Kamis, 14 November 2019

Resensi Buku Muhammad, Nabi dan Negarawan

Salam. Kembali saya menuliskan apa yang saya peroleh dari buku yang dibaca. Sekarang ini yang dibaca karya William Montgomery Watt: Muhammad, Prohpet and Statesman. Buku ini diterjemahkan oleh Djohan Effendi dengan judul Muhammad: Nabi dan Negarawan. Terbit tahun 2006 oleh Penerbit Mushaf, Jakarta. Tebal buku ini 372 halaman. Bukunya berbentuk saku sehingga mudah dibawa-bawa. Saya pun membacanya sambil tiduran dan tuntas.

Buku karya Watt ini diberi pengantar oleh penerjemahnya. Djohan Effendi menyatakan tertarik untuk menerjemahkan buku Muhammad: Prohpet and Statesman karena merangsang untuk melakukan telaah lebih mendalam.  Djohan menulis pada halaman v:  “Saya terdorong menerjemahkan buku ini, bukan karena saya sepakat sepenuhnya dengan seluruh isi buku ini, tetapi karena saya beranggapan buku ini merangsang kita untuk mengadakan telaah lebih mendalam terhadap peri kehidupan Nabi kita.”

Saya sepakat dengan penerjemah bahwa seorang orientalis, meski dianggap jujur dan ilmiah dalam menyajikan karya tentang Islam, pasti memiliki kepentingan yang bersifat subjektif dan meski tidak muncul dalam karyanya.  Watt merupakan seorang pendeta, pakar studi Islam di Barat, dan pernah interaksi dengan Muslim Ahmadiyah, tentu memiliki kekhasan dalam sajian karya ilmiah dibandingkan William E.Phipps, Sir William Muir, Goldziher, dan lainnya.

Sekadar informasi bahwa Phipps termasuk orang yang melakukan studi komparatif  tentang sosok Muhammad dan Isa. Bukunya yang akan saya baca berjudul "Muhammad dan Isa: Telaah Kritis atas Risalah dan Sosoknya."

Sekarang kembali kepada Watt. Bukunya diakhiri dengan catatan penutup dari Alwi Alatas yang kritis dalam memandang Watt dengan menyatakan: seorang yang tidak konsisten. Saya juga menemukan yang dimaksudnya selama pembacaan buku. Namun, yang utama dipersoalkan oleh Alwi Alatas adalah pengaruh tersembunyi dari seorang Nasrani dalam memandang Islam.

Buku karya Watt ini terdiri dari sembilan bab. Seperti biasa menyajikan narasi sejarah dari mulai masa muda hingga masa terakhir kehidupan Rasulullah saw. Narasi yang dibangun, saya kira sama dengan yang disajikan oleh Karen Armstrong dan Tariq Ramadan, narasi-narasi Watt tidak memberikan detail peristiwa. Hanya uraian interpetasi yang disisipi dengan kejadian yang dialami Rasulullah saw.

Yang menarik, Watt mampu menyebutkan tanggal dan bulan kejadian-kejadian Rasulullah saw dalam kalender Masehi. Bukan kalender Hijriah yang biasanya disajikan oleh sejarawan Muslim klasik seperti Ath-Thabari, Al-Waqidi, dan Ibnu Hisyam.

Narasi sejarah yang dibangun oleh Watt dalam buku "Muhammad: Prohpet and Statesman" lebih dominan menguraikan perang, mengambil jarahan harta, dan pernikahan Rasulullah saw. Sang Muhammad yang merupakan Nabi bagi umat Islam dianggap Watt sebagai orang jenius yang mampu menguasai abad 6-7 Masehi sehingga berhasil dalam karier sebagai pemimpin Arabia: Makkah dan Madinah. Seorang yang disisihkan penduduk Makkah karena letupan pikiran yang “menyimpang” dalam tradisi Makkah dan orang yang mampu merangkul orang-orang tertindas, yang dalam perjalanannya mampu  mengubah masyarakat Arab menjadi bercorak religius.

Saat disisihkan orang Makkah, Muhammad menjalin hubungan dengan orang Madinah. Meyakinkah mereka bahwa ajarannya sebuah solusi dan mampu mengangkat kehidupan manusia menjadi lebih baik dan bahagia dunia akhirat. Orang-orang Madinah tertarik pada ajaran Islam karena di negerinya sedang mengalami krisis dan Muhammad mampu merekatkan dua suku yang konflik: Aus dan Khazraj. Karena itu, saat hijrah maka sambutan orang-orang Madinah sangat antusias. Persiapan Muhammad untuk pindah ke Madinah terencana dengan matang sehingga saat masuk diterima dan diharapkan kehadirannya.

Sayang sekali Watt tidak menguraikan kaum Yahudi yang merasa kalang kabut ketika Muhammad hadir di Madinah. Upaya pemersatuan dalam satu komunitas Islam (ummah) dari beragam suku di Madinah dan kaum pendatang (muhajirin) tidak diuraikan dengan detail. Padahal aspek ini penting untuk melihat kebesaran Muhammad dalam membangun negeri Madinah yang lebih maju dan kiprahnya sebagai negarawan.

Sayangnya interaksi dan pola-pola membangun karakter kaum Muslim di Madinah oleh Muhammad tidak dimunculkan. Malahan yang diperlihatkan urusan rumah tangga berupa pernikahan dengan perempuan untuk mengikat hubungan dengan suku-suku agar menjadi penyokong gerakannya.

Masih tentang pernikahan Muhammad—saya kira ini mengulang Sir William Muir—adalah narasi pernikahan dengan Zainab binti Jahsyi. Seorang yang pernah membaca kisah Raja Daud menikahi Batseba dalam versi Barat (istri dari seorang prajurit yang mati dalam perang yang disuruh ke depan oleh Raja Daud) mungkin akan menyatakan ada kesamaan dengan yang diuraikan oleh Watt.

Seperti Daud mengunjungi seorang prajurit, Muhammad suatu hari pergi ke rumah Zaid bin Haritsah, anak angkatnya yang juga pejuang Islam.  Di rumah tidak ada Zaid, yang ada hanya Zainab dengan gaun dan bentuk tubuh yang memesona pandangan Muhammad sehingga keluar ucapan yang berharap memilikinya. Zainab cerita kepada Zaid pertemuannya dengan Muhammad. Kemudian Zainab oleh Zaid diceraikan dan Muhammad mengambilnya sebagai istri. Sejarah mengisahkan Zaid disuruh pergi memimpin perang dan meninggal dunia. Narasi tersebut dilegitimasi oleh Watt dengan ayat Al-Quran yang menyebutkan Tuhan memenuhi hasrat Muhammad kepada Zainab  dan tidak ada larangan menikahi istri bekas anak angkatnya.

Terasa kurang nyaman saat membaca narasi tersebut. Maklum gambaran saya tentang Nabi Muhammad saw adalah seorang terhormat, mulia, dan agung. Tidak ada unsur cacat dan hasrat seksual yang besar hingga mengambil perempuan untuk memenuhi libido. Nabi Muhammad saw sendiri ketika di Madinah menikah poligami dalam usia sepuh. Usia muda dihabiskan bersama Khadjiah dalam pernikahan monogami.  Mengapa tidak poligami ketika masih usia muda? Saya yakin ada pelajaran dan nilai-nilai teladan yang bisa diambil dari peristiwa pernikahan Zainab binti Jahsyi kalau memang sumbernya otentik.

Sumber peristiwa pernikahan Zainab binti Jahsyi dengan Nabi Muhammad saw kalau dilacak berasal dari Ath-Thabari.  Tidak diingkari bahwa Ibnu Jarir Ath-Thabari bukan seorang sejarawan yang kritis. Ath-Thabari memasukan seluruh riwayat dalam bukunya tanpa sikap kritis. Parahnya, Watt yang memiliki perangkat ilmu sejarah dan metodologi ilmiah (ternyata) tidak kritis dalam mengambil sumber. Muir yang tampaknya menjadi inspirasi narasi Zainab dimasukan dalam buku Muhammad: Prohpet and Statesman. Muir dalam sejumlah karya seperti Armstrong dan Phipps masih dijadikan rujukan, termasuk William Montgomery Watt. Mengapa kaidah ilmiah orientalis tumpul dalam narasi peristiwa pernikahan Zainab binti Jahsyi? Layak digali karena perulangan yang tidak benar dan tdak sesuai kaidah ilmiah lebih pantas berada dalam wacana sekterianisme. 

Banyak peristiwa sejarah masa Rasulullah saw yang memiliki sumber mutawatir dan sahih tidak dimunculkan dalam buku Muhammad: Prohpet and Statesman.Seperti narasi Haji Wada hanya loncat dan selintas. Tidak diuraikan perjalanan tiba di Kabah, Makkah, dan perilaku Muhammad dalam memberikan ampunan terhadap orang-orang yang membencinya atau berupaya membunuhnya ketika di Makkah. Sejarah perjalanan pulang dari Haji Wada hingga kembali ke Madinah tidak diuraikan.

Saya kira bagian ini penting karena terkait kehidupan akhir hidup Rasulullah saw. Mungkin karena tidak menganggap penting peristiwa menjelang akhir kehidupan Muhammad, maka Watt jatuh dalam perulangan kembali yang sama dengan sajian karya orang-orang sekterianisme.  Terutama pada bab delapan, saya menemukan loncatan peristiwa yang cukup jauh dari rangkaian peristiwa dan narasi kronologis sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw.

Bab sembilan, sebagai bagian akhir dari buku karya Watt cukup menarik karena menyajikan penilaiannya terhadap sosok Muhammad. Saya membaca dan sama seperti yang disampaikan Alwi Alatas bahwa William Montgomery Watt tidak mampu bersikap netral dan tidak sepenuhhnya berada dalam koridor ilmiah dalam menyajikan sosok Muhammad. Watt, mungkin selaku orang Nasrani, tidak mau menyebut Muhammad sebagai Nabi, tetapi seorang imajiner yang berhasil.

Dengan penuh keponggahan, Watt menulis: “Pada Muhammad, saya beranggapan, terdapat kedalaman dari imajinasi kreatif, dan gagasan-gagasannya yang dilahirkan sebagian besar adalah benar dan baik. Khususnya terdapat, paling tidak, satu soal yang tampaknya tidak sehat –gagasan bahwa wahyu atau hasil imajinasi kreatif itu lebih tinggi dari tradisi manusia biasa sebagai sumber fakta—sejarah yang telanjang, terdapat beberapa ayat dalam Al-Quran (11:49, 3:39, 12:103) dengan tujuan bahwa ‘inilah berita-berita tentang yang gaib yang Kami wahyukan kepadamu, engkau tidak mengetahuinya, engkau dan kaum engkau, sebelum ini’. Orang bisa mengakui bahwa imajinasi kreatif mampu memberikan interpretasi yang baru dan lebih benar tentang suatu peristiwa sejarah, tetapi membuatnya sebagai sumber dari fakta telanjang adalah berlebih-lebihan dan tidak benar” (halaman 330).

Lantas diujung tulisan, halaman 331, Watt menulis: “Akhirnya, apakah masalah kita? Apakah Muhammad seorang Nabi? Ia adalah seorang yang imajinasi kreatifnya bekerja dalam tingkat tinggi yang paling dalam dan menghasilkan gagasan-gagasan yang relevan pada pertanyaan sentral keberadaan manusia, sehingga agamanya mempunyai himbauan yang tersebar luas, tidak hanya pada abadnya melainkan pada abad-abad sesudahnya. Tidak semua gagasan-gagasan yang didakwahkannya benar dan baik, tetapi rahmat Tuhan telah memungkinkannya memberikan agama yang paling baik pada jutaan manusia dari yang mereka punyai sebelum mengakui tak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah.”   

Watt tetap tidak mau mengakui kebesaran, kemuliaan, dan keagungan sosok Nabi Muhammad saw dengan menutup diri dari seluruh sejarah yang otentik. Biarlah Watt demikian dengan sikapnya seorang orientalis yang enggan menerima kebenaran. Yang lebih parah, ada segelintir orang di Timur Tengah yang hidup di zaman modern bersikukuh dalam menyimpulkan sosok Nabi Muhammad saw layaknya orientalis.

Hatur nuhun anu parantos kersa maos ieu seratan. Mugi kenging panangtayungan Allah Ta’ala sareng syafaat Kangjeng Nabi Muhammad Rasulullah saw miwah kulawargina. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala Aali Sayyidina Muhammad. *** (ahmad sahidin)