Saya pernah
menulis artikel di kompasiana dengan judul: Orang NU Ditanya tentang
Mazhab Syiah (setelah saya cek dalam internet, tulisan tersebut
hilang dan tidak ditemukan lagi; untungnya tanggapan atas tanggapan pernah saya
kirim ke situs Misykat).
Kemudian
ada komentar pada tulisan saya di kompasiana: “Mengenai Syiah sebetulnya sudah sedari awal ketika NU berdiri
melalui salah satu pendiri NU telah mengingatkan bahaya Syiah sebagai paham di
luar Ahlu sunnah wal jamaaah Adalah KH. Hasyim Asyari dalam Muqoddimah qonun
asasi NU menjelaskan dengan gamblang bahwa di luar 4 Imam mazhab, seperti
Syi’ah Imamiyyah dan Syi’ah Zaidiyyah adalah ahli bid’ah. Sehingga pendapat-pendapatnya tidak
boleh diikuti. Tak lupa, KH. Hasyim mengutip sebuah hadist, Nabi Muhammad SAW
bersabda: “Apabilantelah nampak fitnah dan bid’ah pencacian terhadap sahabatku,
maka bagi orang alim harus menampakkan ilmunya. Apabila orang alim tersebut
tidak melakukan hal tersebut (menggunakan ilmu untuk meluruskan golongan yang
mencaci sahabat) maka baginya laknat Allah, para malaikat dan laknat seluruh
manusia”nn Sumber).
SAYA hanya
tertawa. Pasalnya ada keanehan: masa orang NU menolak Syiah dan sebut bidah
pada mazhab selain Syafii, Hanbali, Maliki, dan Hanafi. Karena itu, saya tidak
tertarik untuk telusuri lebih jauh datanya. Dari sana saja sudah jelas tidak
akan sampai pada derajat valid dan akurat.
Apakah
benar KH Hasyim Asyari bilang tidak boleh ikuti Syiah? Ini saya kira harus
dikaji lagi dan barangkali ada
penjelasan dari teman-teman NU (Nahdlatul Ulama) karena beda dengan tokoh-tokoh
NU sekarang yang pro Syiah.
Mungkin kurang gaul waktu itu KH Hasyim Asyari.
Kalimat
yang terakhir itu dianggap tidak etis oleh seseorang dalam forum milis. Saya hanya
senyum dan biasanya yang bilang begitu adalah pecintanya. Karena itu, saya
menulis: punten kanggo nu ngarasa warga NU, bukan maksud hina. Saya hanya heran
saja pada Kiai Hasyim, dalam sejumlah tulisan disebutkan Beliau itu sangat
antusias dengan tasawuf wihdatul wujud dan pemahaman sufi yang bernuansa
falsafi. Biasanya orang yang bersentuhan dengan tasawuf lebih terbuka dengan
paham apa pun. Aneh kalau muncul
dari sosok besar KH Hasyim Asyari menyatakan tolak paham bidah (yang disebutkan
di atas termasuk Syiah)?
Nah, dalam
hal ini harus dikaji lagi bahwa yang dimaksud Syiah oleh KH Hasyim Asyari? Ini
yang saya kira tak pernah dibahas dan dipahami oleh orang-orang yang gunakan
namanya untuk tolak Syiah. Sebetulnya kalau memang ada penerimaan atau penolakan
Syiah oleh KH Hasyim Asyari itu bisa dilihat dari pesan atau ajaran yang
diajarkan pada keluarganya.
Sampai sekarang ini belum ada orang/tokoh NU yang
terang-terangan menolak atau menyesatkan Syiah. Apalagi resmi dengan ormas NU,
belum ada. Kalau dianggap orang NU memang ada. Kalau dilihat dari berita,
malahan orang/tokoh NU itu banyak yang dukung Syiah. Saya yakin KH Hasyim
Asyari dan warga NU yang tercerahkan tidak menolak Syiah.
Saya pernah
baca buku Historiografi
Haji di Indonesia yang
diterbitkan LKIS. Itu buku hasil penelitian di Leiden, Belanda. Yang menulisnya
Dr. M. Shaleh Putuhena, doktor sejarah. Kemudian ada buku Pergumulan Islam Indonesia karya BJ Boland.
Dalam kedua buku itu disebutkan bahwa ulama atau umat Islam yang akan naik haji
dan ke luar negeri dibatasi pemerintah Belanda. Bahkan ada pembinaan khusus
untuk orang yang akan belajar di tanah suci. Beberapa ulama sebelum kemerdekaan
kedapatan bawa kitab saat pulang ke tanah air sehingga Belanda merazia dan
melarang jamaah haji bawa kitab.
Pembatasan
itu terjadi juga pada kiai yang kemudian dianggap orang-orang NU sehingga
informasi yang masuk ke negeri Nusantara sangat dibatasi dan tidak memiliki
ruang untuk mendapat info dari luar negeri secara global. Mungkin kajian Syiah
juga belum bergaung. Karena yang gaung sejak abad modern tahun 1900an adalah
gerakan puritanisme Abdul Wahab disebut dengan Wahabisme dan Pan Islamisme dari
Muhammad Abduh dan Jamaluddin Afghani.
Gerakan
pembaruan Islam inilah yang kemudian melahirkan Muhammadiyah dan PERSIS yang
bercorak Wahabi. Misinya jelas tegak tauhid dengan melarang tradisi di
Nusantara, yang kalau dikaji ada hubungannya dengan tradisi Syiah. Kemudian
lahir NU sebagai penyeimbang dari dua ormas itu. Jelas ajaran NU mempertahankan
tradisi Islam yang bercorak Syiah seperti ziarah kubur, shalawatan, tahlilan,
dan selamatan lahiran (marhabaan baca kitab maulid barzanji), serta tawasul dan
kirim doa untuk yang sudah wafat.
Sejarah
mengisahkan KH Hasyim Asyari itu dididik Kiai Bangkalan yang sufi dan
ahli quran. Saya kira sudah umum diketahui kalau sufi itu dekat dengan khazanah
Islam Syiah dan jauh dengan Wahabi. Dari simpulan bacaan itulah saya coba
komentar: kurang gaul karena terbatasi interaksinya dengan dunia Islam luar.
Itu konteks historis yang saya ketahui.
Kembali
pada masalah: benarkah KH Hasyim Asyari tidak anjurkan ikut Syiah dan
menyatakan paham bidah? Setahu saya yang bilang bidah itu Wahabi, bukan NU.
Jadi, kemungkinan itu dipelintir.
Saya cukup pegang pendapat Kiai Gusdur, Kiai
Hasyim Muzadi, Kiai Alawi, Kiai Sahal Mahfudz, Kiai Said Aqil Siradj, yang
jelas tidak menyatakan bidah atau anti Syiah. Buktinya NU dan IJABI serta ABI
yang dikenal ormas Islam Syiah menggelar Maulid Nabi Muhammad saw secara
bersama di Masjid Raya Bandung.