Surat dari Pembaca Buku Aliran – aliran Dalam Islam (1)
Berikut ini ada yang kirim e-mail dengan nama Gunawan yang mencoba mendiskusikan buku “Aliran-Aliran Dalam Islam” (Penerbit Salamadani, 2009) sekaligus mempertanyakan soal Islam mazhab Syiah. Tanggapan yang disajikan saya perbarui kembali karena berceceran dan tidak berurutan ketika berdialog via e-mail. Mudah-mudahan bermanfaat dan semakin membuka wawasan keislaman yang lebih luas.
PERTANYAAAN:
Assalamualaikum Wr. Wb,
SAYA adalah salah satu pembaca tulisan Anda yang tertuang di buku GUIDE (Gudang
Ide) yang edisi "Aliran-Aliran Dalam Islam". Semula saya membacanya
dengan 'khusuk' setelah itu saya lihat rujukan dari sumber bacaan Anda. Saya
amati dan saya cari tahu tentang sumber rujukan Anda. Saya agak sedikit
terperangah ketika saya dapati bahwa rujukan-rujukan ada tersebut adalah
kebanyakan berkiblat pada buku-buku aliran Islam Syiah. Dalam rujukan tersebut
ada pula 'dedengkot syiah'. Saya ingin bertanya kepada Anda; apakah aliran Anda
saat ini ketika menulis buku tersebut?
Terimakasih,
Gunawan
JAWABAN:
Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.
Terima kasih telah membaca buku saya. Saya yakin bahwa Islam itu tidak
bermazhab. Yang bermazhab/aliran itu kaum Muslim. Setiap orang berhak untuk
menganut mazhab apa pun yang diyakininya sepanjang itu benar dan bermanfaat
untuknya, kaum Muslim, dan kemanusiaan.
Saya berupaya menyatukan Sunni-Syiah sehingga
dalam buku itu saya ambil rujukan dari keduanya. Sudah terlalu kuno kalau kaum
Muslim sekarang masih mempertentangkan mazhab. Yang harus dipersoalkan adalah
seberapa besar kontribusinya bagi umat Islam dan umat manusia di dunia.
Bukankah Rasulullah saw lahir ke dunia untuk menyebarkan kedamaian,
keselamatan, dan kesejahteraan. Kalau Anda baca bagian penutup buku tersebut
akan terlihat betapa saya cinta ukhuwah.
Salam ukhuwah, Bang Gunawan.
Insya Allah saya masih seorang Muslim
Bandung, 9 Agustus 2010
Surat
dari Pembaca Buku Aliran – aliran Dalam
Islam (2)
TANGGAPAN BALIK
TERIMAKASIH telah menjawab pertanyaan
saya. Untuk menyatukan Suni - Syiah saya kira bagai mimpi disiang bolong,
jelas-jelas di dalam teologi Syiah TIDAK meyakini Al-Quran yang 30 Juz, mereka
mengkafirkan sahabat Rosul kecuali Ali, bahkan Ali sendiri diTuhankan oleh
mereka. Kaum Syiah menghalalkan kawin kontrak, mereka mewajibkan
takiyah/kemunafikan, dan tidak percaya adanya ahli-ahli hadist seperti Muslim
dan Bukhari. Sedangkan Suni adalah kebalikan dari mereka. Apakah bisa
dipersatukan? Mungkin bisa bagi kaum Syiah (dengan cara takiyah/munafik),
dibibir bilang iya dihati bilang tidak.
Iran adalah penganut Syiah dan di Iran tidak ada masjid-masjid kaum Suni; yang
ada adalah tempat ibadah-ibadah Yahudi yang bergandengan dengan mesra di sana.
Ulama Suni dibredeli, diburu, dan dibunuh.
Memang Islam tidak mengenal mahzab, cuma ada satu mahzab, yaitu mentauhidkan
Allah, meyakini Muhammad adalah nabi terakhir serta Al-Qur'an adalah wahyu
Allah untuk Muhammad melalui Jibril. Pasca Nabi Muhammad wafat, mulailah banyak
aliran-aliran yang ngaco, terlebih saat ini. Ada Ahmadiyah, JIL, LDII dan masih
banyak lagi.
Saya kira bukanlah hal yang
berlebihan kalau saat ini saya dan kaum muslim yang lain waspada dengan adanya
ajaran-ajaran yang mereka buat. Mengaku Islam, tetapi esensinya malah keluar
dari Islam. Apakah hal yang kampungan seperti itu? Tidak kan? Justru kalau saya
menganggap Ahmadiyah dan JIL itu ISLAM saya sudah mengkafirkan diri saya
sendiri.
Mudah-mudahan kita selalu diberi petunjuk oleh Allah dalam setiap langkah.
Amiin ^_^
KOMENTAR:
SALAM. Terima kasih Bang Gunawan atas
pencerahannya. Bang Gunawan, saya belum dapat berita perihal itu, selain dari
Anda. Justru saya kagum pada Iran yang berani menentang Amerika dan Israel ketimbang
negeri-negeri Arab yang malah membantu/mendukung Israel atau Amerika dengan membiarkan warga Muslim
Palestina dan Lebanon dikejar-kejar dan diusir dari negerinya.
Bang Gunawan, saya
belum bertandang ke Iran. Namun, dalam buku “Pelangi Di Persia” disebutkan
bahwa Muslim Sunni Iran tinggal di provinsi Shiraz dan Sanandaj. Mereka
mayoritas di sana dan punya masjid-masjid yang besar. Pada dua provinsi itu
sering terjadi Muslim Sunni melakukan pernikahan dengan Muslim Syiah.
Coba baca buku “Pelangi
Di Persia” karya Dina Y Sulaeman, warga Indonesia yang menjadi wartawan dan
pernah tinggal cukup lama di Iran, diterbitkan PT.IIMaN, 2007. hal.137-154 dan
226.
Setahu saya dan Alhamdulillah saya punya
tafsir Mizan karya Thabathabai, ulama Syiah. Di dalam tafsir itu yang digunakan
adalah Quran yang 30 Juz versi Mushaf Utsmani. Kalau Anda tidak percaya silakan
tanya Ustadz Nabhan Husen dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, ia mengakui
kalau Quran yang digunakan Muslim Syiah itu sama dengan kita. Anda mungkin
mendengar dari kawan-kawan yang benci Syiah bahwa Syiah memiliki Quran sendiri
disebut Mushaf Fatimah atau Imam. Itu bukan Quran, itu hanya kumpulan hadits
yang diterima Fatimah Azzahra. Coba Anda dengarkan tilawah murotal Thabathabai,
doktor cilik dari Iran yang hafidz Quran dan mampu menjelaskan kandungan
ayat-ayat Quran, kini sudah beredar CD dan bukunya yang diterbitkan PT Hikmah.
Ayat Quran yang dibacanya persis sama dengan Quran yang Anda dan saya pakai.
Kalau bilang bahwa Muslim Syiah mengkafirkan
sahabat Rosul, saya belum dapat bukti perihal itu. Kalau ada buktinya, silakan
kemukakan kalau benar kaum Muslim Syiah benci Ahlu Sunnah. Malahan saya sering
dengar sebaliknya dari kawan-kawan Sunni firqah Wahabi.
Soal nikah kontrak. Dalam Syiah itu ada dua
nikah: nikah permanen (dawam) dan nikah temporer berdasarkan waktu. Nah yang
temporer atau mut`ah itu dasarnya jelas dalam Al-Quran surah Annisa ayat 24 dan
Rasul membolehkannya. Setahu saya nikah ini kemudian diharamkan oleh Umar bin
Khathathab yang dalam fatwanya mengatakan bahwa ada dua mut’ah yang dulu
halal sekarang diharamkan, yaitu nikah dan haji. Mungkin karena posisi Umar
menjadi penguasa jadi bisa membuat kebijakan baru atau semacam bid’ah dengan
mengharamkan yang jelas-jelas halal secara nash.
Menurut beberapa alumni mahasiswa yang pernah
belajar di Iran bahwa di Iran sendiri praktik mut’ah cukup sulit karena
harus membayar mahar yang jumlahnya besar. Kalau tidak salah mahar ditentukan
pemerintah sekitar 12-14 koin emas. Satu koinnya seharga kira-kira Rp1,5 jutaan.
Kalau 12 koin, pasti di atas 12 juta. Mungkin hanya mereka yang mampu secara
finansial saja yang dapat melakukannya. Bahkan dalam mut’ah sendiri terdapat
rukun-rukunnya (yang kalau tidak salah) sedikit berbeda dengan yang nikah dawam.
Pelaku nikah mut`ah di Indonesia lebih banyak dilakukan oleh orang-orang
Arab (mungkin bermazhab Sunni firqah Wahabi) khususnya di Cisarua, Bogor, dan
Puncak. Anda coba main ke sana, main ke Kampung Arab.
Saya jadi teringat pada almarhum O.Hashem
dalam sebuah bukunya mengatakan bahwa banyak kaum Wahabi dari Timur Tengah yang
kawin di Indonesia untuk satu bulan dan ada yang sampai tiga tahun. Ia juga
bercerita tentang kawannya yang keturunan Arab diberi uang lima juta rupiah
oleh seorang Timur Tengah agar dikawinkan mut'ah ala Wahabi. Dia mencari
seorang pelacur dan menasihatinya agar tidak menceritakan profesinya pada
suaminya. Setelah beberapa bulan dia
tinggalkan pelacur tersebut. Ia datang kembali dan orang itu menyuguhkan
pelacur yang lain untuk dikawinkontrakkan kepadanya selama tiga bulan.
Mungkin sudah rahasia lagi kalau
saudari-saudari kita yang TKW di Arab banyak diperkosa; mungkin dalihnya bisa
“nikah kontrak” karena dibayar untuk kerja atau mungkin dianggap budak sehingga
dengan sewenang dapat disetubuhi dan lainnya.
Soal taqiyah, saya kira bukan kemunafikan.
Almarhum O. Hashem menjelaskan bahwa taqiyah adalah suatu permissibility,
suatu kebolehan dalam Islam berdasarkan nash. Seorang Muslim yang lemah
dan tertindas boleh menyangkal keimanannya jika nyawanya terancam seperti yang
dialami oleh Ammar bin Yasir. Ammar bin Yassir oleh Rasulullah saw
diperintahkan untuk menyembunyikan imannya ketika dicambuk dan dihajar oleh
Kafir Quraisy. Selain kasus Ammar, juga ada seorang anggota keluarga Fir'aun
yang menyembunyikan imannya. Silakan buka Al-Quran surah Al-Mukmin ayat 28 atau
ayat “Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat
kemurkaan Allah) kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap beriman
(Dia tidak berdosa)” (QS an-Nahl [16] : 106).
Pada buku saya yang Anda baca, khususnya
bagian Syiah telah dijelaskan cukup gamlang. Silakan baca lagi.
Bukhari dan Muslim kini oleh beberapa ahli
hadis seperti Muhammad Al-Gazali dari Mesir, Fazlurrahman (1919-1988 M), Abu
Hasan al-Daruquthni (306-385 H), al-Sarkhasi (w 493 H/1098 M), Muhammad Abduh
(1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridla (1865-1935 M), dan Ahmad Amin (w 1373
H/1945 M), menyatakan bahwa hadits-hadits yang dikumpulkan Bukhari dinilai
tidak semuanya sahih.
Bahkan Prof.Muhibbin dari IAIN Wali Songo meneliti
dan telah menulis disertasi yang menyebutkan bahwa terdapat hadits lemah,
bahkan dhoif dari kitab hadits bukhari.
Dalam wawancaranya dengan koran Republika,
Muhibbin menjelaskan bahwa tidak semua hadits yang terdapat dalam kitab Bukhari
masuk dalam kategori sahih. Terdapat beberapa hadis palsu dan lemah (dlaif).
Muhibbin mengatakan, hadis palsu yang
terdapat dalam kitab Bukhari setelah diteliti ada yang tidak sesuai dengan
fakta sejarah. Misalnya, tentang Isra Mi’raj. Di dalam kitab itu disebutkan
bahwa terjadinya Isra Mi’raj itu sebelum jadi Nabi. Faktanya, Isra Mi’raj itu setelah
Rasulullah diutus menjadi Nabi. Kemudian ada pula hadis Nabi yang bertentangan
dengan ayat Alquran. Contohnya, tentang seseorang yang meninggal dunia akan
disiksa bila si mayit ditangisi oleh ahli warisnya. (Lihat Kitab Jenazah, bab
ke-32, hadis ke 648/I.). Ini kan bertentangan dengan ayat Alquran, bahwa
seseorang itu tidak akan memikul dosa orang lain. (Lihat ayat Alquran surah
al-Fathir ayat 18, Al-An’am ayat 164, Az-Zumar ayat 7, Al-Isra ayat 15, dan
An-najm ayat 38–Red). Dan, masih banyak lagi hadis yang bertentangan atau tidak
sesuai dengan ayat Alquran maupun hadis Nabi saw. Bahkan menurut Al-Daruquthni
terdapat sekitar 110 hadis palsu di dalam kitab Bukhari dari sejumlah 6.000-an
hadis.
Begitu juga kalau Anda membaca buku “Al-Mushthafa”
karya Jalaluddin Rakhmat yang diterbitkan PT Simbiosa Bandung atau Karen
Amstrong tentang sejarah Muhammad yang diterbitkan Mizan. Dalam kedua buku
tersebut jelas terdapat penjelasan ketidaksahihan dalam kitab sahih Bukhari.
Setahu saya justru kaum Muslim Syiah sendiri menggunakan
Bukhari dan Muslim dalam menyampaikan hadits tentang Ali bin Abi Thalib sebagai
imam/khalifah sepeninggal Nabi saw. Atau kalau Anda punya uang, silakan beli
buku “40 Masalah Syiah” yang ditulis oleh Emilia Az-Zahra yang diterbitkan oleh
IJABI. Itu jawaban mereka terhadap yang Anda persoalkan tentang Syiah. Ada juga
buku terjemahan yang diterbitkan Mizan berjudul “Dialog Sunni-Syiah” karya A.
Syarafuddin Al-Musawi.
Bang Gunawan, mohon maaf saya bukan ahli
Syiah. Jadi, tidak terlalu mendalam dalam menjawab komentar Anda. Saya hanyalah
seorang Muslim yang coba untuk tidak bersikap benci terhadap Muslim lainnya,
termasuk kepada Anda yang beda secara pemikiran. *** (ahmad sahidin)