Sabtu, 13 Februari 2016

Benarkah KH Hasyim Asyari Menolak Syiah?

Saya pernah menulis artikel di kompasiana dengan judul: Orang NU Ditanya tentang Mazhab Syiah (setelah saya cek dalam internet, tulisan tersebut hilang dan tidak ditemukan lagi; untungnya tanggapan atas tanggapan pernah saya kirim ke situs Misykat).

Kemudian ada komentar pada tulisan saya di kompasiana: “Mengenai Syiah sebetulnya sudah sedari awal ketika NU berdiri melalui salah satu pendiri NU telah mengingatkan bahaya Syiah sebagai paham di luar Ahlu sunnah wal jamaaah Adalah KH. Hasyim Asyari dalam Muqoddimah qonun asasi NU menjelaskan dengan gamblang bahwa di luar 4 Imam mazhab, seperti Syi’ah Imamiyyah dan Syi’ah Zaidiyyah adalah ahli bid’ah. Sehingga pendapat-pendapatnya tidak boleh diikuti. Tak lupa, KH. Hasyim mengutip sebuah hadist, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Apabilantelah nampak fitnah dan bid’ah pencacian terhadap sahabatku, maka bagi orang alim harus menampakkan ilmunya. Apabila orang alim tersebut tidak melakukan hal tersebut (menggunakan ilmu untuk meluruskan golongan yang mencaci sahabat) maka baginya laknat Allah, para malaikat dan laknat seluruh manusia”nn Sumber).

SAYA hanya tertawa. Pasalnya ada keanehan: masa orang NU menolak Syiah dan sebut bidah pada mazhab selain Syafii, Hanbali, Maliki, dan Hanafi. Karena itu, saya tidak tertarik untuk telusuri lebih jauh datanya. Dari sana saja sudah jelas tidak akan sampai pada derajat valid dan akurat.

Apakah benar KH Hasyim Asyari bilang tidak boleh ikuti Syiah? Ini saya kira harus dikaji lagi dan barangkali ada penjelasan dari teman-teman NU (Nahdlatul Ulama) karena beda dengan tokoh-tokoh NU sekarang yang pro Syiah. Mungkin kurang gaul waktu itu KH Hasyim Asyari.

Kalimat yang terakhir itu dianggap tidak etis oleh seseorang dalam forum milis. Saya hanya senyum dan biasanya yang bilang begitu adalah pecintanya. Karena itu, saya menulis: punten kanggo nu ngarasa warga NU, bukan maksud hina. Saya hanya heran saja pada Kiai Hasyim, dalam sejumlah tulisan disebutkan Beliau itu sangat antusias dengan tasawuf wihdatul wujud dan pemahaman sufi yang bernuansa falsafi. Biasanya orang yang bersentuhan dengan tasawuf lebih terbuka dengan paham apa pun. Aneh kalau muncul dari sosok besar KH Hasyim Asyari menyatakan tolak paham bidah (yang disebutkan di atas termasuk Syiah)?

Nah, dalam hal ini harus dikaji lagi bahwa yang dimaksud Syiah oleh KH Hasyim Asyari? Ini yang saya kira tak pernah dibahas dan dipahami oleh orang-orang yang gunakan namanya untuk tolak Syiah. Sebetulnya kalau memang ada penerimaan atau penolakan Syiah oleh KH Hasyim Asyari itu bisa dilihat dari pesan atau ajaran yang diajarkan pada keluarganya. 

Sampai sekarang ini belum ada orang/tokoh NU yang terang-terangan menolak atau menyesatkan Syiah. Apalagi resmi dengan ormas NU, belum ada. Kalau dianggap orang NU memang ada. Kalau dilihat dari berita, malahan orang/tokoh NU itu banyak yang dukung Syiah. Saya yakin KH Hasyim Asyari dan warga NU yang tercerahkan tidak menolak Syiah.
Saya pernah baca buku Historiografi Haji di Indonesia yang diterbitkan LKIS. Itu buku hasil penelitian di Leiden, Belanda. Yang menulisnya Dr. M. Shaleh Putuhena, doktor sejarah. Kemudian ada buku Pergumulan Islam Indonesia karya BJ Boland.

Dalam kedua buku itu disebutkan bahwa ulama atau umat Islam yang akan naik haji dan ke luar negeri dibatasi pemerintah Belanda. Bahkan ada pembinaan khusus untuk orang yang akan belajar di tanah suci. Beberapa ulama sebelum kemerdekaan kedapatan bawa kitab saat pulang ke tanah air sehingga Belanda merazia dan melarang jamaah haji bawa kitab.

Pembatasan itu terjadi juga pada kiai yang kemudian dianggap orang-orang NU sehingga informasi yang masuk ke negeri Nusantara sangat dibatasi dan tidak memiliki ruang untuk mendapat info dari luar negeri secara global. Mungkin kajian Syiah juga belum bergaung. Karena yang gaung sejak abad modern tahun 1900an adalah gerakan puritanisme Abdul Wahab disebut dengan Wahabisme dan Pan Islamisme dari Muhammad Abduh dan Jamaluddin Afghani.

Gerakan pembaruan Islam inilah yang kemudian melahirkan Muhammadiyah dan PERSIS yang bercorak Wahabi. Misinya jelas tegak tauhid dengan melarang tradisi di Nusantara, yang kalau dikaji ada hubungannya dengan tradisi Syiah. Kemudian lahir NU sebagai penyeimbang dari dua ormas itu. Jelas ajaran NU mempertahankan tradisi Islam yang bercorak Syiah seperti ziarah kubur, shalawatan, tahlilan, dan selamatan lahiran (marhabaan baca kitab maulid barzanji), serta tawasul dan kirim doa untuk yang sudah wafat.

Sejarah mengisahkan KH Hasyim Asyari itu dididik Kiai Bangkalan yang sufi dan ahli quran. Saya kira sudah umum diketahui kalau sufi itu dekat dengan khazanah Islam Syiah dan jauh dengan Wahabi. Dari simpulan bacaan itulah saya coba komentar: kurang gaul karena terbatasi interaksinya dengan dunia Islam luar. Itu konteks historis yang saya ketahui.

Kembali pada masalah: benarkah KH Hasyim Asyari tidak anjurkan ikut Syiah dan menyatakan paham bidah? Setahu saya yang bilang bidah itu Wahabi, bukan NU. Jadi, kemungkinan itu dipelintir.

Saya cukup pegang pendapat Kiai Gusdur, Kiai Hasyim Muzadi, Kiai Alawi, Kiai Sahal Mahfudz, Kiai Said Aqil Siradj, yang jelas tidak menyatakan bidah atau anti Syiah. Buktinya NU dan IJABI serta ABI yang dikenal ormas Islam Syiah menggelar Maulid Nabi Muhammad saw secara bersama di Masjid Raya Bandung.