Al-QURAN merupakan kitab suci umat Islam. Selain sebagai pedoman, juga
sumber pengetahuan dan inspirasi bagi kehidupan umat Islam. Rasulullah saw
selaku pembawa Al-Quran sekaligus yang mempraktikan isi Al-Quran telah
mewariskan Al-Quran untuk umatnya agar senantiasa merujuk dan mengambil manfaat
dari Al-Quran. Karena itulah, Al-Quran sepanjang masa dibaca, dikaji, dan
ditafsirkan hingga menjadi khazanah ilmu-ilmu Islam yang tidak terkira.
Sejak masa Sahabat Rasulullah saw sampai masa tabiin, jumlah tafsir
al-Quran sangat banyak dan beraneka ragam bentuk maupun pendekatan. Apalagi
masa sesudah tabiin, semakin bertambah dan setiap orang Islam yang menafsirkan
saling berbeda serta memiliki khazanah pengetahuan yang luar biasa banyaknya.
Sejak dari masa sahabat hingga sekarang mungkin lebih dari seribu tafsir
Al-Quran yang dihasilkan. Semakin banyak yang menafsirkan semakin tampak
Al-Quran memiliki kontribusi yang besar bagi peradaban manusia. Semakin banyak
karya tafsir yang dihasilkan umat Islam maka terlihat betapa dekatnya umat
Islam dengan sumber ilmu, yaitu Al-Quran.
Tafsir Al-Quran sebagaimana diartikan sebagai penjelasan dan keterangan
dari isi Al-Quran, bisa dikatakan upaya mencari penjelasan dan memahami maksud
dari isi Al-Quran yang sekaligus pesan Allah untuk umat manusia. Pertanyaanya:
apakah tafsir yang beragam dan banyak itu sudah bisa dianggap mampu “menangkap”
dan “mengungkap” pesan Ilahi dalam Al-Quran?
Pertanyaan ini tampaknya akan sulit dijawab sebab akan mengandung
pernyataan yang menuntut jawaban kemudian memunculkan pertanyaan kembali.
Demikianlah yang terjadi dalam khazanah ilmu tafsir Al-Quran.
Sejak pascaRasulullah saw wafat hingga sekarang belum ada seorang pun
ulama/mufasir yang berani mengklaim paling benar dalam menafsirkan Al-Quran.
Biasanya mereka menulis: hanya Allah yang mengetahui.
Meski belum ada yang memastikan sudah mewakili atau mengungkap pesan
Allah, tetapi dari sisi khazanah ilmu pengetahuan telah menunjukkan betapa
luasnya ilmu yang lahir dari kitab suci umat Islam. Hal ini menjadi kekayaan
yang tidak terkira.
Betapa tidak. Dari tafsir Al-Quran ini saja banyak corak dan model tafsir
Al-Quran yang lahir. Ada tafsir Al-Quran yang lahir dari pendekatan bahasa,
pendekatan riwayat/historis, pendekatan teologi, pendekatan filsafat, pendekatan
sains, dan penafsiran ayat Al-Quran dengan ayat-ayat Al-Quran lainnya yang
dihubungkan hingga seakan-akan tampak saling menjelaskan.
Sebagaimana disebutkan Prof Dr H Rachmat
Syafei dalam perkuliahan bahwa sebetulnya para penafsir
Al-Quran (mufasir) tidak bisa menyatakan “kebenaran” menurut Al-Quran dari setiap
hasil tafsirannya; karena sebetulnya itu hasil karya mufasir. Karena itu,
setiap tafsir bisa disebut memiliki kebenaran dan kemungkinan salahnya pun
tidak sedikit.
Lalu, bagaimana dengan Nabi Muhammad saw: apakah Beliau juga sang
penfasir? Menjawab ini tentunya butuh telaah dan kajian khusus. Insya Allah,
mereka yang kompeten yang mampu menjawabnya. Karena itu, catatan di bawah ini
dibatasi sekadar resume dari kitab Ushul Tafsir bagian sub bab tafsir
pendekatan bahasa.
Tafsir Quran Pendekatan Bahasa
Dalam kitab Ushul
Tafsir bagian tafsirul quran bil
lughah, halaman 58-65,
berisi tentang maksud tafsir al-quran dengan pendekatan bahasa.
Disebutkan bahwa yang
menggunakan tafsir Al-Quran atau yang menjelaskan ayat-ayat Al-Quran dengan
pendekatan bahasa dirintis oleh para sahabat kemudian para tabiian. Di antara
mereka ada yang menggunakan syair-syair Arab dalam menjelaskan Al-Quran. Hal
ini karena Al-Quran turun dengan bahasa Arab sehingga mereka yang asli orang
Arab yang merasa mampu menafsirkannya.
Dalam kitab Muqadimah
Al-Mabani diterangkan bahwa pada kalangan sahabat sudah ada kesepatakatan/ijma
yang membolehkannya melakukan penafsiran ayat-ayat al-quran dengan pendekatan bahasa.
Di antara mereka yang melakukannya (sekaligus menyetujui penafsiran dengan
pendekatan bahasa) adalah Ibnu Abbas, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, Mujahid,
Said, Dhahak, dan Ibnu Zaid. Inilah generasi pertama Islam yang melakukan penafsiran
dengan pendekatan bahasa.
Meski
diperkenankan, tetapi ada ulama yang sangat selektif dalam menetapkan syarat
menafsirkan bahwa yang tidak bahasa Arab tidak boleh melakukannya. Seperti yang
diriwayatkan Malik, Mujahid, dan lainnya. Malik menyatakan bahwa tidak
diperkenankan seorang pun yang tidak bisa bahasa Arab menafsirkan Al-Quran
kecuali dia akan disebut menyimpang.
Dalam kitab Ushul
Tafsir ini, berkaitan dengan tafsir pendekatan bahasa ini memiliki masalah,
khususnya dalam kata yang memiliki banyak makna. Persoalan banyak makna ini
sebetulnya bisa termasuk khazanah dan seorang penafsir selayaknya menjelaskan
setiap makna yang banyak itu hingga menjadi saling melengkapi.
Ada beberapa catatan
yang perlu diperhatikan berkaitan dengan penfasiran Al-Quran melalui pendekatan
bahasa.
Pertama, penafsir harus memiliki kemampuan yang baik
dalam bahasa Arab. Kedua, tafsir Al-Quran
yang mengedepankan makna bahasa Arab yang umum selayaknya tidak menyampingkan pendapat
yang sedikit. Ketiga, dalam menafsirkan
sebuah kata (atau ayat Al-Quran) harus dilihat juga dari konteksnya sehingga
akan terungkap makna dari balik kata/ayat tersebut. Hal ini sejalan dengan
pendapat Zarkasyi bahwa “kata” harus dilihat secara kontekstual dan yang
merujuk pada penafsiran kata/tekstual sangat sedikit sehingga kurang bisa
dijadikan dalil. Meski demikian, Zarkasyi menyatakan tafsir dengan pendekatan bahasa
(tekstual) harus pula dipertimbangkan kebenarannya. Keempat, untuk memahami sebuah kata harus dipahami dengan melihat
pada turunnya al-quran/asbabun nuzul. Kelima,
penafsir harus mengedepankan
makna syar’i di atas makna bahasa/tekstual jika ada dua pemahaman/makna;
karena tujuan memahami secara bahasa adalah untuk menjelaskan makna syariat
dari turunnya Al-Quran.
Kelemahan Tafsir Bahasa
Dalam kitab Ushul Tafsir disebutkan ada beberapa kelemahan pada
mereka yang menggunakan tafsir dengan pendekatan bahasa.
Pertama, orang-orang yang memegang pendapat tafsir
dengan pendekatan bahasa, seperti Aba Ubaidah Mummar bin Al-Masna, Al-Fara, dan
Az-Zujaj disebut telah melakukan kesalahan karena tidak melihat para sahabat
dan tabiin dalam menafsirkan Al-Quran, yang jelas-jelas mereka adalah orang
Arab yang mengerti bahasa Arab. Bahkan di antara mufasir pendekatan bahasa, ada
yang mendasarkan tafsirnya pada tradisi (atsar) yang kemudian menyebabkan
lahirnya tafsir bil ma’tsur.
Kedua, Abu Ubaidah Muammar bin Al-Masna hanya mendasarkan
penafsiran pada bahasa. Tanpa melihat sebab turunnya sehingga ini menjadikan Al-Quran
sebagai nash semata. Hal itu yang
menyebabkan kesalahan-kesalahan penafsiran seperti yang disebutkan Ibnu
Taimiyah. Bahkan, para ulama di zaman Aba Ubaidah dan setelahnya mengingkari
pendapat tersebut. Seperti Ashma’i, Abu Hatim Sajastani, Al-Fara, dan Abu Umar
Al-Jarni, Thabari, dan lainnya.
Ketiga, tafsir pendekatan bahasa yang dilakukan
mereka berupaya mengajak orang untuk merujuk pada pemahaman mereka (sebagai yang
otoritatif dalam penafsiran). Tentunya, hal ini dikhawatirkan bisa
disalahpahami sebagai upaya menegaskan kebenaran dari tafsir mereka.
Sekadar
Komentar
Jika dikembalikan
pada maknanya, tafsir sebagaimana disebutkan diawal sebagai upaya menjelaskan
atau memberikan penjelasan dari ayat-ayat Al-Quran. Setiap penafsiran memiliki
perbedaan sehingga tidak bisa salah satu tafsir dianggap benar.
Dalam hal ini,
tafsir pendekatan bahasa tidak bisa dianggap paling bisa mengeluarkan
pesan-pesan Ilahi dalam Al-Quran. Demikian pula dengan tafsir tahlili atau yang
menggunakan pendekatan riwayat tidak bisa dianggap paling benar dalam
menafsirkan. Mengapa demikian? Sebab teks Al-Quran merupakan kalam Ilahi.
Tentunya yang paling paham dan mengerti adalah yang menyampaikan teks tersebut,
yaitu Allah.
Karena itu, dalam
khazanah ilmu tidak ada yang paling benar. Mungkin untuk yang mendekati benar
bisa dikatakan ada dan banyak. Mungkin pula bisa dikatakan benar satu
penafsiran bila telah menggunakan metode yang benar dan teruji. Namun, ini
hanya benar dalam kacamata manusia, bukan dari Allah.
Sekadar penegasan
kembali dari catatan di awal bahwa Al-Quran merupakan kitab suci. Seluruh umat
Islam diwajibkan untuk membaca, memahami, dan menerapkan nilai-nilai atau hukum
yang ada di dalamnya. Dengan tujuan agar manusia berada dalam jalur yang benar
dengan petunjuk Allah (yang didasarkan dari hasil penafsiran).
Umat Islam yang
berada pada zaman masa lalu, tentu berbeda dengan kondisi masa sekarang. Setiap
zaman yang didiami umat Islam pasti mengalami perubahan dan perkembangan. Dalam
budaya, ekonomi, politik, seni, dan lainnya. Karena itu, penafsiran yang
dihasilkan masa klasik besar kemungkinan tidak berlaku untuk masa modern karena
tantangan zaman yang dihadapi setiap zaman berbeda dan cara berpikir atau orientasi
hidup pun tidak sama orang sekarang dengan orang zaman dahulu.
Dengan kata lain,
pendekatan bahasa dalam menafsirkan Al-Quran untuk masa dahulu bisa sah
digunakan dan dijadikan alat untuk mengambil nilai syariat atau sumber hukum. Pendekatan
dengan melihat asbabun nuzul bisa dikatakan sah pada masa orang-orang yang
gandrung untuk mengambil teladan orang terdahulu. Orang-orang yang mengalami
krisis kepercayaan biasanya yang membutuhkannya.
Sementara masa
sekarang ini, apalagi Islam sudah tersebar hampir separuh dari dunia, memiliki
peluang untuk mewujudkan nilai-nilai Al-Quran dan hukumnya disesuaikan dengan
konteks zaman. Penafsiran yang berlaku pada abad delapan masehi tidak bisa diterapkan
pada kondisi umat Islam abad dua puluh satu. Karena itu, penafsiran Al-Quran
dari masa ke masa akan mengalami perkembangan dan tidak ada yang mutlak.
Terakhir untuk
menutup, saya kutipkan catatan bernas dari Jalaluddin Rakhmat yang menulis
bahwa “… Al-Quran bagaikan lautan. Kalau kita cuma bisa berenang di
permukaan, apa yang kita dapat? Plankton atau paling tidak ikan teri yang
mengapung di permukaan. Tapi, kalau menyelam lebih dalam lagi, kita akan
memperoleh sesuatu yang lebih berharga. Dan kalau menyelam lebih dalam lagi dan
sampai pada ke dasar laut, kita akan menemukan mutiara.”[1]
Karena itu, mari
berlomba-lomba menyelami lautan Al-Quran hingga kita mendapatkan mutiara Ilahi.
Tentu hal itu bisa diraih hanya dengan ilmu dan pemahaman yang mendalam atas
sumber pengetahuan umat Islam yang utama: Al-Quran. *** ( AHMAD SAHIDIN - Mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam Pascasarjana UIN SGD Bandung; 18 Agustus 2014)
[1]
Lihat Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Kebahagiaan: Pesan Al-Quran Menyikapi
Kesulitan Hidup (Jakarta: Serambi, 2010) halaman 15.