Sabtu, 12 Maret 2022

Hasan Mustapa: Sasaka Dikaislaman

Urang Sunda yang pernah mengenyam pendidikan sejarah pasti mengenal sosok Hasan Mustapa. Saya termasuk yang telat dalam mengenalnya. Saya baru tahu bahwa Hasan Mustapa serupakan ulama Sunda yang kreatif dalam berkarya sastra Islam dan memiliki pemikiran sufisme saat belajar di UIN Bandung. 

Hampir setiap hari saya lewat Jalan Penghulu Haji Hasan Mustapa (PHH Mustapa) kalau hendak ke Kampus UIN Bandung. Tidak pernah terlintas untuk mengenali nama yang diabadikan menjadi jalan itu. Awalnya saya hanya menduga PHH Mustapa itu seorang pahlawan dari Bandung. Ternyata, bukan. Saya baru tahu sosok PHH Mustafa dari guru saya: Kang Gibson (Ahmad Gibson Al-Busthami), yang secara khusus mengaji pemikiran Mustapa sampai dijadikan bahan tesis master. 

Salah satu pemikiran Mustapa tentang agama terdapat dalam naskah Gelaran Sasaka Di Kaislaman. Naskah ini merupakan risalah tujuh tahapan dalam beragama Islam agar menjadi Muslim sejati. 

Marilah ikuti pemaparan singkat dari Ahmad Gibson Al-Busthami berkaitan dengan Sasaka Di Kaisalaman: 

“Tahap pertama (Islam) adalah tahapan pemahaman yang berpijak pada sistem budaya (keyakinan) massa. Mereka yang berada dalam tahap ini, biasanya dalam beragamanya masih berpijak pada pemikiran bahwa dengan beragama (masuk Islam) ia akan dianggap sebagai seorang yang taat pada nasihat orang tua dan dianggap orang baik serta bisa diakui sebagai bagian dari masyarakat. Mereka mengimani Allah bukan karena yakin akan kebenaran adanya, tapi karena ada ada ceritanya; Iman kepada Malaikat dan Rasul, karena ada Al-Quran yang kata para Kyai dibawa oleh para Malaikat disampaikan pada Rasul; iman kepada Hari Akhirat, sebab ada ceritanya; dan iman kepada qadha dan qadar yang baik dan buruk, sebab itu semua dari Allah.  

“Tahap kedua (Iman) adalah mulai adanya kesadaran terhadap agama itu yang ditandai dengan pertimbangan-pertimbangan rasional terhadap apa yang diyakininya. Namun masih berpijak pada argumen-argumen umum dengan dugaan-dugaan yang bersifat positif. Seorang Muslim yang memasuki tahap ini biasanya menggunakan argumen rasional ketika membuktikan adanya Allah maupun doktrin yang dianutnya. Misalnya, menyatakan bahwa alam semesta diciptakan oleh Allah dan adanya alam semesta ini menjadi bukti adanya Allah; sebab tidak mungkin alam semesta terjadi dengan sendirinya. 

“Tahap ketiga (Ihsan) adalah fase yang polanya sama dengan tahap Iman. Hanya pada tahap Ihsan ini seorang Muslim sudah mulai berupaya untuk meningkatkan apa yang telah dicapainya; dengan harapan akan menemukan bukti-bukti dari apa yang diyakininya itu. Misalnya berkata, bila tidak ditemukan di dunia berharap bisa ditemukan di akhirat; tidak mungkin bila ada sebab tanpa dengan maujudnya dan tidak mungkin tanpa dengan kekuasaan Allah. Dari pemahaman tersebut muncul suatu kesadaran lebih tinggi lagi, ia merasa berdosa (salah) bila tidak melakukan ibadah, yang merupakan perwujudan rasa syukur kepada Allah yang menjadi sebab ia ada. Mengenai ini Hasan Mustapa menuturkan, “Iraha timbulna suung, lamun taya musim ngijih; Iraha gumelar supa, lamun taya catang kai; Iraha nelah kaula, lamun taya bibit Gusti (Kapan tumbuhnya jamur, kalau tidak ada musim hujan; Kapan tumbuhnya jamur kayu, bila tidak ada kayu yang membusuk; Kapan menyebut aku, kalau tidak ada Tuhan sebagai sebab). 

“Tahap keempat, kelima, keenam, dan ketujuh: Sahadah, Sidiqiyah, dan Kurbah. Dari tahap Sahadah sampai Kurbah, argumen-argumen yang digunakannya berdasarkan pada pengalaman kegamaan yang sifatnya tersendiri (religious experiences); yang muncul dari kesadaran bahwa Allah sebagai sesuatu yang bersifat batin; Allah hanya bisa didekati dengan rasa (ngarasa, ngalaman) bukan dengan pengamatan inderawi dan rasio. Seorang Muslim yang berada dalam tahapan-tahapan ini memunculkan alasan keberagamaannya dengan budi, rasa, dan keyakinan.  Bagi orang seperti ini: ada dan tidaknya Allah, dan benar atau salahnya agama bukan didasarkan pengamatan inderawi dan rasio (akal), tetapi dirasakan (yakin) oleh dirinya sendiri.” 

Sebagai tambahan informasi, istilah-istilah dalam “Gelaran Sasaka Di Kaislaman” maknanya tidak merujuk pada arti leksikal (terminologis) tapi disesuaikan dengan perilaku keagamaan masyarakat Sunda. Lihat artikel “Pengantar Sasaka Di Kaislaman” dan “Corak Pemikiran dan Metode Kalam H.Hasan Mustapa” dalam situs http://hhmsociety.multiply.com  dan  http://hhm.situsgd.web.id. ***

 (AHMAD SAHIDIN, alumni jurusan Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung)