Masalah
pendidikan tak hanya dipersoalkan kalangan pendidik, pengajar, pemilik lembaga
pendidikan, dan pemerintah, tapi juga semua orang bicara.
Mengapa bicara? Karena tiap orang punya kepentingan. Namun seberapa besar peduli pada pendidikan? Tampaknya kurang, dan bahkan mengecewakan. Mengapa dan bagaimana itu bisa terjadi? Dan bagaimana perkembangannya dalam Islam?
Mengapa bicara? Karena tiap orang punya kepentingan. Namun seberapa besar peduli pada pendidikan? Tampaknya kurang, dan bahkan mengecewakan. Mengapa dan bagaimana itu bisa terjadi? Dan bagaimana perkembangannya dalam Islam?
Kepada AHMAD
SAHIDIN dari Majalah Swadaya, Guru Besar Ilmu Pendidikan UIN Sunan Gunung
Djati, Bandung, Prof.Dr.H.AHMAD TAFSIR, M.A, menyampaikan semua persoalan
tersebut. Berikut ini petikannya:
Bagaimana perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sekarang ini?
Perkembangan
apa? Lembaganya, mutu atau apa?
Mencakup
semuanya?
Kalau
lembaganya berkembang. Nama lembaga berkembang. Jumlahnya berkembang dalam arti
bertambah. Mutu juga berkembang. Tahun 1985 mencari sekolah Islami yang bagus
itu masih sangat susah. Sekarang banyak dan semakin banyak. Madrasah Aliyah
(setingkat SMA, red) itu sekarang semakin diminati. Madrasah Tsanawiyah (SMP, red)
sama Ibtidaiyah (SD, red) juga sama. Di daerah Banten yang banyak. Madrasah
Aliyah dari tahun ke tahun semakin banyak yang dijadikan pilihan pertama
sebelum SMA Negeri. Bahkan kira-kira dua minggu yang lalu saya dapat data bahwa
Madrasah Tsanawiyah juga semakin banyak yang menjadi pilihan pertama sebelum ke
SMP Negeri. Ini perkembangan. Namun apa faktornya, apakah karena memang
madrasahnya, mutunya meningkat? Itu bisa jadi. Bisa jadi juga bukan karena
meningkat mutunya, tapi orang senang saja memasukan anaknya ke sekolah Islam.
Tapi mengapa di
kota-kota besar, seperti Bandung ini lebih banyak orangtua muslim yang
memasukkan anaknya ke sekolah umum?
Karena orang
tuanya tidak mengerti pentingnya sekolah Islam perkembangan hidup masa depan
anaknya. Bagi yang mengerti, berpendidikan, dan juga seorang muslim, tentunya
akan lebih memilih sekolah umum yang Islami. Kalau mau ke negeri, ya ke
Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah. Atau sekolah-sekolah umum yang
didirikan yayasan Islam.
Mengapa penting
adanya pendidikan dan sekolah Islam?
Karena pada pendidikan
agama bisa mendasari akhlak seorang anak. Namun di sekolah negeri, pendidikan
agama tak jadi perhatian yang utama. Karena itu berkaitan dengan sistem.
Bagaimana mutu
atau kualitas pendidikan Islam di Indonesia?
Tahun 1985
sangat susah mencari sekolah Islam yang bagus, tapi sekarang sudah banyak. Tapi
secara pukul rata, masih kalah dengan sekolah Katolik. Masih kalah mutunya. Lihat
saja sekolah-sekolah Katolik banyak yang prestasinya di atas rata anak sekolah
umum dan sekolah Islam. Hal itu karena gurunya banyak yang Pastur (guru agama Katolik,
red) dan mereka tidak digaji. Pelayanan kepada umat. Mereka itu pintar-pintar
dan rata-rata lulusan luar negeri. Karena memang tidak ada Pastur yang IQ
rendah.
Terus yang
selama ini menjadi hambatan dan tantangan bagi sekolah Islam?
Kalau dulu itu
ada tantangan, yaitu belum punya ciri-ciri pendidikan Islam. Sekarang buku
sudah banyak, bahkan berupa CD sudah ada. Tantangan dana tidak ada. Umat Islam
itu tidak miskin. Buktinya bisa bolak balik haji, bolak balik umrah. Jadi, tidak
ada masalah dana. Mungkin yang menjadi masalah cara umat Islam memanfaatkan
uangnya. Kenapa untuk umrah dan haji kedua atau ketiga yang dibilang sunnah,
orang-orang sanggup mengeluarkan uang. Namun untuk pendidikan, susah keluarnya.
Padahal haji kedua ketiga itu belum tentu sunnah. Belum ada dalil haji kedua,
ketiga itu sunnah. Itu hanya anjuran dari kelompok bimbingan ibadah haji dan
umrah. Kalau pun memang benar sunnah, harusnya lebih mendahulukan yang wajib
seperti memberikan dana pembinaan sekolah, pengumpulan modal usaha. Ini yang
keliru. Kita mendahulukan yang sunnah dan menomor dua-tigakan yang fardhu
kifayah. Bukankah menuntut ilmu itu wajib? Saya kira termasuk membiayai
pendidikan pun wajib bila dilihat dari dasar hukum hadis tersebut.
Tentang
investasi dalam bidang pendidikan itu bagaimana?
Orang Islam itu
senang sekali investasi di bidang pendidikan. Di dunia ini, umat Islam atau
orang Indonesia paling rajin bikin sekolah. Di negara-negara lain paling malas
bikin sekolah. Jadi, orang di Indonesia ini paling senang bikin sekolah. Senang
saja beramal. Dan kebetulan yang paling senang itu orang Islam. Tapi tidak
seluruhnya bagus. Hanya semakin ke sini saya lihat semakin bagus.
Bagaimana nasib
pendidikan kaum dhuafa atau kaum miskin?
Solusinya kalau
umat Islam mengurangi umrahnya dan menganggarkan sedikit saja untuk beasiswa.
Pahalanya pasti lebih besar ketimbang umrah. Itu menurut saya. Jadi, pokoknya
kalau umat Islam mengatakan kekurangan dana, itu tidak benar. Yang benar adalah
salah menggunakan dana.
Ajaran Islam
banyak menganjurkan untuk mencari ilmu, belajar. Tapi kenapa tidak menjadi
landasan?
Kesalahannya
ada pada diri kita tidak mau menganggarkan dana untuk pendidikan, malah umrah
dan haji berkali-kali.
Jadi, harus ada
perubahan paradigma?
Paradigma dalam
menggunakan harta. Harta itu harus digunakan untuk yang positif, dipakai untuk
pendidikan, permodalan, dan beasiswa.
Kalau kita
kembali ke jaman Rasulullah, pola pendidikan Rasullullah saw terhadap umat
bagaimana?
Tidak bisa
ditiru sekarang. Jamannya beda. Pendidikan yang teratur belum ada. Kitab atau
buku pelajaran belum muncul. Sekolah istana belum ada. Sekolah-sekolah yang
bagus munculnya jaman khalifah al-Makmun, penguasa Dinasti Abbasiyah. Itu abad
ke 12 dan 13 Masehi. Tapi bila melihat praktik pendidikan, Rasulullah saw melakukannya.
Misalnya, Rasulullah akan membebaskan tawanan perang bila ia mengajari sekian
orang anak muslim membaca dan menulis. Satu tawanan harus bisa mengajarkan
sepuluh orang muslim hingga bisa menulis dan membaca. Jika sudah dilakukan, ia
dibebaskan. Juga ada anjuran dari Nabi Muhammad saw tentang wajibnya orang
belajar. Terus juga ketika wahyu datang, langsung diajarkan, dihafal dan Beliau
saw mencontohkan pelaksanaannya. Itu pola pendidikan Rasulullah saw masa awal
Islam. Di situ ada prinsip-prinsip, tapi belum berupa teori. Untuk jaman
sekarang harus diturunkan menjadi teori.
Kalau
universitas atau madrasah yang ada dalam sejarah, seperti Al-Azhar itu
bagaimana ceritanya?
Al-Azhar itu
orang Islam pengikut mazhab Syiah yang bikin. Tujuannya untuk menghindarkan dan
memelihara paham Syiah ketika berada di bawah masa kekuasan Dinasti Fatimiyyah.
Lalu diambil kelompok Sunni dalam peperangan hingga sekarang. Dan memang
lahirnya sebuah lembaga pendidikan di Islam dari politik. Dalam sejarahnya,
memang lembaga-lembaga pendidikan itu banyak yang dilahirkan program politik dan
wajar-wajar saja karena politik ingin mengatur orang supaya keadaannya lebih
baik. Maka wajar saja kalau bikin sekolah dan melakukan pengkaderan-pengkaderan
lewat pendidikan.
Tentang pendidikan
nasional, perkembangannya bagaimana?
Waktu selesai
krisis, orang mengatakan penyebab krisis itu kesalahan bidang politik, bidang
hukum dan bidang ekonomi. Diperbaikilah politik dan hukum. Amien Rais yang
ketika menjadi ketua MPR melakukan amandemen Undang-undang Dasar 1945. Ia
menerbitkan undang-undang partai politik yang baru, ujung-ujungnya Pilkada
(Pemilihan Kepala Daerah). Diperbaiki juga ekonomi, yang sampai sekarang
katanya secara makro memang maju, tetapi secara mikro yang ada itu orang
semakin susah hidup. Tapi beberapa tahun kemudian, kalau tak salah saya, di
tahun pertengahan 2000, ada yang mengatakan sebenarnya penyebab awal krisis itu
krisis akhlak. Dari situ lalu
kita temukan bahwa itu kesalahan pendidikan nasional.
Apanya yang
salah?
Ada tiga yang
penting, yang salah dalam pendidikan nasional itu. Satu, kurang fokus kepada
pendidikan Imtaq (Iman dan Taqwa) sehingga basis untuk akhlak itu lemah. Yang kedua, kurang fokus kepada
penajaman kompetensi. Yang ketiga, kurang fokus pada praktek demokrasi. Maka
kalau Anda lihat, seluruh kebijakan pemerintah sekarang ini pada bidang
pendidikan untuk menggolkan yang tiga ini. Undang-undang guru dan dosen juga
tujuannya menggolkan yang tiga itu: Imtaq, Kompetensi dan Demokrasi.
Tahun 2003 ada
perubahan sistem pendidikan nasional, yaitu memasukan pesantren atau madrasah
ke pendidikan nasional?
Itu lebih bagus
ketimbang Undang-undang No.209. Di dalamnya sudah menekankan yang tiga itu. Nah
dampaknya sekarang ini banyak sekolah umum islam terpadu yang didirikan oleh
yayasan-yayasan Islam. Memang sih kalau dilihat, sebenarnya itu orang-orang
yang mau menjual sekolah. Itu saja motivasinya. Biar sekolahnya laku, muncul
sekolah terpadu. Tapi sebenarnya itu belum teruji, keterpaduannya itu.
Sebenarnya yang perlu dibangun itu bukan keterpaduan, tapi sistemnya harus
Islami. Sistem islami, tata tertib sehari-hari islami, pergaulan islami, dan
ilmu-ilmu yang diajarkan pun yang islami. Kalau yang tidak islami, diislamkan
dulu. Dan memang itu, jadi menyatukan kembali pengetahuan wahyu dan pengetahuan
manusia. Karena itu tidak boleh dipisah. Orang Baratlah yang mensekulerkan,
memisahkan. Akhirnya, terjadi seperti sekarang. SD bisa saja tapi islami,
sistemnya. Sistemnya Islam, jadi bukan pelajarannya. Berpakaiannya islami,
omongannya islami, dan bikin gambar-gambar Islami. Pokoknya pengamalan ajaran
agama Islam sehari-hari itu harus ada dalam pendidikan nasional. Itu yang
paling penting sebetulnya. Dan madrasah itu kalau mau lihat desainnya, ya
seperti itu. Hanya kesalahan madrasah sekarang itu, jam ajarannya
ditambah-tambah.
Adakah model
pendidikan Islami yang ideal di Indonesia?
Ya madrasah
itu. Itu kan desainnya sekolah islami. Tapi kalau pelaksanaannya belum tentu. Diubah-ubah saja.
Kalau desainnya sudah Islami. Dan memang awalnya membangun pesantren yang
Islami. Di dalam undang-undang disebutkan bahwa madrasah adalah sekolah umum
yang berpijak pada agama Islam.
Yang membedakan
antara pendidikan Islam di Indonesia dan di luar negeri itu apanya?
Saya belum
teliti itu, tapi saya rasa kalau pendidikan Islam di luar negeri itu sama dengan
kita. Lulusan yang dari Mesir bagus-bagus karena yang ke sana itu orang-orang
pintar yang dapat beasiswa. Yang sekolah ke Chicago, Amerika, dan pulang menjadi
doktor dan cepat dapat pekerjaan yang strategis seperti dosen dan staf ahli. Mereka
di Indonesia termasuk yang unggul, pintar. Maka tambah pintar pulang dari luar
negeri. Tapi tak
sekolah ke luar negeri juga bisa pintar sebenarnya. Keliru saja mengirim
mereka. Maka saya tidak begitu tertarik sekolah ke luar negeri. Terlalu banyak meninggalkan pekerjaan.
Kalau kita mau, bisa seperti mereka. Bedanya di sana itu banyak dana, sumber
dana. Orang mau meneliti, ada yang membiayai. Di sini kurang. Di sini sebenarnya ada
juga, hanya bersaing. Belum banyak. Di sana banyak swasta yang mensponsori
kegiatan ilmiah.
Tidak hanya di
Indonesia, di seluruh negara, selain yang Barat, sama saja. Ada Professor
Abdussalam dari Pakistan, waktu menerima hadiah nobel fisika, dia bicara akan
membuat laboratorium di salah satu negara di Timur Tengah dan akan dibawa
teman-temannya dari Barat. Dan ternyata, tak ada yang membiayai. Akhirnya dia
pergi lagi ke luar negeri.
Kita bicara
lagi tentang persoalan Islam. Kemarin kan ada isu terorisme, kartun penghinaan
terhadap Rasulullah SAW dan Islam?
Saya itu tak
mau melihat hal-hal itu. Sebab sebetulnya berkarya itu hak seseorang. Hak
seseorang menurut versi dia. Tapi harus diingat, standar nilai kita dan Barat
itub beda. Kasus tadi menjadi contoh, ketika suatu karya sudah lepas dari
agama, begitu jadinya. Dia bisa bilang, saya kan berkarya dan soal pengaruhnya
bukan urusan saya. Dalam Islam tidak boleh begitu. Setiap perbuatan itu penuh
dengan konsekuensi, dan kita harus bertanggung jawab dengan konsekuensi itu.
Itu dalam Islam. Jadi kalau kita katakan ini baik, akibatnya apa nanti.
Akibatnya tidak baik, ya tidak dikeluarkan. Karena dalam Islam itu,
kebenarannya diliputi oleh nilai. Jadi tidak bebas nilai. Itu filosofinya. Nah
di Barat itu, orang menganut bebas nilai. Jadi kalau saya itu bekerja sesuai
dengan paradigma saya. Saya akan berkaya lagi, melawan dengan karya.
Bila melihat
sekarang, kualitas orang-orang muslim Indonesia bisa dikatakan rendah. Jadi,
bagaimana Ustadz melihat masa depan umat Islam Indonesia?
Umat Islam itu
perlu pemimpin. Kalau tidak ada yang mengarahkan, dia semaunya saja. Jadi,
malah mengatur semaunya saja. Misalnya soal uang, kan urusan dia mau dipakai
apa saja. Duit-duit dia kok. Mau dipakai piknik, mau dipakai haji berulang-ulang,
kan itu urusan yang punya uang. Nah di kita ini tak ada yang mengatur, harusnya
ada pemimpin yang mengarahkan. Jadi semaunya. Namun pada tataran pemikiran
sudah banyak orang yang menulis. Menegur, kenapa tidak dikumpulkan modal hingga
berakumulasi. Modal dari Umat Islam untuk memperbaiki ekonomi umat Islam itu
besar bila diatur dengan sistem Islami yang kebijakannya berasal dari pemimpin.
Memang ada
zakat, tapi itu belum bisa mengumpulkan hasil yang besar atau belum menjadi
salah satu faktor ekonomi yang kuat. Tapi kalau umat Islam itu dibilang miskin,
tidak juga. Dibilang tidak bermutu, juga tidak. Hanya saya kira menunggu
waktunya. Nanti waktunya mereka mulai sadar. Lalu dia bersatu. Orang kayanya
banyak, orang miskinnya banyak. Di tempat lain juga begitu sebetulnya. Hanya
kalau dibanding dengan Barat, kenapa Barat lebih maju, memang mereka lebih
kaya. Dalam arti gaji lebih besar. Ya karena mereka sudah lebih lama maju,
telah lama menyadari tentang perlunya bekerja secara sungguh-sungguh, atau hidup
hemat dengan perhitungan, itu sudah lama ada. Kita belum, karena sampai
sekarang ini baru muncul beberapa kesadaran.
Apa faktornya?
Sebagiannya
dari agama, sebagian dari kebudayaan-kebudayaan setempat. Orang-orang di negara
makmur cenderung malas dan Indonesia itu termasuk yang makmur.
Ada pesan yang
ingin disampaikan ke masyarakat?
Pesan saya,
kalau mau memasukkan anak sekolah sebaiknya ke madrasah. Terutama untuk orang
muslim. Kalau pun dia nantinya tidak menonjol dalam bidang akademis, minimal
akhlak tertanam dalam pribadi anak. Itu harapan saya. Supaya generasi muslim
Indonesia nanti tidak akan mabuk, tawuran, dan hal-hal negatif lainnya.
[naskah di atas pernah dimuat dalam majalah swadaya]