Sabtu, 29 Juli 2017

Kitab Ushul Tafsir (bagian Tafsirul Quran bil Lughah)

  
Al-QURAN merupakan kitab suci umat Islam. Selain sebagai pedoman, juga sumber pengetahuan dan inspirasi bagi kehidupan umat Islam. Rasulullah saw selaku pembawa Al-Quran sekaligus yang mempraktikan isi Al-Quran telah mewariskan Al-Quran untuk umatnya agar senantiasa merujuk dan mengambil manfaat dari Al-Quran. Karena itulah, Al-Quran sepanjang masa dibaca, dikaji, dan ditafsirkan hingga menjadi khazanah ilmu-ilmu Islam yang tidak terkira.

Sejak masa Sahabat Rasulullah saw sampai masa tabiin, jumlah tafsir al-Quran sangat banyak dan beraneka ragam bentuk maupun pendekatan. Apalagi masa sesudah tabiin, semakin bertambah dan setiap orang Islam yang menafsirkan saling berbeda serta memiliki khazanah pengetahuan yang luar biasa banyaknya.

Sejak dari masa sahabat hingga sekarang mungkin lebih dari seribu tafsir Al-Quran yang dihasilkan. Semakin banyak yang menafsirkan semakin tampak Al-Quran memiliki kontribusi yang besar bagi peradaban manusia. Semakin banyak karya tafsir yang dihasilkan umat Islam maka terlihat betapa dekatnya umat Islam dengan sumber ilmu, yaitu Al-Quran.

Tafsir Al-Quran sebagaimana diartikan sebagai penjelasan dan keterangan dari isi Al-Quran, bisa dikatakan upaya mencari penjelasan dan memahami maksud dari isi Al-Quran yang sekaligus pesan Allah untuk umat manusia. Pertanyaanya: apakah tafsir yang beragam dan banyak itu sudah bisa dianggap mampu “menangkap” dan “mengungkap” pesan Ilahi dalam Al-Quran?

Pertanyaan ini tampaknya akan sulit dijawab sebab akan mengandung pernyataan yang menuntut jawaban kemudian memunculkan pertanyaan kembali. Demikianlah yang terjadi dalam khazanah ilmu tafsir Al-Quran.

Sejak pascaRasulullah saw wafat hingga sekarang belum ada seorang pun ulama/mufasir yang berani mengklaim paling benar dalam menafsirkan Al-Quran. Biasanya mereka menulis: hanya Allah yang mengetahui.

Meski belum ada yang memastikan sudah mewakili atau mengungkap pesan Allah, tetapi dari sisi khazanah ilmu pengetahuan telah menunjukkan betapa luasnya ilmu yang lahir dari kitab suci umat Islam. Hal ini menjadi kekayaan yang tidak terkira.

Betapa tidak. Dari tafsir Al-Quran ini saja banyak corak dan model tafsir Al-Quran yang lahir. Ada tafsir Al-Quran yang lahir dari pendekatan bahasa, pendekatan riwayat/historis, pendekatan teologi, pendekatan filsafat, pendekatan sains, dan penafsiran ayat Al-Quran dengan ayat-ayat Al-Quran lainnya yang dihubungkan hingga seakan-akan tampak saling menjelaskan.
Sebagaimana disebutkan Prof Dr H Rachmat Syafei dalam perkuliahan bahwa sebetulnya para penafsir Al-Quran (mufasir) tidak bisa menyatakan “kebenaran” menurut Al-Quran dari setiap hasil tafsirannya; karena sebetulnya itu hasil karya mufasir. Karena itu, setiap tafsir bisa disebut memiliki kebenaran dan kemungkinan salahnya pun tidak sedikit.

Lalu, bagaimana dengan Nabi Muhammad saw: apakah Beliau juga sang penfasir? Menjawab ini tentunya butuh telaah dan kajian khusus. Insya Allah, mereka yang kompeten yang mampu menjawabnya. Karena itu, catatan di bawah ini dibatasi sekadar resume dari kitab Ushul Tafsir bagian sub bab tafsir pendekatan bahasa.

Tafsir Quran Pendekatan Bahasa
Dalam kitab Ushul Tafsir bagian tafsirul quran bil lughah, halaman 58-65, berisi tentang maksud tafsir al-quran dengan pendekatan bahasa.

Disebutkan bahwa yang menggunakan tafsir Al-Quran atau yang menjelaskan ayat-ayat Al-Quran dengan pendekatan bahasa dirintis oleh para sahabat kemudian para tabiian. Di antara mereka ada yang menggunakan syair-syair Arab dalam menjelaskan Al-Quran. Hal ini karena Al-Quran turun dengan bahasa Arab sehingga mereka yang asli orang Arab yang merasa mampu menafsirkannya.

Dalam kitab Muqadimah Al-Mabani diterangkan bahwa pada kalangan sahabat sudah ada kesepatakatan/ijma yang membolehkannya melakukan penafsiran ayat-ayat al-quran dengan pendekatan bahasa. Di antara mereka yang melakukannya (sekaligus menyetujui penafsiran dengan pendekatan bahasa) adalah Ibnu Abbas, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, Mujahid, Said, Dhahak, dan Ibnu Zaid. Inilah generasi pertama Islam yang melakukan penafsiran dengan pendekatan bahasa.

Meski diperkenankan, tetapi ada ulama yang sangat selektif dalam menetapkan syarat menafsirkan bahwa yang tidak bahasa Arab tidak boleh melakukannya. Seperti yang diriwayatkan Malik, Mujahid, dan lainnya. Malik menyatakan bahwa tidak diperkenankan seorang pun yang tidak bisa bahasa Arab menafsirkan Al-Quran kecuali dia akan disebut menyimpang.

Dalam kitab Ushul Tafsir ini, berkaitan dengan tafsir pendekatan bahasa ini memiliki masalah, khususnya dalam kata yang memiliki banyak makna. Persoalan banyak makna ini sebetulnya bisa termasuk khazanah dan seorang penafsir selayaknya menjelaskan setiap makna yang banyak itu hingga menjadi saling melengkapi.

Ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan berkaitan dengan penfasiran Al-Quran melalui pendekatan bahasa.

Pertama, penafsir harus memiliki kemampuan yang baik dalam bahasa Arab. Kedua, tafsir Al-Quran yang mengedepankan makna bahasa Arab yang umum selayaknya tidak menyampingkan pendapat yang sedikit. Ketiga, dalam menafsirkan sebuah kata (atau ayat Al-Quran) harus dilihat juga dari konteksnya sehingga akan terungkap makna dari balik kata/ayat tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Zarkasyi bahwa “kata” harus dilihat secara kontekstual dan yang merujuk pada penafsiran kata/tekstual sangat sedikit sehingga kurang bisa dijadikan dalil. Meski demikian, Zarkasyi menyatakan tafsir dengan pendekatan bahasa (tekstual) harus pula dipertimbangkan kebenarannya. Keempat, untuk memahami sebuah kata harus dipahami dengan melihat pada turunnya al-quran/asbabun nuzul. Kelima, penafsir harus mengedepankan makna syar’i di atas makna bahasa/tekstual jika ada dua pemahaman/makna; karena tujuan memahami secara bahasa adalah untuk menjelaskan makna syariat dari turunnya Al-Quran.

Kelemahan Tafsir Bahasa
Dalam kitab Ushul Tafsir disebutkan ada beberapa kelemahan pada mereka yang menggunakan tafsir dengan pendekatan bahasa.

Pertama, orang-orang yang memegang pendapat tafsir dengan pendekatan bahasa, seperti Aba Ubaidah Mummar bin Al-Masna, Al-Fara, dan Az-Zujaj disebut telah melakukan kesalahan karena tidak melihat para sahabat dan tabiin dalam menafsirkan Al-Quran, yang jelas-jelas mereka adalah orang Arab yang mengerti bahasa Arab. Bahkan di antara mufasir pendekatan bahasa, ada yang mendasarkan tafsirnya pada tradisi (atsar) yang kemudian menyebabkan lahirnya tafsir bil ma’tsur.

Kedua, Abu Ubaidah Muammar bin Al-Masna hanya mendasarkan penafsiran pada bahasa. Tanpa melihat sebab turunnya sehingga ini menjadikan Al-Quran sebagai nash semata. Hal itu yang menyebabkan kesalahan-kesalahan penafsiran seperti yang disebutkan Ibnu Taimiyah. Bahkan, para ulama di zaman Aba Ubaidah dan setelahnya mengingkari pendapat tersebut. Seperti Ashma’i, Abu Hatim Sajastani, Al-Fara, dan Abu Umar Al-Jarni, Thabari, dan lainnya.

Ketiga, tafsir pendekatan bahasa yang dilakukan mereka berupaya mengajak orang untuk merujuk pada pemahaman mereka (sebagai yang otoritatif dalam penafsiran). Tentunya, hal ini dikhawatirkan bisa disalahpahami sebagai upaya menegaskan kebenaran dari tafsir mereka.

Sekadar Komentar
Jika dikembalikan pada maknanya, tafsir sebagaimana disebutkan diawal sebagai upaya menjelaskan atau memberikan penjelasan dari ayat-ayat Al-Quran. Setiap penafsiran memiliki perbedaan sehingga tidak bisa salah satu tafsir dianggap benar.

Dalam hal ini, tafsir pendekatan bahasa tidak bisa dianggap paling bisa mengeluarkan pesan-pesan Ilahi dalam Al-Quran. Demikian pula dengan tafsir tahlili atau yang menggunakan pendekatan riwayat tidak bisa dianggap paling benar dalam menafsirkan. Mengapa demikian? Sebab teks Al-Quran merupakan kalam Ilahi. Tentunya yang paling paham dan mengerti adalah yang menyampaikan teks tersebut, yaitu Allah.

Karena itu, dalam khazanah ilmu tidak ada yang paling benar. Mungkin untuk yang mendekati benar bisa dikatakan ada dan banyak. Mungkin pula bisa dikatakan benar satu penafsiran bila telah menggunakan metode yang benar dan teruji. Namun, ini hanya benar dalam kacamata manusia, bukan dari Allah.

Sekadar penegasan kembali dari catatan di awal bahwa Al-Quran merupakan kitab suci. Seluruh umat Islam diwajibkan untuk membaca, memahami, dan menerapkan nilai-nilai atau hukum yang ada di dalamnya. Dengan tujuan agar manusia berada dalam jalur yang benar dengan petunjuk Allah (yang didasarkan dari hasil penafsiran).    

Umat Islam yang berada pada zaman masa lalu, tentu berbeda dengan kondisi masa sekarang. Setiap zaman yang didiami umat Islam pasti mengalami perubahan dan perkembangan. Dalam budaya, ekonomi, politik, seni, dan lainnya. Karena itu, penafsiran yang dihasilkan masa klasik besar kemungkinan tidak berlaku untuk masa modern karena tantangan zaman yang dihadapi setiap zaman berbeda dan cara berpikir atau orientasi hidup pun tidak sama orang sekarang dengan orang zaman dahulu.

Dengan kata lain, pendekatan bahasa dalam menafsirkan Al-Quran untuk masa dahulu bisa sah digunakan dan dijadikan alat untuk mengambil nilai syariat atau sumber hukum. Pendekatan dengan melihat asbabun nuzul bisa dikatakan sah pada masa orang-orang yang gandrung untuk mengambil teladan orang terdahulu. Orang-orang yang mengalami krisis kepercayaan biasanya yang membutuhkannya.

Sementara masa sekarang ini, apalagi Islam sudah tersebar hampir separuh dari dunia, memiliki peluang untuk mewujudkan nilai-nilai Al-Quran dan hukumnya disesuaikan dengan konteks zaman. Penafsiran yang berlaku pada abad delapan masehi tidak bisa diterapkan pada kondisi umat Islam abad dua puluh satu. Karena itu, penafsiran Al-Quran dari masa ke masa akan mengalami perkembangan dan tidak ada yang mutlak.

Terakhir untuk menutup, saya kutipkan catatan bernas dari Jalaluddin Rakhmat yang menulis bahwa “… Al-Quran bagaikan lautan. Kalau kita cuma bisa berenang di permukaan, apa yang kita dapat? Plankton atau paling tidak ikan teri yang mengapung di permukaan. Tapi, kalau menyelam lebih dalam lagi, kita akan memperoleh sesuatu yang lebih berharga. Dan kalau menyelam lebih dalam lagi dan sampai pada ke dasar laut, kita akan menemukan mutiara.”[1]

Karena itu, mari berlomba-lomba menyelami lautan Al-Quran hingga kita mendapatkan mutiara Ilahi. Tentu hal itu bisa diraih hanya dengan ilmu dan pemahaman yang mendalam atas sumber pengetahuan umat Islam yang utama: Al-Quran. *** (AHMAD SAHIDIN - Mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam Pascasarjana UIN SGD Bandung; 18 Agustus 2014)


[1] Lihat Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Kebahagiaan: Pesan Al-Quran Menyikapi Kesulitan Hidup (Jakarta: Serambi, 2010) halaman 15.