Minggu, 17 November 2019

Historiografi Sirah Nabawiyah dan Tarikh

TIDAK hanya dalam disipilin ilmu-ilmu Islam terjadi pengelompokan mazhab Sunni dan Syiah, bahkan dalam historiografi Sirah Nabawiyah. Sedikit akan saya uraikan bentuk historiografi Sirah Nabawiyah antara sejarawan Sunni dan Syiah. Historiografi antara Sunni dan Syiah bisa terlihat dengan membandingkan buku-buku biografi Nabi Muhammad saw yang beredar.

Sirah Nabawiyah versi Sunni
Jika membaca buku “Sejarah Hidup Muhammad” karya Muhammad Husein Haekal atau buku “Sirah Nabawiyah” karya Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury bahwa Nabi Muhammad saw digambarkan pernah keliru dan tidak mengetahui dirinya seorang Nabi. Juga tentang peristiwa mendapatkan wahyu pun dramatis; sampai ketakutan dan lari kemudian berlindung kepada istrinya, Khadijah. 

Juga penulis sejarah Sunni memuat peristiwa Nabi ditegur Allah karena tidak menghiraukan orang buta, soal penyerbukan kurma yang merugikan petani Madinah, atau Nabi berniat menceraikan Aisyah karena kedapatan berduaan dengan Shafwan dalam perjalanan yang tertinggal, Khadijah seorang janda, dan Abu Thalib bukan seorang mukmin. Juga memuat keputusan Umar benar dalam sebuah eksekusi dan Nabi salah.

Sirah Nabawiyah versi Syiah 
Berbeda dengan buku sejarah Nabi Muhammad saw yang ditulis oleh kalangan sejarawan Syiah. Misalnya Syaikh Jafar Subhani dengan buku berjudul “The Message” dan Jafar Murtadha Amili dengan karya yang berjudul “Al-Shahih Min Sirat Al-Nabiy Al-A`Zham Saw”.

Dalam dua buku tersebut, Nabi Muhammad saw digambarkan mengetahui dirinya sebagai Nabi. Sosok Muhammad digambarkan sebagai manusia bersih dari kesalahan dan sempurna dalam perilaku serta pendapatnya berdasarkan wahyu. Setiap ucapan dan kehidupannya adalah teladan untuk umat karena berada dalam bimbingan Allah.

Masih dari sejarawan Syiah, Sayyid A.A Razwy dalam buku Menapak Jalan Suci Sang Putri Mekkah: Sejarah Khadijah al-Kubra, istri Rasulullah Saw (Jakarta: Lentera, 2002; h.179-180) menyebutkan Khadijah bukan janda, tetapi seorang lajang yang belum menemukan calon yang cocok. 

Menurut Razwy bahwa Khadijah banyak menerima lamaran dari para pemuka dan penguasa Arab Mekkah, tetapi ia menampiknya. Khadijah tidak tergoda dengan kekayaan karena ia sendiri seorang pengusaha yang terkenal kaya raya di Mekkah. Siapa pun yang mencoba (melamar) mengesankannya dengan harta atau kekuasaan, jika tidak bodoh, tentu saja naif. Karena itu, Khadijah membuat target sampai adanya seorang laki-laki yang benar-benar mengesankannya, yaitu Muhammad bin Abdullah.

Peristiwa yang jarang disebutkan oleh penulis sejarah dari kaum Sunni adalah tentang peristiwa pengangkatan Ali bin Abu Thalib sebagai pemimpin (maula dan washiy) oleh Rasulullah saw di Ghadir Khum. 

Peristiwa Ghadir Khum dan kisah pembangkangan sahabat dalam Perang Uhud menjadi kupasan pada buku-buku sejarah versi Syiah. Juga memuat peristiwa sahabat bubar saat khutbah Jumat dan berniat melarikan diri saat terkepung oleh musuh dalam perang Khandaq.

Kemudian tentang tanggal kelahiran Nabi Muhammad saw antara sejarah versi sejarawan Sunni dan sejarawan Syiah berbeda. Kaum Sunni meyakini 12 Rabiul Awwal dan 17 Rabiul Awwal diyakini oleh Muslim Syiah. Meski beda tanggal, tetapi kaum Sunni dan Syiah di Iran merayakan Maulid Nabi secara bersama dari tanggal 12 hingga 17 Rabiul Awwal. Bahkan tanggal wafat Rasulullah saw pun berbeda. Kaum Sunni percaya wafat 12 Rabiul Awwal 11 Hijriah. Sedangkan kaum Syiah ada dua: 28 Shafar dan 1 Rabiul Awwal. 28 Shafar diakui hampir seluruh ulama Syiah. Sedangkan 1 Rabiul Awwal hasil riset dari Sayed Ali Asgher Razwy dalam buku A Restatement of the History of Islam and Muslims.

Mana yang benar dari dua versi di atas? Untuk mengujinya memang harus menggunakan “alat ukur” yang tidak ditolak oleh kaum Sunni maupun kaum Syiah. Yang benar-benar diakui kebenarannya oleh Muslim Sunni dan Muslim Syiah. Al-Quran tampaknya bisa menjadi “mizan” untuk menguji kedua Sirah Nabawiyah, baik dari Sunni maupun Syiah. 

Tarikh versi Sunni 
Saya memahami berdasarkan pembacaan atas buku-buku sejarah bahwa dalam penulisan sejarah Islam versi sejarawan Sunni yang ditulis zaman modern biasanya dimulai dari Nabi Muhammad kemudian periode khulafa rasyidun (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Imam Ali bin Abi Thalib), daulah-daulah Islamiyah beserta kemajuan umat Islam dalam peradaban dan kebudayaan Islam, dan gerakan pembaruan yang dipelopori tokoh Islam modern seperti Muhammad Abdul Wahab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Ali Jinnah, Muhammad Iqbal, dan perubahan-perubahan yang terjadi di negeri mayoritas umat Islam seperti Turki, Indonesia, Iran, Mesir, Arab Saudi, Pakistan, dan lainnya. 

Kalau dilacak lagi pembabakan tersebut lebih mirip bangunan sejarah yang dibangun oleh sejarawan-sejarawan Barat, seperti Marshal G.S. Hodgson dan Ira M. Lapidus. Karya sejarah di Barat hampir seluruhnya membagi pada tiga periode: klasik, pertengahan dan modern. Periodesasi tersebut masuk pula dalam historiografi Islam yang kini banyak digunakan dalam menulis buku sejarah. Sebut saja Badri Yatim dan Ajid Thohir dari Indonesia, serta Ahmad Syalabi dari Mesir.

Sementara buku tarikh dari kaum Sunni yang dari zaman klasik dan abad pertengahan cenderung kronikal seperti Tarikh Ar-Rusul wal Muluk dari Ath-Thabary, karya Atsir, dan Yaqubi. Ada juga yang bersifat tematik seperti karya Jalaluddin Suyuthi dengan judul Tarikh Khulafa. Corak penulisan yang dominan adalah sejarah politik dan penguasa serta peristiwa besar seperti peperangan dan informasi daerah-daerah kekuasaan dari dinasti-dinasti Islam. Buku-buku yang ditulis zaman modern sudah berkembang pada khazanah ilmu dan jejak peradaban Islam. Namun, periodesasinya masih bercorak politik dengan pembagian dari kekuasaan setiap dinasti yang berkuasa hingga keruntuhannya.

Tarikh versi Syiah 
Sementara dalam versi Syiah, setelah Nabi Muhammad saw dilanjutkan periode Imamah. Dalam hal ini, diuraikan kisah para Imam Ahlul Bait dimulai dari Imam Ali kemudian Imam Hasan dan Imam Husain terus sampai periode gaibnya Imam Mahdi Al-Muntazhar pada 230 H./875 M, yang sezaman dengan masa berkuasanya Daulah Abbasiyah. Kemudian masuk periode marjaiyah, yaitu masa wewenang agama dipegang para ulama terpilih (marja taqlid) yang berlangsung hingga muncul Imam Mahdi. Saat muncul Mahdi dari kegaiban maka ini disebut akhir sejarah kehidupan manusia, baik Muslimin atau non-Islam, karena dunia akan mengalami kehancuran setelah Mahdi membebaskan umat manusia dari aneka kezaliman yang dilakukan Dajjal dan Yajuj Majuj. Sebagai simbol kemenangan pihak yang benar tatkala menghadapi pihak yang salah sepanjang sejarah. Dan sejarah umat Islam dalam versi Syiah ini merupakan masa perjuangan kaum benar menghadapi kaum yang salah. Menariknya pihak yang benar ini banyak mengalami kekalahan secara lahiriah, sehingga kehadiran Mahdi ditunggu untuk memusnahkan kaum yang salah. 

Babak sejarah versi Syiah ini lebih bernuansa teologis karena disesuaikan dengan hadis yang menyebutkan khalifah yang melanjutkan risalah Islam mesti 12 keturunan Rasulullah saw. Namun posisinya bukan penguasa dunia yang memerintah umat Islam, tetapi sebagai rujukan dalam agama dan teladan kehidupan pasca Nabi agar selaras dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.

Dengan demikian, periodesasi dari tarikh Islamiyyah versi Syiah adalah kenabian (masa pra Rasulullah sampai wafat), imamah (masa imam syiah dari Ali sampai Mahdi), marjaiyyah (masa para ulama syiah yang dijadikan panutan dan rujukan oleh umatnya), dan mahdawiyyah (masa kehadiran Al-Mahdi jelang Kiamat berperan sebagai juru selamat).

Simpulan
Dari dua bentuk historiografi di atas bisa dipahami bahwa pengaruh mazhab cukup kuat dalam karya sejarah. Karena itu, buku sejarah tidak bisa lepas dari subjektivitas seorang penulis. Termasuk mazhab yang melekat pada sang sejarahwan. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Khaldun tentang pentingnya kehati-hatian dalam menulis. Fanatisme golongan agama turut serta dalam tadwin tarikh Islamiyyah.*** (Ahmad Sahidin)