Sejarah memperlihatkan bagaimana Rasulullah SAW peduli pada
dunia pendidikan. Hal ini tampak dalam pola pendidikan Rasullullah SAW yang
membebaskan tawanan perang jika berhasil mengajarkan baca tulis pada pasukan (umat)
Islam.
Satu tawanan harus bisa mengajarkan sepuluh orang. Tawanan yang
mengajarnya pun diperlakukan secara manusiawi. Diberi makan, minum, dan diberi
hak untuk berbicara atau meminta pengampunan.
Salah satu bentuk pengampunan yang diberikan Rasulullah SAW
adalah memberikan pelajaran baca dan menulis kepada umat Islam, yang ketika itu
lebih banyak dari kalangan mustadhafin, orang-orang tertindas, budak-budak, dan
orang kampung.
Rasulullah SAW juga memberikan fatwa atau anjuran tentang
wajibnya umat Islam untuk belajar atau menuntut ilmu. Hadits yang terkenal
adalah, setiap muslim dan muslimah wajib menuntut ilmu; tuntutlah ilmu sampai
ke negeri Cina; menuntut ilmu itu sejak buaian hingga datang saatnya masuk
liang lahad (kubur); dan lain sebagainya. Juga dalam wahyu pertama surat
Al-Alaq ayat 1-5, terdapat perintah baca atau belajar.
Bahkan dalam sejarah, Rasulullah SAW mengajarkan wahyu dari
Allah kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya. Jadi, setiap wahyu yang datang, langsung
diajarkan, dihafal dan beliau sendiri mencontohkan pelaksanaannya. Itu pola
pendidikan Rasulullah SAW. Di situ ada prinsip-prinsip pendidikan, tapi belum
berupa teori. Dan untuk jaman sekarang prinsip-prinsip pendidikan tersebut harus
diturunkan menjadi teori.
Hanya saja bentuk
pendidikan yang sistematis pada masa klasik Islam belum ada. Bahkan, kesadaran
membukukan hadits dan pelajaran-pelajaran penting belum dilakukan, hanya berupa
ujaran dan khutbah atau ta`lim, yang mengandalkan hafalan. Termasuk bangunan
untuk belajar pun belum ada, hanya di masjid dan di rumah saja. Munculnya sekolah-sekolah
ada pada jaman khalifah al-Makmun, salah satu penguasa Dinasti Abbasiyah, sekitar
abad 12-13 Masehi. Kemudian muncul sekolah agama atau madrasah seperti Nizhamiyah
dan Al-Mustanshiriyah di Baghdad (Irak), Al-Nuriyah di Damaskus, An-Nashiriyah,
dan Al-Azhar di Mesir yang kini dikenal sebagai pusat kajian Islam.
Meskipun berdirinya
lembaga pendidikan tersebut dikarenakan faktor politik, namun kehadirannya
menjadi bukti bahwa umat Islam peduli pada pendidikan. Hal ini dikarenakan adanya
dorongan atau perintah menuntut ilmu yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah
Nabi Muhammad Rasulullah SAW.
Pendidikan
Islam di Indonesia
Di Indonesia
lahirnya pendidikan Islam secara formal berlangsung sejak masa pergerakan
nasional hingga pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Awalnya memang berbentuk
pesantren yang didirikan organisasi masyarakat dan keagamaan seperti
Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persatuan Islam, Nahdhatul Ulama dan lainnya.
Selanjutnya, para pemimpin Islam menyatukan sekolah agama dan umum dalam bentuk
madrasah, yang berada di bawah tanggungjawab departemen agama. Hingga kini,
bila dilihat memang ada perkembangan, terutama jumlah madrasahnya yang bertambah.
Mutu pendidikannya juga berkembang.
Pada tahun 1985, mencari
sekolah Islam atau madrasah yang bagus masih langka. Tapi sekarang banyak. Jumlah
sekolah Madrasah Aliyah (setingkat SMA—red) sekarang ini tampaknya semakin
diminati. Begitu juga Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP—red) dan Madrasah Ibtidaiyah
(setingkat SD—red), terutama di daerah-daerah banyak diminati. Saya mendapatkan
data bahwa di daerah Banten, sekolah agama atau madrasah menjadi pilihan
pertama sebelum ke sekolah umum negeri.
Memang secara
pukul rata, sekolah Islam (madrasah) masih kalah dengan sekolah Katolik. Masih
kalah mutunya. Lihat saja sekolah-sekolah Katolik banyak yang rankingnya di
atas rata-rata. Hal ini wajar karena gurunya adalah Pastor-pastor yang
mengabdi, lulusan luar negeri, dan meski tidak digajih pun tetap mengajar.
Perlu kesadaran
Selain faktor
mutu, fasilitas, dan pengajarnya, yang menjadi tantangan bagi sekolah Islam
dalam bersaing mencetak generasi yang cerdas dan unggulan, adalah tidak adanya
kesadaran untuk memberikan pendidikan bagi anak-anak dhuafa yang berprestasi.
Di media massa, kita sering mendengar bahwa banyak yang tidak bisa melanjutkan
sekolah akibat ketidakmampuan orangtuanya dalam hal biaya. Saya yakin bahwa
umat Islam di Indonesia tidak miskin, hanya enggan berbagi dalam mencerdaskan
bangsanya. Buktinya, ada saja yang bolak-balik menunaikan ibadah haji dan umrah.
Padahal, bila
dana itu dianggarkan untuk pendidikan anak dhuafa, pasti lebih bermanfaat dan
bernilai ibadah. Jadi, sebenarnya tidak ada masalah dalam hal dana. Mungkin
yang jadi masalah itu, cara umat Islam memanfaatkan uangnya. Kenapa untuk
jalan-jalan umrah, haji, haji kedua dan ketiga yang hukumnya sunnah, bisa
dilaksanakan. Tapi untuk pendidikan, memberantas kebodohan, atau dana modal
untuk usaha kaum miskin, yang bisa dikatakan wajib tidak didahulukan. Ini yang kelirunya.
Mereka lebih mendahulukan yang sunnah dan menomor dua-tigakan yang fardhu
kifayah.
Bila seperti ini
terus, umat Islam dijamin tak maju-maju. Karena itu, bagi yang sering bolak
balik ibadah haji dan umrah, saya menyarankan untuk menguranginya dan anggarkan sedikit saja untuk beasiswa. Saya
yakin pahalanya lebih besar ketimbang kedua ibadah tersebut. Mari kita mengubah
paradigma menggunakan harta, bahwa harta itu sebaiknya untuk pendidikan, beasiswa,
dan permodalan usaha kaum dhuafa.
Prof.Dr.H.AHMAD
TAFSIR, M.A,
Kelahiran Bengkulu,
19 April 1942. Kini Guru Besar Ilmu Pendidikan Universitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djati,Bandung.
(naskah ini
ditulis oleh AHMAD SAHIDIN dari wawancara beberapa waktu lalu di kampus UIN SGD
Bandung)