Selasa, 01 Maret 2022

Tempat Tinggal Saya Diskotik

TEMPAT tinggal saya diskotik alias di sisi kota saeutik. Ya, Kampung Curugdogdog di Kabupaten Bandung. Kawasan tempat tinggal saya asalnya pesawahan dan empang (balong). Kini, balong dan sawah sudah berubah menjadi kompleks perumahan. Beberapa parit airnya kini berwarna hitam. Sungai yang lebarnya sekira tiga meter juga alirannya tersendat karena sejumlah sampah bertumpuk dan airnya berwarna: hijau, coklat, dan hitam.

Kalau turun hujan besar airnya naik dan menggenangi ‘peupeulakan’ kangkung. Seusai hujan, warga sekitar rumah biasanya ramai-ramai membawa pancingan. Mereka nongkrong dipinggiran sungai dengan pancingnya. Sekira lima sampai tujuh ekor lele atau emas biasanya mereka dapatkan. Mungkin karena hujan empang pemancingan yang dekat dengan sungai menjadi meluap kemudian mengalir ke sungai.

Masih sekitar tempat tinggal. Sekarang cerita di rumah. Lima hari lalu saya terhenyak kaget. Saya tidak menyangka hampir semua sudut rumah ada semut merah. Mereka merayap ke atas langit-langit. Semut merayap antre kea rah atas dan saling bertemu dengan semut yang menuju ke bawah. Selain yang berukuran kecil, terdapat semut merah yang sedikit besar dan gendut serta juga ada yang bersayap. Semut yang merayap itu kalau diperhatikan ternyata membawa makanan. Ada yang membawanya secara bersamaan dan juga yang sendirian. Makanan berukuran besar yang dibawa secara bersamaan.

Saya telusuri pangkalnya: tidak dari luar, tetapi dari lubang-lubang kecil tembok. Di kamar mandi pun begitu. Semut merayap di dinding. Sialnya, ketika membuang hajat sang semut tidak merasa bau malah merayap pada badan. Aneh, kenapa semut merah masuk rumah? Biasanya semut hitam yang ada di rumah-rumah. Kini, semut merah yang gigitannya membuat kulit bentol-bentol merah. Pernah saya coba basmi dengan kapur antisemut dan kecoa. Memang menghilang, tetapi selang satu jam muncul lagi. Menggigit lagi.

Kalau diamati, semut merah biasanya menggigit kalau diganggu sarangnya. Semut merah jarang bersarang di rumah atau tembok yang berpenghuni. Kalau pun di sekitar rumah, mereka biasanya berdiam dalam pot bunga yang tidak dipelihara atau halaman rumah. Akan tetapi, kini masuk rumah. Kehadirannya mengganggu dan tidak sedap dipandang mata. Memang, semut termasuk makhluk Tuhan. Seorang sufi—dahulu kala—pernah dikisahkan bermimpi seorang kawan (yang juga sufi) dianugerahi masuk surga bukan karena ibadahnya yang lama dan banyak, tetapi karena menyelamatkan semut yang hampir mati tenggelam.

Hmmm… Saya tidak tahu harus bagaimana memperlakukan mereka? Kalau dibasmi dengan kopi biasanya hanya beberapa hari hilangnya. Selang sehari muncul lagi.

Ah, semut… semut. Andai kalian dapat bicara dengan bahasa manusia pasti saya tanya mengapa kalian berpindah sarang di rumah. Dahulu, dalam Quran, dikisahkan bahwa Nabi Sulaiman as dapat berbicara dengan semut sehingga kekhawatiran diinjak pasukan prajurit Kerajaan Sulaiman dapat tersampaikan dan para semut aman. Kalau sekarang ini, tidak ada orang yang bisa berkomunikasi dengan semut.

Memang ada tanda yang dapat dipahami manusia: kalau diganggu mereka menyerang dengan gigitan. Namun, kalau mereka yang masuk dan mengambil tempat di rumah, bahkan sampai di kamar dan berbagai ruang; saya kira harus dikaji: apakah ada fenomena alam yang menunjukkan binatang sudah tidak memiliki lahan atau tempat bermukim karena sawah, kebun, dan pohon-pohon besar di perkotaan mulai hilang berganti perumahan dan pertokoan.

Tos heula ah. Cekap sakitu. Nanti disambung lagi kalau sudah punya bahan untuk dituliskan. Semoga saja ada manfaatnya. Hatur nuhun. ***