Kesadaran sejarah menjadi garis besar dari karya
Sartono Kartodirdjo yang berjudul Ungkapan-ungkapan Filsafat Sejarah
Barat dan Timur: penjelasan berdasarkan kesadaran sejarah. Buku ini
diterbitkan Ombak, Yogyakarta, tahun 2014.
Sebelumnya diterbitkan Gramedia tahun 1990 sebagai cetakan
pertama. Tahun tersebut saya masih di sekolah dasar. Tentunya belum terpikirkan
dengan bacaan buku tersebut. Dan beruntung saya membaca bukunya pada tahun
2016.
Ya, memang telat. Tapi dalam dunia tak ada yang telat, hanya
persoalan akses informasi saja. Mungkin ada juga orang yang menggeluti sejarah
tanpa membaca buku filsafat sejarah tersebut.
Sartono memang pakar sejarah Indonesia dan ahli dalam ilmu sejarah. Banyak karya yang dihasilkan. Ada tiga buku darinya yang saya kagumi yaitu tentang filsafat sejarah, metodologi, dan historiografi. Ketiganya saya baca dan banyak pencerahan yang didapatkan.
Tentang filsafat sejarah ini sangat menarik. Tidak seperti buku lainnya, Sartono berhasil memberikan pencerahan secara umum tentang kebudayaan berupa "kesadaran" sejarah sepanjang masa sejak sebelum abad pertengahan hingga abad modern. Berhasil memetakan bahwa periode awal dalam memahami sejarah didasarkan pada kosmos yang melihat sejarah secara siklus. Manusia tak ada peran dalam gerak sejarah, semuanya dikendalikan fatum (takdir semesta) sehingga manusia dalam ruang dan waktu hanya menjalankan "takdir" hidup.
Memasuki abad pertengahan, kesadaran sejarah tidak lagi
melihat pada kosmos tetapi pada peran serta Tuhan dalam kehidupan manusia.
Pengaruh agama masuk dalam pandangan sejarah sehingga tokoh Agustinus, Otto,
Joachim, dan Hugo banyak menjelaskan sejarah dengan pendekatan teologi
Kristen. Bahkan dialektika sejarah pun didasarkan pada pertentangan
antara unsur ketuhanan dengan unsur iblis. Antara kebenaran dengan kejahatan.
Semua dialektika itu dipercaya akan berakhir dengan kemenangan dari kaum agama
dengan terbentuknya satu tatanan akhir sejarah berupa kerajaan Tuhan. Dengan
terbentuknya kerajaan Tuhan maka sejarah berakhir dan masuk periode
eskatologis.
Namun, sejarah membuktikan lain. Gagasan filsafat sejarah abad pertengahan dikritik dan dipertanyakan oleh ilmuwan atau filsuf yang hidup pada abad modern. Sebab mereka menemukan berdasarkan riset bahwa sejarah diperankan bukan oleh kekuatan di luar manusia, tetapi justru manusia yang menggerakkannya. Inilah fase antroposentrisme sebagai kelanjutan dari fase kosmosentrisme dan fase teosentrisme.
Pada abad modern, yang menjadi subjek sejarah bukanlah "alam" (kosmos) dan "Tuhan" (theos), tetapi manusia (antropos) yang bergerak dalam ruang dan waktu. Karena itu, gerak sejarah dalam bentuk (arus dan pola) tidak hanya siklus dan linier, tetapi ada spiral. Dari yang akhir ini lahir teori perkembangan dan perubahan berupa evolusi dan revolusi serta fluktuasi sejarah.
Para filsuf pada awal abad modern di Barat seperti Hegel,
Marx, Voltaire, Bossuet, Condorcet, Turgot, Simon, Comte, dan lainnya lebih
mengusung pola gerak sejarah linier dengan ujung sejarah dipengaruhi ide-ide “messianistik” yang merindukan akhir sejarah
yang gemilang sesuai dengan pemikiran dan harapan dari setiap filsuf tersebut.
Sebagai contoh Marx menyatakan akhir sejarah terjadi saat terwujudnya
masyarakat tanpa kelas (komunis). Atau filsuf August Comte yang percaya sejarah
berakhir saat seluruh umat manusia berada dalam tahap tercerahkan dengan ilmu
pengetahuan dan manusia bergantung dengan sains.
Demikian perjalanan kebudayaan manusia di Barat berdasarkan
filsafat sejarah. Sedangkan di Timur, Sartono hanya memunculkan fenomena harapan
tentang hadirnya Messiah berupa ramalan Pralambang Jayabaya di masyarakat
Indonesia sebelum merdeka. Ada tujuh periodesasi sejarah berdasarkan Pralambang
Jayabaya dari awal penciptaan dan penghuni awal tanah Jawa hingga masa akhir sejarah
sebagai masa keemasaan dan kemakmuran berdasarkan gagasan messianistik.
Saya kira bagian messianistik ini menarik dan menjadi khas,
karena Sartono berhasil menyajikan data sejarah perlawanan tokoh dan gerakan
melawan penjajah asing di Indonesia didasarkan pada semangat messianistik.
Sebagai contoh tentang perang Diponegoro ternyata ada spirit Ratu Adil yang
dipengaruhi agama Islam. Kemudian, yang menarik lagi bahwa mitos dan gagasan
eskatologis, menurut Sartono, bagian dari gagasan-gagasan filsafat sejarah.
Saya kira messianistik, mitos maupun eskatologis sejarah,
bisa disebut sebagai pemikiran sejarah yang khas dari pemikiran Sartono
Kartodirdjo. Meski mengangkat kearifan lokal dari masyarakat Nusantara,
terutama tentang periodesasi sejarah di Indonesia, tetapi unsur atau perspektif
agama Kristen dalam menyajikan "kesadaran" sejarah dari perkembangan
zaman.
Memang filsafat sejarah dunia Timur disebutkan dalam buku.
Namun sayangnya, pemikiran filsafat sejarah untuk bagian Timur tidak luas
seperti uraian tentang Barat. Padahal dalam pemetaan Hegel dalam
buku Filsafat Sejarah-nya bahwa Timur itu meliputi dunia Islam, Cina,
Jepang, dan lainnya. Mungkin belum tuntas saat menyajikan filsafat sejarah
dalam buku "Ungkapan-ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur" ini.
Maklum kini Prof Sartono sudah wafat sehingga meninggalkan "jejak"
pemikiran historis yang perlu dilanjutkan.
Sekadar info saja buku Prof Sartono ini tebalnya 156
halaman. Saya sudah dua kali khatam, tetapi bisa dikatakan bacaan
"teuas" alias susah dicernanya. Jadi, mesti berulang-ulang
membacanya. Namanya juga buku filsafat sejarah, tentu tidak seperti buku
sejarah. *** (Ahmad Sahidin)