Senin, 28 Februari 2022

Menziarahi Pusara Ulama

Dr KH Jalaluddin Rakhmat, yang biasa disapa Kang Jalal, adalah sosok cendekiawan yang ramah dan murah senyum. Ia selalu menyapa orang dengan kalimat yang menyejukan. Kalau ada orang yang saat bersalaman coba mencium, segera menariknya.

Pernah saat selesai acara seminar, tangannya dicium seorang mahasiswa. Dengan cepat ia mencium kembali tangan mahasiswa tersebut. Sesuatu yang tidak biasa, tetapi memang itulah faktanya. Alih-alih ingin diperlakukan istimewa atau terhormat, lelaki kelahiran Bandung, 29 Agustus 1948 ini yang dikenal sebagai ilmuwan komunikasi dan peminat psikologi ini justru tidak demikian.

Terbukti dalam sebuah pertemuan usai pengajian ahad, Ustadz Jalal—sapaan jamaah kepada Jalaluddin Rakhmat—menyatakan dirinya bukan ulama. Jelas bahwa Ustadz Jalal merupakan sosok guru yang tidak ingin diistimewakan. Memang demikian sejatinya seorang guru, bersikap tawadhu. 

Kalau dilacak dari karya tulis dan perannya, tampak bahwa Ustadz Jalal tidak kenal lelah mengalirkan ilmu dan mencerakan pemikiran umat Islam. Terasa segar kalau sudah menyimak ceramahnya. Kalau menjawab sebuah masalah, tidak bernada serius dan kadang menawarkan alternatif sehingga dapat memilih.

Setiap kali mengikuti pengajian atau seminar, selalu saja ada pengetahuan baru yang saya dapatkan darinya. Mungkin ini yang membedakannya dengan ustadz lain yang kadang terasa hambar dan mengulang-ulang bahasan yang pernah dikupas orang lain. Meski temanya biasa atau sederhana, kadang Ustadz Jalal melihat dengan analisa dan paradigma ilmu-ilmu kontemporer serta disajikan secara ilmiah, sehingga terasa segar dan orang yang menyimak menjadi bertambah perspektif. Karena itu, analisa Ustadz Jalal membuat audiens dapat pemahaman yang lebih mendalam. Apalagi bicara Islam, tidak hanya Ahlulbait kadang mazhab lainnya pun disebutkan dengan telaah kritisnya. Pada kesempatan lainnya, kadang mazhabnya sendiri, yakni Syiah, diberi catatan kritis dan audiens diajak untuk memikirkan ulang doktrin yang diyakininya. 

Meski saya menganggapnya ulama, tetapi Ustadz Jalal sendiri menyebutkan bahwa orang yang layak disebut ulama di Indonesia salah satunya adalah penulis Tafsir Mishbah, yaitu Muhammad Quraish Shihab.

Pernyataan demikian saya anggap sebagai sikapnya yang merendah, handap asor. Seperti padi, semakin berisi makin merunduk. Bahkan, dalam sebuah acara keagamaan yang mengundang tamu dari Kedutaan Besar Iran pun masih sempat mengatur acara dan bolak-balik mendatangi pemandu acara serta mengatur jalannya kegiatan tersebut. Padahal, posisi Ustadz Jalal adalah orang penting dalam kegiatan tersebut.

Tampaknya, bukan sesuatu yang mustahil kalau dalam setiap kegiatan agama seperti Asyura, Idul Ghadir, dan Maulid yang digelar Yayasan Muthahhari dan IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia) ada sentuhan tangan dan percikan nalar Ustadz Jalal. Saya yakin bahwa Ustadz Jalal bukan tidak percaya pada yang muda, tetapi keterlibatannya menjadi motivasi bagi yang lain yang lebih muda.

Kalau melihat Ustadz Jalal terlibat langsung dalam acara, saya selaku orang muda menjadi malu karena hanya berperan sebagai penonton dan penikmat. Saya kira serpihan hidup Ustadz Jalal yang demikian itu selayaknya menjadi pelajaran.

Izinkan saya bercerita lagi. Saya pernah hadir dalam acara di Muthahhari Bandung. Dalam suatu acara, saya duduk paling depan. Tiba-tiba saya mendengar ada suara yang khas, saya tengok ke belakang ternyata Ustadz Jalal. Lalu, saya coba bergeser ke ke balakang mempersilahkan Ustadz Jalal untuk di shaf depan. Ustadz Jalal berkata: "Tidak apa-apa di belakang juga. Saya tidak boleh menggeser orang yang sedang bermajelis." Selanjutnya, setelah dipanggir mc, Ustadz Jalal pun bergerak ke depan dan berdiri tepat depan saya. 

Pernah juga satu saat, setelah acara tahlilan di Muthahhari. Saya dapat makanan dan panitia meminta jamaah makannya di luar gedung. Saya bergerak dan duduk depan gedung tersebut. Duduk bersila bersama kawan lainnya. Membuka kotak makanan. Saat saya memakan sekira dua suap, Ustadz Jalal duduk samping saya dan membuka kotak makanan. Terdengar suara yang ramah meminta izin duduk kepada saya. Tentu saya iyakan. Beliau membuka kota makanan dan memulai basmallah, shalawat dan doa makan. Kehadirannya menyadarkan kepada saya bahwa tadi makan belum berdoa. Lalu saya bacakan doa dalam hati. Luar biasa kehadiran Ustadz Jalal membuat saya menyadarkan bahwa adab dalam makan harus terus dijaga, di antaranya berdoa kepada Allah. 

Dalam satu kesempatan lainnya, saya pernah bertanya kepada Ustadz Jalal tentang agama yang saat mayoritas menjadi gerakan intoleran. Beliau mengatakan bahwa memang demikian umat beragama itu. Budha saja sebagai agama yang dikenal ramah dan penebar damai ketika dominan dalam suatu bangsa dan negeri maka akan berperilaku kebalikan dari karakter agamanya. Banyak faktor, tetapi politik dan otoritas pada satu negeri itu yang menjadikan agama tidak lagi mewujudkan damai.     

Satu lagi, masih terkait dengan Ustadz Jalal. Pernah saya tanya langsung tentang semiotika dan hermeneutika serta posmodernisme. Tak disangka, beliau mengetahui dan sanggup menerangkan beberapa pemikiran beserta contohnya dari filsuf Ricour, Gadamer, Barthez, Heidegger, Jasper, Sartre, Strauss, dan lainnya. Bahkan saat ditanya tentang mitos tokoh Sunda yang bertemu dengan Sayyidina Ali as pun Ustadz Jalal menjelaskan dengan pendekatan semiotika dan hermeneutika. Tambah kagum saya saat beliau menyusun disertasi di UIN Alauddin Makassar tentang historiografi, yang begitu mudah dicerna kala dibaca disertasinya. 

15 Februari 2022, Ustadz Jalal dan istrinya haul ke-1. Saya tidak ziarah pada harinya, tetapi ziarah sekira dua minggu setelahnya. Menggunakan motor bergerak menempuh perjalanan sekira dua setengah jam, dari Sukamenak (Kopo Sayati) menuju Sangiang, Lembanggede, Rancaekek. Meski dua daerah ini sama-sama berada di Kabupaten Bandung, tetapi berjauhan. Yang satu kawasan Bandung Selatan dan satu lagi Bandung Timur. Harus diakui Timur memang pusat pancaran cahaya, sehingga ke sanalah harusnya bergerak merapat untuk mendapatkan energi (spirit).   

Saat tiba di Mazar, tumpah air mata saya. Setelah wudhu langsung ucap salam dan ambil buku doa di rak buku. Saya membaca Al-Quran surah yaasin dan doa tahlil, meski terbata-bata terus dituntaskan.  Tangan saya menyentuh pusaranya, shalawat dan doa dihantarkan untuk penghuni pusara. Di mazar terasa sejuk, wangi dari bunga-bunga mekar, dan terdengar gemericik air dari kolam kecil. Saya lihat bagian belakang ternyata ada bunga-bunga yang mekar. Pokoknya enak, adem, dan segar udaranya. 

Satu yang menurut saya masih kurang di mazar, yakni tidak ada aviary berisi burung yang berkicau indah. Mungkin bisa ditempatkan burung anis biru (sikatan ninon atau selendang biru), burung mugimaki, burung pleci, atau burung lainnya yang bersuara merdu. Andai ditambah aviary mini, pasti lebih syahdu saat melantunkan doa. Bukankah suara burung masuk kategori dzikir kepada Allah? Maaf itu hanya saran saja. Mungkin juga tidak tepat untuk tempat sakral tersebut. Semoga saya bisa terus diberi kesempatan untuk ziarah kepadanya. 

Meski sudah wafat, warisan intelektual Ustadz Jalal hingga kini masih segar dan renyah dicerna. Saya suka dengan kajian maqashid syariah, kajian ushul fiqih yang dikemas secara mudah dengan contoh yang relevan. Dan kini kajian itu dilanjutkan putranya, Ustadz Miftah Rakhmat. Seperti ayahnya, Ustadz Miftah pun kajiannya mudah dipahami (meski harus diregepkeun heula ti mimiti).  Saya bersyukur dokumentasi audio (soundcloud) dan video (youtube) sampai hari ini masih bisa dinikmati. Bahkan kajian Ustadz Jalal tahun 1980-an pun masih bisa disimak. 

Alhamdulillah, ada YouTube Misykat TV dan soundcloud.com/misykat-bandung, yang begitu konsisten menyajikan rekaman dari Ustadz Jalal. Hatur nuhun. *** (Ahmad Sahidin, alumni UIN SGD Bandung)