Kamis, 19 Februari 2015

Prof.Dr.H.AHMAD TAFSIR, MA: Pendidikan Agama Tak Jadi Perhatian yang Utama

Masalah pendidikan tak hanya dipersoalkan kalangan pendidik, pengajar, pemilik lembaga pendidikan, dan pemerintah, tapi juga semua orang bicara. 

Mengapa bicara? Karena tiap orang punya kepentingan. Namun seberapa besar peduli pada pendidikan? Tampaknya kurang, dan bahkan mengecewakan. Mengapa dan bagaimana itu bisa terjadi? Dan bagaimana perkembangannya dalam Islam?

Kepada AHMAD SAHIDIN dari Majalah Swadaya, Guru Besar Ilmu Pendidikan UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, Prof.Dr.H.AHMAD TAFSIR, M.A, menyampaikan semua persoalan tersebut. Berikut ini petikannya:


Bagaimana perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sekarang ini?
Perkembangan apa? Lembaganya, mutu atau apa?

Mencakup semuanya?
Kalau lembaganya berkembang. Nama lembaga berkembang. Jumlahnya berkembang dalam arti bertambah. Mutu juga berkembang. Tahun 1985 mencari sekolah Islami yang bagus itu masih sangat susah. Sekarang banyak dan semakin banyak. Madrasah Aliyah (setingkat SMA, red) itu sekarang semakin diminati. Madrasah Tsanawiyah (SMP, red) sama Ibtidaiyah (SD, red) juga sama. Di daerah Banten yang banyak. Madrasah Aliyah dari tahun ke tahun semakin banyak yang dijadikan pilihan pertama sebelum SMA Negeri. Bahkan kira-kira dua minggu yang lalu saya dapat data bahwa Madrasah Tsanawiyah juga semakin banyak yang menjadi pilihan pertama sebelum ke SMP Negeri. Ini perkembangan. Namun apa faktornya, apakah karena memang madrasahnya, mutunya meningkat? Itu bisa jadi. Bisa jadi juga bukan karena meningkat mutunya, tapi orang senang saja memasukan anaknya ke sekolah Islam.

Tapi mengapa di kota-kota besar, seperti Bandung ini lebih banyak orangtua muslim yang memasukkan anaknya ke sekolah umum?  
Karena orang tuanya tidak mengerti pentingnya sekolah Islam perkembangan hidup masa depan anaknya. Bagi yang mengerti, berpendidikan, dan juga seorang muslim, tentunya akan lebih memilih sekolah umum yang Islami. Kalau mau ke negeri, ya ke Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah. Atau sekolah-sekolah umum yang didirikan yayasan Islam.

Mengapa penting adanya pendidikan dan sekolah Islam?
Karena pada pendidikan agama bisa mendasari akhlak seorang anak. Namun di sekolah negeri, pendidikan agama tak jadi perhatian yang utama. Karena itu berkaitan dengan sistem.

Bagaimana mutu atau kualitas pendidikan Islam di Indonesia?
Tahun 1985 sangat susah mencari sekolah Islam yang bagus, tapi sekarang sudah banyak. Tapi secara pukul rata, masih kalah dengan sekolah Katolik. Masih kalah mutunya. Lihat saja sekolah-sekolah Katolik banyak yang prestasinya di atas rata anak sekolah umum dan sekolah Islam. Hal itu karena gurunya banyak yang Pastur (guru agama Katolik, red) dan mereka tidak digaji. Pelayanan kepada umat. Mereka itu pintar-pintar dan rata-rata lulusan luar negeri. Karena memang tidak ada Pastur yang IQ rendah.

Terus yang selama ini menjadi hambatan dan tantangan bagi sekolah Islam?
Kalau dulu itu ada tantangan, yaitu belum punya ciri-ciri pendidikan Islam. Sekarang buku sudah banyak, bahkan berupa CD sudah ada. Tantangan dana tidak ada. Umat Islam itu tidak miskin. Buktinya bisa bolak balik haji, bolak balik umrah. Jadi, tidak ada masalah dana. Mungkin yang menjadi masalah cara umat Islam memanfaatkan uangnya. Kenapa untuk umrah dan haji kedua atau ketiga yang dibilang sunnah, orang-orang sanggup mengeluarkan uang. Namun untuk pendidikan, susah keluarnya. Padahal haji kedua ketiga itu belum tentu sunnah. Belum ada dalil haji kedua, ketiga itu sunnah. Itu hanya anjuran dari kelompok bimbingan ibadah haji dan umrah. Kalau pun memang benar sunnah, harusnya lebih mendahulukan yang wajib seperti memberikan dana pembinaan sekolah, pengumpulan modal usaha. Ini yang keliru. Kita mendahulukan yang sunnah dan menomor dua-tigakan yang fardhu kifayah. Bukankah menuntut ilmu itu wajib? Saya kira termasuk membiayai pendidikan pun wajib bila dilihat dari dasar hukum hadis tersebut.

Tentang investasi dalam bidang pendidikan itu bagaimana?
Orang Islam itu senang sekali investasi di bidang pendidikan. Di dunia ini, umat Islam atau orang Indonesia paling rajin bikin sekolah. Di negara-negara lain paling malas bikin sekolah. Jadi, orang di Indonesia ini paling senang bikin sekolah. Senang saja beramal. Dan kebetulan yang paling senang itu orang Islam. Tapi tidak seluruhnya bagus. Hanya semakin ke sini saya lihat semakin bagus.  
  
Bagaimana nasib pendidikan kaum dhuafa atau kaum miskin?
Solusinya kalau umat Islam mengurangi umrahnya dan menganggarkan sedikit saja untuk beasiswa. Pahalanya pasti lebih besar ketimbang umrah. Itu menurut saya. Jadi, pokoknya kalau umat Islam mengatakan kekurangan dana, itu tidak benar. Yang benar adalah salah menggunakan dana.

Ajaran Islam banyak menganjurkan untuk mencari ilmu, belajar. Tapi kenapa tidak menjadi landasan?
Kesalahannya ada pada diri kita tidak mau menganggarkan dana untuk pendidikan, malah umrah dan haji berkali-kali.

Jadi, harus ada perubahan paradigma?
Paradigma dalam menggunakan harta. Harta itu harus digunakan untuk yang positif, dipakai untuk pendidikan, permodalan, dan beasiswa.

Kalau kita kembali ke jaman Rasulullah, pola pendidikan Rasullullah saw terhadap umat bagaimana?
Tidak bisa ditiru sekarang. Jamannya beda. Pendidikan yang teratur belum ada. Kitab atau buku pelajaran belum muncul. Sekolah istana belum ada. Sekolah-sekolah yang bagus munculnya jaman khalifah al-Makmun, penguasa Dinasti Abbasiyah. Itu abad ke 12 dan 13 Masehi. Tapi bila melihat praktik pendidikan, Rasulullah saw melakukannya. Misalnya, Rasulullah akan membebaskan tawanan perang bila ia mengajari sekian orang anak muslim membaca dan menulis. Satu tawanan harus bisa mengajarkan sepuluh orang muslim hingga bisa menulis dan membaca. Jika sudah dilakukan, ia dibebaskan. Juga ada anjuran dari Nabi Muhammad saw tentang wajibnya orang belajar. Terus juga ketika wahyu datang, langsung diajarkan, dihafal dan Beliau saw mencontohkan pelaksanaannya. Itu pola pendidikan Rasulullah saw masa awal Islam. Di situ ada prinsip-prinsip, tapi belum berupa teori. Untuk jaman sekarang harus diturunkan menjadi teori.

Kalau universitas atau madrasah yang ada dalam sejarah, seperti Al-Azhar itu bagaimana ceritanya?
Al-Azhar itu orang Islam pengikut mazhab Syiah yang bikin. Tujuannya untuk menghindarkan dan memelihara paham Syiah ketika berada di bawah masa kekuasan Dinasti Fatimiyyah. Lalu diambil kelompok Sunni dalam peperangan hingga sekarang. Dan memang lahirnya sebuah lembaga pendidikan di Islam dari politik. Dalam sejarahnya, memang lembaga-lembaga pendidikan itu banyak yang dilahirkan program politik dan wajar-wajar saja karena politik ingin mengatur orang supaya keadaannya lebih baik. Maka wajar saja kalau bikin sekolah dan melakukan pengkaderan-pengkaderan lewat pendidikan.

Tentang pendidikan nasional, perkembangannya bagaimana?
Waktu selesai krisis, orang mengatakan penyebab krisis itu kesalahan bidang politik, bidang hukum dan bidang ekonomi. Diperbaikilah politik dan hukum. Amien Rais yang ketika menjadi ketua MPR melakukan amandemen Undang-undang Dasar 1945. Ia menerbitkan undang-undang partai politik yang baru, ujung-ujungnya Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah). Diperbaiki juga ekonomi, yang sampai sekarang katanya secara makro memang maju, tetapi secara mikro yang ada itu orang semakin susah hidup. Tapi beberapa tahun kemudian, kalau tak salah saya, di tahun pertengahan 2000, ada yang mengatakan sebenarnya penyebab awal krisis itu krisis akhlak. Dari situ lalu kita temukan bahwa itu kesalahan pendidikan nasional.

Apanya yang salah?
Ada tiga yang penting, yang salah dalam pendidikan nasional itu. Satu, kurang fokus kepada pendidikan Imtaq (Iman dan Taqwa) sehingga basis untuk akhlak itu lemah. Yang kedua, kurang fokus kepada penajaman kompetensi. Yang ketiga, kurang fokus pada praktek demokrasi. Maka kalau Anda lihat, seluruh kebijakan pemerintah sekarang ini pada bidang pendidikan untuk menggolkan yang tiga ini. Undang-undang guru dan dosen juga tujuannya menggolkan yang tiga itu: Imtaq, Kompetensi dan Demokrasi.

Tahun 2003 ada perubahan sistem pendidikan nasional, yaitu memasukan pesantren atau madrasah ke pendidikan nasional?
Itu lebih bagus ketimbang Undang-undang No.209. Di dalamnya sudah menekankan yang tiga itu. Nah dampaknya sekarang ini banyak sekolah umum islam terpadu yang didirikan oleh yayasan-yayasan Islam. Memang sih kalau dilihat, sebenarnya itu orang-orang yang mau menjual sekolah. Itu saja motivasinya. Biar sekolahnya laku, muncul sekolah terpadu. Tapi sebenarnya itu belum teruji, keterpaduannya itu. Sebenarnya yang perlu dibangun itu bukan keterpaduan, tapi sistemnya harus Islami. Sistem islami, tata tertib sehari-hari islami, pergaulan islami, dan ilmu-ilmu yang diajarkan pun yang islami. Kalau yang tidak islami, diislamkan dulu. Dan memang itu, jadi menyatukan kembali pengetahuan wahyu dan pengetahuan manusia. Karena itu tidak boleh dipisah. Orang Baratlah yang mensekulerkan, memisahkan. Akhirnya, terjadi seperti sekarang. SD bisa saja tapi islami, sistemnya. Sistemnya Islam, jadi bukan pelajarannya. Berpakaiannya islami, omongannya islami, dan bikin gambar-gambar Islami. Pokoknya pengamalan ajaran agama Islam sehari-hari itu harus ada dalam pendidikan nasional. Itu yang paling penting sebetulnya. Dan madrasah itu kalau mau lihat desainnya, ya seperti itu. Hanya kesalahan madrasah sekarang itu, jam ajarannya ditambah-tambah.

Adakah model pendidikan Islami yang ideal di Indonesia?
Ya madrasah itu. Itu kan desainnya sekolah islami. Tapi kalau pelaksanaannya belum tentu. Diubah-ubah saja. Kalau desainnya sudah Islami. Dan memang awalnya membangun pesantren yang Islami. Di dalam undang-undang disebutkan bahwa madrasah adalah sekolah umum yang berpijak pada agama Islam.

Yang membedakan antara pendidikan Islam di Indonesia dan di luar negeri itu apanya?
Saya belum teliti itu, tapi saya rasa kalau pendidikan Islam di luar negeri itu sama dengan kita. Lulusan yang dari Mesir bagus-bagus karena yang ke sana itu orang-orang pintar yang dapat beasiswa. Yang sekolah ke Chicago, Amerika, dan pulang menjadi doktor dan cepat dapat pekerjaan yang strategis seperti dosen dan staf ahli. Mereka di Indonesia termasuk yang unggul, pintar. Maka tambah pintar pulang dari luar negeri. Tapi tak sekolah ke luar negeri juga bisa pintar sebenarnya. Keliru saja mengirim mereka. Maka saya tidak begitu tertarik sekolah ke luar negeri. Terlalu banyak meninggalkan pekerjaan. Kalau kita mau, bisa seperti mereka. Bedanya di sana itu banyak dana, sumber dana. Orang mau meneliti, ada yang membiayai. Di sini kurang. Di sini sebenarnya ada juga, hanya bersaing. Belum banyak. Di sana banyak swasta yang mensponsori kegiatan ilmiah.

Tidak hanya di Indonesia, di seluruh negara, selain yang Barat, sama saja. Ada Professor Abdussalam dari Pakistan, waktu menerima hadiah nobel fisika, dia bicara akan membuat laboratorium di salah satu negara di Timur Tengah dan akan dibawa teman-temannya dari Barat. Dan ternyata, tak ada yang membiayai. Akhirnya dia pergi lagi ke luar negeri.

Kita bicara lagi tentang persoalan Islam. Kemarin kan ada isu terorisme, kartun penghinaan terhadap Rasulullah SAW dan Islam?
Saya itu tak mau melihat hal-hal itu. Sebab sebetulnya berkarya itu hak seseorang. Hak seseorang menurut versi dia. Tapi harus diingat, standar nilai kita dan Barat itub beda. Kasus tadi menjadi contoh, ketika suatu karya sudah lepas dari agama, begitu jadinya. Dia bisa bilang, saya kan berkarya dan soal pengaruhnya bukan urusan saya. Dalam Islam tidak boleh begitu. Setiap perbuatan itu penuh dengan konsekuensi, dan kita harus bertanggung jawab dengan konsekuensi itu. Itu dalam Islam. Jadi kalau kita katakan ini baik, akibatnya apa nanti. Akibatnya tidak baik, ya tidak dikeluarkan. Karena dalam Islam itu, kebenarannya diliputi oleh nilai. Jadi tidak bebas nilai. Itu filosofinya. Nah di Barat itu, orang menganut bebas nilai. Jadi kalau saya itu bekerja sesuai dengan paradigma saya. Saya akan berkaya lagi, melawan dengan karya.

Bila melihat sekarang, kualitas orang-orang muslim Indonesia bisa dikatakan rendah. Jadi, bagaimana Ustadz melihat masa depan umat Islam Indonesia?
Umat Islam itu perlu pemimpin. Kalau tidak ada yang mengarahkan, dia semaunya saja. Jadi, malah mengatur semaunya saja. Misalnya soal uang, kan urusan dia mau dipakai apa saja. Duit-duit dia kok. Mau dipakai piknik, mau dipakai haji berulang-ulang, kan itu urusan yang punya uang. Nah di kita ini tak ada yang mengatur, harusnya ada pemimpin yang mengarahkan. Jadi semaunya. Namun pada tataran pemikiran sudah banyak orang yang menulis. Menegur, kenapa tidak dikumpulkan modal hingga berakumulasi. Modal dari Umat Islam untuk memperbaiki ekonomi umat Islam itu besar bila diatur dengan sistem Islami yang kebijakannya berasal dari pemimpin.

Memang ada zakat, tapi itu belum bisa mengumpulkan hasil yang besar atau belum menjadi salah satu faktor ekonomi yang kuat. Tapi kalau umat Islam itu dibilang miskin, tidak juga. Dibilang tidak bermutu, juga tidak. Hanya saya kira menunggu waktunya. Nanti waktunya mereka mulai sadar. Lalu dia bersatu. Orang kayanya banyak, orang miskinnya banyak. Di tempat lain juga begitu sebetulnya. Hanya kalau dibanding dengan Barat, kenapa Barat lebih maju, memang mereka lebih kaya. Dalam arti gaji lebih besar. Ya karena mereka sudah lebih lama maju, telah lama menyadari tentang perlunya bekerja secara sungguh-sungguh, atau hidup hemat dengan perhitungan, itu sudah lama ada. Kita belum, karena sampai sekarang ini baru muncul beberapa kesadaran.

Apa faktornya?
Sebagiannya dari agama, sebagian dari kebudayaan-kebudayaan setempat. Orang-orang di negara makmur cenderung malas dan Indonesia itu termasuk yang makmur.

Ada pesan yang ingin disampaikan ke masyarakat?  
Pesan saya, kalau mau memasukkan anak sekolah sebaiknya ke madrasah. Terutama untuk orang muslim. Kalau pun dia nantinya tidak menonjol dalam bidang akademis, minimal akhlak tertanam dalam pribadi anak. Itu harapan saya. Supaya generasi muslim Indonesia nanti tidak akan mabuk, tawuran, dan hal-hal negatif lainnya.

 [naskah di atas pernah dimuat dalam majalah swadaya]