Ulasan atau resensi buku kali ini menguraikan (sedikit) buku Kawan Dalam Pertikaian, Kaum
Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942) karya Karel A. Steenbrink. Tulisan dimulai dari biografi sang penulisnya,
deskripsi buku, dan aspek-aspek historis.
Biografi
Karel A
Steenbrink lahir di Breda, Belanda, pada 16 Januari 1942. Karel adalah Professor
Emeritus Intercultural Theology di Universitas Utrecht, Belanda. Menulis buku tentang
sejarah Islam di Indonesia. Latar
belakang pendidikannya bukan sejarah, tetapi teologi. Menyelesaikan studi tahun 1970 di Fakultas Teologi Universitas Katolik Nijmegen, Belanda, dengan jurusan
studi Agama Islam dari segi Perbandingan Agama. Untuk melengkapi ilmunya
sekaligus menimba pengalaman di lapangan, Karel pergi ke Indonesia.
Di Indonesia,
Karel masuk menjadi santri di Pesantren Gontor. Meski seorang Katolik, Karel
oleh pimpinan Gontor diperbolehkan untuk ikut shalat berjamaah dan mengikuti
pembelajaran di masjid. Dari pesantren itu Karel menyelesaikan disertasi
mengenai sekolah Islam, yang diterbitkan dengan judul Recente Ontwikkelingen in Indonesisch Islamonderricht; yang diterjemahkan dengan judul Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern.
Disertasinya menjelaskan tentang proses perkembangan pendidikan Islam sejak
awal abad ke-20.
Dalam situs Hidup Katolik (dengan
tanggal postingan 12 Februari 2014, jam 15:23), Karel menulis:
“Pada Maret 1970, saya mengalami perjumpaan langsung
dengan umat Islam yang konkret dan sungguh hidup. Ini terjadi di Indonesia.
Saya mendapat beasiswa untuk tinggal enam bulan di pondok
pesantren. Saking murahnya biaya hidup di pondok, jatah enam bulan
bisa saya gunakan untuk satu tahun. Kota pertama yang saya datangi adalah
Bandung, Jawa Barat. Untuk memperlancar bahasa Indonesia, tiap pagi saya ikut
kuliah subuh pukul 05.00 di Masjid Mujahidin Bandung. Saya ikut duduk bersila
dengan beberapa gelintir jamaah dan santri. Bandung kala itu terasa sangat
sejuk dan tenang.”[1]
Karel juga
menulis buku mengenai sejarah Islam di Indonesia dan agama Katolik. Di antaranya
Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19; Perkembangan Teologi dalam Dunia Kristen Modern, Kitab Suci atau Kertas Toilet: Nuruddin ar-Raniri dan Agama
Kristen; Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat Vol. I: Penelitian Agama di
Indonesia, Kawan Dalam Pertikaian: Kaum
Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942);[2] Catholics
in Indonesia, 1808-1900: A Documented History (2003); Catholics in Indonesia,
1808-1942: A Documented History (2007); dan A History of Christianity in
Indonesia (bersama Jan Aritonang; 2008).[3]
Tidak
hanya menulis buku, Karel juga pernah menjadi pemimpin redaksi
jurnal Begrip dan redaktur pelaksana jurnal Exchange, yang bertujuan meningkatkan hubungan Islam
dan Kristen.
Tahun 1978-1979
di Universitas Leiden, Karel menjadi pemimpin proyek studi dan penelitian untuk
sembilan dosen dari beberapa dosen IAIN di Indonesia. Antara 1981-1988 mengajar
di IAIN Jakarta dan Yogyakarta dalam rangka kerjasama Indonesia dan Belanda
untuk program Pascasarjana. Pada 1992-1993 diundang sebagai visiting profesor
di McGill University, Canada. Bekerja di IIMO (Interuniversitair Instituut voor
Missiologie en Oecumenica), lembaga penelitian di Universitas Utrecht untuk pengembangan
pemikiran Kristen dan Islam.[4]
Dari bacaan
saya tentang biografi Karel, bisa dikatakan sosok Karel ini tidak hanya
mengandalkan informasi dari sejumlah dokumen atau pustaka, tetapi juga terjun
langsung di lapangan. Seingat saya penelitian model ini disebut observasi
partisipan, yang juga pernah dilakukan oleh Michel Foucault dari Perancis. Foucault sendiri terjun sebagai
partisipan aktif. Tidak segan mengorbankan raga dan jiwa dengan bergabung pada
komunitas pelacuran dan gay di San Francisco, Perancis. Tidak sekadar
mengamati, tetapi juga melakukan praktik seks ala gay termasuk sodomi sampai
terjangkit AIDS dan mati. Hasil penelitiannya diterbitkan dalam tiga buku: The
History of Sexuality, The Care of the Self, dan The Use of Pleasure.[5]
Kawan dalam Pertikaian
Menilik pada judulnya, Kawan Dalam Pertikaian, Kaum
Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942), tidak begitu menarik. Itu kesan pertama saya ketika menemukan
bukunya. Buku karya Karel ini tidak tebal hanya sekira 254+xxviii halaman.
Buku Kawan Dalam Pertikaian, Kaum Kolonial Belanda dan Islam di
Indonesia (1596-1942) ini aslinya berjudul Dutch Colonialism and Islam
in Indonesia: Conflict and Contact 1596-1950. Kemudian diterjemahkan oleh
Suryan A. Jamrah dan diterbitkan Mizan tahun 1995, cetakan I. Entah buku ini dicetak lagi atau tidak. Saya tidak menemukannya di stan Mizan ketika
di pameran buku yang digelar di Braga Bandung, awal Oktober 2015. Mungkin
termasuk buku lama dan tidak diminati pembaca sehingga tidak diterbitkan lagi.
Biasanya buku ilmiah jarang sampai berkali-kali cetak ulang. Hanya buku
tertentu saja yang bisa melonjak dari segi penjualan seperti buku Api
Sejarah.
Buku ini diberi pengantar oleh pakar sejarah: Azyumardi
Azra dan Aqib Suminto. Dalam pengantarnya, Aqib menyatakan:
“Saya
senang buku ini memberikan perhatian terutama kepada persepsi orang Belanda
mengenai hubungan mereka dengan bangsa Indonesia. Saya percaya buku ini
memberikan gambaran yang adil dan jujur mengenai hubungan kolonial Belanda
dengan kaum Muslim yang juga menjadi perhatian bangsa Indonesia.”[6]
Lebih jauh Aqib juga memberikan pandangan bahwa selama
masa penjajahan, perhimpunan Islam yang utama selalu memperlihatkan sikap tanpa
prasangka terhadap Barat. Orang Islam pra kemerdekaan Republik Indonesia
memiliki sikap terbuka saat interaksi dengan Barat dengan tetap mempertahankan
identitas keagamaannya. Dari interaksi dengan Barat (penjajah) itu sedikitnya
ada sumbangan pada karakter modern Islam Indonesia.[7]
Pandangan tersebut saya kira wajar keluar dari sosok Aqib
yang ketika itu sedang kerjasama dengan Karel dalam urusan studi kesejarahan.
Mungkin akan lain kalau dari orang yang tidak sedang kerjasama. Seperti
Azyumardi Azra, yang menyayangkan bahwa:
“…
Steenbrink tidak mengulas banyak tentang sejauh mana dan sampai pada
tingkat apa ‘perkawanan’ di antara kedua kelompok keagamaan[8]
ini sepanjang sejarah, setidaknya, pada masa kolonialisme Belanda yang menjadi
periode pokok buku ini. Pembahasan tentang ‘perkawanan’ ini, menurut hemat
saya, sangat penting. Tidak hanya dalam kaitannya dengan dialog dan hubungan
yang lebih harmonis di antara berbagai agama di Indonesi di masa kini dan
mendatang, tetapi juga dalam hubungannya dengan posisi pribadi Steenbrink
sebagai pemimpin redaksi jurnal Begrip (Saling Pengertian) dan redaktur
pelaksana jurnal Exchange, yang bertujuan untuk meningkatkan hubungan
antar agama, khususnya Kristen-Islam.”[9]
Karel sendiri mengaku bahwa buku yang disusun tahun 1989
di Belanda ini ditulis dalam rangka projek penelitian yang sedang digandrungi
Barat terkait hubungan Islam dan Barat.[10]
Pada masa kolonial, Karel menyatakan Islam dipropagandakan oleh Belanda tempo
dulu sebagai teroris.[11]
Karena itu, untuk menipis prasangka yang buruk itu, Karel ingin membuktikan
kebenaran laporan berupa dokumen kaum kolonial Belanda yang terjadi masa lalu
di negeri Indonesia. Hal ini juga termotivasi dari deklarasi Konsili Vatikan II
tahun 1962-1965, halaman 233: Terhadap umat Islam, gereja Katolik memandang
dengan penghargaan besar.[12]
Maka Karel berharap dengan bukunya bahwa “kita tidak menutup mata” sekaligus
mengakui bagaimana praktik kehidupan sosial dan keagamaan yang terjadi.[13]
Sumber buku
Seorang sarjana memang tidak lepas dari sumber dalam
menulis karya ilmiah. Karel sebagai sarjana yang memiliki keahlian dalam agama
Islam menggunnakan sejumlah sumber untuk penulisan bukunya. Di bagian
kepustakaan, Karel menggunakan arsip atau dokumen kolonial yang diambil dari
Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Jakarta, Algemeen Rijksarchief The
Hague, Bijdragen tot de Taal Land-en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, Besluit
van de Gouvernour-Generaal, dan lainnya. Kemudian literatur yang digunakan sekira
200 judul dengan tahun terbit antara 1618-1988. Literatur tertua yang digunakan
Karel adalah De Legatione Evangelica ad Indos Capessenda Admonition karya
Justus Heurnius tahun 1618. Lebih banyak karya dari orang Belanda yang
digunakan dibanding buku dari orang Indonesia. Karya penulis Indonesia yang
digunakan antara lain dari Abdurrachman tahun 1986, Abdussalam Arief tahun
1988, Alfian tahun 1969, A.Hasmy tahun 1971, Sartono Kartodirdjo tahun 1966, M.Natsir
tahun 1969, H.A Suminto tahun 1985, dan V.Tanja tahun 1982.
Dari perbandingan literatur yang dominan Belanda dan
Barat bisa diketahui unsur subjektivitas buku ini cukup besar. Apalagi menulis
sejarah Indonesia masa lalu yang sebetulnya harus berasal dari orang Indonesia.
Hanya saja, orang Indonesia saat masa kolonial tidak memiliki perhatian dalam
urusan penulisan dan pencatatan pengalaman masa kolonial karena harus berjuang
untuk lepas dari penjajah. Kalau saja ada catatan lebih banyak dari orang
pribumi mungkin Karel akan berupaya melakukan perbandingan sumber (korborasi).
Karena itu, Karel melakukan studi lapangan dan melihat langsung bagaimana orang-orang
Indonesia hidup dan bergaul langsung dengan umat Islam. Langkah ini saya kira
cukup bagus ketimbang tidak mengandalkan dokumen sejarah berupa laporan-laporan
yang dipersembahkan untuk penguasa. Pasti dalam sajian laporan terdapat
kepentingan politik atau karier dari orang-orang Belanda yang ditugaskan di
Hindia Belanda.
Rekonstruksi
Karel A. Steenbrink menyajikan buku Kawan Dalam Pertikaian, Kaum Kolonial Belanda dan Islam di
Indonesia (1596-1942) dalam delapan bab ditambah
epilog. Dari paparan waktu bersifat kronologis yang mengambil periode abad 16
hingga abad 20. Masa awal masuknya kolonial asing ke bumi Indonesia dan
bersentuhan dengan masyarakat Indonesia yang saat itu berada dalam bentuk
kerajaan-kerajaan Islam berkembang.
Dari penyajian, buku ini terlihat nuansa sejarah dari uraian waktu
yang dimulai dari masa pertemuan bangsa asing dengan kaum pribumi hingga
memanjang pada upaya lepas dari penjajah dan memerdekakan diri dari kolonial
asing melalui bentuk gerakan nasionalisme atau anti Kristen yang diserukan Jong
Islamieten Bond, Syarikat Islam, Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan tokoh
Mohammad Natsir.[14]
Bagian reaksi umat Islam sebagai anti kolonial secara khusus
dibahas dalam bab VII dengan menyajikan upaya-upaya umat Islam berlepas dari
penjajahan. Menariknya, tokoh Belanda bernama Godard Arend Hazeu disebut
sebagai “pejuang gigih bagi hak keberadaan Sarekat Islam, gerakan nasionalis
pertama yang didirikan pada 1912.”[15]
Disebutkan bahwa Hazeu menentang pendidikan Kristen yang dipaksakan terdahap
kaum Muslimin pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Idenburg (1909-1919).[16]
Dengan membaca utuh buku ini, bisa dipahami secara umum pola kolonial Belanda dalam melakukan penjajahan pada bangsa Indonesia melalui beberapa
tahap yang sistematis. Pertama, orang-orang Belanda (termasuk Portugis)
mencari rempah-rempah dan kekayaan alam untuk dimanfaatkan di Eropa dan mencari
keuntungan yang bersifat ekonomi.
Kedua, setelah menemukan tempat atau daerah yang banyak bahan yang
menguntungkan secara ekonomi, mereka menguasai daerah-daerah yang menguntungkan
dengan mendekati tokoh-tokoh yang berpengaruh dengan menawarkan kerjasama.
Ketiga, mengendalikan tokoh-tokok lokal dan raja serta membiarkan di
antara mereka pecah kemudian dengan mudah menggantikan kekuasaan oleh kolonial
Belanda.
Keempat, dalam posisi berkuasa ini orang-orang Belanda mengenal ajaran
Kristen melalui sekolah-sekolah Belanda dan memberikan pendidikan modern dengan
etika Kristen kepada calon pejabat atau keluarga bupati yang ditunjuk oleh
kolonial Belanda untuk berkuasa.
Kelima, mengendalikan gejolak umat Islam dengan memegang kendali tokoh
seperti Raden Muhammad Musa oleh KF Holle dijinakan kemudian mampu
mengendalikan masyarakat Garut. Snouck Hurgronje berusaha melepaskan Islam dari
politik dengan dibantu Hasan Mustapa menyampaikan pada penduduk Muslim untuk
lebih meningkatkan diri dalam ritual ketimbang mengurus politik. Gerakan
tarekat diawasi karena jumlah anggota yang banyak bisa berpotensi digerakan
oleh kiai-kiai. Karena itu, muncul larangan untuk tidak naik haji bagi umat
Islam ketika itu. Sayid Usman dari Batavia bin Yahya, seorang ulama dan
keturunan Arab, bekerja untuk KF Holle dan L.W.C van den Berg, yang menyebarkan
melalui ceramah dan tulisan berjudul Manhaj Al-Istiqamah fi ad-Din bi
Salamah bahwa tarekat sebagai pusat fanatisme irasional. Kemudian menyebut
pemberontakan kaum tarekat di Cilegon yang menyerang orang-orang Eropa sebagai
tindakan kebodohan dan tidak termasuk syuhada orang Islam yang meninggal dalam
peperangan tersebut.[17]
Keenam, setelah berada dalam kendali maka mereka membentuk
“pemerintahan” Hindia Belanda yang menguasai dari berbagai sektor mulai
politik, agama, hingga kebudayaan. Dalam kebudayaan, orang Kristen Belanda yang
sekaligus pejabat, berupaya memisahkan Islam dengan budaya Jawa dengan berusaha
memunculkan cerita-cerita Hindu Mahabrata dan Ramayana dan cerita yang
bersumberkan dari Babad Tanah Jawi, Serat Centini, dan Serat
Baron Sakender.
Dari delapan bab, empat bab (II, V, VI, dan VIII) khusus
menyajikan eksplorasi pengalaman dari sejumlah pejabat kolonial terkait
interaksi dengan umat Islam, bekerjasama dengan kerajaan sekaligus menguasainya
dan cara-cara memperlakukan kaum Muslimin sehingga berhasil dijajah. Pada bab
lainnya menyajikan ulasan dan penilaian dari Karel terkait dengan perilaku
kolonial. Hanya saja yang saya pahami dari uraiannya bahwa Karel tidak berani
menyatakan salah atas perilaku bangsanya terhadap kaum pribumi. Seakan-akan
dianggap wajar segala perilaku curang dan zalim serta strategi penipuan yang
menggunakan orang dalam untuk mengambil informasi dengan beragam tawaran harta
dan jabatan yang menggiurkan.
Sebagai misal terkait dengan peran orang Islam yang pergi haji.
Belanda mengkhawatirkan kontak orang Islam pribumi dengan ulama di Makkah.
Tidak jarang orang yang pulang haji menyebarkan isu untuk lepas dari kaum
kafir. Itulah kemudian yang membuat KF Holle (1892-1896) selaku penasihat
urusan pribumi mengangkat Raden Muhammad Musa dari Garut sebagai kepala
penghulu. Kedekatannya dengan tokoh Islam yang disegani orang Sunda ini, Holle
berupaya menjauhkan orang Islam dari bahasa Arab dan Al-Quran. Melalui Raden
Musa meminta agar para ajengan untuk menggunakan basa Sunda dan materi ibadah
keseharian dalam ceramah daripada mengutip dari Al-Quran. Mengurangi cetakan
Al-Quran dengan melaporkan setiap orang yang akan menulis atau mencetak
Al-Quran karena bila tetap berkaitan dengan bahasa Arab maka orang akan paham
isinya dan melahirkan fanatisme agama.[18]
Bisa dipahami itu dilakukan karena kekhawatiran kolonial munculnya kesadaran
dari umat Islam untuk lepas dari penjajah.
Karel menulis berdasarkan laporan Holle bahwa dia tidak segan-segan
memberikan hadiah kepada bupati yang berhasil melarang warganya tidak naik
haji. Bupati Cilacap dan Bupati Purwokerto dipuji sebagai pejabat terbaik oleh
Holle dan dapat hadiah ketika berhasil mengurangi jumlah santri yang belajar
agam dari kiai atau pesantren. Termasuk mengawasi kaum tarekat yang biasa
melakukan kumpulan hari tertentu.[19]
Pernah Penghulu Cianjur diundang dalam jamuan pesta yang diadakan Asisten
Residen Batavia kemudian ditawari minum anggur. Karena seorang Muslim, bupati
menolaknya. Namun, orang-orang Belanda memaksakan dengan memasukannya pada
mulut bupati tersebut.[20]
Sikap tersebut tidak dikomentari oleh Karel, mungkin itu perbuatan lepas
kendali dari bangsanya dan bagian dari penghormatan budaya Barat.
Di bagian awal buku, bab I: Titik Tolak dan Eksplorasi,
langsung menyajikan laporan terkait perlakuan awal dari orang Islam terhadap
orang asing. Hanya saja perlakukan yang kurang baik yang diangkatnya seperti
memaksa orang Belanda untuk masuk Islam, memenjarakannya, mengajak debat soal
ketuhanan, dan meminta untuk menikahi keluarga raja. Peristiwa yang diangkat
ini terkait masuknya ekspedisi Belanda di Aceh yang bertemu dengan penguasa
Aceh. Karel menyebutkan De Houtman, orang yang melakukan pertemuan awal dari
bangsa Belanda dengan pribumi dalam rangka menjalin kerjasama bidang ekonomi
kemudian diperlakukan tidak manusiawi.[21]
Menyikapi laporan De Houtman dengan menyatakan telah ada “bumbu-bumbu” kecil
untuk menarik perhatian Kerajaan Belanda terkait dengan Indonesia.[22]
Karel menyebutkan bahwa reaksi umat Islam terhadap orang asing
pada masa awal masuk ke negeri Indonesia dikarenakan orang asing tidak mengenal
hal-hal yang terkait dengan kaum pribumi. Karel menuliskan laporan dari Jan
Huygen van Linschoten (1563-1611):
“Suatu
waktu, ketika saya seorang Potugis kebetulan lewat, saya sangat berhasrat
melihat ‘gereja’ pengikut Muhammad ini dan ingin mengetahui cara sembahyang
mereka. Akan tetapi, penjaga pintu memcegat kami seraya menyuruh membuka
sepatu. Ketik kami menolak membuka sepatu, ia berkata bahwa kami tidak
diperbolehkan memasuki ‘gereja’ dengan bersepatu, namun ia tetap memperkenankan
kami berdiri di pintu masuk sehingga kami dapat melihat ke dalam; dan ia juga
membukakan beberapa jendela dari dalam sehingga kami dapat menyaksikan dengan
jelas apa yang sedang berlangsung. Lalu orang Portugis bertanya kepadanya: di
manakah tuhan dan orang-orang suci yang mereka sembah. Sebab, sebagaimana telah
dikemukakan, ia melihat ‘gereja’ itu sama sekali tanpa patung-patung. Orang
Moor itu menjawab bahwa mereka tidak menyembah kayu dan batu melainkan menyembah
Tuhan Yang Hidup yang berada di surga. Lebih lanjut ia berkata, ‘kalian
orang-orang Portugis Kristen dan orang kafir adalah sama: kalian menyembah
patung-patung yang kalian buat sendiri dan mempersembahkan rasa hormat
kepadanya yang semestinya hanya layak untuk Tuhan yang Hidup lagi Mahakuasa.’
Jawaban ini menyebabkan orang Portugis itu menjadi sangat marah dan mulai
melontarkan kata-kata cacian kasar, sehingga sekelompok orang Moor dan India
pun berkerumun. Hal ini sudah barang tentu dapat menimbulkan kericuhan besar
seandainya saya tidak meminta maaf dan memaksa orang Portugis itu pergi dari
situ. Lalu kami pergi dan itulah semua yang perlu dilaporkan.”[23]
Apresiasi
Kajian yang dilakukan Karel ini bila dilihat secara historis
dari bab 1 hingga epilog menguraikan sejarah hubungan Islam dan Kristen dalam
bingkai kolonialisme Belanda atas bangsa Indonesia. Karel berhasil memunculkan
laporan dari orang Belanda, pelaku sekaligus penjajah atau sumber pertama, yang
dituangkan dalam narasi peristiwa demi peristiwa yang terkait dengan umat Islam
dan kaum Belanda.
Karel juga memunculkan sejumlah tokoh-tokoh Belanda yang
sepak terjangnya mewakili pemerintah Belanda terdahulu dan sejumlah nama tokoh
dari umat Islam Indonesia. Dari bab awal buku ini terasa keberpihakan Karel
atas perilaku orang Belanda dengan memunculkan lebih banyak reaksi umat Islam
dan tindakan yang kurang baik dari orang Islam, seperti perlakukan raja atas
orang Belanda yang dipaksa masuk Islam.[24]
Selain itu, yang perlu dikaji kembali—ini mungkin
subjektifitas saya—bahwa Karel dalam menyajikan karyanya tidak detil dalam
menyebut tokoh lokal seperti nama bupati dan tidak mencantumkan tempat beserta
tanggal atau tahun kejadian. Setiap sajian tidak diimbangi dengan kajian dari
penulis Indonesia yang memiliki keahlian dalam sejarah kolonial. Pendekatan
yang tidak berimbang ini jika tidak diperbaiki maka akan menyimpan kecuriagaan-kecuriagaan
yang kurang baik (dari pembaca yang kritis, terutama umat Islam). Meski mencoba
menguraikan sejarah, tetapi subjektifitas tidak bisa dinafikan.
Terakhir, Karel dalam bukunya memuat delapan gambar:
prosesi sultan di Ternate hendak menuaikan shalat idul adha (tahun 1938), pemakaman
sultan Aceh (tahun 1614), suasana istana Banten saat sultan menerima ulama dari
Makkah (tahun 1915), Imam Bonjol (tahun 1849-1850), K.F.Holle, C.Snouck
Hurgronje (tahun 1923), G.A.J.Hazeu, dan Fahters F.van Lith S.J (tahun 1952).[25]
Gambar ini tentunya membantu pembaca yang belum mengenali sosok yang diuraikan
dalam buku.
Setelah membaca tuntas membaca buku Kawan Dalam Pertikaian, Kaum Kolonial Belanda dan Islam di
Indonesia (1596-1942), saya maklum dengan isi karya Karel ini.
Sebab, ia bukan seorang sejarawan yang terdidik dari pendidikan ilmu sejarah. Sebagaimana
dinyatakan Kuntowijoyo bahwa setiap orang bisa menulis sejarah, tetapi tidak
bisa mengungguli karya sejarawan profesional. *** (Ahmad
Sahidin adalah Mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam Pascasarjana UIN SGD Bandung, angkatan masuk tahun 2014)
[1]
http://m.hidupkatolik.com/index.php/2014/02/12/karel-a.-steenbrink-ngajinya-islam-imannya-katolik
(diakses tanggal 14 Oktober 2015, jam 16.33).
[2] http://biografinya.blogspot.co.id/2012/03/karel-steenbrink.html
(diakses tanggal 14 Oktober 2015, jam 15.20).
[3]
http://m.hidupkatolik.com/index.php/2014/02/12/karel-a.-steenbrink-ngajinya-islam-imannya-katolik
(diakses tanggal 14 Oktober 2015, jam 16.34).
[4]
http://biografinya.blogspot.co.id/2012/03/karel-steenbrink.html (diakses
tanggal 14 Oktober 2015, jam 15.20).
[5] Prof. Dr. I.B. Wirawan, Teori-Teori
Sosial dalam Tiga Paradigma (Jakarta: Kencana, 2012) halaman 256.
[9]
Halaman xxviii.
[10]
Halaman xiii.
[11]
Halaman xiv.
[12]
Halaman xvi.
[13]
Halaman xvi.
[14]
Halaman 181-204.
[15]
Halaman 131.
[16]
Halaman 130.
[17]
Halaman 192-193.
[18]
Halaman 107-108.
[19]
Halaman 109-110.
[20]
Halaman 110.
[21]
Halaman 1-9.
[22]
Halaman 9.
[23]
Halaman 26-27.
[24]
Halaman 1-9.
[25]
Halaman 134-141.