SUDAH lama aku tak bercerita tentang keresahan dan ketakberdayaan hidup. Namun kali ini aku ingin bercerita dari kisah seorang filsuf Muslim abad 12 Masehi yang dijatuhi hukuman mati karena pemikiran dan keyakinannya berbeda dengan ulama mayoritas. Siapakah ia?
Beliau adalah Syaikh Isyraqi Syihabuddin Yahya as-Suhrawardi, yang dihukum gantung oleh Sulthan Shalahudin al-Ayyubi. Filsuf yang wafat pada usia 35 tahun ini merupakan guru Malik Az-Zhahir, putra Sulthan Shalahudin al-Ayyubi.
Cerita ini kudapatkan dari buku “Hikayat-hikayat Mistis” karya Syaikh Al-Isyraq Syihabudin Yahya as-Suhrawardi. Aku ingin bercerita dari bagian “Suatu Hari Bersama Sekelompok Sufi”. Pada hikayat ini, penulis yang dikenal sebagai filsuf sekaligus sufi menyampaikan pengalaman intuitif dengan bahasa sastra. Ia bercerita, dirinya diajari seorang guru yang hingga dirinya paham tentang hakikat semesta dan kehidupan ini.
Namun suatu ketika, ia melafalkan
kalimat-kalimat itu di lingkungan yang belum paham akan isi dari
kalimat-kalimat yang didapatkan dari ajaran gurunya itu. Seketika itu juga
orang-orang di sekitarnya menamparnya—karena dianggap bisa terjerumus dalam
syirik dan zindiq. Gurunya yang hadir dalam pertemuan itu yang sedang
mengajarkan pengetahuan padanya, namun tak terlihat oleh yang lainnya, langsung
menghilang.
Ia kemudian mencarinya. Tapi tak ditemukan
juga. Hingga tiba di sebuah khanaqah (balai pertemuan para sufi) dan
bertemu dengan seorang bapak yang mengajaknya berbincang. Ia pun bercerita
perihal yang membuatnya sedih hingga bertemu dengannya. Bapak itu membenarkan
yang disampaikan gurunya itu, yang mengatakan, “Jika mengkabarkan sesuatu yang
tidak sesuai dengan yang diyakini mereka, pasti berdampak kurang baik. Mereka
yang tak paham akan hakikatnya tak akan merasakan lezatnya apa yang kau alami.”
“Jika kau ingin betemu gurumu itu, bersihkan
dirimu dan jalani riyadhah. Insya Allah kau akan menikmati kembali apa
yang kau dapati dari gurumu itu. Kau akan merasakan betapa nikmatnya meneguk
pengetahuan sejati. Tak semua orang bisa meraihnya,” pesannya.
Masih dalam buku itu, diceritakan bahwa bapak yang mengajarinya itu memberikan pelajaran bagaimana memandang segala fenomena yang ada pada alam semesta.
Menurutnya, ada tiga pandangan: pertama, memandang
dengan apa adanya secara fisik; kedua, melihat rahasia yang terdapat dibalik
fenomena sehingga bisa mengambil hikmah yang bermanfaat; ketiga adalah mereka
yang memandang fenomena sebagai realitas yang hakiki. Mereka yang memandang
dengan yang ketiga ini, dalam memandang “sesuatu” tidak lagi seperti yang
kedua, yang menggunakan penalaran intelektual, tetapi langsung bisa memahami
apa-apa yang dilihatnya dan yang seharusnya dilihat. Penglihatannya ini
berdasarkan eksperensial intutif atau pengalaman ruhani. Orang yang
seperti ini tak perlu bersusah payah dalam memahami fenomena, tapi justru
fenomena itu sendiri yang hadir mengkabarkan padanya (knowledge by presence).
Memang untuk melangkah atau menjadi (yang
termasuk) kategori ketiga ini cukup berat. Selain harus mau berproses dengan
waktu yang cukup lama dan disiplin diri pun tak kalah harus tetap dijalaninya.
Suhrawardi sendiri sebagai selaku penempuh yang telah merasakan manfaatnya, menginformasikan bahwa untuk mencapai tingkatan yang ketiga itu ada tiga hal yang harus dilakukan.
Pertama, selain
menjalankan amaliyah syariat Islam (ibadah) yang benar, juga dianjurkan untuk
melakukan puasa selama empatpuluh hari. Aku tak tahu apakah ini ada tuntunan dari
Rasulullah saw? Kupikir orang tak akan mampu puasa selama empatpuluh hari
berturut-turut. Mungkin juga ada yang mampu—bila memang itu ditekadkan dalam
dirinya. Kupikir puasa ini bukan puasa syariat seperti tidak makan-minum-dan tidak
berhubungan seksual seperti puasa Ramadhan, tetapi puasa yang melatih diri kita untuk tidak terjerat atau
dikuasai nafsu duniawi dan memfokuskan diri hanya kepada Allahu Rabbul Izzati.
Mungkin dengan terus-menerus selama empatpuluh hari berada dalam kontrol atau kendali
syariat agama akan menjadikan diri berada dalam posisi suci. Juga berada dalam
keadaan terjaga dan mampu membentengi dirinya dari hal-hal yang
menjerumuskannya dalam kesia-siaan. Ini yang kukira maksud puasa yang
dianjurkan Suhrawardi.
Kedua, sembari terus melakukan puasa dan
aktivitas syariat, diharuskan mengkosongkan diri dari hal-hal duniawi seperti
jangan menumpuk harta dan kekayaan atau benda-benda materi serta mulai
menghindarkan dari kesenangan-kesenangan psikologis. Juga hindarkan diri dari
aktivitas yang tercela, kemaksiatan dan yang merugikan orang lain.
Menurut Suhrawardi, untuk itu seseorang harus
membebaskan dirinya dengan kepasrahan total kepada Yang Mahasegalanya
(Allahuta`ala)—sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku, semuanya
hanya bagi Tuhan semesta alam. Orang yang pasrah kepada Tuhan semesta alam
termasuk kategori manusia sejati. Kehidupan dengan bergelimang harta dan
kemewahan atau manusia yang terikat dengan keduniawian tak akan pernah bisa
pasrah. Orang yang masih mengkhawatirkan kehidupannya, pasti tak akan mau
melepaskan hal-hal yang dicintainya, baik itu harta, anak, istri, atau
kedudukan. Karena itu, untuk menjadi manusia sejati sangat diperlukan
keberanian untuk melepaskan/meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi.
“Dunia kepasrahan merupakan dunia yang sangat
menyenangkan. Tapi tak semuia orang menginginkannya,” kata Suhrawardi (hal.73).
Pada bagian hikayat “Kanak-kanak”, Suhrawardi
menegaskan bahwa manusia dengan segala kekayaan atau duniawinya, sangat berat untuk
meninggalkan semua itu untuk menuju Ilahi. Bila direnungi, yang namanya dunia
itu bersifat sementara dan tak pernah mencapai puas. Pasti selalu ingin
mempertahankannya dan berat untuk meninggalkannya—karena menganggap itu semua
berarti baginya.
Sosok manusia yang dirasuki cinta dunia
inilah akan selalu mengkhawatirkan nyawa dan anggota-anggota tubuhnya. Ketika
ia kehilangan segala harta benda atau duniawinya, ia akan merasakan betapa
pahitnya hidup dan berputus asa. Hal ini yang perlu dilepaskan dengan
memasrahkan diri sepenuhnya kepada Allah Yang Mahasegalanya.
Ketiga adalah mulai memikirkan (tafakur)
secara mendalam tentang hakikat eksistensi diri dan semesta, termasuk Tuhan.
Dalam proses perenungan ini tak jarang dihinggapi rasa tak was-was dan
ketakutan akan masa depannya? Atau takut pada masa yang belum dialaminya. Harus
diakui bahwa aku kadang merasakan takut yang luar biasa. Aku senantiasa takut
dengan hari esok. Takut dan sungguh ini yang terasa hantuiku. Aku sadar esok
bukan milikku. Hanya milik Tuhan semesta alam. Dia Mahamenentukan. Dia
Mahapengendali. Dia Yang Mahatahu. Seperti apa dan bagaimana aku esok? Kutahu
ini misteri.Namun kuakui belum mampu pasrah. Aku sendiri mengakui bahwa imanku
belum sampai pada Ilahi.
Kenapa dan mengapa ini bisa terjadi dan
hinggapi manusia? Suhrawardi menjelaskan bahwa hal-hal eksistensial mucul
karena Tuhan telah memberikan potensi-potensi yang bersifat fitrah, salah
satunya yang disebut huzn (kesedihan). Huzn ini muncul ketika
diri merasa tak berdaya. Ini sifatnya fitrah. Semua orang mengalaminya. Namun
tak semua orang kuat berada dalam kondisi sedih. Mereka yang tak kuat, tak
jarang melakukan tindakan yang luar logika manusia. Bunuh diri atau ngamuk,
misalnya. Jiwa seperti memang sedang berada di bawah sadar. Tapi beda dengan
para sufi yang sedang “fana” atau “mabuk” karena dekat dan terpesonanya pada
Sang Maha Realitas—sufi beraliran wihdatulwujud dan ittihad
biasanya mengalami fenomena ini.
Seperti cinta tak bisa diketahui orang lain.
Hanya yang mengalaminya yang akan tahu. Sang pecinta yang akan meraskan pahit,
derita, dan keindahannya. Keindahan yang ditampakannya itu merupakan
manifestasi cinta sehingga yang dilihat dan dialami, seberat apa pun,
diangapnya bentuk kasih sayang. Ia akan menerimanya sebagai syukur dengan
penuh kepasrahan padanya.
Mengapa bisa begitu? Mungkin ia sudah
merasakan dirinya bersatu dengan Sang Realitas (baca: Tuhan) yang dicintainya.
Tidakkah ini bentuk ketidakberdayaan yang memberdayakan dirinya? Entahlah, yang
pasti aku sendiri tak pernah mengerti. *** (ahmad sahidin)