Konon ada seseorang yang menginginkan baju yang di masa kanaknya
dipakai kembali pada masa dewasa yang sudah berbeda ukuran tubuh. Secara
logika, tentu tidak bisa dipakai kembali karena ukuran baju tersebut sudah
berbeda dengan ukuran tubuhnya. Jika dipaksakan akan tersiksa karena baju itu
kekecilan. Lalu, bagaimana caranya agar baju itu bisa terpakai olehnya? Hanya
satu pilihan: membeli kain dengan warna yang sama, lalu dijahit sesuai dengan
desain (pola) yang sama persis dengan baju yang diinginkannya dan disesuaikan
dengan ukuran tubuhnya.
Masyarakat Arab pada masa lahirnya agama Islam (yang dibawa dan disebarkan oleh Nabi Muhammad Saw) dikenal gandrung dengan minuman keras. Orang yang meminumnya akan mengakibatkan “ketidaksadaran” sehinga kemudian berani berbuat yang tidak semestinya. Karena itu, turunlah aturan berupa “ayat-ayat” dari Allah melalui utusan-Nya (Rasulullah saw) yang menceritakan bahaya khamr dan disusul dengan larangan terhadap minuman yang memabukkan.
Begitu pula dengan aturan untuk menutup seluruh tubuh perempuan (kecuali telapak tangan dan muka). Turunnya aturan tersebut menurut Ibn Katsir dan Imam Zarkasyi, perempuan pada masa itu terbiasa dengan keadaan telanjang dada dan leher tanpa kain yang menutupinya sehingga tampak jelas urat-uratnya dan bagian sekitarnya. Bahkan, mereka senang menjulurkan kain ke belakang sehingga membuat laki-laki berani menarik perempuan secara paksa demi memenuhi nafsu birahinya. Model pakaian seperti ini dipakai perempuan elit bangsa Arab dan model ini bisa memberikan semangat juang ke para lelaki yang hendak berperang. Bahkan, para perempuan Arab menjanjikan akan memberikan tubuhnya kepada lelaki yang berhasil membunuh Muhammad bin Abdullah yang dianggapnya merobohkan tatanan sosial-ekonomi-budaya dan agama yang berlaku saat itu.
Lalu, Allah menurunkan surah An-Nur ayat 31 yang memerintahkan untuk tidak memamerkan perhiasan dan disuruh untuk menjumbaikan kerudungnya ke bagian kantong-kantong dada Muslimah—khususnya istri-istri Nabi—sebagai pembeda dengan perempuan musyrik. Ayat itulah yang kemudian merevisi tradisi berpakaian perempuan Arab tanpa menetapkan corak, warna, model, dan jenis busananya. Yang ditekankan dalam konteks ayat tersebut adalah faktor moral, kebersahajaan, dan upaya antisipasi terhadap hal-hal yang tidak diinginkan yang bersifat merugikan. Atas konteks historis ini, jelas bahwa persoalan busana yang sesuai dengan syariat Islam bukan yang berlaku seperti di Arab, tetapi busana yang tidak mengumbar syahwat dan sekaligus dapat mencegah terjadinya tindakan yang merugikan perempuan.
Persoalan lainnya yang berkaitan dengan Arab adalah konstruksi budaya patrialkal yang mendominasi. Misalnya, salah seorang sahabat Nabi Muhammad saw merasa malu ketika memiliki anak perempuan sehingga menguburnya hidup-hidup. Ini menunjukkan bahwa tradisi Arab yang dominan saat itu atau kekuasaan dan kepemimpinan adalah milik laki-laki. Sedangkan perempuan adalah simbol kelemahan dan hanya dijadikan pemuas syahwat laki-laki. Bahkan, yang paling menakjubkan adalah tradisi menaikkan derajat manusia, yaitu jika seorang suami yang ingin mendapatkan keturunan ningrat atau bangsawan, ia harus mengirim istrinya untuk tinggal sekaligus berhubungan badan/kelamin (jima`) dengan orang yang dimaksud sampai hamil. Jika istrinya itu hamil dan melahirkan anak laki-laki (dari hasil persetubuhannya itu) akan dianggap berbakti dan tidak sungkan-sungkan diberi kalung dan gelang sebagai hadiah. Mereka meyakini bahwa kelahiran anak laki-laki tersebut dapat mengangkat derajat seseorang menjadi sekelas (selevel) ningrat atau bangsawan.
Budaya
Budaya pathrialkal ini kemudian membentuk gambaran teologis bahwa Tuhan atau Penguasa dan Pencipta langit dan bumi serta isinya disimbolkan dengan bentuk huruf kata ganti tunggal laki-laki, seperti “Hu”, “Lahu”, “Al -Lahu”, “Huwa” dan lain-lain. Tidak heran jika kita menemukan dalam beberapa ayat al-Quran, terutama dalam surat Al-Ikhlas terdapat term-term yang menunjukkan betapa kuatnya pengaruh dominasi budaya lokal Arab saat itu.
Selanjutnya dalam al-Quran ada ayat yang harus ditafsirkan secara kontekstual. Misalnya tentang zakat pertanian. Kita tahu sendiri rata-rata petani Indonesia hidupnya miskin dan penghasilannya kadang tidak mencukupi. Jika petani miskin harus ditarik zakatnya, pasti akan tampak zalim. Pak Amin Rais memaknai zakat pertanian sebagai “penghasilan” dari profesi manusia yang nilainya sampai dan melebihi batas nishab.
Perintah mengambil zakat pertanian tetap tertulis dan harus dilaksanakan, tetapi makna jenis zakatnya disesuaikan dengan kondisi zaman; yakni kaum Muslim yang berprofesi dengan penghasilan yang besar (seperti dosen, psikolog, dokter, penulis, kontraktor, pejabat negara, direktur, pengusaha, artis, dan lainnya).
Begitu pun dengan ayat tentang budak perempuan (pembantu rumah) yang diperbolehkan untuk “dinikmati” dan berada dalam kuasa tuannya selayaknya dipahami sebagai pekerja profesional yang memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan Tuhan. Dengan pemaknaan seperti itu, sedikitnya akan mengurangi penindasan dan pemerkosaan (karena merujuk pada posisi budak abad enam dan tujuh masehi) yang terjadi pada tenaga kerja wanita Indonesia di negara-negara Timur Tengah.
Karena itu, pemahaman Islam yang lebih kontekstual, mencerahkan, dan bersifat rahmatan lil `alamin sudah seharusnya disebarkan di negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Bukankah Islam itu menyeluruh dan universal? *** (ahmad sahidin)