Tiga di antara banyak tokoh musyrik Quraisy yang menentang Nabi Muhammad adalah Abu Jahal bin Hisyam, Abu Sufyan bin Harb, dan Al-Akhnas bin Syariq. Ketiganya menyampaikan Muhammad seorang penyihir dengan kata-kata wahyu (Al-Quran) yang menyebabkan orang-orang Makkah tertarik. Suatu hari ketiganya pernah menyelinap ke pinggir rumah Nabi Muhammad Saw untuk mendengarkan yang dibaca malam hari.
Ketiganya datang sendiri-sendiri. Tidak saling tahu kalau ada orang lain mencuri dengar bacaan Al-Quran yang dibacakan Nabi Muhammad Saw. Ketika tiba di sekitaran rumah Nabi, mereka mengambil tempat duduknya masing-masing tanpa saling tahu. Mereka mendengarkan yang dibacakan Nabi Muhammad. Mereka pulang ketika fajar dan di tengah jalan, ketiganya saling bertemu di salah satu jalan. Mereka saling menyalahkan. Mereka berjanji untuk tidak datang lagi.
"Jangan
ulangi perbuatan kalian ini, sebab jika kalian dilihat sebagian orang-orang
yang tidak waras di antara kalian, pasti kalian meninggalkan sesuatu pada
dirinya," kata salah satu dari mereka.
Keesokan
malam hari, ketiganya datang lagi ke pinggir rumah Nabi Muhammad Saw. Saat pulang,
mereka saling ketemu lagi dan saling berjanji untuk mengulangi curi dengar
bacaan Al-Quran oleh Nabi Muhammad Saw. Meski berjanji ternyata mereka kembali menyelinap
ke rumah Nabi Muhammad Saw seakan-akan ketagihan dengan bacaan Al-Quran. Kejadian
lagi Ketiganya bertemu di jalan yang sama dan saling menyalahkan. Akhirnya
ketiga tokoh musyrik Quraisy Makkah ini menyadari bahwa Al-Quran punya daya
tarik (memikat) dari kalimat dan kata maupun isinya (ayat Al-Quran). Karena itu, mereka sebut Al-Quran sebagai kata-kata yang menyihir. Dari ayat-ayat Al-Quran yang diperdengarkan itu ada orang-orang Makkah yang berpindah keyakinan dari agama lama ke agama Islam. Misalnya Umar bin Khaththab dan Raja Najasyi di Etopia pun mengakui kandungan surah Maryam yang dibacakan oleh Jafar bin Abu Thalib bukan karya manusia.
Peristiwa tersebut
tercantum pada kitab Sirah ibnu Hisyam
dan Muhammad Husain Haekal pun mencantumkannya pada buku Hayatu Muhammad. Dari peristiwa tersebut benar-benar menegaskan Alquran
sebagai kitab suci, yang kalau dipahami dari bahasa dan kandungan isinya akan
membuat pembacanya mendapatkan pencerahan berupa pelajaran dan nilai-nilai yang
bermanfaat bagi kehidupan umat manusia. *** (Ahmad Sahidin)