Minggu, 10 November 2019

Peta Pemikiran Islam dari Klasik hingga Kontemporer

Saya meyakini bahwa khazanah ilmu-ilmu Islam tidak sepenuhnya murni produk wahyu, tetapi ada sentuhan budaya lokal dan daya kreativitas manusia sehingga sangat beragam bentuk dan coraknya. Entah itu berasal dari pengamatan langsung dari fakta, telaah teks (sumber ajaran Islam), atau “pengetahuan” yang hadir langsung saat melakukan riyadhah spiritual. Ketiganya itu menjadi khazanah pemikiran karya umat Islam.​

Terkait dengan khazanah, secara general pemikiran umat Islam terbagi dalam tiga: tradisional (abad 7 hingga 18 masehi), modern (abad 19 hingga 20 masehi), dan kontemporer (masa sekarang atau kekinian).

Pemikiran tradisional Islam yang lahir dari rahim sejarah, yang pertama adalah corak nalar-dialektik (jadali) yang diwakili teologi Syiah, Khawarij, Murjiah, Jabariyah, Qadariyah, Mu`tazilah, Asy`ariyah, Maturidiyah, dan lainnya. Kalangan ini mempersoalkan tentang ketuhanan, keimanan, takdir, dosa, kafir, kufur, imamah, khalifah, makhluk tidaknya Al-Quran, eksistensi Tuhan, dan perbuatan-perbuatan manusia.

Kedua adalah yang bercorak nalar-demonstratif (burhani) yang diwakili para filsuf seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Thufail, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan lainnya. Tema yang dibahasnya adalah Tuhan, alam, manusia, nubuwwah, peranan akal dan hati, politik, ekonomi, estetika, etika, dan lainya.

Ketiga adalah yang bercorak nalar-intuitif (irfani) yang diwakili oleh para sufi seperti Ibnu Arabi, Suhrawardi Al-Maqtul, Abdul Karim Al-Jilli, Abu Yazid Al-Busthami, Abu Mansur Al-Hallaj, Siti Jenar, Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatrani, Yusuf Al-Maqasari, Hasan Mustapa, dan lainnya. Tema yang dibahas tentang jalan atau cara menuju Tuhan, kesatuan eksistensi antara manusia dan Tuhan, mengungkap kebenaran (mukasyafah), tujuan hidup, sikap dan perilaku ibadah yang hakiki, masalah kebangkitan di akhirat, dan lainnya.

Keempat adalah bentuk pemikiran teosofi (hikmah) yang menggabungkan sumber dan metode (nalar intelektual) sebelumnya, yang biasanya disebut hikmah muta`aliyah. Pemikiran ini dicetuskan oleh Mulla Shadra dan dikembangkan oleh Mulla Muhsin Faidh Al-Kasyani, Syaikh Abdurrazak Lahiji, Mulla Sabziwari, Allamah Muhammad Husein Thabathabai`, Ayatullah Ruhullah Musawwi Khomeini, Ayatullah Murtadha Muthahhari, Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, dan Mehdi Haeri Yazdi. Selain mengkritik pemikiran-pemikiran Islam sebelumnya, mereka juga membahas persoalan baru dari filsafat dan realitas sosial, seperti eksistensialisme, integrasi (ilmu), ekologi, politik, wacana universalitas, dialog antaragama, masa depan manusia, dan lainnya.

Untuk pemikiran Islam modern dapat dilacak dari awal abad modern yang ditandai dengan munculnya gerakan pembaruan Islam (tajdiyah). Pemikiran Islam modern ini dibagi dalam dua model: ekstrem dan progres. Untuk gerakan tajdiyah ekstrem dapat dilihat dari gerakan kaum revivalis Islam pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang dipelopori oleh gerakan Wahabiyah di Arab, Sanusiyah di Afrika Utara, Fulaniyah di Afrika Barat, dan lainnya. Melalui pemikiran-pemikirannya, mereka yang termasuk kaum Muslim revivalis ini berupaya memurnikan ajaran Islam dari tradisi-tradisi dan ajaran yang bukan berasal dari Islam, khususnya tradisi keagamaan masyarakat lokal dan praktik-praktik ibadah kaum sufi yang dinilainya sebagai bid`ah dan menjerumuskan umat Islam dalam kemusyrikan.

Dengan semangat tauhid, mereka berupaya mengembalikan pemahman Islam kepada sumbernya: Al-Quran dan Sunnah. Dalam gerakannya mereka sampai melakukan tindakan yang keras, radikal, dengan menghancurkan pusara dan makam para wali, bahkan menganggap sesat pada yang berbeda pemahaman agama. Sehingga kehadirannya mendapat perlawanan dari umat Islam sendiri, bahkan tak jarang terjadi konflik fisik. Dengan slogan kembali ke Al-Quran dan Sunnah, mereka menginginkan Islam kembali ke zaman Nabi Muhammad saw yang dinilainya lebih otentik.

Untuk memuluskan gerakannya, Muhammad bin Abdul Wahab beserta pengikutnya bergabung dengan Abdul Azis bin Sa’ud mendirikan Kerajaan Arab Saudi pada 1924, sehingga Wahabiyah menjadi mazhab resmi Arab Saudi hingga sekarang. Gerakan tajdiyah ekstrem ini berpengaruh ke Indonesia dalam melahirkan organisasi keagamaan Muhammadiyah dan Persatuan Islam. Sedangkan pemikiran tajdiyah progres dapat dilihat dari muncul kaum modernis Islam, seperti Jamaluddin Al-Afghani, Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Iqbal, Muhammad Abduh, Ali Syari`ati, Imam Khomeini, Muhammad Natsir, dan lainnya. Kaum modernis ini masih juga berada dalam semangat pembaruan, tapi lebih mengutamakan pada rasionalisasi agama, mengembangkan pendidikan modern, merealisasikan nilai-nilai Islam yang humanis, dan berorientasi ke masa depan.

Sementara pemikiran Islam kontemporer, setidaknya diwakili para cendekiawan Muslim yang melakukan sintesis progresif dari pemikiran rasional-modern dengan tradisi khazanah pemikiran Islam tradisional. Contohnya adalah Fazlur Rahman, Nurcholish Madjid, Nasr Hamid Abu Zayd, Hasan Hanafi, Farid Essack, Jalaluddin Rakhmat, dan Abdul Karim Souroush.

Corak pemikiran Islam kontemporer lebih berupaya melakukan rekonstruksi wacana keislaman, mendamaikan konflik antar mazhab seperti Sunni dan Syiah dengan melakukan dialog antarmazhab, menafsirkan nash-nash Islam sesuai dengan konteks zaman dalam berbagai isu yang lebih relevan dengan persoalan umat Islam kontemporer, terutama kerukunan antar umat beragama dan wacana pluralisme.

Indonesia: Islam Massa

Pemikiran Islam Indonesia kontemporer setidaknya terbagi dalam tiga model: Islam Fundamental, Islam Liberal, dan Islam Non-Sekterian.

Model pertama diidentikan dengan kelompok Muslim yang berorientasi ke masa lalu. Isu-isu yang dihembuskan adalah penerapan syariat Islam dan menjadikan negara Islam atau pembebasan umat Islam dari tahayul, khurafat, dan bid`ah. Gerakannya pun biasanya meresahkan masyarakat, bahkan tak jarang dianggap terlibat dalam jaringan teroris dunia. Biasanya mereka ini dikenal saleh, rajin menjalankan ibadah mahdhah, dan ketat dalam aturan-aturan hidup serta senantiasa merujuk pada sumber Islam (Al-Quran dan hadits).

Model kedua (Islam Liberal) dicirikan dengan cendekiawan Muslim yang berorientasi ke masa depan dan berani melakukan penafsiran secara kontekstual dengan tetap mengacu pada sumber-sumber Islam. Kelompok Muslim ini sudah tidak segan lagi mengutip pendapat-pendapat dari para pemikir dan ilmuwan Barat dalam melakukan penafsirannya. Mereka lebih banyak menggunakan daya nalar (rasional) dalam berwacana, tidak menampakkan dalam ibadah, lebih dekat dan bahkan bekerjasama dengan non-Islam ketimbang dengan umat Islam. Wacana dan pemikiran yang diusungnya pun tidak jauh dari masalah perbedaan agama, hubungan lintas agama dan budaya, dan melakukan penafsiran-penafsiran Al-Quran yang berbeda dan kontroversial.

Islam Liberal dan Islam Fundamental seringkali terjadi konflik dalam wacana politik dan pemikiran keagamaan sampai saling hujat dan masing-masing mengaku yang paling benar.

Meski secara umum Islam terbentuk dalam dua model di atas, tapi bila jeli melihat perilaku keagamaan yang ada di masyarakat Muslim Indonesia, terdapat gerakan Islam yang bersifat tersendiri. Mereka tidak mempersoalkan tentang aliran maupun harakah Islam. Mereka taat dalam ibadah mahdhah dan berorientasi ke akhirat, senang melakukan ritual massal dan doa bersama, serta gemar menghadiri majelis-majelis ilmu yang materinya tidak jauh dari motivasi ibadah dan peningkatan kualitas hidup. Kalangan Islam seperti ini dapat disebut model Islam non-Sekterian.

Mereka adalah orang-orang Islam yang tidak memiliki kecenderungan pada aliran-aliran, baik fundamental atau liberal. Mereka ini bisa dianggap kaum “Islam massa” yang tidak terorganisir dalam wadah yang resmi dan memiliki orientasi tersendiri dalam menjalankan keislamannya. Kaum “Islam Massa” pun mudah digiring dalam gerakan massal hanya dengan “suntikan” berupa ayat-ayat Quran dan hadis. Mereka inilah yang ikut serta dalam aksi-aksi yang digerakan oleh segelintir orang Islam yang memiliki kepentingan politis atau politisasi agama. Bisa dipastikan kaum "Islam Massa" pun berpotensi masuk dalam konflik di antara sesama umat Islam dari kalangan atau mazhab yang berbeda. Bisa konflik dengan kaum liberal atau fundamental, bahkan bisa dengan kalangan non-Islam.

Perlu Ukhuwah

Sejarah telah membuktikan dampak dari adanya konflik antar (firqah) Islam sangat jauh dari nilai-nilai Islam. Ini terjadi dikarenakan tidak adanya pemegang ‘otoritas agama’ yang sah dan diakui secara menyeluruh oleh umat Islam. Juga tidak menyeluruhnya mereka dalam mengkaji dan memahami sumber Islam, terutama pada aspek sejarah, konteks zaman, faktor dan kondisi sosial yang dihadapi saat turunnya risalah Ilahi.

Fenomena ini bisa dikurangi dengan senantiasa menggali khazanah Islam dan melakukan dialog antar firqah (mazhab). Tentu argumen yang digunakannya adalah dalil-dalil yang benar dan dialognya pun harus ilmiah serta berasal dari sumber asli dan tahan uji saat dikritik. Sehingga dari upaya itu akan tampak kebenaran dan kebatilan, sehingga umat Islam mendapat rujukan sementara, meskipun nantinya terus mengalami perubahan karena berhadapan dengan konteks ruang dan waktu serta yang zaman berbeda.

Sudah saatnya kaum Muslim belajar untuk memahami berbagai tradisi atau ajaran mazhab yang dianut Muslim lainya; dan begitu pun sebaliknya. Hanya dengan kegiatan saling mempelajari dan memahami perbedaan masing-masing, perpecahan (konflik) dalam Islam bisa reda dan umat Islam akan lebih siap menghadapi tantangan dan tuntutan dunia global yang lebih besar efeknya bagi kehidupan manusia. Umat Islam sebaiknya tidak hanya fokus dalam urusan internal Islam, tapi juga harus mencoba merajut ukhuwah insaniyah dengan masyarakat agama lainnya dengan melakukan dialog antaragama dan kerja sosial kemasyarakatan. *** (ahmad sahidin)