Tidak hanya menyerang langsung, orang-orang yang memusuhi Islam juga membujuk Abu Thalib yang melindungi Sang Nabi. Mereka beranggapan pembelaan Abu Thalib kepada Nabi Muhammad saw karena sosoknya yang tampan, cerdas, dan akhlak yang baik. Mereka datang kepada Abu Thalib meminta keponakannya untuk dibunuh. Sebagai gantinya akan diserahkan Amarah bin Walid, pemuda tertampan di Makkah. Dengan tegas Abu Thalib menjawab tidak akan memberikan Nabi Muhammad saw selama masih hidup.
Abu Thalib menyampaikan
pertemuannya dengan orang-orang Makkah. Kemudian Nabi Muhammad saw menyampaikan
bahwa meski matahari diletakkan pada tangan kanan dan bulan pada tangan kiri,
tidak akan meninggalkan dakwah sampai Allah memenangkan atau binasa karena
dakwahnya. Pernyataan tersebut menambah keyakinan Abu Thalib bahwa keponakannya
berada di jalan yang benar. Abu Thalib bersama Bani Hasyim dan Bani Abdul
Muthalib bersatu menentang rencana-rencana jahat terhadap Rasulullah saw.
Musuh Islam tidak berhenti. Mereka menggalang persatuan di antara
kabilah yang tidak mendukung Rasulullah saw. Mereka sepakat untuk memboikot Bani Hasyim
dan Bani Abdul Muthalib di sebuah lembah bernama Syi’ib Abu Thalib. Kemudian para pemimpin kabilah Quraisy
menggantungkan perjanjian boikot di Ka’bah yang isinya melarang aktivitas
perdagangan, tidak boleh melakukan pernikahan, tidak boleh bergaul, dan
mendukung orang-orang yang memusuhi Nabi Muhammad saw. Perjanjian ini ditulis
oleh Manshur bin Akramah.[1]
Perjanjian ini merupakan tradisi yang telah dibuat sebelumnya oleh Abdul
Muthalib dan dipertahankan untuk mengucilkan kabilah yang tidak setuju dengan
kesepakatan di antara kabilah yang ada di Makkah. Semua kabilah harus menyepakati dan tidak
boleh menentang karena semua kabilah yang sepakat bisa memerangi yang
menentang. Tindakan boikot bisa disebut tindakan permulaan untuk menghukum
kabilah yang menentang.
Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib yang mendukung Rasulullah saw
berpindah tempat. Mereka memasang kemah-kemah. Mereka membawa binatang dan harta bendanya.
Masa-masa awal mereka tidak merasakan kekurangan dan penderitaan. Lama kelamaan
persediaan makanan dan minuman mulai habis. Mereka mempunya uang, tetapi tidak ada
orang yang mau menjual dagangan untuk makan atau minum. Orang-orang Makkah menaikan harga
setinggi-tingginya yang membuat orang-orang yang diboikot tidak dapat membelinya. Ketentuan menaikan
harga ini merupakan kesepakatan orang-orang Quraisy. Orang-orang yang diboikot hanya makan satu
butir kurma dan memakan daun-daunan. Seluruh kekayaan Abu Thalib dan Khadijah
habis untuk membantu penghidupan semua penghuni syi’ib. Untuk menjaga kemungkinan masuknya penyusup Quraisy, Abu
Thalib setiap malam tidak jauh dari Nabi Muhammad saw. Bahkan, tengah malam Abu Thalib membangunkan Nabi untuk berpindah tempat dan menyuruh
salah seorang anaknya untuk tidur pada tempat tidur Nabi.
Meski dalam kondisi sulit, Rasulullah saw terus bersabar
dan menguatkan keimanan umat Islam dari kedua kabilah yang mendukungnya.
Al-Hamid Al-Husaini menyebutkan selama masa boikot, Rasulullah saw memberikan
bimbingan khusus kepada pemuda berusia 17 tahun, Ali bin Abu Thalib, sebagai upaya menyiapkan orang yang akan menjadi penerus
risalah Islam setelah Rasulullah saw.[2]
Boikot yang berlangsung tiga tahun (616-618
Masehi) ini menyentuh nurani saudara-saudara dari Khadijah: Hakim bin Hizam,
Abu Ash bin Rabi, dan Hisyam bin Umar. Mereka sesekali mengangkut gandum dan kurma pada malam hari menggunakan unta yang
dilepaskan ke syi’ib.[3] Keprihatinannya berlanjut dengan pembatalan perjanjian boikot
yang dilakukan oleh Hisyam bin Umar, Zuhair bin Adi Umayyah, Mu’tam bin Adi,
Abu Bakhtari, dan Zam’ah. Mereka merobek naskah yang hanya tinggal nama Allah karena habis dimakan rayap.
Melihat tindakan mereka, Abu Jahal tidak berani mempertahankan karena kalau
melawan akan berhadapan dengan lima kabilah besar. Kemudian orang-orang yang diboikot pun kembali ke
Makkah dan hidup bersama
masyarakat Makkah lainnya.[4]
Selesai diboikot, Abu Thalib mengalami
sakit yang berujung wafat. Ali bin Abu Thalib pun menyampaikan dan Sang
Nabi menangis kemudian menyuruh Ali untuk memandikan,
mengafani, dan menguburkannya.[5]
Wafatnya Abu Thalib membuat gembira para musuh Islam. Mereka bersuka cita
karena pelindung Nabi
Muhammad saw yang mereka takuti telah tiada. Mereka semakin keras dan berani menentang Nabi. Lemparan batu,
ungkapan kata-kata kotor yang menghina, bahkan menyebut orang gila kepada
Rasulullah saw semakin
gencar.
Abu
Thalib bin Abdul Muthalib wafat pada usia 84 tahun (lahir tahun 535 dan wafat
tahun 619 Masehi) pada 26 Rajab tahun ke-10 bi’tsah. Dikuburkan dekat makam
Abdul Muthalib, ayahnya, pekuburan Al-Ma’lat di Makkah. Nama Abu Thalib
dianggap bukan nama asli. Disebutkan aslinya bernama Abdu Manaf bin Abdul
Muthalib. Hanya kebiasaan masyarakat Arab menyebut nama seorang kepala rumah
tangga dengan mengambil nama putra pertama. Dketahui Thalib adalah putra
pertama, sehingga melekat panggilan Abu Thalib kepada paman Sang Nabi ini.
Menariknya sosok Abu Thalib ini disebut sebagai orang non Islam yang membela
Nabi Muhammad Saw karena ikatan keluarga dan kabilah. Di negeri Indonesia
mungkin sudah menjadi “kebenaran umum” tanpa riset bahwa paman, kakek, dan
orangtua Rasulullah Saw masuk golongan non Islam. Misalnya R.A.A Wiranata
Koesoema V[6] dan Ajid
Thohir[7]
menyebutkan Abu Thalib tidak memeluk agama Islam dengan tanpa menyebutkan
sumber yang dijadikan rujukannya. Tentu ini harus dibuktikan kebenarannya.
Namun, harus dipahami bahwa sebelum Islam menjadi agama dan risalah terakhir
dari Allah disebutkan Abdul Muthalib dan Abu Thalib sebagai penjaga Ka’bah dan
penganut agama Hanifiyah (yang dahulu disebut agamanya Nabi Ibrahim as). Karena
itu, terdapat ulama dan ahli sejarah yang justru menyebutkan Abu Thalib adalah
mukmin yang tidak menampakkan keimanan karena pertimbangan ikatan kesukuan.
Jika menampakkan maka Abu Thalib akan sama diperlakukan seperti umat Islam
lainnya oleh bangsawan Quraisy. Karena itu, Abu Thalib memperlihatkan
seakan-akan dirinya masih berpegang pada agama kaum Quraisy.[8]
Kemudian dari catatan sejarah dan hadis belum ditemukan bahwa Abu Thalib
menyembah berhala sebagaimana para sahabat di Makkah sebelum masuk agama Islam
pernah menyembah berhala. Abu Thalib
justru menunjukkan pembelaannya kepada
Nabi Muhammad saw sampai wafatnya dan membolehkan anak-anaknya untuk memeluk
agama Islam.[9]
Kemudian surah al-Qashash [28] ayat 56, yang dihubungkan dengan Abu Thalib
ternyata turun di Madinah, sedangkan Abu Thalib hidupnya di Makkah sebelum
hijrah. Ayat tersebut menunjukkan Nabi Muhammad saw tidak dapat memberinya
petunjuk, tetapi hanya Allah yang dapat memberikan petunjuk.[10]
Allamah
Al-Aini dalam Syarh Al-Bukhari menuliskan:“Pernyataan dengan lisan
merupakan syarat berlakunya hukum-hukum. Oleh karena itu, barangsiapa mengakui
kebenaran sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah saw, maka ia adalah seorang
mukmin di hadapan Allah Swt meski ia tidak mengikrarkannya dengan lisannya.”[11]
Kemudian pendapat H.M.H.Al-Hamid Al-Husaini, seorang ulama keturunan Yaman dan
penulis sejarah, menuliskan tentang Abu Thalib sebagai berkut:
Amat sukar dimengerti, bahkan tidak masuk akal pendapat yang memandang
Abu Thalib sebagai orang kafir. Dialah yang bersama istrinya mengasuh dan
membesarkan Rasulullah saw sejak beliau masih berusia delapan tahun. Dialah
yang menikahkan beliau saw dengan Khadijah binti Khuwailid ra. Dialah yang
semenjak bi’tsah [kenabian] dan kerasulan Beliau saw membela dan menjaga
keselamatan beliau dari berbagai ancaman yang dilancarkan oleh kaum musyrikin
Quraisy.
Tepat sekali apa yang pernah
dikatakan seorang ulama bahwa mustahil ada seorang kafir atau musyrik yang mau
membela, melindungi dan menjaga keselamatan seorang Nabi yang menyebarkan agama
yang bertentangan dengan kekufuran dan kesyirikannya sendiri. Tidak mungkin terjadi seorang
penyembah berhala membela, melindungi dan menjaga keselamatan seorang Nabi yang
menyerukan penghancuran berhala.
Jika Abu Thalib seorang ‘kafir’ ia
pasti tidak akan membiarkan istrinya, Fathimah binti Asad dan putra-putranya,
memeluk Islam dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Demikian besar jasa
wanita Muslimah ini sehingga ketika wafat dan hendak dimakamkan, Rasulullah saw
turun ke dalam liang lahad, menyelimutkan burdah yang sedang dipakai ke atas
jenazahnya, lalu berdoa memohonkan rahmat dan kebajikan baginya.
Ada pula pendapat yang mengatakan,
bahwa pembelaan Abu Thalib itu didorong oleh semangat fanatisme kekabilahan
yang sangat kuat di kalangan masyarakat Arab, atau atas dorongan semangat
kekerabatan. Pendapat demikian itu pun sukar sekali dimengerti karena menurut
kenyataan hanya Abu Thalib sajalah satu-satunya putera Abdul Muthalib yang
membela Muhammad Rasulullah saw.
Banyak anak lelaki Abdul Muthalib
(antara lain Abu Lahab), tetapi mengapa selain Abu Thalib tidak ada seorang pun
dari mereka yang mengulurkan tangn pembelaan? Bahkan memusuhi beliau?
Memang benar bahwa Abu Thalib tidak
meng-i’lan- kan (mengumumkan) keimanannya. Itu semata-mata
karena situasi dan kondisi masyarakat Quraisy ketika itu belum memungkinkan
baginya. Pada masa kelahiran Islam, ketika jumlah orang beriman masih dapat
dihitung dengan jari, bukan hanya Abu Thalib saja yang bertaqiyyah (merahasiakan keimanan). Antara lain Zaid bin
Al-Arqam yang menyediakan tempat tinggalnya untuk pertemuan-pertemuan rahasia
kaum beriman.
Bahkan Rasulullah saw sendiri sering bertemu dengan mereka di tempat itu. Lagi pula i’lan bukan persyaratan iman. Iman tidak cukup dengan pernyataan atau i’lan , tetapi menuntut pembuktian amal dan perbuatan nyata. Dalam hal itu Abu Thalib telah membuktikan lebih banyak dari yang lain.[12]
Sumber lain tentang keimanan Abu
Thalib yang berasal dari hadis jalur Keluarga Rasulullah saw atau Ahlulbait. Pertama, Imam
Ali bin Abu Thalib berkata,“Abu Thalib, yaitu Abdu Manaf bin Abdul Muthalib,
adalah seorang Mukmin yang menyembunyikan keimanannya karena kaum Quraisy
mencampakkan Bani Hasyim.”[13] Kedua, Imam
'Ali as berkata: “Abu Thalib tidak wafat hingga Rasulullah saw sendiri
memberi ridha terhadapnya.”[14] Ketiga, Abu
Bashir berkata kepada Imam Baqir as bahwa banyak orang yang menyatakan bahwa
Abu Thalib berada di api neraka hingga otaknya menjadi mendidih karenanya. Maka
Imam Baqir as berkata: “Demi Allah, mereka berdusta! Sesungguhnya keimanan
Abu Thalib seandainya diletakkan di satu piringan neraca dan keimanan makhluk
ini diletakkan di piringan neraca satunya lagi, sungguh keimanan Abu Thalib lebih
berat dari keimanan mereka.”[15]
Secara historis belum ditemukan fakta yang menyebutkan Abu Thalib ikrar syahadah. Saat wafatnya dikabarkan Abbas
bin Abdul Muthalib menyampaikan kepada Nabi bahwa ia menyatakan ikrar sebelum
wafat dalam keadaan pelan yang didengarnya melalui bisikan. Konteks syiar Islam
di Makkah bahwa syahadah belum
disebut ketentuan rukun Islam karena lahirnya hadis yang menyebutkan arkanul Islam saat di Madinah. Karena
itu, keimanan dan keislaman seseorang tidak ditentukan dengan ikrar syadadah, tetapi dengan bukti pembelaannya terhadap Islam dan Rasulullah saw. Kalau sekadar
mengucapkan syahadah, tampaknya orang
non-Islam pun bisa melakukannya dengan tetap menjalankan
agama nenek moyangnya. Kalau demikian maka ikrar sekadar ucapan yang tidak menjadi
bukti seseorang disebut beriman.
Dari perilakunya membela Nabi Muhammad Saw, meski dikarena faktor ikatan keluarga maka bisa dianggap bahwa Abu Thalib dan Abdul Muthalib adalah mukmin. Hal ini sesuai hadis bahwa orang yang mencintai Nabi nanti di akhirat akan digabungkan di surga[16]dan orang-orang yang masuk surga adalah mukmin dan mukminat. Bahkan, dalam buku-buku sejarah belum ada sumber yang membuktikan Abu Thalib seorang kafir atau penyembah berhala. Justru keluarga Abdul Muthalib yang silsilahnya bersambung kepada Nabi Ismail as dikenal sebagai pemeluk ajaran hanif, agama yang berasal dari Nabi Ibrahim as. *** (ahmad sahidin)
[1] Jafar Subhani, Sejarah Nabi Muhammad saw (Jakarta:
Lentera, 2006) h.228. Ali Syariati, Fatimah: The Greatest Woman in Islamic History (Jakarta: Tahira,
2008) h.190.
[2] H.M.H.Al-Hamid
Al-Husaini, Membangun Peradaban Sejarah Muhammad saw (Bandung: Pustaka
Hidayah, 2000) h. 308-313.
[3] Saya tidak
menemukan data yang menyebutkan orang-orang Islam dari kabilah lain memberikan
bantuan. Bukankah orang-orang yang memeluk Islam di Makkah tidak
semua dari kabilah yang diboikot dan bebas dari penderitaan? Ke mana mereka?
[4] Jafar Subhani, Sejarah Nabi Muhammad saw (Jakarta:
Lentera, 2006) h.230-231.
[5] Allamah Ahmad
bin Zaini Dahlan, Benarkah Abu Thalib
seorang Mukmin? Tinjauan Quran dan Hadis (Bandung: Hasyimi, 2006) h.108.
[6] R.A.A Wiranata Koesoema, Riwajat
Kangdjeng Nabi Moehammad saw, halaman
69-70.
[7] Ajid Thohir, Sirah Nabawiyah: Nabi
Muhammad Saw dalam Kajian Ilmu Sosial Humaniora, halaman 114.
[8] Allamah Ahmad
bin Zaini Dahlan, Benarkah Abu Thalib seorang Mukmin? Tinjauan Al-Quran dan
Hadis (Bandung: Hasyim, 2006) halaman 20-21.
[9] Riwayat ini
disebutkan oleh Ibnu Said dari Abdullah bin Tsa’lab bin Shagir Al-Adzri.
Kemudian dari Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah dengan rawi dari Ali dan Imran
Hushain. Lihat Allamah Ahmad bin Zaini Dahlan, Benarkah Abu Thalib seorang
Mukmin? Tinjauan Al-Quran dan Hadis (Bandung: Hasyim, 2006).
[10] Allamah Ahmad
bin Zaini Dahlan, Benarkah Abu Thalib seorang Mukmin? Tinjauan Al-Quran dan
Hadis (Bandung: Hasyim, 2006) halaman 181; Abdullah al-Khanizi, Abu
Thalib: Mukmin Quraisy (Jakarta: Lentera, 2008) halaman 271-296 menguraikan sanad dan rawi
dari hadis-hadis yang dijadikan acuan asbabun nuzul surah al-Qashash
ayat 56.
[11] Allamah Ahmad
bin Zaini Dahlan, Benarkah Abu Thalib seorang Mukmin? Tinjauan Al-Quran dan
Hadis, halaman 23.
[12] H.M.H.Al-Hamid Al-Husaini, Membangun Peradaban: Sejarah Muhammad saw Sejak Sebelum Diutus
Menjadi Nabi (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000) halaman 319-320.
[13] Allamah Amini,Kitab Al-Ghadir fi
al-kitab wa al-sunnah wa al-adab (Beirut: Darul
Kitab Al-Arabi), jilid 7 halaman 388.
[14] Allamah Amini, Kitab Al-Ghadir fi
al-kitab wa al-sunnah wa al-adab, 7/388.
[15] Allamah Amini,Kitab Al-Ghadir fi
al-kitab wa al-sunnah wa al-adab, 7/380 dan
390; Syarh Nahjul Balaghah, Ibnu Abil Hadid 14/68; Kanzul Fawaid 1/80; Mustadrak
al-Bihar 6/447.
[16] Jalaluddin
Rakhmat, The Road to Muhammad (Bandung:
Mizan, 2009) h.261-262.