Rabu, 23 Maret 2022

Novel Sirah Nabawiyah: Telaah terhadap karya Idrush Shahab dan Tasaro GK (2)

Nama Tasaro GK dalam jagad kesusastraan Indonesia kontemporer sudah tidak asing lagi. Ia dikenal aktivis Forum Lingkar Pena (FLP). Setelah novel Galaksi Kinanthi, Tasaro pada 2010 melahirkan Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan yang diterbitkan Bentang Pustaka. Peluncurannya pun tidak tanggung-tanggung menghadirkan sejarawan Azyumardi Azra yang memberikan apresiasi positif atas lahirnya Sirah Nabawiyah versi novel.   

Novel ini berisi dua cerita berbeda yang disatukan dalam satu masa (periode abad 7 masehi). Yang pertama berkaitan dengan sejarah perjuangan Muhammad saw dan proses dakwah Islam di Makkah dan Madinah, Arab. Sedangkan kedua adalah menceritakan sosok Kashva yang mencari kebenaran tentang utusan terakhir Tuhan. Cerita pertama berdasarkan catatan sejarah Muhammad saw dan cerita kedua berdasarkan bacaan yang dihadirkan dalam bentuk imajinasi. Dua elemen dasar penulisana inilah yang menjadikan novel Tasaro berbeda dari novel-novel nabi yang beredar di masyarakat. 

Membaca novel ini, bagi mereka yang bergelut dalam studi agama-agama atau perbandingan agama, muncul kesan pembenaran atas nubuwwah Muhammad bin Abdullah yang menjadi Nabi terakhir (versi Islam). Hal itu tampak dari beberapa kutipan Kitab Suci kuno yang di dalamnya mewartakan tentang munculnya sosok utusan Tuhan akhir zaman. Mungkin akan sangat bagus untuk dibahas kembali oleh mereka yang bergiat dalam wacana pluralisme dan studi agama-agama. Siapa tahu kutipan ayat-ayat yang dianggap penulis novel ini meramalkan hadirnya utusan Tuhan yang terakhir (Muhammad saw) tidak benar menurut para tokoh agama-agama yang kitab sucinya disebutkan dalam novel ini. 

Melalui sosok Kashva, Tasaro bercerita dengan bahasa mengalir tentang perjalanan seorang pencari kebenaran yang menelusuri jejak utusan akhir zaman (Nabi Allah) dari satu kitab suci ke kitab suci lainnya. Keluar dari Persia untuk menemukan sosok utusan Tuhan yang dikabarkan dalam kitab suci agama Zoroaster, Hindu, Budha, Kristen, dan lainnya. Ia berkelana sampai ke India, Pegunungan Es, Tibet, dan Cina, hanya untuk menemukan sosok utusan Tuhan yang dikabarkan dalam berbagai Kitab Suci. Kabar perihal adanya utusan Tuhan (terakhir) itu Kashva dapatkan dari seorang kawan jauh yang melakukan surat menyurat. Elyas namanya, berasal dari Syiria. Dialah yang mengabari Kashva perihal adanya utusan Tuhan di Tanah Arab yang disebutkan dalam berbagai Kitab Suci. 

Anehnya, Kashva dalam pencariannya yang dikejar-kejar pasukan Khosrou (penguasa Persia) tidak langsung ke Makkah melalui Irak, Syiria, Yordan, dan Arab. Namun, malah memilih jalur tempuh lain yang secara logika malah menjauh. Tampaknya ambisi ruhaniah (spiritual) Kashva untuk mengonfirmasi kebenaran tentang adanya utusan terakhir Tuhan yang disebutkan dalam kitab-kitab suci. Akan tetapi, perjalanan Kashva dalam novel ini baru sampai Tibet. Berakhirkah di sana? Tidak! Kabarnya, perjalanan Kashva dilanjutkan dalam novel kedua yang sedang ditulis Tasaro. 

Pada cerita Muhammad saw, Tasaro menceritakan sejarah lahirnya Islam di Tanah Arab dan reaksi hadirnya Muhammad saw di tangah masyarakat jahiliah. Bahasa yang digunakan Tasaro GK terasa menyentuh emosi sehingga adegan demi adegan dan babak demi babak terasa hidup. Pada kisah Perang Uhud dan sosok tentara Muslimah pembela Nabi saw hadir dengan lugas, apik, dan menyentuh. Terasa pada adegan cabut mata panah dari wajah Muhammad saw seakan-akan pembaca melihat sendiri kejadiannya. Termasuk mukjizat memancarnya air dengan celupan anak panah pun dimunculkan oleh Tasaro GK. Cerita Muhammad saw dalam novel ini kemudian berakhir dengan ajakan masuk Islam melalui surat kepada Raja Persia (Dinasti Sassania), Kavadh. (bersambung)

Ahmad Sahidin, pembaca buku