Kamis, 24 Maret 2022

Novel Sirah Nabawiyah: Telaah terhadap karya Idrush Shahab dan Tasaro GK (3)

Idrus dan Tasaro memang berbeda. Idrus dalam novelnya menggunakan riwayat-riwayat dari para muhadits seperti Bukhari, Muslim, Dawud, Turmudzi, Thabraniy, Baihaqiy, Dailamy, Ahmad, Hakim, dan Nasa’iy. Karena itu, lembar demi lembarnya bermunculan kutipan hadits yang menunjukkan kemuliaan dan keagungan sosok Muhammad saw. 

Tasaro memang piawai dalam mengolah bahasa dan kata sehingga terasa hidup ketika membacanya. Namun Tasaro juga tidak luput dari kekurangan, khususnya lemah dalam melakukan seleksi sumber penulisan novelnya. 

Saya menduga bahwa Tasaro sangat meyakini buku-buku sejarah Muhammad saw yang beredar sudah melalui tahapan kajian sejarah dan menggangapnya sudah menjadi kebenaran umum. Karena itu, Tasaro tidak menyeleksi sumber-sumber sejarah yang valid dalam menuliskan kisah Muhammad pada novelnya. Saya menemukan fakta sejarah Nabi Muhammad saw yang secara nilai bukannya menunjukkan kemuliaan dan keagungan malah merendahkan. 

Hal ini tampak pada bagian 14, Perempuan Suci; Mekkah, 610 Masehi, diceritakan Jibril menyampaikan wahyu kepada Muhammad saw dengan cara yang mengerikan, didekap dengan keras sampai kepayahan, ketakutan, dan tidak mengetahui perihal kenabiannya. Padahal dalam al-Quran surah Al-An`aam [6] ayat 125, adh-Dhuha [93]: 6-11, dan al-Insyirah [94]: 1-3, bahwa yang mendapatkan petunjuk (wahyu) jiwanya akan merasakan tenang, tenteram, gembira, dan dadanya lega. Orang yang mendapat wahyu seperti Muhammad bin Abdullah seharusnya digambarkan bahagia karena merasakan ketenteraman luarbiasa. Bukan sebaliknya. 

Kemudian pada bagian 15, Kesaksian Waraqah. Disebutkan bahwa Khadijah mendatangi Waraqah, seorang ahli kitab yang juga masih ada hubungan saudara dengan Khadijah, untuk menanyakan kejadian yang dialami suaminya di Gua Hira. Waraqah membenarkan bahwa yang datang itu malaikat yang diutus Allah untuk memberi wahyu. 

Dari kisah tersebut jelas sebuah keanehan yang tidak dapat diterima dengan nalar bahwa seorang calon Nabi tidak tahu kalau dirinya akan mendapat wahyu sehingga harus diyakinkan oleh tokoh Nasrani. Betulkah kisah ini? Dari riwayat tersebut tampaknya ada sebuah pesan yang menyelusup bahwa Islam dan nabinya, Muhammad saw, ditemukan melalui ajaran Kristen. Padahal, kalau melihat rentang masa diangkatnya Nabi Isa as ke langit hingga munculnya Muhammad saw selaku Nabi terakhir sangat jauh. 

Prof.Dr.’Adil Thaha Yunus dalam kitab Hayah Al-Anbiya: Baina Haqa’iq At-Tarikh wa Al-Mukhtasyafat Al-Atsariyyah Al-Jadidah (Kairo-Mesir:Maktabah Quran, 1990) menyebutkan bahwa jarak antara kelahiran Nabi Isa as dan kelahiran Nabi Muhammad saw adalah 571 tahun. Mungkin selama empat abad lamanya ajaran Nabi Isa as masih murni? Kalau selama hidup Nabi Isa as saja masih terjadi penyimpangan ajaran Allah, apalagi ketika sesudah wafatnya pasti sudah jauh dari benar. Dengan demikian, riwayat tersebut perlu dikaji kembali secara metodologi sejarah. Selama belum terbukti validitas sumbernya, wajib untuk tidak dipercaya.   

Kisah lainnya yang perlu dikaji adalah kasus hilangnya kalung Aisyah (11, Kalung Aisyah) yang menyambung dengan isu Nabi hendak menceraikan Aisyah (12.Desas Desus) karena dianggap ’selingkuh’ dengan pemuda Shafwan bin Al-Mu’attal. Pada kisah ini Tasaro cukup lihai dengan menghilangkan konsultasi Rasulullah saw kepada Usamah bin Zaid dan Ali bin Abi Thalib tentang kasus tersebut. Padahal, dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Aisyah binti Abi Bakar bahwa Usamah menyatakan desas-desus tersebut bohong. Sedangkan Ali bin Abi Thalib mengatakan, ”Wahai Rasul! Masih banyak perempuan dan engkau bisa mendapatkan gantinya!...” 

Apabila kita lihat dengan akal sehat bahwa sangat tidak mungkin seorang Nabi yang senantiasa berada dalam naungan Allah dan mendapatkan pencerahan Ilahiah berkonsultasi dengan seorang Usamah yang ketika itu belum berumur 17 tahun dan belum berpengalaman dalam urusan rumah tangga. Sementara meminta pendapat kepada Ali, suami putri Rasulullah saw, dapat dinilai wajar karena sudah berkeluarga dan termasuk pintu ilmu Rasulullah saw. Tidak aneh kalau kisah ini pula yang mengompori Aisyah bin Abi Bakar untuk menentang kepemimpinan Ali bin Abi Thalib hingga terjadi Perang Jamal. Aisyah masih merasa sakit hati atas komentar Ali bin Thalib yang disampaikan kepada Rasulullah saw. 

Beberapa kisah itulah yang membuat saya semakin yakin bahwa ada masalah dalam takhrijul hadits (seleksi hadits) dan tadwinul hadits (penyusunan hadits) sehingga lolos dan dianggap sebagai kebenaran. Lantas bagaimana kita sebagai umat Islam menyikapinya? Tentunya harus berani melakukan kajian kritis atas semua riwayat atau sumber penulisan Sirah Nabawiyah. (tamat) ***

 Ahmad Sahidin, alumni UIN SGD Bandung