Minggu, 30 Juli 2017

Review: Pengaruh Perubahan Politik Dominasi Ikhwanul Muslimin terhadap Minat Turis untuk Mengunjungi Mesir Sebelum Runtuhnya Rezim (American Academic & Scholarly Research Jounal; Vol.5, No.6, Nov. 2013)

Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa aali Muhammad

Masalah politik tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia. Kehidupan di sebuah negara tidak lepas dari politik. Bahkan, dengan politik segala perubahan terjadi. Perkembangan ekonomi pun kerap terjadi hanya dengan perubahan penguasa yang memerintah. Perilaku politisi yang berkuasa dan memerintah kadang menjadi pemicu perubahan-perubahan di sebuah negeri.  Apalagi kalau pemerintah yang berkuasa itu berganti, pasti memiliki kekhasan, karakter, dan kepentingan yang berbeda dari pemerintah sebelumnya.

Politik tidak hanya berpengaruh di dalam negeri, tetapi juga bagi sektor luar negeri. Salah satunya aspek pariwisata. Seperti yang terjadi di Mesir, berdasarkan pada tulisan Ahmed Moussa Elsamadicy dan Eiman Medhat Negm, yang meneliti minat pariwisata ke Mesir setelah dominasi pemerintahan Ikhwanul Muslimin.

Elsamadicy dan Negm meneliti minat parawisata ke Mesir yang dihubungan dengan situasi politik. Dalam penelitian itu, keduanya menggunakan pendekatan emperis dengan melakukan wawancara terhadap lima belas narasumber. Kemudian dihubungkan dengan data-data dari WTO hingga kemudian menyimpulkan bahwa politik memiliki hubungan yang kuat dengan minat parawisata.

Dasar pemikiran dari penelitian Elsamadicy dan Negm ini didasarkan pada asumsi bahwa perjalanan berwisata ke luar negeri sangat bermanfaat. Bahkan, bisa menyehatkan pemikiran dari stres. Apalagi pariwisata yang bernuansa religius.

Selain hiburan, tentu yang diinginkan (apalagi kalau turisnya Muslim) adalah mendapatkan pengalaman dan hikmah dari ciptaan Tuhan di alam raya ini. Dalam agama Islam, kegiatan untuk bepergian atau berwisata pada tempat-tempat bersejarah sangat dianjurkan karena dari sana seseorang dapat mengambil ibrah atau pelajaran berharga.

Karena itu, banyak orang yang datang untuk mengunjungi Mesir karena faktor jejak sejarah dan negeri yang dikenal sebagai kawasan peradaban. Mesir memang diakui negeri yang memiliki jejak sejarah yang berkaitan dengan keagamaan dan kebudayaan kuno. Agama Islam juga memiliki kontribusi dalam membentuk kebudayaan Mesir.  Dari asumsi ini kedua peneliti menyebut Mesir sebagai negeri wisata kaum Muslim untuk mengambil ibrah atau hikmah dari kebesaran Allah atas ciptaannya.

Benarkah demikian? Tampaknya tidak semua wisatawan berpikir sampai pada aspek religius. Misalnya kunjungan pada lokasi lain yang sama memiliki unsur agama seperti di Bali, Indonesia. Banyak orang-orang barat datang berkunjung hanya sekadar menghilangkan kepenatan pikiran dan membelanjakan uangnya sebagai hiburan akhir tahun. Tidak ditemukan orang India yang beragama Hindu memadati Bali untuk ziarah atau menikmati nuansa religius Hindu model Bali.    

Lebih jauh, kedua peneliti ini juga menyebutkan bahwa parawisata merupakan salah satu industri terbesar di dunia. Bukan hanya negara yang mendapatkan keuntungan, tetapi juga warga masyarakat Mesir. Bisa dianggap dengan parawisata, Mesir mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan. Apalagi Mesir ini menurut WTO pada 2006 termasuk satu dari sepuluh tujuan parawisata Muslim terbesar di dunia. Namun, ketika terjadi revolusi 2011 terjadi penurunan yang drastis terhadap minat parawisata ke Mesir.

Mengapa demikian? Menurut kedua penliti tersebut bahwa stabilitas politik sangat menentukan pertumbuhan ekonomi.  Karena berdasarkan data yang didapatkannya bahwa sebelum revolusi 2011, parawisata di Mesir menjadi sektor utama dalam peningkatan ekonomi masyarakat.

Lantas, mengapa terjadi penurunan pariwisata yang berdampak melemahnya aspek ekonomi Mesir? Ikhwanul Muslimin dan aktivitas politiknya dianggap biang dari masalah berkurangnya pariwisata ke Mesir. Hal ini dapat dimengerti karena hampir setiap aspek yang berkaitan dengan parawisata seperti travel internasional, imigrasi, dinas penerbangan, dan perusahaan yang berhubungan dengan wisata, kebijakan atau aturan-aturannya ditentukan dengan keputusan pemerintah yang berkuasa.

Jika penguasanya mementingkan pertumbuhan ekonomi dari wisata asing, maka aspek-aspek yang mendukung itu akan dipermudah dalam pengaturannya. Kalau memiliki orientasi yang berbeda maka akan lain hasilnya. Pemerintahan Ikhwanul Muslimin tidak terlihat memiliki minat dalam urusan meningkatkan ekonomi dari sektor pariwisata. Mereka dengan label pemerintahan Islam lebih mengedepankan penerapan syariat Islam secara lahiriah dalam berbagai sektor. Itu juga yang biasanya menjadi cita-cita besar dari gerakan Islam fundamental di mana pun.  

Masalah lain yang dapat mengakibatkan menurunnya minat parawisata adalah perang, terorisme, dan huru-hara politik dalam negeri. Hal demikian sangat berpengaruh. Apalagi kejadiannya tersiar ke mancanegara, mereka yang sudah berniat untuk datang menjadi turis bisa berubah pikiran. Mungkin berpindah lokasi pada tempat yang aman. Karena itu, stabilitas politik sangat penting untuk parawisata karena tidak mungkin orang akan bisa menikmati hiburan kalau kondisinya tidak nyaman.

Untuk sebagian orang yang memiliki kepentingan akademis dan media-media besar dunia mungkin bisa menjadi tantangan untuk melihat langsung kondisi negeri yang tidak stabil dalam politik. Dari pantauan riil itu biasanya mereka bisa memetakan seberapa besar pengaruhnya bagi dunia, khususnya hubungan diplomatik antarnegara. Namun, untuk pariwisata tidak bisa dipastikan akan mengundang banyak orang yang berminat datang.


Masuknya Ikhwanul Muslimin menjadi pemerintahan baru Mesir dikhawatirkan oleh turis dari non-muslim. Mereka takut kalau kebijakannya mengubah aturan dan kebijakan yang sebelum revolusi 2011 telah mengundang minat wisatawan Mesir. Pemerintahan baru yang dikenal mewakili kelompok Islam fundamental dikhawatirkan mengubah segalanya.

Apalagi yang disajikan dalam wawancara kepada narasumber parawisata yang pernah datang dengan mengedepankan pemerintahan Mesir baru yang berbau Islam. Turis mengenal pemerintahan Islam Timur Tengah tidak cukup ramah dengan budaya Barat, yang dinilai dari lahiriah bertentangan. Misalnya kebiasaan pakaian minim di pantai, nongkrong di tempat keramaian, dan hotel yang bebas. Semua itu dikhawatirkan akan dihilangkan pemerintah Mesir yang baru. Karena itu, narasumber ada yang menyatakan enggan untuk kembali ke Mesir.

Hal lainnya yang menjadikan Mesir turun dari minat wisatawan asing disebutkan bahwa orang-orang asing yang menjadi turis terkadang diganggu warga yang iseng, khususnya pada wanita. Kemudian jalanan yang kumuh dan rusak. Apsek internal negeri yang tidak kondusif ini menjadikan wisatawan tak mau kembali ke Mesir. Apalagi dikabarkan bahwa pemerintahan baru Mesir ini mengusung pelaksanaan syariat Islam hanya sekadar informasi dari media pun langsung membuat wisatawan asing berpikir ulang untuk masuk ke Mesir. Ketakutan dengan aturan baru yang tidak mendukung kebiasaan dan gaya hidup wisatawan asing ini dinilai peneliti menjadi faktor yang menjadikan Mesir turun drastis dalam parawisata.

Diakui sendiri oleh peneliti bahwa riset minat turis ke Mesir memiliki kekurangan dari sedikitnya sampel, hanya lima belas orang yang diwawancarai, dan tidak didukung dengan penelitian kualitatif.

Kekurangan lainnya, saya kira riset ini tidak menggunakan konteks pemerintahan baru Mesir. Mungkin dengan melihat program dan langsung berdialog dengan orang-orang yang berkuasa atau pengambil kebijakan akan diketahui visi dan program yang direncanakan untuk Mesir ke depan.

Dari sana, masalah pariwisata bisa dirumuskan ulang. Jika kembali pada karakter Ikhwanul Muslimin yang sangat ingin menerapkan syariat Islam dengan aturan pemisahan ruang publik wanita dan laki-laki sebagaimana negeri Arab Saudi maka keengganan wisatawan asing menjadi alasan untuk tidak datang. Siapa yang mau diatur atau melepaskan gaya hidup pribadi disesuaikan dengan negeri lain. Dari pada tidak nyaman selama berwisata, mereka tampaknya lebih memilih untuk tak datang ke Mesir.      

Jika dibandingkan dengan konteks Arab Saudi atau Iran, Mesir memiliki perbedaan yang siginifikan dalam tempat-tempat wisata dan (sebelum Ikhwanul Muslimin berkuasa) cukup terbuka dengan budaya Barat sehingga wisatawan/turis merasa nyaman. Artefak kuno, piramida, arsitektur, seni, dan pantai-pantai yang indah cukup memanjakan para turis.

Iran memiliki jejak sejarah kuno dan budaya Islam mazhab Syiah. Dengan aturan yang cukup ketat bagi turis yang harus menyesuaikan dengan budaya Islam Iran dalam pakaian dan lainnya maka yang datang lebih banyak dari turis Muslim atau pelajar yang menimba ilmu.[1] Sedangkan Arab Saudi bisa banyak karena ada faktor utama yang menarik umat Islam, yaitu Makkah dan Madinah: Kabah dan Makam Rasulullah saw.[2] Kerinduan untuk ibadah yang mengantarkan umat Islam dari mancanegara berdatangan dalam perjalanan umrah atau ziarah. Sedangkan turis non-Islam hanya sedikit yang tertarik dengan Arab Saudi.

Bandung, 21 Agustus 2014  
Ahmad Sahidin
Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam Pascasarjana UIN SGD Bandung
  





[1] Informasi tentang Iran bisa dibaca pada Dina Y. Sulaeman, Pelangi di Persia: Menyusuri Eksotisme Iran (Jakarta: Iiman, 2007).
[2] Hal ini bisa dilihat dari jumlah jamaah haji dan umrah yang datang ke negeri tersebut.