Apa yang kau cari? Apa yang kau inginkan? Apa yang kau tuju? Jawablah kawan!! Inilah yang kupertanyakan pada diriku: apa sesungguhnya yang paling utama dan yang menjadi tujuan sejati?
Berkenaan dengan ini aku teringat para filsuf eksistensialis Barat yang menganggap kehidupan manusia adalah yang paling mendasar sehingga nilai-nilai humanis adalah rujukan yang paling penting untuk diperbincangkan. Aku sendiri tidak yakin dengan yang mereka katakan. Sebab bagiku hidup tidak hanya selesai dengan, untuk dan demi kemanusiaan.
Kalau yang seperti itu dijadikan jaminan, mungkin aku bukan lagi manusia tetapi sama dengan mawar, melati, anggrek dan tumbuhan lain. Yang ketika habis masa tumbuhnya akan mengering, lalu mati dan muncul benih-benih baru darinya dan kemudian berkembang, tumbuh dan berganti dengan yang baru dari jenisnya tadi.
Jika manusia seperti itu, untuk apa manusia mengerjakan kebaikan, kejujuran,
memperjuangkan kemerdekaan, keadilan dan kesejahteraan serta kebahagiaan, jika
semuanya tidak berbekas dan bermakna karena kita semua berakhir begitu saja?
Dimanakah letak pertanggungan jawab para pembelot, pemerkosa, penindas, koruptor,
perampok harta rakyat dan pelaku kejahatan serta keburukan yang sifatnya
batiniah (dengki, iri, benci, sombong, sakit hati dll) jika tidak kita ketahui
dan tidak terhukumi dengan hukum dunia? Akankah semua itu selesai begitu saja?
Ataukah itu semua hanya menjadi catatan sejarah sehingga dari masa ke masa
terus mengalirkan “dendam-sejarah” ke
tiap-tiap “tunas” yang akan tumbuh dan menggantikan masanya?
Aku kira tidak seperti itu. Ketika kupikirkan
lebih mendalam, aku mengalami ke-mentok-kan dalam membongkar misteri ini. Di
sini aku tambah yakin bahwa inilah yang “pelik” sekaligus bukti keterbatasanku
untuk memahami “sesuatu” (yang meskipun telah diupayakan ilmuwan, teolog,
filsuf, sufi dan seniman serta orang awam) yang tetap saja tidak selesai-selesai
saking misteriusnya.
Aku ingat bagaimana lelaki yang bertubuh
pendek, berambut keriting dan wajah yang kurang bagus. Ia mendobrak
keyakinan dan pegangan "kebenaran" yang berlaku saat itu. Ketika itu
yang dominan adalah kalangan sofisme yang membawa manusia pada lubang
ketidakpastian. Adalah Sokrates yang sadar atas krisis yang sedang berkecamuk
hingga bermaksud memperbaikinya.
Sayang, kesadaran akan kepastian yang diusungnya itu disalahpahami sebagai penghinaan terhadap Dewa-dewa Yunani dan nyawa pun menjadi tebusannya.
Begitu pula beberapa ratus tahun setelah Sokrates, tepatnya di Romawi ada peristiwa tragis. Yakni di bulan Februari 62 Masehi, seorang Kaisar bernama Nero bersama pengawalnya, Ofonius Tigellinus, melakukan penculikan perawan dari jalan-jalan Roma dan dibawa ke kamarnya. Istri-istri para senator dipaksa berpesta seks dan menyaksikan suami-suaminya dibunuh di depan matanya.
Yang paling bejad adalah, Nero jatuh cinta pada sesama jenisnya, yang kemudian di rias, mengibirinya dan diberlangsungkan pernikahan dengannya. Masyarakat saat itu hanya bisa mengeluh bahwa hidup mereka mungkin lebih baik seandainya ayah Nero, Domitius, mengawini perempuan lain.
Melihat situasi tersebut, Seneca sebagai filsuf dan guru Kaisar
Nero merasa malu atas tindakan muridnya yang dehumanis hingga memutuskan pergi
ke luar Roma dan menuliskan aforismenya:
musim salju mendatangkan cuaca dingin
dan kita pasti menggigil
musim panas kembali dengan hangatnya
dan kita kegerahan
musim pancaroba mengganggu kesehatan;
kita pun jatuh sakit
dan ditempat tertentu kita bertemu binatang
buas,
atau bertemu orang yang lebih ganas dari
binatang
dan kita tidak dapat mengubah tatanan ini;
terhadap hukum (alam) ini jiwa kita harus
menyesuaikan diri
ini yang harus diikuti;
ini yang harus ditaati;
kita lebih baik bertahan terhadap apa yang
tidak bisa berubah
Inilah bahasa tentang realitas yang
melingkupi Seneca, yang merasa kesulitan—atawa meureun sieun aya mamala ti luar
dirina mun diseratna sagemleungna—sehingga meminjam metafor peristiwa alam yang
dahsyat untuk mengkabarkan ketidakberdayaannya terhadap kekuataan dan kekuasaan
Kaisar Romawi. Yang di bulan April 65 Masehi, Seneca di tuduh mengkudeta Kaisar
Nero, sang muridnya yang bengis. Karena itu ketika berkenaan dengan datangnya
algojo yang hendak menjemput kematian Seneca; yang ketika tahu tentang itu sang
filsuf buru-buru menyilet nadi diengkel lengan dan belakang lututnya. Karena tindakannya
itu terlalu lambat untuk dapat menjemput ajal, kemudian—merujuk eksekusi
Socrates di Athena (Yunani) 464 tahun sebelumnya—Seneca meminta secangkir racun
untuk menyelesaikan hidupnya.
Dengan kata lain, Seneca ingin seperti
Socrates yang membuktikan keyakinannya terhadap "realitas" yang bukan
sesungguhnya. Sehingga jelas bahwa
“wujud” adalah benar-benar realitas maujud (ashalat al-wujud).
Karenanya, baik itu Seneca maupun Socrates dengan tindakannya menegaskan, bahwa
"kenyataan"—yang meskipun berbeda dengan "harapan" dan
"hasrat diri"—harus dihadapi dengan penuh ketenangan dan kesiapan
yang total. Artinya, siapa pun orangnya, yang masih mengaku manusia harus tegar
menghadapi rasa ngarasula jeung perkara-perkara nu matak mamala; atau
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dengan mempersiapkan diri dan
memahami bahwa dunia (dan hidup) mengandung struktur dasar yaitu : benturan antara harapan dan
kenyataan.
Karena itu, jangan disalahkan bila para
filsuf menggusur persoalan filosofis ke wilayah keseharian hingga dibawa mukasyafah,
dan akhirnya menemukan “puncak” musyahadah. Dan orang yang mencapainya,
dalam keberadaannya tidak lagi merasa: Aku-Narsis-Solipsism, tapi ia akan:
Aku-Altruis-Wisdomism. Inilah realitas (haqiqiyah) dari dijadikannya manusia, agar
tahu bahwa ia tidak-sendirian sekaligus sendirian di antara ketidaksendiriannya
itu. Konsepsi ini pula yang kemudian melahirkan pemahaman relatif dan plural,
sehingga tampak (dalam masyarakat) bahwa kehidupan, manusia, dunia, dan alam
semesta tidak tunggal. Lalu, adakah yang benar-benar di luar term tersebut,
kalau semuanya tunggal dalam keanekaan yang plural; sekaligus plural dalam
ketunggalannya?
Aku tidak dapat langsung menjawab
"ya" atau "tidak"—karena kata dan term itu semua hanya
fenomena yang perlu dibongkar sampai ke akar-akarnya. Jelas di sini perlu
perangkat episteme dan metodologi. Akan tetapi, katakanlah sejak Sokrates
dengan dialektika-kritis induktif, Plato
dengan deduktif-spekulatif transendental,
Aristoteles dengan silogistis-deduktif, Plotinus dengan
kontemplatif-mistis, Descartes dengan skeptis;
atau sekarang dengan fenomenologi, hermeneutika dan semiotika (sebagai
pisau-sayat yang dipakai posmodernisian dan posstrukturalisian) hanya rekayasa dan
penciptaan realitas di atas realitas-haqiqiyah—dan hanya bersifat asimtotis dan
after the fact (istilah Rolland Barthes).
Bahkan seingatku, seorang filsuf muslim
bernama Mulla Shadra (hidup di Abad 16 Masehi) yang dianggap berhasil
mengungkap pengetahuan yang bukan dari pikiran manusia, tapi berasal dari
“alam-lain” yang melampaui ontologi-realitas (rasional) maupun keseharian
(emperis). Namun bila direnungi, ternyata Shadra hanya mampu membahasakannya
lewat asfar aqliyat al-arba`ah sebagai simbol perjalanan menuju maqamat
terakhir. Sebuah pengembaraan dari keadaan kegelapan dan kepolosan dari
pengetahuan (jahilun) hingga sampai pada puncak (ilmun) yang
jelas-terang-bercahaya (Shadra sendiri tidak bisa menjelaskannya selain dengan
metafor tersebut). Dari proses itu Shadra memunculkan statement pengetahuan
bahwa, kebenaran yang diperoleh melalui pengalaman mistis adalah kebenaran yang
bersifat kognitif sekaligus rasional.
Artinya, nilai dan makna kebenaran
spiritualitas dan intelektualitas yang diperoleh seseorang akan terbukti
sebagai “kebenaran” jika ia mengalami, merasakan dan dapat menjelaskannya
dengan bahasa yang mudah diterima. Aku sendiri tidak dapat melukiskan
keyakinanku tentang “Realitas (haqiqiyah) Tuhan”; meskipun ada bahasa metafor
dan simbolik. Sebab bagiku, sejauh manusia itu menghabiskan waktu dan upayanya
untuk menggali dan membahasakan “kebenaran” dengan pengetahuan apapun
sebanyak-banyaknya; sejauh itu pula ia akan mengalami “kemiskinan” sekaligus
merasakan “kebodohan” dalam ilmu pengetahuan yang paling-sangat-teramat banyak,
dan bahkan akan berakhir pada kesaksian (disadari atau tidak) bahwa dirinya
tidak pernah tahu apa pun selain ketidaktahuan, ... dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit (QS. Al-Isra : 85) ... dan di atas tiap-tiap orang yang
berpengetahuan itu Ada Yang Maha Mengetahui (QS. Yusuf : 76).
Inilah kedahsyatan yang tidak perlu
dibahasa-metafor-simbolkan dengan apapun. Karena bahasa-simbol-metafor atau
apapun namanya, tidak ada sesuatu pun yang layak
(diibarat-seperti-contoh-metafor-simbolkan dengan-Nya) selain Ia sendiri yang
tahu sekaligus menyaksikan-Nya (Qs. al-Imran : 18 ; asy-Syura : 11 ; al-Hasyr :
22 ; al-Ikhlas : 1-4).
ampun paralun kuring parantos sesebatan
sabab kuring tagiwur jeung guligah;
tagiwurna kusabab guligah nu teu aya papadana
kusabab tagiwur nu teu aya pangawasana
ngan rasa sok rumasa yen teu aya deui
jugjuggeun iwal;
nu nyumput dinu caang, nu neumbrak dinu poek
aya bari euweuh, euweuh bari aya
nu nganjang teu digeuro ngan nu dianjangna
geugeuro
da saenya-enyana teu aya deui iwal nu terang
kukasaksianna
Nah, inilah yang kukira harus menjadi tujuan
dari apapun yang dikerja-lakukan manusia karena tanpa ada kehendak untuk menuju
kepada Yang Tertinggi, hidup dan kehidupan adalah sia-sia belaka. Tapi sayang,
sampai sekarang yang kurasakan hanya ada “misteri-misteri” yang senantiasa
memunculkan perkiraan-perkiraan dalam diri, hati dan pikiranku.
Lalu, apa yang dapat kupegang hari ini? Aku
kini sedang berpijak pada “wujud-haqiqi” yang “ghair-maujud” dan menyisihkan
“ghair-maujud” untuk hadirnya “wujud-haqiqi”, walaupun ini bersifat abstrak.
Ini memang persoalan rumit seperti
melacak hakikat manusia; yang dalam term Sunda disebut “manusa”, merupakan
kepanjangan dari: mana nu salira? (yang mempertanyakan hal kepemilikan
sejati). Benarkah tubuh/raga adalah entitas sejati manusia? Bukan, ia berasal
dari materi yang mengalami proses dan dianggap milik manusia. Benarkah
jiwa/nyawa adalah entitas sejati manusia? Juga bukan, karena ia berasal dari
yang imaterial yang masuk saat proses berlangsung dan dianggap milik manusia.
Apa entitas sejati manusia itu? Jawabannya:
manusia hanya “mengaku-ngaku” yang tidak
ia punyai yang suatu saat nanti akan kembali ke asalnya. Tubuh kembali pada
tanah (yang nanti pun dihancurkan saat qiamat) dan jiwa pun kembali ke
tempatnya. Inilah realitas yang ada dalam pemahamanku, bahwa tidak ada apapun
dan siapapun di alam semesta ini (termasuk manusia) kecuali wujud yang maujud
sekaligus ghair-maujud. Seperti
al-Hallaj yang berkata, “Ana al-Haqq” (Akulah Yang Mahabenar) adalah ungkapan
yang benar-benar mengakui dirinya (manusia) itu fana atau telah meniadakan
sekaligus menyerahkan dirinya kepada Yang Mahatinggi nan agung sebagai yang
paling pantas dan berwenang untuk mengatakan sang “Aku” yang sebenarnya.
Pada konteks tersebut, al-Hallaj dapat
dipahami sebagai sosok manusia yang benar-benar telah merendahkan dirinya (yang
lemah) di hadapan Yang Mahasegalanya. Berbeda dengan ungkapan Ana al-Abd Allah (Aku-hamba Allah). Manusia
yang mengatakan Ana al-Abd Allah, berarti telah mengakui adanya dualisme
eksistensi (wujud yang maujud), yaitu : eksistensi hamba dan eksistensi Tuhan.
Ini yang kuanggap sebagai ungkapan kesombongan yang akan menjerumuskan
seseorang ke luar dari tauhid ilahiyah. Aku
menganggap bahwa dualisme tersebut boleh diakui hanya dalam konteks
realitas dunia dan persepsi pikiran dan perasaan kita semata. Tetapi di luar
itu, atau secara haqiqiyah yang pantas disebut dan dianggap real-reality adalah
eksistensi dari Wujud Qua Wujud; sehingga kita dan makhluk-makhluk ciptaannya
disebut pseudo-reality. Layaknya cahaya lilin tidak akan berarti di hadapan
cahaya matahari. Begitu pun aku (manusia) tidak berarti apa-apa di muka sang
Maha Aku-yang-sejati, sehingga aku sendiri yakin sepenuhnya bahwa engke
manusa mah salain ti bilatungan teh bakal balitungan.
Terakhir, ini mungkin sangat subjektif, yaitu
rasa takut akan hari esok yang benar-benar nyata dan teramat sangat takut.
Inilah bait-bait yang mampu kubahasakan dari rasa yang tidak bisa kuingkari
adanya bahwa :
jika malam tiba kurasakan takut
karena esok tidak tahu siapa yang akan menjaminku ada
dan sekiranya masih berada
di buana ini
apakah terus seperti itu hari-hari yang hinggapi aku
aku takut dan benar-benar khawatir
was-was akan hari esok yang tidak tahu; akan seperti apa dan bagaimana
Duh, Yang Mahapembimbing
bimbing aku, jauhkan aku dari rasa takut dan was-was
dan dekatkan aku pada pengetahuan-Mu.
Ahmad Sahidin, alumni UIN SGD Bandung