Selasa, 22 Maret 2022

Novel Sirah Nabawiyah: Telaah terhadap karya Idrush Shahab dan Tasaro GK (1)

NABI Muhammad saw merupakan teladan sepanjang masa. Jejak langkah dan aktivitasnya menjadi panutan yang tidak habis digali. Hampir dalam setiap aspek, kaum Muslim merujuk kepada Muhammad saw. Perilakunya menjadi sunnah dan ucapannya menjadi hadits. Dari hadits dan sunnah itu kemudian tersusun sebuah biografi yang ditulis dengan runut; dari lahir hingga wafat, dari buaian hingga remaja, dari menikah sampai beranak cucu, dari berdagang hingga memimpin negara, dan dari awal turun wahyu hingga berakhir wahyu. Semuanya dituangkan dalam sebuah kitab yang disebut Sirah Nabawiyah. 

Semua sejarawan Muslim sepakat bahwa Sirah Nabawiyah yang kali pertama muncul karya Ibnu Ishaq. Sayangnya karya Ibnu Ishaq tidak selesai karena keburu wafat sehingga muridnya, Ibnu Hisyam yang melanjutkan sekaligus memberikan sedikit perbaikan yang dikenal dengan judul Sirah Ibn Hisyam. 

Dari karya Ibnu Hisyam (wafat 218 H.) inilah para sejarawan, baik terdahulu maupun sekarang, merujuk dan mengambil serpihan-serpihan sejarah periode awal Islam kemudian merekonstruksi sejarah Islam sesuai dengan versinya masing-masing. Bahkan, para sastrawan pun terinspirasi menulis sosok Muhammad saw. Sebut saja Salman Rushdi, Naguib Mahfudz, Abdurrahman Asy-Syarqawi, Idrus Shahab, dan Tasaro GK. Tiga nama terakhir inilah yang menjadi bahasan tulisan ini. 

Idrus Shahab

Idrus Shahab adalah lelaki kelahiran Gresik, Jawa Timur. Idrus menulis novel berjudul Sesungguhnya Dialah Muhammad (Penerbit Pustaka Hidayah), yang menceritakan tokoh Hadi yang berkunjung kepada kawannya di India kemudian dipertemukan dengan guru di Pesantren Miftahul Ulum, desa Raybarelly. Pertemuan dengan Syaikh Jamaluddin Rampoori sangat berkesan bagi Hadi sehingga berniat untuk menimba ilmu. 

Idrus menggunakan tokoh Syaikh Jamaluddin Rampoori menyampaikan keluhuran akhlak dan syiar dakwah Rasulullah. Paparannya disajikan dalam bentuk obrolan sehingga tema-tema yang dibahas menjadi terasa dekat dengan keseharian, khususnya dalam meneladani akhlak Muhammad saw. 

Pada novel ini, Idrus tidak menyajikan kisah hidup Muhammad saw yang berurutan dari mulai lahir hingga wafat, tetapi sekadar menggunakan bahasa novel (fiksi) untuk menyampaikan keluhuran akhlak dan keagungan sosok Muhammad saw. Karena itu, pilihan tema-tema seperti kebersihan, kesabaran, ketabahan, rendah hati, sopan santun, keberanian, heroik, keadilan, kebenaran, pemaaf, peduli sesama, cinta persaudaraan, dan ibadahnya menjadi penguat jalinan cerita novel ini. Namun—ini mungkin kecerdasan—Idrus tidak menggunakan sosok Muhammad sebagai tokoh dalam novel. 

Bahkan, ia tidak menggunakan seting waktu (kondisi zaman) dan alur perjalanan hidup Muhammad saw sehingga terhindar dari kontroversi yang pernah dilakukan novelis Salman Rushdi dan Abdurrahman Syarqawi.

Meski secara alur dan karakter tokoh kurang menarik, novel yang diterbitkan Pustaka Hidayah ini termasuk bestseller hingga lebih lima kali cetak. (bersambung) 

Ahmad Sahidin, pembaca buku