Selasa, 24 Februari 2015

Potret Pendidikan di Indonesia

Pendidikan merupakan kebutuhan umat manusia. Sebab pendidikan bisa membentuk manusia yang berbudi pekerti yang luhur dan moral yang baik. Sebagaimana yang kita ketahui, tujuan dari pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia agar beriman dan bertakwa terhadap Allah, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap, mandiri, jujur, serta memiliki rasa tanggung jawab. 

Tentunya pendidikan harus mampu mempersiapkan warga Indonesia agar bisa berperan aktif dalam seluruh lapangan kehidupan, terampil, jujur, berdisiplin, bermoral, dan toleran. Karena itu, pendidikan harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian dan moral manusia Indonesia umumnya.


Masalah pendidikan
Pendidikan Indonesia kian hari tampaknya tidak terlalu menggembirakan. Selain dikarenakan rendah anggaran untuk pendidikan yang di bawah negeri tetangga, rendahnya kualitas sumber daya manusia yang bergelut dalam pendidikan, dan sistem pendidikan yang sering berganti-ganti. 

Juga mahalnya biaya pendidikan yang harus ditanggung masyarakat Indonesia, terutama bagi kaum dhuafa dan orang-orang miskin, dan persoalan-persoalan kenakalan remaja yang marak terjadi di kota-kota besar.

Memang bila dibandingkan dengan Jepang, pendidikan di negeri kita sangat jauh tertinggal. Apalagi bila berbicara hasil, sumber daya manusia Indonesia sangat rendah. Mengapa Jepang bisa maju? Jawabannya karena Jepang sadar perihal pendidikan. Pemerintah Indonesia tampaknya tidak menganggap penting sebuah pendidikan. Hal ini terlihat dari pengelolaannya yang tidak serius dan profesional dan proses manajemen yang tidak transparan dan kebijakan yang tidak tepat sasaran, semakin membuat dunia pendidikan bangsa kita dirundung persoalan.

Bahkan, setiap ada perubahan menteri, yang muncul menjadi persoalan adalah berkutat pada masalah undang-undang, kurikulum, kebijakan ujian, honor para guru dan keterbatasan anggaran. Padahal bila melihat sumber daya alam yang begitu melimpah dan baru terolah sebagian, seharusnya masyarakat Indonesia bisa sejahtera. Namun kenyataannya kemiskinan dan pengangguran tetap mejadi musuh utama serta terus merasa kurang dalam masalah dana.

Kurangnya perhatian pemerintah untuk membangun manusia Indonesia yang berkualitas menyebabkan terjadinya kemerosotan di dunia pendidikan. Sehingga terjadi peningkatan kemiskinan, pengangguran dan merebaknya tindakan kejahatan di tengah masyarakat. Mungkin bisa dibenarkan ungkapan orang bahwa kebodohan menyebabkan kemiskinan. Kemiskinan menyebabkan terhalangnya mendapatkan pendidikan yang berkualitas. 

Karena tak berpendidikan, tak punya keterampilan, dan tak memiliki pengalaman hidup yang dapat menunjang kehidupannya, maka menjadi pengangguran dan biasanya terlibat dalam melakukan tindakan-tindakan asosial, amoral, dan menyimpang dari aturan.

Lingkaran setan
Jelaslah, persoalan di atas bila terus menerus tidak disikapi dengan cepat dan tidak ada tindakan yang mengarah ke perbaikan, yang tampak adalah “lingkaran setan” di dunia pendidikan yang tidak berakhir. Pengamat pendidikan, Lidus Yardi, dalam tulisan yang berjudul “Potret Dunia Pedidikan: Menakar Sumber Daya Manusia Indonesia” menceritakan tentang “lingkaran setan” tersebut. Menurutnya, adanya tuduhan yang menyebabkan rendahnya mutu sumber daya manusia Indonesia disebabkan Perguruan Tinggi (PT) yang tak berkualitas. PT menyalahkan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang tidak becus memproduksi calon mahasiswa. Pihak SMA menyalahkan Sekeloh Menengah Pertama (SMP) yang tak berhasil mendidik muridnya. Pihak SMP pun menyalahkan Sekolah Dasar (SD) yang tak becus mendidik anak-anaknya. Lalu pihak SD pun menuduh pihak PT tidak becus memproduksi calon guru yang berkualitas dalam mengajar. Begitulah seterusnya, saling menyalahkan.

Mengapa “lingkaran setan” ini terjadi? Guru Besar Ilmu Pendidikan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung, Prof.Dr.H.Ahmad Tafsir, M.A mengungkapkan bahwa hal itu dapat dimengerti karena semua orang berkepentingan dengan pendidikan. ”Orang yang ingin memperbaiki hidup, negara, dan dunia, pasti akan melakukannya melalui pendidikan. Bahkan, orang yang akan merusak negara juga akan melakukannya melalui pendidikan. Jadi, semua orang yang hidup di dunia ini berkepentingan dengan dunia pendidikan. Tak heran carut marutnya pendidikan di Indonesia ini disebabkan banyaknya kepentingan, terutama kepentingan politis,” kata pria kelahiran Bengkulu, 19 April 1942, ini menerangkan saat ditemui di kampus UIN SGD Bandung, Kamis (3/4).  

Lebih jauh Ahmad Tafsir menjelaskan perkembangan pendidikan nasional. Menurutnya, pasca krisis, orang-orang menimpahkan penyebabnya pada hukum, politik dan ekonomi. Kemudian dilakukan perbaikan di bidang-bidang tersebut. Selanjutnya, pertengahan 2000 dinyatakan penyebab yang mendasar dari krisis di Indonesia itu krisis akhlak, yang bersangkutan dengan pendidikan nasional. Apanya yang salah? 

Menurut Ahmad Tafsir, ada tiga yang salah dalam pendidikan nasional Indonesia. Pertama, kurang fokus kepada pendidikan Imtaq (Iman dan Taqwa), sehingga basis untuk akhlak itu lemah. Yang kedua, kurang fokus kepada penajaman kompetensi. Yang ketiga, kurang fokus pada pempraktekkan demokrasi. Selanjutnya, tahun 2003 dilakukan perubahan sistem pendidikan nasional, yang memasukan pesantren atau madrasah ke pendidikan nasional. Dampaknya, banyak bermunculan sekolah umum plus (agama) yang didirikan yayasan-yayasan Islam. Fenomena ini memang cukup menggembirakan karena itu menjadi syiar agama dan kehidupan masyarakat terbingkai dengan nilai-nilai agama, yang merupakan hasil dari pendidikan. 

Tapi, apakah semua masyarakat Indonesia bisa mendapat pendidikan yang layak dan mencerahkan masa depan? Bagi yang memiliki dana bisa mendapatkannya, tapi bagi yang dhuafa menjadi mimpi yang tak terbeli. Ini yang menjadi masalah lain dalam pemdidikan kita, ketidakmampuan masyarakat atau orangtua untuk memberikan pendidikan pada anak-anaknya. Kita memang tak bisa mengandalkan pemerintah yang hanya bisa mengalokasikan dana pemdidikan di bawah negara tetangga. Harapan mewujudkan masyarakat yang cerdas, beradab, bermoral, dan terampil, hanya tinggal harapan bila tak ada yang ikut peduli dalam menyelesaikan persoalan-persoalan pendidikan.

Mari kita bersama berbuat dan berkontribusi dalam pendidikan, dengan menyisihkan sebagian rezeki untuk beasiswa dan pendidikan anak-anak dhuafa. (Ahmad Sahidin; tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Swadaya)