Minggu, 24 November 2019

Resensi buku Kawan Dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942)

Ulasan atau resensi buku kali ini menguraikan (sedikit) buku Kawan Dalam Pertikaian, Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942) karya Karel A. Steenbrink. Tulisan dimulai dari biografi sang penulisnya, deskripsi buku, dan aspek-aspek historis.

Biografi
Karel A Steenbrink lahir di Breda, Belanda, pada 16 Januari 1942. Karel adalah Professor Emeritus Intercultural Theology di Universitas Utrecht, Belanda. Menulis buku tentang sejarah Islam di Indonesia. Latar belakang pendidikannya bukan sejarah, tetapi teologi. Menyelesaikan studi tahun 1970 di Fakultas Teologi Universitas Katolik Nijmegen, Belanda, dengan jurusan studi Agama Islam dari segi Perbandingan Agama. Untuk melengkapi ilmunya sekaligus menimba pengalaman di lapangan, Karel pergi ke Indonesia.

Di Indonesia, Karel masuk menjadi santri di Pesantren Gontor. Meski seorang Katolik, Karel oleh pimpinan Gontor diperbolehkan untuk ikut shalat berjamaah dan mengikuti pembelajaran di masjid. Dari pesantren itu Karel menyelesaikan disertasi mengenai sekolah Islam, yang diterbitkan dengan judul Recente Ontwikkelingen in Indonesisch Islamonderricht; yang diterjemahkan dengan judul Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Disertasinya menjelaskan tentang proses perkembangan pendidikan Islam sejak awal abad ke-20.

Dalam situs Hidup Katolik (dengan tanggal postingan 12 Februari 2014, jam 15:23), Karel menulis:

“Pada Maret 1970, saya mengalami perjumpaan langsung dengan umat Islam yang konkret dan sungguh hidup. Ini terjadi di Indonesia. Saya mendapat beasiswa untuk tinggal enam bulan di pondok pesantren. Saking murahnya biaya hidup di pondok, jatah enam bulan bisa saya gunakan untuk satu tahun. Kota pertama yang saya datangi adalah Bandung, Jawa Barat. Untuk memperlancar bahasa Indonesia, tiap pagi saya ikut kuliah subuh pukul 05.00 di Masjid Mujahidin Bandung. Saya ikut duduk bersila dengan beberapa gelintir jamaah dan santri. Bandung kala itu terasa sangat sejuk dan tenang.”[1]

Karel juga menulis buku mengenai sejarah Islam di Indonesia dan agama Katolik. Di antaranya Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19Perkembangan Teologi dalam Dunia Kristen ModernKitab Suci atau Kertas Toilet: Nuruddin ar-Raniri dan Agama Kristen; Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat Vol. I: Penelitian Agama di IndonesiaKawan Dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942);[2] Catholics in Indonesia, 1808-1900: A Documented History (2003); Catholics in Indonesia, 1808-1942: A Documented History (2007); dan A History of Christianity in Indonesia (bersama Jan Aritonang; 2008).[3]

Tidak hanya menulis buku, Karel juga pernah menjadi pemimpin redaksi jurnal Begrip dan redaktur pelaksana jurnal Exchange, yang bertujuan meningkatkan hubungan Islam dan Kristen.

Tahun 1978-1979 di Universitas Leiden, Karel menjadi pemimpin proyek studi dan penelitian untuk sembilan dosen dari beberapa dosen IAIN di Indonesia. Antara 1981-1988 mengajar di IAIN Jakarta dan Yogyakarta dalam rangka kerjasama Indonesia dan Belanda untuk program Pascasarjana. Pada 1992-1993 diundang sebagai visiting profesor di McGill University, Canada. Bekerja di IIMO (Interuniversitair Instituut voor Missiologie en Oecumenica), lembaga penelitian di Universitas Utrecht untuk pengembangan pemikiran Kristen dan Islam.[4]

Dari bacaan saya tentang biografi Karel, bisa dikatakan sosok Karel ini tidak hanya mengandalkan informasi dari sejumlah dokumen atau pustaka, tetapi juga terjun langsung di lapangan. Seingat saya penelitian model ini disebut observasi partisipan, yang juga pernah dilakukan oleh Michel Foucault dari Perancis. Foucault sendiri terjun sebagai partisipan aktif. Tidak segan mengorbankan raga dan jiwa dengan bergabung pada komunitas pelacuran dan gay di San Francisco, Perancis. Tidak sekadar mengamati, tetapi juga melakukan praktik seks ala gay termasuk sodomi sampai terjangkit AIDS dan mati. Hasil penelitiannya diterbitkan dalam tiga buku: The History of Sexuality, The Care of the Self, dan The Use of Pleasure.[5]

Kawan dalam Pertikaian
Menilik pada judulnya, Kawan Dalam Pertikaian, Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942), tidak begitu menarik. Itu kesan pertama saya ketika menemukan bukunya. Buku karya Karel ini tidak tebal hanya sekira 254+xxviii halaman.

Buku Kawan Dalam Pertikaian, Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942) ini aslinya berjudul Dutch Colonialism and Islam in Indonesia: Conflict and Contact 1596-1950. Kemudian diterjemahkan oleh Suryan A. Jamrah dan diterbitkan Mizan tahun 1995, cetakan I. Entah buku ini dicetak lagi atau tidak. Saya tidak menemukannya di stan Mizan ketika di pameran buku yang digelar di Braga Bandung, awal Oktober 2015. Mungkin termasuk buku lama dan tidak diminati pembaca sehingga tidak diterbitkan lagi. Biasanya buku ilmiah jarang sampai berkali-kali cetak ulang. Hanya buku tertentu saja yang bisa melonjak dari segi penjualan seperti buku Api Sejarah.

Buku ini diberi pengantar oleh pakar sejarah: Azyumardi Azra dan Aqib Suminto. Dalam pengantarnya, Aqib menyatakan:

“Saya senang buku ini memberikan perhatian terutama kepada persepsi orang Belanda mengenai hubungan mereka dengan bangsa Indonesia. Saya percaya buku ini memberikan gambaran yang adil dan jujur mengenai hubungan kolonial Belanda dengan kaum Muslim yang juga menjadi perhatian bangsa Indonesia.”[6]

Lebih jauh Aqib juga memberikan pandangan bahwa selama masa penjajahan, perhimpunan Islam yang utama selalu memperlihatkan sikap tanpa prasangka terhadap Barat. Orang Islam pra kemerdekaan Republik Indonesia memiliki sikap terbuka saat interaksi dengan Barat dengan tetap mempertahankan identitas keagamaannya. Dari interaksi dengan Barat (penjajah) itu sedikitnya ada sumbangan pada karakter modern Islam Indonesia.[7]

Pandangan tersebut saya kira wajar keluar dari sosok Aqib yang ketika itu sedang kerjasama dengan Karel dalam urusan studi kesejarahan. Mungkin akan lain kalau dari orang yang tidak sedang kerjasama. Seperti Azyumardi Azra, yang menyayangkan bahwa:

“… Steenbrink tidak mengulas banyak tentang sejauh mana dan sampai pada tingkat apa ‘perkawanan’ di antara kedua kelompok keagamaan[8] ini sepanjang sejarah, setidaknya, pada masa kolonialisme Belanda yang menjadi periode pokok buku ini. Pembahasan tentang ‘perkawanan’ ini, menurut hemat saya, sangat penting. Tidak hanya dalam kaitannya dengan dialog dan hubungan yang lebih harmonis di antara berbagai agama di Indonesi di masa kini dan mendatang, tetapi juga dalam hubungannya dengan posisi pribadi Steenbrink sebagai pemimpin redaksi jurnal Begrip (Saling Pengertian) dan redaktur pelaksana jurnal Exchange, yang bertujuan untuk meningkatkan hubungan antar agama, khususnya Kristen-Islam.”[9]

Karel sendiri mengaku bahwa buku yang disusun tahun 1989 di Belanda ini ditulis dalam rangka projek penelitian yang sedang digandrungi Barat terkait hubungan Islam dan Barat.[10] Pada masa kolonial, Karel menyatakan Islam dipropagandakan oleh Belanda tempo dulu sebagai teroris.[11] Karena itu, untuk menipis prasangka yang buruk itu, Karel ingin membuktikan kebenaran laporan berupa dokumen kaum kolonial Belanda yang terjadi masa lalu di negeri Indonesia. Hal ini juga termotivasi dari deklarasi Konsili Vatikan II tahun 1962-1965, halaman 233: Terhadap umat Islam, gereja Katolik memandang dengan penghargaan besar.[12] Maka Karel berharap dengan bukunya bahwa “kita tidak menutup mata” sekaligus mengakui bagaimana praktik kehidupan sosial dan keagamaan yang terjadi.[13]

Sumber buku
Seorang sarjana memang tidak lepas dari sumber dalam menulis karya ilmiah. Karel sebagai sarjana yang memiliki keahlian dalam agama Islam menggunnakan sejumlah sumber untuk penulisan bukunya. Di bagian kepustakaan, Karel menggunakan arsip atau dokumen kolonial yang diambil dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Jakarta, Algemeen Rijksarchief The Hague, Bijdragen tot de Taal Land-en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, Besluit van de Gouvernour-Generaal, dan lainnya. Kemudian literatur yang digunakan sekira 200 judul dengan tahun terbit antara 1618-1988. Literatur tertua yang digunakan Karel adalah De Legatione Evangelica ad Indos Capessenda Admonition karya Justus Heurnius tahun 1618. Lebih banyak karya dari orang Belanda yang digunakan dibanding buku dari orang Indonesia. Karya penulis Indonesia yang digunakan antara lain dari Abdurrachman tahun 1986, Abdussalam Arief tahun 1988, Alfian tahun 1969, A.Hasmy tahun 1971, Sartono Kartodirdjo tahun 1966, M.Natsir tahun 1969, H.A Suminto tahun 1985, dan V.Tanja tahun 1982.

Dari perbandingan literatur yang dominan Belanda dan Barat bisa diketahui unsur subjektivitas buku ini cukup besar. Apalagi menulis sejarah Indonesia masa lalu yang sebetulnya harus berasal dari orang Indonesia. Hanya saja, orang Indonesia saat masa kolonial tidak memiliki perhatian dalam urusan penulisan dan pencatatan pengalaman masa kolonial karena harus berjuang untuk lepas dari penjajah. Kalau saja ada catatan lebih banyak dari orang pribumi mungkin Karel akan berupaya melakukan perbandingan sumber (korborasi). Karena itu, Karel melakukan studi lapangan dan melihat langsung bagaimana orang-orang Indonesia hidup dan bergaul langsung dengan umat Islam. Langkah ini saya kira cukup bagus ketimbang tidak mengandalkan dokumen sejarah berupa laporan-laporan yang dipersembahkan untuk penguasa. Pasti dalam sajian laporan terdapat kepentingan politik atau karier dari orang-orang Belanda yang ditugaskan di Hindia Belanda.

Rekonstruksi
Karel A. Steenbrink menyajikan buku Kawan Dalam Pertikaian, Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942) dalam delapan bab ditambah epilog. Dari paparan waktu bersifat kronologis yang mengambil periode abad 16 hingga abad 20. Masa awal masuknya kolonial asing ke bumi Indonesia dan bersentuhan dengan masyarakat Indonesia yang saat itu berada dalam bentuk kerajaan-kerajaan Islam berkembang.

Dari penyajian, buku ini terlihat nuansa sejarah dari uraian waktu yang dimulai dari masa pertemuan bangsa asing dengan kaum pribumi hingga memanjang pada upaya lepas dari penjajah dan memerdekakan diri dari kolonial asing melalui bentuk gerakan nasionalisme atau anti Kristen yang diserukan Jong Islamieten Bond, Syarikat Islam, Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan tokoh Mohammad Natsir.[14]

Bagian reaksi umat Islam sebagai anti kolonial secara khusus dibahas dalam bab VII dengan menyajikan upaya-upaya umat Islam berlepas dari penjajahan. Menariknya, tokoh Belanda bernama Godard Arend Hazeu disebut sebagai “pejuang gigih bagi hak keberadaan Sarekat Islam, gerakan nasionalis pertama yang didirikan pada 1912.”[15] Disebutkan bahwa Hazeu menentang pendidikan Kristen yang dipaksakan terdahap kaum Muslimin pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Idenburg (1909-1919).[16]

Dengan membaca utuh buku ini, bisa dipahami secara umum pola kolonial Belanda dalam melakukan penjajahan pada bangsa Indonesia melalui beberapa tahap yang sistematis. Pertama, orang-orang Belanda (termasuk Portugis) mencari rempah-rempah dan kekayaan alam untuk dimanfaatkan di Eropa dan mencari keuntungan yang bersifat ekonomi.

Kedua, setelah menemukan tempat atau daerah yang banyak bahan yang menguntungkan secara ekonomi, mereka menguasai daerah-daerah yang menguntungkan dengan mendekati tokoh-tokoh yang berpengaruh dengan menawarkan kerjasama.

Ketiga, mengendalikan tokoh-tokok lokal dan raja serta membiarkan di antara mereka pecah kemudian dengan mudah menggantikan kekuasaan oleh kolonial Belanda.

Keempat, dalam posisi berkuasa ini orang-orang Belanda mengenal ajaran Kristen melalui sekolah-sekolah Belanda dan memberikan pendidikan modern dengan etika Kristen kepada calon pejabat atau keluarga bupati yang ditunjuk oleh kolonial Belanda untuk berkuasa.

Kelima, mengendalikan gejolak umat Islam dengan memegang kendali tokoh seperti Raden Muhammad Musa oleh KF Holle dijinakan kemudian mampu mengendalikan masyarakat Garut. Snouck Hurgronje berusaha melepaskan Islam dari politik dengan dibantu Hasan Mustapa menyampaikan pada penduduk Muslim untuk lebih meningkatkan diri dalam ritual ketimbang mengurus politik. Gerakan tarekat diawasi karena jumlah anggota yang banyak bisa berpotensi digerakan oleh kiai-kiai. Karena itu, muncul larangan untuk tidak naik haji bagi umat Islam ketika itu. Sayid Usman dari Batavia bin Yahya, seorang ulama dan keturunan Arab, bekerja untuk KF Holle dan L.W.C van den Berg, yang menyebarkan melalui ceramah dan tulisan berjudul Manhaj Al-Istiqamah fi ad-Din bi Salamah bahwa tarekat sebagai pusat fanatisme irasional. Kemudian menyebut pemberontakan kaum tarekat di Cilegon yang menyerang orang-orang Eropa sebagai tindakan kebodohan dan tidak termasuk syuhada orang Islam yang meninggal dalam peperangan tersebut.[17]

Keenam, setelah berada dalam kendali maka mereka membentuk “pemerintahan” Hindia Belanda yang menguasai dari berbagai sektor mulai politik, agama, hingga kebudayaan. Dalam kebudayaan, orang Kristen Belanda yang sekaligus pejabat, berupaya memisahkan Islam dengan budaya Jawa dengan berusaha memunculkan cerita-cerita Hindu Mahabrata dan Ramayana dan cerita yang bersumberkan dari Babad Tanah Jawi, Serat Centini, dan Serat Baron Sakender.    

Dari delapan bab, empat bab (II, V, VI, dan VIII) khusus menyajikan eksplorasi pengalaman dari sejumlah pejabat kolonial terkait interaksi dengan umat Islam, bekerjasama dengan kerajaan sekaligus menguasainya dan cara-cara memperlakukan kaum Muslimin sehingga berhasil dijajah. Pada bab lainnya menyajikan ulasan dan penilaian dari Karel terkait dengan perilaku kolonial. Hanya saja yang saya pahami dari uraiannya bahwa Karel tidak berani menyatakan salah atas perilaku bangsanya terhadap kaum pribumi. Seakan-akan dianggap wajar segala perilaku curang dan zalim serta strategi penipuan yang menggunakan orang dalam untuk mengambil informasi dengan beragam tawaran harta dan jabatan yang menggiurkan.  

Sebagai misal terkait dengan peran orang Islam yang pergi haji. Belanda mengkhawatirkan kontak orang Islam pribumi dengan ulama di Makkah. Tidak jarang orang yang pulang haji menyebarkan isu untuk lepas dari kaum kafir. Itulah kemudian yang membuat KF Holle (1892-1896) selaku penasihat urusan pribumi mengangkat Raden Muhammad Musa dari Garut sebagai kepala penghulu. Kedekatannya dengan tokoh Islam yang disegani orang Sunda ini, Holle berupaya menjauhkan orang Islam dari bahasa Arab dan Al-Quran. Melalui Raden Musa meminta agar para ajengan untuk menggunakan basa Sunda dan materi ibadah keseharian dalam ceramah daripada mengutip dari Al-Quran. Mengurangi cetakan Al-Quran dengan melaporkan setiap orang yang akan menulis atau mencetak Al-Quran karena bila tetap berkaitan dengan bahasa Arab maka orang akan paham isinya dan melahirkan fanatisme agama.[18] Bisa dipahami itu dilakukan karena kekhawatiran kolonial munculnya kesadaran dari umat Islam untuk lepas dari penjajah.

Karel menulis berdasarkan laporan Holle bahwa dia tidak segan-segan memberikan hadiah kepada bupati yang berhasil melarang warganya tidak naik haji. Bupati Cilacap dan Bupati Purwokerto dipuji sebagai pejabat terbaik oleh Holle dan dapat hadiah ketika berhasil mengurangi jumlah santri yang belajar agam dari kiai atau pesantren. Termasuk mengawasi kaum tarekat yang biasa melakukan kumpulan hari tertentu.[19] Pernah Penghulu Cianjur diundang dalam jamuan pesta yang diadakan Asisten Residen Batavia kemudian ditawari minum anggur. Karena seorang Muslim, bupati menolaknya. Namun, orang-orang Belanda memaksakan dengan memasukannya pada mulut bupati tersebut.[20] Sikap tersebut tidak dikomentari oleh Karel, mungkin itu perbuatan lepas kendali dari bangsanya dan bagian dari penghormatan budaya Barat.

Di bagian awal buku, bab I: Titik Tolak dan Eksplorasi, langsung menyajikan laporan terkait perlakuan awal dari orang Islam terhadap orang asing. Hanya saja perlakukan yang kurang baik yang diangkatnya seperti memaksa orang Belanda untuk masuk Islam, memenjarakannya, mengajak debat soal ketuhanan, dan meminta untuk menikahi keluarga raja. Peristiwa yang diangkat ini terkait masuknya ekspedisi Belanda di Aceh yang bertemu dengan penguasa Aceh. Karel menyebutkan De Houtman, orang yang melakukan pertemuan awal dari bangsa Belanda dengan pribumi dalam rangka menjalin kerjasama bidang ekonomi kemudian diperlakukan tidak manusiawi.[21] Menyikapi laporan De Houtman dengan menyatakan telah ada “bumbu-bumbu” kecil untuk menarik perhatian Kerajaan Belanda terkait dengan Indonesia.[22]

Karel menyebutkan bahwa reaksi umat Islam terhadap orang asing pada masa awal masuk ke negeri Indonesia dikarenakan orang asing tidak mengenal hal-hal yang terkait dengan kaum pribumi. Karel menuliskan laporan dari Jan Huygen van Linschoten (1563-1611):

“Suatu waktu, ketika saya seorang Potugis kebetulan lewat, saya sangat berhasrat melihat ‘gereja’ pengikut Muhammad ini dan ingin mengetahui cara sembahyang mereka. Akan tetapi, penjaga pintu memcegat kami seraya menyuruh membuka sepatu. Ketik kami menolak membuka sepatu, ia berkata bahwa kami tidak diperbolehkan memasuki ‘gereja’ dengan bersepatu, namun ia tetap memperkenankan kami berdiri di pintu masuk sehingga kami dapat melihat ke dalam; dan ia juga membukakan beberapa jendela dari dalam sehingga kami dapat menyaksikan dengan jelas apa yang sedang berlangsung. Lalu orang Portugis bertanya kepadanya: di manakah tuhan dan orang-orang suci yang mereka sembah. Sebab, sebagaimana telah dikemukakan, ia melihat ‘gereja’ itu sama sekali tanpa patung-patung. Orang Moor itu menjawab bahwa mereka tidak menyembah kayu dan batu melainkan menyembah Tuhan Yang Hidup yang berada di surga. Lebih lanjut ia berkata, ‘kalian orang-orang Portugis Kristen dan orang kafir adalah sama: kalian menyembah patung-patung yang kalian buat sendiri dan mempersembahkan rasa hormat kepadanya yang semestinya hanya layak untuk Tuhan yang Hidup lagi Mahakuasa.’ Jawaban ini menyebabkan orang Portugis itu menjadi sangat marah dan mulai melontarkan kata-kata cacian kasar, sehingga sekelompok orang Moor dan India pun berkerumun. Hal ini sudah barang tentu dapat menimbulkan kericuhan besar seandainya saya tidak meminta maaf dan memaksa orang Portugis itu pergi dari situ. Lalu kami pergi dan itulah semua yang perlu dilaporkan.”[23]      

Apresiasi
Kajian yang dilakukan Karel ini bila dilihat secara historis dari bab 1 hingga epilog menguraikan sejarah hubungan Islam dan Kristen dalam bingkai kolonialisme Belanda atas bangsa Indonesia. Karel berhasil memunculkan laporan dari orang Belanda, pelaku sekaligus penjajah atau sumber pertama, yang dituangkan dalam narasi peristiwa demi peristiwa yang terkait dengan umat Islam dan kaum Belanda.

Karel juga memunculkan sejumlah tokoh-tokoh Belanda yang sepak terjangnya mewakili pemerintah Belanda terdahulu dan sejumlah nama tokoh dari umat Islam Indonesia. Dari bab awal buku ini terasa keberpihakan Karel atas perilaku orang Belanda dengan memunculkan lebih banyak reaksi umat Islam dan tindakan yang kurang baik dari orang Islam, seperti perlakukan raja atas orang Belanda yang dipaksa masuk Islam.[24]             

Selain itu, yang perlu dikaji kembali—ini mungkin subjektifitas saya—bahwa Karel dalam menyajikan karyanya tidak detil dalam menyebut tokoh lokal seperti nama bupati dan tidak mencantumkan tempat beserta tanggal atau tahun kejadian. Setiap sajian tidak diimbangi dengan kajian dari penulis Indonesia yang memiliki keahlian dalam sejarah kolonial. Pendekatan yang tidak berimbang ini jika tidak diperbaiki maka akan menyimpan kecuriagaan-kecuriagaan yang kurang baik (dari pembaca yang kritis, terutama umat Islam). Meski mencoba menguraikan sejarah, tetapi subjektifitas tidak bisa dinafikan.

Terakhir, Karel dalam bukunya memuat delapan gambar: prosesi sultan di Ternate hendak menuaikan shalat idul adha (tahun 1938), pemakaman sultan Aceh (tahun 1614), suasana istana Banten saat sultan menerima ulama dari Makkah (tahun 1915), Imam Bonjol (tahun 1849-1850), K.F.Holle, C.Snouck Hurgronje (tahun 1923), G.A.J.Hazeu, dan Fahters F.van Lith S.J (tahun 1952).[25] Gambar ini tentunya membantu pembaca yang belum mengenali sosok yang diuraikan dalam buku.

Setelah membaca tuntas membaca buku Kawan Dalam Pertikaian, Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942), saya maklum dengan isi karya Karel ini. Sebab, ia bukan seorang sejarawan yang terdidik dari pendidikan ilmu sejarah. Sebagaimana dinyatakan Kuntowijoyo bahwa setiap orang bisa menulis sejarah, tetapi tidak bisa mengungguli karya sejarawan profesional. *** (Ahmad Sahidin adalah Mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam Pascasarjana UIN SGD Bandung, angkatan masuk tahun 2014)



[1] http://m.hidupkatolik.com/index.php/2014/02/12/karel-a.-steenbrink-ngajinya-islam-imannya-katolik (diakses tanggal 14 Oktober 2015, jam 16.33).
[2] http://biografinya.blogspot.co.id/2012/03/karel-steenbrink.html (diakses tanggal 14 Oktober 2015, jam 15.20).
[3] http://m.hidupkatolik.com/index.php/2014/02/12/karel-a.-steenbrink-ngajinya-islam-imannya-katolik (diakses tanggal 14 Oktober 2015, jam 16.34).
[4] http://biografinya.blogspot.co.id/2012/03/karel-steenbrink.html (diakses tanggal 14 Oktober 2015, jam 15.20).
[5] Prof. Dr. I.B. Wirawan, Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma (Jakarta: Kencana, 2012) halaman 256.
[6] Halaman xix.
[7] Halaman xix.
[8]  Islam yang diwakili kaum pribumi dan Kristen yang diwakili penjajah Belanda.
[9] Halaman xxviii.
[10] Halaman xiii.
[11] Halaman xiv.
[12] Halaman xvi.
[13] Halaman xvi.
[14] Halaman 181-204.
[15] Halaman 131.
[16] Halaman 130.
[17] Halaman 192-193.
[18] Halaman 107-108.
[19] Halaman 109-110.
[20] Halaman 110.
[21] Halaman 1-9.
[22] Halaman 9.
[23] Halaman 26-27.
[24] Halaman 1-9.
[25] Halaman 134-141.