TEMPAT tinggal saya diskotik alias di sisi kota saeutik. Ya, Kampung Curugdogdog di Kabupaten Bandung. Kawasan tempat tinggal saya asalnya pesawahan dan empang (balong). Kini, balong dan sawah sudah berubah menjadi kompleks perumahan. Beberapa parit airnya kini berwarna hitam. Sungai yang lebarnya sekira tiga meter juga alirannya tersendat karena sejumlah sampah bertumpuk dan airnya berwarna: hijau, coklat, dan hitam.
Kalau turun hujan besar airnya naik dan menggenangi
‘peupeulakan’ kangkung. Seusai hujan, warga sekitar rumah biasanya ramai-ramai
membawa pancingan. Mereka nongkrong dipinggiran sungai dengan pancingnya.
Sekira lima sampai tujuh ekor lele atau emas biasanya mereka dapatkan. Mungkin
karena hujan empang pemancingan yang dekat dengan sungai menjadi meluap
kemudian mengalir ke sungai.
Masih sekitar tempat tinggal. Sekarang cerita di rumah. Lima hari lalu saya terhenyak kaget. Saya tidak
menyangka hampir semua sudut rumah ada semut merah. Mereka merayap ke atas
langit-langit. Semut merayap antre kea rah atas dan saling bertemu dengan semut
yang menuju ke bawah. Selain yang berukuran kecil, terdapat semut merah yang
sedikit besar dan gendut serta juga ada yang bersayap. Semut yang merayap itu
kalau diperhatikan ternyata membawa makanan. Ada yang membawanya secara
bersamaan dan juga yang sendirian. Makanan berukuran besar yang dibawa secara bersamaan.
Saya telusuri pangkalnya: tidak dari luar, tetapi dari
lubang-lubang kecil tembok. Di kamar mandi pun begitu. Semut merayap di
dinding. Sialnya, ketika membuang hajat sang semut tidak merasa bau malah
merayap pada badan. Aneh, kenapa semut merah masuk rumah? Biasanya semut hitam
yang ada di rumah-rumah. Kini, semut merah yang gigitannya membuat kulit
bentol-bentol merah. Pernah saya coba basmi dengan kapur antisemut dan kecoa.
Memang menghilang, tetapi selang satu jam muncul lagi. Menggigit lagi.
Kalau diamati, semut merah biasanya menggigit kalau diganggu
sarangnya. Semut merah jarang bersarang di rumah atau tembok yang berpenghuni. Kalau
pun di sekitar rumah, mereka biasanya berdiam dalam pot bunga yang tidak
dipelihara atau halaman rumah. Akan tetapi, kini masuk rumah. Kehadirannya
mengganggu dan tidak sedap dipandang mata. Memang, semut termasuk makhluk
Tuhan. Seorang sufi—dahulu kala—pernah dikisahkan bermimpi seorang kawan (yang
juga sufi) dianugerahi masuk surga bukan karena ibadahnya yang lama dan banyak,
tetapi karena menyelamatkan semut yang hampir mati tenggelam.
Hmmm… Saya tidak tahu harus bagaimana memperlakukan mereka?
Kalau dibasmi dengan kopi biasanya hanya beberapa hari hilangnya. Selang sehari
muncul lagi.
Ah, semut… semut. Andai kalian dapat bicara dengan bahasa
manusia pasti saya tanya mengapa kalian berpindah sarang di rumah. Dahulu,
dalam Quran, dikisahkan bahwa Nabi Sulaiman as dapat berbicara dengan semut
sehingga kekhawatiran diinjak pasukan prajurit Kerajaan Sulaiman dapat tersampaikan
dan para semut aman. Kalau sekarang ini, tidak ada orang yang bisa
berkomunikasi dengan semut.
Memang ada tanda yang dapat dipahami manusia: kalau diganggu mereka menyerang dengan gigitan. Namun, kalau mereka yang masuk dan mengambil tempat di rumah, bahkan sampai di kamar dan berbagai ruang; saya kira harus dikaji: apakah ada fenomena alam yang menunjukkan binatang sudah tidak memiliki lahan atau tempat bermukim karena sawah, kebun, dan pohon-pohon besar di perkotaan mulai hilang berganti perumahan dan pertokoan.
Tos heula ah. Cekap sakitu. Nanti disambung lagi kalau sudah punya bahan untuk dituliskan. Semoga saja ada manfaatnya. Hatur nuhun. ***