Tampaknya tidak semua wisatawan berpikir sampai pada aspek religius. Misalnya
kunjungan pada lokasi lain yang sama memiliki unsur agama seperti di Bali,
Indonesia. Banyak orang-orang barat datang berkunjung hanya sekadar menghilangkan
kepenatan pikiran dan membelanjakan uangnya sebagai hiburan akhir tahun. Tidak
ditemukan orang India yang beragama Hindu memadati Bali untuk ziarah atau
menikmati nuansa religius Hindu model Bali.
Lebih
jauh, kedua peneliti ini juga menyebutkan bahwa parawisata merupakan salah satu
industri terbesar di dunia. Bukan hanya negara yang mendapatkan keuntungan,
tetapi juga warga masyarakat Mesir. Bisa dianggap dengan parawisata, Mesir
mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan. Apalagi Mesir ini menurut
WTO pada 2006 termasuk satu dari sepuluh tujuan parawisata Muslim terbesar di
dunia. Namun, ketika terjadi revolusi 2011 terjadi penurunan yang drastis
terhadap minat parawisata ke Mesir.
Mengapa
demikian? Menurut kedua penliti tersebut bahwa stabilitas politik sangat
menentukan pertumbuhan ekonomi. Karena
berdasarkan data yang didapatkannya bahwa sebelum revolusi 2011, parawisata di
Mesir menjadi sektor utama dalam peningkatan ekonomi masyarakat.
Lantas,
mengapa terjadi penurunan pariwisata yang berdampak melemahnya aspek ekonomi
Mesir? Ikhwanul Muslimin dan aktivitas politiknya dianggap biang dari masalah berkurangnya
pariwisata ke Mesir. Hal ini dapat dimengerti karena hampir setiap aspek yang
berkaitan dengan parawisata seperti travel internasional, imigrasi, dinas
penerbangan, dan perusahaan yang berhubungan dengan wisata, kebijakan atau
aturan-aturannya ditentukan dengan keputusan pemerintah yang berkuasa.
Jika
penguasanya mementingkan pertumbuhan ekonomi dari wisata asing, maka
aspek-aspek yang mendukung itu akan dipermudah dalam pengaturannya. Kalau
memiliki orientasi yang berbeda maka akan lain hasilnya. Pemerintahan Ikhwanul
Muslimin tidak terlihat memiliki minat dalam urusan meningkatkan ekonomi dari
sektor pariwisata. Mereka dengan label pemerintahan Islam lebih mengedepankan
penerapan syariat Islam secara lahiriah dalam berbagai sektor. Itu juga yang
biasanya menjadi cita-cita besar dari gerakan Islam fundamental di mana pun.
Masalah
lain yang dapat mengakibatkan menurunnya minat parawisata adalah perang,
terorisme, dan huru-hara politik dalam negeri. Hal demikian sangat berpengaruh.
Apalagi kejadiannya tersiar ke mancanegara, mereka yang sudah berniat untuk
datang menjadi turis bisa berubah pikiran. Mungkin berpindah lokasi pada tempat
yang aman. Karena itu, stabilitas politik sangat penting untuk parawisata
karena tidak mungkin orang akan bisa menikmati hiburan kalau kondisinya tidak
nyaman.
Untuk
sebagian orang yang memiliki kepentingan akademis dan media-media besar dunia mungkin
bisa menjadi tantangan untuk melihat langsung kondisi negeri yang tidak stabil
dalam politik. Dari pantauan riil itu biasanya mereka bisa memetakan seberapa
besar pengaruhnya bagi dunia, khususnya hubungan diplomatik antarnegara. Namun,
untuk pariwisata tidak bisa dipastikan akan mengundang banyak orang yang
berminat datang.
Masuknya
Ikhwanul Muslimin menjadi pemerintahan baru Mesir dikhawatirkan oleh turis dari
non-muslim. Mereka takut kalau kebijakannya mengubah aturan dan kebijakan yang
sebelum revolusi 2011 telah mengundang minat wisatawan Mesir. Pemerintahan baru
yang dikenal mewakili kelompok Islam fundamental dikhawatirkan mengubah
segalanya.
Apalagi
yang disajikan dalam wawancara kepada narasumber parawisata yang pernah datang
dengan mengedepankan pemerintahan Mesir baru yang berbau Islam. Turis mengenal
pemerintahan Islam Timur Tengah tidak cukup ramah dengan budaya Barat, yang
dinilai dari lahiriah bertentangan. Misalnya kebiasaan pakaian minim di pantai,
nongkrong di tempat keramaian, dan hotel yang bebas. Semua itu dikhawatirkan
akan dihilangkan pemerintah Mesir yang baru. Karena itu, narasumber ada yang
menyatakan enggan untuk kembali ke Mesir.
Hal
lainnya yang menjadikan Mesir turun dari minat wisatawan asing disebutkan bahwa
orang-orang asing yang menjadi turis terkadang diganggu warga yang iseng,
khususnya pada wanita. Kemudian jalanan yang kumuh dan rusak. Apsek internal
negeri yang tidak kondusif ini menjadikan wisatawan tak mau kembali ke Mesir.
Apalagi dikabarkan bahwa pemerintahan baru Mesir ini mengusung pelaksanaan
syariat Islam hanya sekadar informasi dari media pun langsung membuat wisatawan
asing berpikir ulang untuk masuk ke Mesir. Ketakutan dengan aturan baru yang
tidak mendukung kebiasaan dan gaya hidup wisatawan asing ini dinilai peneliti
menjadi faktor yang menjadikan Mesir turun drastis dalam parawisata.
Diakui
sendiri oleh peneliti bahwa riset minat turis ke Mesir memiliki kekurangan dari
sedikitnya sampel, hanya lima belas orang yang diwawancarai, dan tidak didukung
dengan penelitian kualitatif.
Kekurangan
lainnya, saya kira riset ini tidak menggunakan konteks pemerintahan baru Mesir.
Mungkin dengan melihat program dan langsung berdialog dengan orang-orang yang
berkuasa atau pengambil kebijakan akan diketahui visi dan program yang
direncanakan untuk Mesir ke depan.
Dari
sana, masalah pariwisata bisa dirumuskan ulang. Jika kembali pada karakter
Ikhwanul Muslimin yang sangat ingin menerapkan syariat Islam dengan aturan
pemisahan ruang publik wanita dan laki-laki sebagaimana negeri Arab Saudi maka
keengganan wisatawan asing menjadi alasan untuk tidak datang. Siapa yang mau
diatur atau melepaskan gaya hidup pribadi disesuaikan dengan negeri lain. Dari
pada tidak nyaman selama berwisata, mereka tampaknya lebih memilih untuk tak
datang ke Mesir.
Jika
dibandingkan dengan konteks Arab Saudi atau Iran, Mesir memiliki perbedaan yang
siginifikan dalam tempat-tempat wisata dan (sebelum Ikhwanul Muslimin berkuasa)
cukup terbuka dengan budaya Barat sehingga wisatawan/turis merasa nyaman.
Artefak kuno, piramida, arsitektur, seni, dan pantai-pantai yang indah cukup
memanjakan para turis.
Iran
memiliki jejak sejarah kuno dan budaya Islam mazhab Syiah. Dengan aturan yang
cukup ketat bagi turis yang harus menyesuaikan dengan budaya Islam Iran dalam
pakaian dan lainnya maka yang datang lebih banyak dari turis Muslim atau
pelajar yang menimba ilmu.[1]
Sedangkan Arab Saudi bisa banyak karena ada faktor utama yang menarik umat
Islam, yaitu Makkah dan Madinah: Kabah dan Makam Rasulullah saw.[2]
Kerinduan untuk ibadah yang mengantarkan umat Islam dari mancanegara
berdatangan dalam perjalanan umrah atau ziarah. Sedangkan turis non-Islam hanya
sedikit yang tertarik dengan Arab Saudi.
Bandung,
21 Agustus 2014
Ahmad
Sahidin
Program
Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam Pascasarjana UIN SGD Bandung