Siapa pun pasti resah dengan persoalan kehidupan yang serba
kekurangan, kemiskinan dan rendahnya pendidikan dan keterampilan yang dimiliki.
Hal ini merupakan persoalan yang tak bisa selesai dengan menjalankan aspek
ritual agama dan kiat-kiat praktis. Tapi, mesti ada gerakan yang peduli dan
sadar bahwa masalah-masalah sosial, pendidikan rendah, dan kemiskinan yang kian
hari malah bertambah, merupakan persoalan yang harus segera dicari
penyelesaiannya.
Untuk memahami kondisi dan latar belakangi munculnya masalah
tersebut, reporter Ahmad Sahidin dari Majalah Swadaya, mewawancarai oleh Prof. Dr.
H.Dadang Kahmad, Guru Besar Ilmu-ilmu Sosial Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Gunung Djati Bandung, beberapa waktu lalu di kantor Pengurus Wilayah
Muhammadiyah Jawa Barat, Masjid Mujahidin, Jalan Sancang No.6 Bandung. Berikut
ini kutipannya:
Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim nasibnya sangat
mengkhawatirkan. Berbagai masalah seperti kemiskinan, pendidikan yang rendah
dan tak berkualitas atau kesenjangan sosial, dari tahun ke tahun makin
meningkat. Mengapa ini bisa terjadi?
Ya, memang itu masalah yang hingga kini belum selesai.
Menurut saya, permasalahannya terletak pada sumber daya manusia di Indonesia
belum kuat. Belum optimal. Hal ini terjadi karena saling keterkaitan antara
kemiskinan dengan pendidikan yang rendah. Entah karena pendidikan yang rendah
mengakibatkan kemiskinan atau sebaliknya. Namun, ini harus kita sadari bahwa
kedua masalah ini perlu dituntaskan dengan segera.
Untuk mengatasi pendidikan yang rendah harus ada kepedulian
dan perhatian dari pemerintah untuk meningkatkan penyebaran pendidikan yang
merata di seluruh Indonesia. Sehingga, mereka (masyarakat miskin–red) dapat
menikmati pendidikan setinggi-tingginya dengan biaya sangat rendah. Karena itu,
bila sumber daya manusia itu bagus, kuat, maka akan menghasilkan produk-produk
yang bagus pula. Oleh karena itu, produk-produk yang dihasilkan masyarakat
Indonesia itu akan berguna bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sebenarnya, masalah-masalah tadi merupakan tanggungjawab
pemerintah Indonesia terhadap rakyatnya. Sejauh ini, bagaimana Bapak melihat
usaha pemerintah untuk mengatasi persoalan ini?
Sejak negeri ini merdeka pada tahun 1945 hingga sekarang,
saya belum melihat keseriusan pemerintah dalam menangani masalah pendidikan dan
kemiskinan. Dulu kan cuma dianggarkan sekitar 7 % atau di bawah 10 %. Alhamdulillah, melalui amandemen
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang dilahirkan MPR tahun 1999-2004, di sana
dicantumkan minimal 20 % pemerintah harus menganggarkan dana bagi kepentingan
pendidikan. Ini harapan besar bagi kita, jika alokasi pendidikan sudah mencapai
sebesar itu, dan bila didukung semua atau swasta yang punya keberpihakkan,
insya Allah akan menghasilkan pemerataan dalam pendidikan dan peningkatan
kualitas pendidikan.
Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa anak-anak miskin dan
terlantar dipelihara negara atau mendapatkan jaminan hidup dari pemerintah.
Namun, faktanya belum terwujud. Bagaimana ini?
Ya, memang belum terwujud. Saya kira itu tuntutan dari
konstitusi yang harus menjadi perhatian pemerintah sekarang ini. Memang,
masalah kemiskinan di Indonesia ini bagaikan piramida. Terlalu banyak orang
miskin dibandingkan orang kaya. Terlalu banyak mustahik (penerima zakat—red)
dibandingkan muzaki (pemberi zakat—red). Jadi, walaupun semua orang kaya di
Indonesia mengeluarkan zakatnya, 2.5 %, pasti tidak akan mencukupi karena orang
yang menerimanya terlalu banyak. Prosentasenya tidak seimbang.
Jadi, jika pemerintah mengurus kemiskinan dan anak-anak
terlantar di seluruh Indonesia, maka akan kehabisan devisa atau anggaran
negara. Pasti tidak akan cukup. Meski begitu, tetap saja pemerintah harus
memerhatikan dan bekerja keras mengurus dan mencarikan solusi yang terbaik
untuk orang-orang miskin dan anak-anak terlantar agar sejahtera. Sehingga, dari
tahun ke tahun orang-orang miskin atau anak-anak terlantar itu jumlahnya
berkurang. Kalau sekarang kan sektor swasta yang banyak menanggulangi
orang-orang miskin dan anak-anak dhuafa terlantar. Contohnya Muhammadiyah,
ormas (organisasi masyarakat—red) yang banyak membuat amal-amal usaha yang
diperuntukan untuk orang-orang miskin. Muhammadiyah membuat panti asuhan, rumah
sakit, sekolah-sekolah, dana usaha kredit mikro, dan pembinaan keagamaaan, yang
semuanya itu sebagai bentuk pelayanan publik.
Jadi,
pemerintahan kita ini melaksanakan amal sholih?
Amal shalih itu
memerhatikan kehidupan masyarakat miskin dan sosial. Setiap kata-kata
iman kepada Allah dalam Al-Quran pasti diiringi dengan amal shalih. Hal ini
menunjukkan betapa besarnya perhatian Islam terhadap masyarakat dhuafa dan
kepedulian sosial.
Menurut Nabi Muhammad SAW, tidak akan disebut beriman kamu
bila tidak memerhatikan saudaramu sendiri. Jadi, yang diajarkan Nabi di masa
awal Islam, di Mekah, tentang kepedulian sosial. Sedangkan, ukuran orang yang
disebut beragama itu, dalam surat Al-Maun disebutkan, orang yang termasuk
beragama itu adalah mereka yang memberi makan anak yatim dan tidak
menelantarkan atau menghardiknya.
Kalau begitu, standarnya orang beragama itu adalah yang
mempunyai kepedulian sosial terhadap kehidupan masyarakat dhuafa?
Ya, itu memang yang tercantum dalam Al-Quran. Pendusta agama
itu orang yang tidak memberi makan orang miskin atau menghardik anak yatim. Ya
memang ini yang dilakukan Rasulullah sebelum memberikan pembinaan syariat agar
mereka bisa benar-benar merasakan manfaatnya peran sosial agama.
Bila kita analisa, kenapa posisi agama itu tidak nampak
berperan dalam kehidupan sosial, itu karena pola dakwah yang terlalu koginitif.
Pembinaan dakwah kita hanya sebatas pemikiran dan informasi saja. Belum
menyentuh pada pola dakwah yang aplikatif pada psikomotorik atau keperibadian.
Saya melihat banyak orang yang berpengetahuan agamanya
tinggi, tapi perilakunya tak mencerminkan orang beragama. Adakalanya kiyai
tidak sesuai dengan ke-kiyai-annya. Ada juga sarjana yang tidak sesuai dengan
kesarjanaannya. Inilah yang ada di masyarakat kita. Karena itu, untuk saat ini
sangat dibutuhkan pola dakwah membina keperibadian orang dan memerhatikan
hal-hal praktis bagi masyarakat. Misalnya, kita ajak masyarakat untuk yakin dan
berusaha dalam mengisi kehidupan dunia dengan baik. Kita arahkan masyarakat,
bila sakit ajak ke dokter dan suruh berdoa kepada Allah, bukan ke dukun. Kita
fasilitasi keberadaan anak-anak yatim dan dhuafa dalam panti-panti asuhan. Kita
berikan dana usaha atau kredit mikro agar kaum miskin dan dhuafa bisa mempunyai
penghasilan dan tetap beribadah. Ini yang kami lakukan di Muhammadiyah. Saya
juga melihat ini dilakukan oleh Pesantren Daarut Tauhiid Bandung. Ini yang saya
kira terbukti kontribusinya.
Benarkah ada nash-nash atau konsep teologis Islam yang
menganjurkan umat Islam untuk hidup dalam kemiskinan?
Tidak. Saya kira kemiskinan itu sebuah kecelakaan. Sesuatu
yang tidak diinginkan di dunia ini. Agama apa pun di dunia ini melarang umatnya
untuk hidup dalam kemiskinan. Dalam Al-Quran saya menemukan kalimat, janganlah
kamu meninggalkan anak-anakmu dalam keadaan lemah. Ini merupakan peringatan
dari Allah SWT. Ada juga kalimat, Allah sangat mencintai orang-orang yang kuat,
kaya, dan peduli pada orang-orang miskin. Kemiskinan itu sesuatu kecelakaan.
Sebuah fungsi laten yang ada dalam kehidupan kita yang tak diinginkan. Fungsi
manifesnya kan bahagia, sejahtera, makmur, tentram. Nah, fungsi latennya adalah
kemiskinan.
Dalam ajaran agama kita pun ada hadits yang berbunyi bahwa
kefakiran mendekatkan pada kekufuran. Fakir ini artinya orang-orang yang
merasakan dirinya selalu tak cukup. Selalu mencari kepuasan dengan berbagai
cara. Jika ada iming-iming harta, ia ikut ke sana. Memang, seperti itu ciri dan
kelakuan orang fakir itu. Yang dianjurkan Allah SWT, pertama adalah harus
qanaah, merasa cukup atas apa pun yang kita terima dari Allah SWT dalam
kehidupan ini. Selalu bersyukur kepada Allah. Kedua, harus zuhud. Ia tidak
terpengaruh dengan dunia. Meski ia kaya tapi tak diperbudak dengan harta atau
dunia. Jadi, qanaah dan zuhud itu sesuatu pasangan yang baik yang perlu
diterapkan dalam kehidupan kita.
Tapi, mengapa masih juga ada Umat Islam yang berada dalam
kondisi yang memprihatinkan, baik itu secara keagamaan maupun sosial?
Ya, memang itu ada. Tapi yang jelas, jika umat Islam ingin
kaya atau cukup dalam persoalan ekonomi dan terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya,
harus bisnis. Gali saja ilmu pengetahuan dan skill agar kita bisa bekerja dan
mengisi kehidupan. Di dalam Al-Quran surat Mujadillah ayat 11 disebutkan, bahwa
Allah akan mengangkat orang-orang beriman dan yang mempunyai ilmu pengetahuan
beberapa derajat dari orang-orang biasa. Makna iman pada ayat ini adalah untuk
memantapkan keyakinan kepada Allah atau menguatkan batin kita supaya baik,
tenang, dan tentram. Sedangkan, ilmu maknanya dalam ayat tadi, untuk menggali
atau mengembangkan usaha di dunia. Yang
saya lihat di Indonesia ini, Umat Islam miskin bukan karena faktor keimanan. Tapi
aspek ilmu dan rendahnya pendidikan sehingga kalah bersaing dengan dunia luar.
Juga akses dalam informasinya sangat kurang.
Jadi, kalau ingin
kaya, ya bisnis. Kuasai ilmunya. Cari modal yang cukup. Buka akses ke
dunia pasar. Baru kemudian kuatkan dengan nilai-nilai keagamaan. Kalau tidak
sinergis, dalam kehidupan dan fasilitas untuk hidup, maka tak akan terwujud.
Jadi, faktor struktural dan infrastruktur harus dipadukan bila ingin sejahtera
dan makmur.
Ada asumsi dari beberapa Harakah Islam Indonesia yang
menganjurkan untuk menerapkan syariat Islam di Indonesia, bila ingin meraih
kemakmuran dan kesejahteraan di negeri kita. Komentar bapak?
Saya setuju. Itu boleh dilakukan asal untuk kesejahteraan
ruhani kita. Tapi untuk kesejahteraan dunia, ya harus bisnis dan menguasai
teknologi. Saya anjurkan pada semua Umat Islam untuk meningkatkan pendidikan
kita lebih tinggi. Dengan pendidikan tinggi orang akan kreatif dan menghasilkan
karya atau usaha yang berdaya jual. Dari sinilah kesejahteraan dan kemakmuran
akan di dapat.
Jadi, bila Umat Islam Indonesia ingin meraih kemakmuran itu
kuncinya iman, ilmu, dan amal atau aktivitas yang jelas dan menghasilkan. Jadi
jangan terlalu simple atau instan dalam memahami kehidupan ini. Nabi Muhammad
SAW saja berproses dalam menjalani kehidupan ini. Ia tidak menolak strategi
perang dari Salman al-Farisi. Bahkan, dalam sejarah Nabi Muhammad SAW meminta
suaka politik ke negeri Habsyi. Kita juga harusnya begitu, jangan menolak ilmu
pengetahuan atau teknologi dan skill dari luar Islam.
Jadi, apa yang harus dilakukan Umat Islam agar
kehidupannya makmur dan lebih baik?
Sekarang ini coba perbaiki ekonomi. Cari jalan atau strategi
melalui ilmu pengetahuan bagaimana kehidupan ekonomi bisa maju. Orang miskinnya
dihilangkan melalui pemberdayaan masyarakat. Baru nanti zakatnya bisa
menghidupi orang-orang miskin.
Apakah Bapak yakin dana umat seperti zakat, infak, dan
sedekah bisa jadi solusi dari berbagai masalah sosial dan ekonomi yang terjadi
di negeri ini?
Pajak 15 % di Indonesia saja sudah tak cukup untuk menaikkan
tarap hidup masyarakat Indonesia. Apalagi zakat yang hanya 2,5 %, pasti sangat
tidak bisa mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Sebab, warga miskin di
Indonesia ini lebih banyak dari yang kayanya. Yang membuat dunia ini berdaya
adalah bila yang kaya lebih banyak dari orang-orang miskin. Begitu juga dalam
kasus zakat, sekarang ini lebih banyak penerima zakat dibanding pembayar zakat.
Saya kemarin bersilaturahmi ke Nigeria, sebuah negara Muslim
yang paling miskin di dunia. Negaranya berdekatan dengan Libya, yang sangat
kaya raya dan makmur karena minyak. Memang, Libya memberikan bantuan untuk
Nigeria, tapi tetap saja masih tak berdaya dan miskin. Sebab, dana yang
dimiliki Libya tidak bisa memakmurkan seluruh warga Nigeria, apalagi bila
pemimpinnya tak berdaya, ya sudah terpuruk. Meski ada bantuan, tapi jika tak
ada dukungan dan kekuatan untuk bergerak dari pucuk pimpinan, ya lemah, atau
tidak dimanfaatkan oleh kita. Malah dibawa pihak luar ke luar negeri.
Namun, kalau kita melihat negara Islam di Timur Tengah
seperti Iran, Kuwait, atau Lebanon ternyata mampu membiayai masyarakat
dhuafanya. Ini karena ada khumus, 20 % yang ditarik pemerintah dari orang-orang
kaya. Kita lihat kemarin Hizbulloh di Lebanon, meski berperang melawan Israel,
tapi masih bisa membangun kembali bangunan yang rusak akibat perang, dan bahkan
Hizbulloh memberikan uang cuma-cuma kepada korban perang. Luar biasa, dananya
itu berasal dari zakat dan khumus.
Saya pikir bila ingin terwujud masyarakat Muslim yang
berdaya, harusnya ada kepedulian global dari negara-negara Muslim kaya dan
memberikan bantuannya kepada negeri-negeri Muslim yang miskin seperti Indonesia
ini.
Namun, hal itu sulit karena kita disekat dengan aspek
kebangsaan. Belum lagi hingga saat ini umat Islam belum bersatu. Harusnya sih
bersatu sehingga kepedulian global bisa terwujud. Ini penting diperhatikan,
bahwa menolong sesama muslim itu sebuah kewajiban.
Ada hal lainnya yang perlu Anda (Majalah Swadaya—red)
ketahui. Jika melihat Amerika dan Eropa, tiap bulannya pasti ada para artis
atau bintang film yang dipenjara karena enggan bayar pajak atas kekayaannya
itu. Di negeri kita ini kan banyak artis-artis atau publik figur yang
pendapatannya besar, harusnya dipajak sesuai dengan besarnya kekayaan yang
diperolehnya. Beri sanksi fisik agar tidak mempermainkan hukum. Begitu pun
zakat. Umat Islam yang kaya harus bayar zakat dan beri sanksi bila tak membayarnya.
Percayalah, meski tidak ada sanksi fisik dalam urusan zakat, Anda harus yakin
bahwa orang yang tak zakat itu pasti dimiskinkan oleh Allah SWT. Ini ketentuan
Allah.
Sejauh ini, bagaimana perkembangan lembaga-lembaga sosial
atau ormas yang mengurus keberadaan kaum dhuafa?
Ya berjalan. Kami di Muhammadiyah masih terus memikirkan
bagaimana orang miskin ini bisa terberdayakan. Kami beri kredit ekonomi mikro
dan pelayanan-pelayanan publik. Sama seperti di Pesantren Daarut Tauhiid (DT).
Saya apresiatif dengan dana usaha-dana usaha yang diberikan DPU DT. Itu
positif.
Apa standar untuk mengukur keberhasilan sebuah lembaga
sosial atau ormas dalam mengurus kaum dhuafa?
Ukurannya apakah lembaga itu mengurusnya berlangsung lama.
Bisa bertahan lama. Kami mengurus hal-hal yang seperti ini sudah mencapai
seratus tahun. Sampai sekarang ini kami terus melakukan perbaikan dan
pengembangan. Kata Allah dalam Al-Quran, sesuatu yang tidak bermanfaat akan
habis. Tapi yang bermanfaat akan berlangsung terus, abadi. Ukurannya begitu
saja. Kalau hanya seremonial dan temporal, tidak bisa disebut berhasil.
Ada pesan moral untuk masyarakat?
Semua orang, terutama yang kaya dan berkecukupan, tolong
perhatikan nasib orang-orang miskin yang berada di sekitarnya. Sekarang ini
zamannya serba kekurangan ekonomi. Orang-orang masih banyak memerlukan bantuan
untuk makan, pendidikan, dan kesehatan. Kepedulian orang beragama itu tidak
hanya lewat kata-kata, tapi perlu bukti nyata. ***