Jumat, 18 Maret 2022

Apa yang kau cari? Apa yang kau inginkan? Apa yang kau tuju? Jawablah kawan!

 Apa yang kau cari? Apa yang kau inginkan? Apa yang kau tuju? Jawablah kawan!! Inilah yang kupertanyakan pada diriku: apa sesungguhnya yang paling utama dan yang menjadi tujuan sejati?

Berkenaan dengan ini aku teringat para filsuf eksistensialis Barat yang menganggap kehidupan manusia adalah yang paling mendasar sehingga nilai-nilai humanis adalah rujukan yang paling penting untuk diperbincangkan. Aku sendiri tidak yakin dengan yang mereka katakan. Sebab bagiku hidup tidak hanya selesai dengan, untuk dan demi kemanusiaan. 

Kalau yang seperti itu dijadikan jaminan, mungkin aku bukan lagi manusia tetapi sama dengan mawar, melati, anggrek dan tumbuhan lain. Yang ketika habis masa tumbuhnya akan mengering, lalu mati dan muncul benih-benih baru darinya dan kemudian berkembang, tumbuh dan berganti dengan yang baru dari jenisnya tadi. 

Jika manusia seperti itu, untuk apa manusia mengerjakan kebaikan, kejujuran, memperjuangkan kemerdekaan, keadilan dan kesejahteraan serta kebahagiaan, jika semuanya tidak berbekas dan bermakna karena kita semua berakhir begitu saja? Dimanakah letak pertanggungan jawab para pembelot, pemerkosa, penindas, koruptor, perampok harta rakyat dan pelaku kejahatan serta keburukan yang sifatnya batiniah (dengki, iri, benci, sombong, sakit hati dll) jika tidak kita ketahui dan tidak terhukumi dengan hukum dunia? Akankah semua itu selesai begitu saja? Ataukah itu semua hanya menjadi catatan sejarah sehingga dari masa ke masa terus mengalirkan  “dendam-sejarah” ke tiap-tiap “tunas” yang akan tumbuh dan menggantikan masanya?

Aku kira tidak seperti itu. Ketika kupikirkan lebih mendalam, aku mengalami ke-mentok-kan dalam membongkar misteri ini. Di sini aku tambah yakin bahwa inilah yang “pelik” sekaligus bukti keterbatasanku untuk memahami “sesuatu” (yang meskipun telah diupayakan ilmuwan, teolog, filsuf, sufi dan seniman serta orang awam) yang tetap saja tidak selesai-selesai saking misteriusnya.

Aku ingat bagaimana lelaki yang bertubuh pendek, berambut keriting dan wajah yang kurang bagus. Ia mendobrak keyakinan dan pegangan "kebenaran" yang berlaku saat itu. Ketika itu yang dominan adalah kalangan sofisme yang membawa manusia pada lubang ketidakpastian. Adalah Sokrates yang sadar atas krisis yang sedang berkecamuk hingga bermaksud memperbaikinya.

Sayang, kesadaran akan kepastian yang diusungnya itu disalahpahami sebagai penghinaan terhadap Dewa-dewa Yunani dan nyawa pun menjadi tebusannya. 

Begitu pula beberapa ratus tahun setelah Sokrates, tepatnya di Romawi ada peristiwa tragis. Yakni di bulan Februari 62 Masehi, seorang Kaisar bernama Nero bersama pengawalnya, Ofonius Tigellinus, melakukan penculikan perawan dari jalan-jalan Roma dan dibawa ke kamarnya. Istri-istri para senator  dipaksa berpesta seks dan menyaksikan suami-suaminya dibunuh di depan matanya. 

Yang paling bejad adalah, Nero jatuh cinta pada sesama jenisnya, yang kemudian di rias, mengibirinya dan diberlangsungkan pernikahan dengannya. Masyarakat saat itu hanya bisa mengeluh bahwa hidup mereka mungkin lebih baik seandainya ayah Nero, Domitius, mengawini perempuan lain. 

Melihat situasi tersebut, Seneca sebagai filsuf dan guru Kaisar Nero merasa malu atas tindakan muridnya yang dehumanis hingga memutuskan pergi ke luar Roma dan menuliskan aforismenya:

 

musim salju mendatangkan cuaca dingin

dan kita pasti menggigil

musim panas kembali dengan hangatnya

dan kita kegerahan

musim pancaroba mengganggu kesehatan;

kita pun jatuh sakit

dan ditempat tertentu kita bertemu binatang buas,

atau bertemu orang yang lebih ganas dari binatang

 

dan kita tidak dapat mengubah tatanan ini;

terhadap hukum (alam) ini jiwa kita harus menyesuaikan diri

ini yang harus diikuti;

ini yang harus ditaati;

kita lebih baik bertahan terhadap apa yang tidak bisa berubah

 

Inilah bahasa tentang realitas yang melingkupi Seneca, yang merasa kesulitan—atawa meureun sieun aya mamala ti luar dirina mun diseratna sagemleungna—sehingga meminjam metafor peristiwa alam yang dahsyat untuk mengkabarkan ketidakberdayaannya terhadap kekuataan dan kekuasaan Kaisar Romawi. Yang di bulan April 65 Masehi, Seneca di tuduh mengkudeta Kaisar Nero, sang muridnya yang bengis. Karena itu ketika berkenaan dengan datangnya algojo yang hendak menjemput kematian Seneca; yang ketika tahu tentang itu sang filsuf buru-buru menyilet nadi diengkel lengan dan belakang lututnya. Karena tindakannya itu terlalu lambat untuk dapat menjemput ajal, kemudian—merujuk eksekusi Socrates di Athena (Yunani) 464 tahun sebelumnya—Seneca meminta secangkir racun untuk menyelesaikan hidupnya.

Dengan kata lain, Seneca ingin seperti Socrates yang membuktikan keyakinannya terhadap "realitas" yang bukan sesungguhnya. Sehingga jelas bahwa  “wujud” adalah benar-benar realitas maujud (ashalat al-wujud). Karenanya, baik itu Seneca maupun Socrates dengan tindakannya menegaskan, bahwa "kenyataan"—yang meskipun berbeda dengan "harapan" dan "hasrat diri"—harus dihadapi dengan penuh ketenangan dan kesiapan yang total. Artinya, siapa pun orangnya, yang masih mengaku manusia harus tegar menghadapi rasa ngarasula jeung perkara-perkara nu matak mamala; atau kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dengan mempersiapkan diri dan memahami bahwa dunia (dan hidup) mengandung struktur dasar  yaitu : benturan antara harapan dan kenyataan.

Karena itu, jangan disalahkan bila para filsuf menggusur persoalan filosofis ke wilayah keseharian hingga dibawa mukasyafah, dan akhirnya menemukan “puncak” musyahadah. Dan orang yang mencapainya, dalam keberadaannya tidak lagi merasa: Aku-Narsis-Solipsism, tapi ia akan: Aku-Altruis-Wisdomism. Inilah realitas (haqiqiyah) dari dijadikannya manusia, agar tahu bahwa ia tidak-sendirian sekaligus sendirian di antara ketidaksendiriannya itu. Konsepsi ini pula yang kemudian melahirkan pemahaman relatif dan plural, sehingga tampak (dalam masyarakat) bahwa kehidupan, manusia, dunia, dan alam semesta tidak tunggal. Lalu, adakah yang benar-benar di luar term tersebut, kalau semuanya tunggal dalam keanekaan yang plural; sekaligus plural dalam ketunggalannya?

Aku tidak dapat langsung menjawab "ya" atau "tidak"—karena kata dan term itu semua hanya fenomena yang perlu dibongkar sampai ke akar-akarnya. Jelas di sini perlu perangkat episteme dan metodologi. Akan tetapi, katakanlah sejak Sokrates dengan dialektika-kritis induktif,  Plato dengan deduktif-spekulatif transendental,  Aristoteles dengan silogistis-deduktif, Plotinus dengan kontemplatif-mistis, Descartes dengan skeptis;  atau sekarang dengan fenomenologi, hermeneutika dan semiotika (sebagai pisau-sayat yang dipakai posmodernisian dan posstrukturalisian) hanya rekayasa dan penciptaan realitas di atas realitas-haqiqiyah—dan hanya bersifat asimtotis dan after the fact (istilah Rolland Barthes).

Bahkan seingatku, seorang filsuf muslim bernama Mulla Shadra (hidup di Abad 16 Masehi) yang dianggap berhasil mengungkap pengetahuan yang bukan dari pikiran manusia, tapi berasal dari “alam-lain” yang melampaui ontologi-realitas (rasional) maupun keseharian (emperis). Namun bila direnungi, ternyata Shadra hanya mampu membahasakannya lewat asfar aqliyat al-arba`ah sebagai simbol perjalanan menuju maqamat terakhir. Sebuah pengembaraan dari keadaan kegelapan dan kepolosan dari pengetahuan (jahilun) hingga sampai pada puncak (ilmun) yang jelas-terang-bercahaya (Shadra sendiri tidak bisa menjelaskannya selain dengan metafor tersebut). Dari proses itu Shadra memunculkan statement pengetahuan bahwa, kebenaran yang diperoleh melalui pengalaman mistis adalah kebenaran yang bersifat kognitif sekaligus rasional.

Artinya, nilai dan makna kebenaran spiritualitas dan intelektualitas yang diperoleh seseorang akan terbukti sebagai “kebenaran” jika ia mengalami, merasakan dan dapat menjelaskannya dengan bahasa yang mudah diterima. Aku sendiri tidak dapat melukiskan keyakinanku tentang “Realitas (haqiqiyah) Tuhan”; meskipun ada bahasa metafor dan simbolik. Sebab bagiku, sejauh manusia itu menghabiskan waktu dan upayanya untuk menggali dan membahasakan “kebenaran” dengan pengetahuan apapun sebanyak-banyaknya; sejauh itu pula ia akan mengalami “kemiskinan” sekaligus merasakan “kebodohan” dalam ilmu pengetahuan yang paling-sangat-teramat banyak, dan bahkan akan berakhir pada kesaksian (disadari atau tidak) bahwa dirinya tidak pernah tahu apa pun selain ketidaktahuan, ... dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit (QS. Al-Isra : 85)  ... dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu Ada Yang Maha Mengetahui (QS. Yusuf : 76).

Inilah kedahsyatan yang tidak perlu dibahasa-metafor-simbolkan dengan apapun. Karena bahasa-simbol-metafor atau apapun namanya, tidak ada sesuatu pun yang layak (diibarat-seperti-contoh-metafor-simbolkan dengan-Nya) selain Ia sendiri yang tahu sekaligus menyaksikan-Nya (Qs. al-Imran : 18 ; asy-Syura : 11 ; al-Hasyr : 22 ; al-Ikhlas : 1-4).

 

ampun paralun kuring parantos sesebatan

sabab kuring tagiwur jeung guligah;

tagiwurna kusabab guligah nu teu aya papadana

kusabab tagiwur nu teu aya pangawasana

ngan rasa sok rumasa yen teu aya deui jugjuggeun iwal;

nu nyumput dinu caang, nu neumbrak dinu poek

aya bari euweuh, euweuh bari aya

nu nganjang teu digeuro ngan nu dianjangna geugeuro

da saenya-enyana teu aya deui iwal nu terang kukasaksianna

 

Nah, inilah yang kukira harus menjadi tujuan dari apapun yang dikerja-lakukan manusia karena tanpa ada kehendak untuk menuju kepada Yang Tertinggi, hidup dan kehidupan adalah sia-sia belaka. Tapi sayang, sampai sekarang yang kurasakan hanya ada “misteri-misteri” yang senantiasa memunculkan perkiraan-perkiraan dalam diri, hati dan pikiranku.

Lalu, apa yang dapat kupegang hari ini? Aku kini sedang berpijak pada “wujud-haqiqi” yang “ghair-maujud” dan menyisihkan “ghair-maujud” untuk hadirnya “wujud-haqiqi”, walaupun ini bersifat abstrak. Ini memang  persoalan rumit seperti melacak hakikat manusia; yang dalam term Sunda disebut “manusa”, merupakan kepanjangan dari: mana nu salira? (yang mempertanyakan hal kepemilikan sejati). Benarkah tubuh/raga adalah entitas sejati manusia? Bukan, ia berasal dari materi yang mengalami proses dan dianggap milik manusia. Benarkah jiwa/nyawa adalah entitas sejati manusia? Juga bukan, karena ia berasal dari yang imaterial yang masuk saat proses berlangsung dan dianggap milik manusia.

Apa entitas sejati manusia itu? Jawabannya: manusia hanya “mengaku-ngaku”  yang tidak ia punyai yang suatu saat nanti akan kembali ke asalnya. Tubuh kembali pada tanah (yang nanti pun dihancurkan saat qiamat) dan jiwa pun kembali ke tempatnya. Inilah realitas yang ada dalam pemahamanku, bahwa tidak ada apapun dan siapapun di alam semesta ini (termasuk manusia) kecuali wujud yang maujud sekaligus ghair-maujud.  Seperti al-Hallaj yang berkata, “Ana al-Haqq” (Akulah Yang Mahabenar) adalah ungkapan yang benar-benar mengakui dirinya (manusia) itu fana atau telah meniadakan sekaligus menyerahkan dirinya kepada Yang Mahatinggi nan agung sebagai yang paling pantas dan berwenang untuk mengatakan sang “Aku” yang sebenarnya.

Pada konteks tersebut, al-Hallaj dapat dipahami sebagai sosok manusia yang benar-benar telah merendahkan dirinya (yang lemah) di hadapan Yang Mahasegalanya. Berbeda dengan ungkapan  Ana al-Abd Allah (Aku-hamba Allah). Manusia yang mengatakan Ana al-Abd Allah, berarti telah mengakui adanya dualisme eksistensi (wujud yang maujud), yaitu : eksistensi hamba dan eksistensi Tuhan. Ini yang kuanggap sebagai ungkapan kesombongan yang akan menjerumuskan seseorang ke luar dari tauhid ilahiyah. Aku  menganggap bahwa dualisme tersebut boleh diakui hanya dalam konteks realitas dunia dan persepsi pikiran dan perasaan kita semata. Tetapi di luar itu, atau secara haqiqiyah yang pantas disebut dan dianggap real-reality adalah eksistensi dari Wujud Qua Wujud; sehingga kita dan makhluk-makhluk ciptaannya disebut pseudo-reality. Layaknya cahaya lilin tidak akan berarti di hadapan cahaya matahari. Begitu pun aku (manusia) tidak berarti apa-apa di muka sang Maha Aku-yang-sejati, sehingga aku sendiri yakin sepenuhnya bahwa engke manusa mah salain ti bilatungan teh bakal balitungan.

Terakhir, ini mungkin sangat subjektif, yaitu rasa takut akan hari esok yang benar-benar nyata dan teramat sangat takut. Inilah bait-bait yang mampu kubahasakan dari rasa yang tidak bisa kuingkari adanya bahwa :

 

jika malam tiba kurasakan takut

karena esok tidak tahu siapa yang akan menjaminku ada

 

dan sekiranya masih berada

di buana ini

apakah terus seperti itu hari-hari yang hinggapi aku

 

aku takut dan benar-benar khawatir

was-was akan hari esok yang tidak tahu; akan seperti apa dan bagaimana

 

Duh, Yang Mahapembimbing

bimbing aku, jauhkan aku dari rasa takut dan was-was

dan dekatkan aku pada pengetahuan-Mu.


 ***

Ahmad Sahidin, alumni UIN SGD Bandung