SORE itu saya langsung naik ke lantai empat. Masuk ke ruangan tempat guru bertapa. Saat didatangi ternyata guru saya sedang bercanda ria dengan temannya dalam chat. Setelah bersalaman dengan guru dan temannya yang duduk bersebelahan meja, guru saya yang lama mengajar teologi dan filsafat di almamater langsung bertanya, “Jadi, apa itu teologi?”
“Sistem keyakinan plus pemikiran.”
“Menurut guru?”
“Sebuah disiplin yang mengkaji persoalan
Tuhan, metafisika, akidah, tauhid, yang didasarkan pada teks suci. Sebuah
tafsir atas teks-teks suci yang berupaya memahami hal-hal yang berkaitan dengan
Tuhan.”
“Ooo…”
“Mana karyamu?”
“Ini guru,” kata saya sambil menyerahkan
setumpuk kertas print out. Guru memegangnya. Membuka halaman demi halaman.
Kembali membuka bagian pengantar penerbit dan pendahuluannya. Diam beberapa
saat. Melihat layar laptop. Melihat
kembali pada kertas yang dipegangnya.
“Rajin. Tapi ini hanya membahas teologi Islam
dari sisi sejarah dan konteks sosial politik. Tak ada yang baru.”
“Maksud guru?”
“Ya, berbicara teologi itu bicara hal-hal
berat. Tidak semua orang mampu.”
Guru terdiam. Tangannya mengambil kopi dan
menyeruputnya. Matanya kembali memelototi situs yang sedang dibukanya.
“Apakah teologi berangkat dari keinginan
memahami teks suci? Dalam sejarah Islam, kan lahir karena pertikaian politik?”
“Ya, tapi juga tak dipungkiri setelah dari
politik itu berkembang ke upaya memahami teks yang juga sebagai upaya
mempertahankan pendapatnya, sehingga ia mencari rujukan dalam teks suci. Sejarah umat Islam banyak memuat fakta tersebut.”
“Jadi, apa itu teologi?”
“Seperti yang kau bilang, dari upaya memahami
teks suci terbentuklah corak pemikiran yang kemudian menjadi disiplin ilmu
teologi. Tiap pemikiran teologi yang lahir berbeda satu sama lain hingga
kemudian menjadi sekte, mazhab atau aliran teologi tersendiri. Syiah, Khawarij,
Murjiah, Jabariyah, Qadariyah, Mutazilah, Asyariah, Maturidiyah, dan lainnya.”
Guru terdiam. Mengambil rokok dan
membakarnya. Pelan-pelan mengisapnya. Tenang dan damai terlihat di wajahnya.
Saya diam. Menunggu kelanjutan kuliah teologi
yang diberikannya. Ah, betapa tertinggalnya saya dalam khazanah Islam. Gumam saya saat melihat catatan yang
tergeletak di meja. Sebuah tulisan guru tentang eksistensialisme dan pluralitas
dalam pemikiran teologi yang cukup berat dipahami karena banyak menggunakan
bahasa filsafat dan teologi.
Saya lihat guru membuka sebuah file yang
berjudul tauhid. “Nah, ini tulisan yang
terbaru. Namun belum selesai. Tentang teologi Islam yang berpijak pada konsep
manusia sebagai khalifah Allah. Tulisan ini diawali dari konsep asal muasal
kehadiran manusia,” kata guru sambil menyeruput kopi dan melanjutkan
pembicaraannya, “Entah selesai atau
tidak, tapi ini baru sekitar 80 halaman. Tapi harus selesai, entah kapan?”
“Jadi, yang membedakan teologi klasik dan
teologi kontemporer itu apa?”
“Bedanya tipis. Klasik itu bicaranya
persoalan teoritis seperti sifat Allah, kufur, kafir, dosa, dan lainnya.
Sedangkan kontemporer lahir dari upaya menjawab konteks social yang ada dan
bentuknya praktis. Teologi pembebasan, lingkungan, humanistic dan lain-lainnya.
Intinya, teologi klasik mencoba menjelaskan perihal ketuhanan atau dasar atau
pokok ajaran agama dengan pemahaman nalar yang merujuk pada tekstual nash.
Sedangkan teologi kontemporer tidak bersifat teoritis, hanya menyajikan langkah
praktis perwujudan dari nash dalam menghadapi persoalan yang ada atau
dihadapinya. Seperti katamu, ketika
teologi itu dianut dan kemudian menjadi way of life maka terjeratlah dalam
kotak yang disebut mazhab atau sekte. Dari sinilah sekte teologi tersebut
biasanya terjebak atau berpotensi menjadi agama baru. Tepatnya, keluar dari
agama ‘mainstrem’ yang menjadi induknya.”
“Oh, jadi lahirnya Ahmadiyah, Baha`iyah,
Komunitas Eden, Al-Qiyadah Islamiyah dan lainnya itu karena keluar dari agama mainstream. Terus, mengapa pada abad pertengahan
Islam di Sunni teologi terhenti. Tepatnya saat muncul Al-Ghazali?”
“Ya, karena sudah jenuh dan konteks serta
momentumnya beda. Mereka jenuh dengan hal-hal teoritis sehingga beralih ke yang
aplikatif seperti fiqh, sufisme, dan akhlak.
Ini yang terjadi di kalangan Sunni. Berbeda dengan di kalangan Syi`ah,
yang justru malah berkembang. Bahkan, memadukan teologi dengan tasawuf dan
filsafat seperti Mulla Shadra, Suhrawardi Al-Maqtul, Ath-Thusi, dan lainnya.
Sebenarnya bila ditelusuri khazanah sufisme yang ada di dunia
Sunni pun memiliki konsep teologis juga. Hanya tidak kentara karena sulit untuk
dipilahnya. Bedanya adalah, bila teologi itu berpijak pada nash dan
sufisme itu pengalaman spiritual (dzauq); sedangkan filsafat berdasarkan pada
nalar (akal). Kalau dilihat dari produknya, tetap saja itu karya atau
intelektual Islam. Bedanya hanya pada epistemologi saja. Hasilnya tetap saja
jadi bagian dari khazanah Islam atau produk pemikiran manusia, yang
kebenarannya tidak seratus persen,” jelas guru.
“Hmmm…
sepertinya harus menulis buku teologi Islam yang sifatnya tematis ya?”
“Ya, mungkin. Tapi berat dan butuh waktu.
Tapi sekarang lagi memulainya dengan tulisan ini,” jawab guru sambil
memperlihatkan tulisan yang berjudul ‘Adabul Ikhtilaf’ dan ‘Tauhid’.
Di beberapa blog saya
sempat melihat beberapa tulisan bernuansa filsafat, agama, pendidikan, teologi,
dan budaya yang ditulis oleh guru. Yang hampir semuanya panjang-panjang dan
mengernyitkan kening. Mungkin hanya mereka yang terbiasa dengan wacana akademis
saja yang bisa mencernanya. Padahal di Indonesia, umat Islam yang mengenyam
pendidikan sarjana dan master baru sedikit. Kalau diterbitkan, tulian-tulisan
seperti itu yang merespon tidak akan banyak. Peminatnya terbatas: hanya kaum
akademisi dan orang-orang tertentu.”
“Guru, mau kopi?” .
“Ya”
Saya
bergegas pergi ke ruang dapur antik. Di sana saya seduh kopi hitam. Tiga
cangkir yang saya buat: untuk guru, temannya, dan saya. Usai menyajikan kopi,
saya ke toilet untuk wudhu karena adzan Isya telah berkumandang.
“Ya, kelewat lagi maghrib. Tapi tak mengapa,
bukankah dalam salah satu mazhab fiqh ada yang membolehkan menggabungkan dua
shalat,” gumam saya sambil langsung menggelar sajadah dan memulai shalat.
Setelah shalat dan saat masih dalam keadaan
menduduki sajadah, pikiran saya melayang pada pernyataan yang disampaikan guru.
Yakni tentang perbedaan teologi Islam klasik dan kontemporer.
“Ah, saya tuliskan saja dulu biar bisa
terpetakan,” gumam saya sambil bergegas ke meja komputer. Saya hidupkan dan
buka program untuk mengetik. Lalu memijit tombol-tombol keyboard dan mulai
menulis: perkembangan sejarah pemikiran Islam dan wacana teologi Islam pada
masa sekarang ini mengalami perkembangan yang cukup pesat. Para cendekiawan Muslim tampak sudah mulai
melakukan kajian dan penafsiran yang lebih mendalam dan kontekstual atas
sumber-sumber teologi Islam—Al-Quran dan As-Sunnah—dengan lebih kritis dan
ilmiah.
Bentuk teologi Islam yang dikajinya berbeda
dengan teologi Islam klasik, terutama dari pokok bahasan dan bentuk karyanya.
Bila dalam teologi Islam klasik yang dibahas adalah persoalan hakikat yang
berdasarkan atas penafsiran terhadap wahyu Allah (Al-Quran) dan Sunnah
Rasulullah saw yang berhubungan dengan ketuhanan, keimanan, takdir, dosa,
kafir, kufur, imamah, khalifah, dan perbuatan-perbuatan manusia. Sedangkan
teologi Islam kontemporer yang dibahas adalah persoalan bagaimana mewujudkan
nilai dan ajaran Islam dalam konteks praktis dan aksi kemanusiaan yang sedang
dihadapi umat Islam, sehingga bisa menjadi solusi atas permasalahan tersebut.
Contohnya adalah Farid Essack di Afrika Utara yang mengembangkan teologi
pembebasan dan pluralisme. Dengan melakukan penafsiran atas ayat-ayat Al-Quran,
Essack mampu membangkitkan semangat perlawanan orang-orang dhu`afa dan para
petani miskin terhadap penindasan yang dilakukan para tengkulak dan tuan tanah
dan berhasil menciptakan kehidupan perekonomian masyarakat miskin menjadi lebih
baik.
Begitu juga Murtadha Muthahhari, Ali
Syari`ati, dan Imam Khomeini. Dengan
kekuatan nalar dan tafsir aktual yang bersumberkan ajaran Islam dan tradisi
Sy`iah, mereka sukses menggerakkan masyarakat Muslim Iran untuk keluar
menggulingkan pemerintahan rezim Pahlevi dan menggantinya dengan pemerintahan
Islam khas teologi Syiah yang dikenal dengan istilah ‘teodemokrasi’ atau wilayah
faqih.
Contoh lainnya, yang bersifat sosial
kemasyarakatan adalah Muhammad Yunus dan aksi Grameent Bank-nya di Bangladesh,
yang berhasil memberdayakan kaum dhu`afa dan orang-orang miskin, terutama
wanita. Yunus melalui Grameent Bank memberikan pinjaman modal dengan pembayaran
yang ringan dan terjun membimbing masyarakat miskin Bangladesh dalam kegiatan
pemberdayaan ekonomi mikro hingga mereka terlepas dari jeratan rentenir dan
tengkulak. Bila dilihat secara nash, aktivitasnya itu merupakan
perwujudan atau tafsir aplikatif surat Al-Balad yang memerintahkan untuk
membebaskan perbudakan dan tafsir aktual dari surat Al-Ma`un yang memerintahkan
agar menyantuni anak yatim dan miskin; yang dalam penafsiran Muhammad Yunus
berarti membebaskan orang dari jeratan atau perbudakan yang dilakukan rentenir
yang menghisap ‘darah’ masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah dengan
pinjaman-pinjaman yang berbunga. Bahkan, Yunus pun terjun ke masyarakat untuk
mengarahkan, membimbing, dan menggerakkan masyarakat miskin untuk berwirausaha
dan bekerja secara mandiri dengan menciptakan produk-produk khas daerah dan
industri rumah tangga. Inilah bentuk teologi Islam kontemporer yang
berorientasi untuk transformasi sosial masyarakat.
Memang bila dilihat dari fakta, aliran
teologi Islam baik yang klasik atau kontemporer, pada dasarnya memang
membingungkan kalangan umat Islam ‘yang awam’ karena biasanya terjerat dengan
kotak mazhab atau firqah. Tapi bila dilihat secara jernih, ternyata
aliran-aliran tersebut telah menunjukkan betapa kaya dan beragamnya pemikiran
dan penafsiran umat Islam terhadap sumber dan ajaran Islam.
Ya, harus diakui bahwa teologi Islam
merupakan karya para ulama Islam terdahulu yang berupaya memecahkan persoalan
zamannya dengan kiprahnya dalam khazanah intelektual yang sangat beragam.
Sehingga dengan khazanah itulah kita bisa melihat dan menilai langkah apa saja
yang telah mereka lakukan untuk Islam.
Malam kian larut. Hawa dingin gelayuti gedung-gedung tinggi. Mentereng. Sepi. Hanya mereka yang tapa saja yang mengisinya: menunggu setia para pencari ilmu. ***