Pendidikan
merupakan kebutuhan umat manusia. Sebab pendidikan bisa membentuk manusia yang
berbudi pekerti yang luhur dan moral yang baik. Sebagaimana yang kita ketahui, tujuan dari pendidikan
adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia agar beriman
dan bertakwa terhadap Allah, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap, mandiri,
jujur, serta memiliki rasa tanggung jawab.
Tentunya pendidikan harus mampu
mempersiapkan warga Indonesia agar bisa berperan aktif dalam seluruh lapangan
kehidupan, terampil, jujur, berdisiplin, bermoral, dan toleran. Karena itu, pendidikan
harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesional
serta sikap, kepribadian dan moral manusia Indonesia umumnya.
Masalah
pendidikan
Pendidikan
Indonesia kian hari tampaknya tidak terlalu menggembirakan. Selain dikarenakan
rendah anggaran untuk pendidikan yang di bawah negeri tetangga, rendahnya
kualitas sumber daya manusia yang bergelut dalam pendidikan, dan sistem
pendidikan yang sering berganti-ganti.
Juga mahalnya biaya pendidikan yang
harus ditanggung masyarakat Indonesia, terutama bagi kaum dhuafa dan
orang-orang miskin, dan persoalan-persoalan kenakalan remaja yang marak terjadi
di kota-kota besar.
Memang bila
dibandingkan dengan Jepang, pendidikan di negeri kita sangat jauh tertinggal.
Apalagi bila berbicara hasil, sumber daya manusia Indonesia sangat rendah.
Mengapa Jepang bisa maju? Jawabannya karena Jepang sadar perihal pendidikan.
Pemerintah Indonesia tampaknya tidak menganggap penting sebuah pendidikan. Hal
ini terlihat dari pengelolaannya yang tidak serius dan profesional dan proses
manajemen yang tidak transparan dan kebijakan yang tidak tepat sasaran, semakin
membuat dunia pendidikan bangsa kita dirundung persoalan.
Bahkan, setiap
ada perubahan menteri, yang muncul menjadi persoalan adalah berkutat pada
masalah undang-undang, kurikulum, kebijakan ujian, honor para guru dan
keterbatasan anggaran. Padahal bila melihat sumber daya alam yang begitu
melimpah dan baru terolah sebagian, seharusnya masyarakat Indonesia bisa sejahtera.
Namun kenyataannya kemiskinan dan pengangguran tetap mejadi musuh utama serta
terus merasa kurang dalam masalah dana.
Kurangnya perhatian
pemerintah untuk membangun manusia Indonesia yang berkualitas menyebabkan
terjadinya kemerosotan di dunia pendidikan. Sehingga terjadi peningkatan
kemiskinan, pengangguran dan merebaknya tindakan kejahatan di tengah
masyarakat. Mungkin bisa dibenarkan ungkapan orang bahwa kebodohan menyebabkan
kemiskinan. Kemiskinan menyebabkan terhalangnya mendapatkan pendidikan yang
berkualitas.
Karena tak berpendidikan, tak punya keterampilan, dan tak memiliki
pengalaman hidup yang dapat menunjang kehidupannya, maka menjadi pengangguran
dan biasanya terlibat dalam melakukan tindakan-tindakan asosial, amoral, dan menyimpang
dari aturan.
Lingkaran
setan
Jelaslah, persoalan di atas bila terus menerus tidak disikapi dengan cepat dan tidak ada tindakan yang mengarah ke perbaikan, yang tampak adalah “lingkaran setan” di dunia pendidikan yang tidak berakhir. Pengamat pendidikan, Lidus Yardi, dalam tulisan yang berjudul “Potret Dunia Pedidikan: Menakar Sumber Daya Manusia Indonesia” menceritakan tentang “lingkaran setan” tersebut. Menurutnya, adanya tuduhan yang menyebabkan rendahnya mutu sumber daya manusia Indonesia disebabkan Perguruan Tinggi (PT) yang tak berkualitas. PT menyalahkan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang tidak becus memproduksi calon mahasiswa. Pihak SMA menyalahkan Sekeloh Menengah Pertama (SMP) yang tak berhasil mendidik muridnya. Pihak SMP pun menyalahkan Sekolah Dasar (SD) yang tak becus mendidik anak-anaknya. Lalu pihak SD pun menuduh pihak PT tidak becus memproduksi calon guru yang berkualitas dalam mengajar. Begitulah seterusnya, saling menyalahkan.
Jelaslah, persoalan di atas bila terus menerus tidak disikapi dengan cepat dan tidak ada tindakan yang mengarah ke perbaikan, yang tampak adalah “lingkaran setan” di dunia pendidikan yang tidak berakhir. Pengamat pendidikan, Lidus Yardi, dalam tulisan yang berjudul “Potret Dunia Pedidikan: Menakar Sumber Daya Manusia Indonesia” menceritakan tentang “lingkaran setan” tersebut. Menurutnya, adanya tuduhan yang menyebabkan rendahnya mutu sumber daya manusia Indonesia disebabkan Perguruan Tinggi (PT) yang tak berkualitas. PT menyalahkan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang tidak becus memproduksi calon mahasiswa. Pihak SMA menyalahkan Sekeloh Menengah Pertama (SMP) yang tak berhasil mendidik muridnya. Pihak SMP pun menyalahkan Sekolah Dasar (SD) yang tak becus mendidik anak-anaknya. Lalu pihak SD pun menuduh pihak PT tidak becus memproduksi calon guru yang berkualitas dalam mengajar. Begitulah seterusnya, saling menyalahkan.
Mengapa
“lingkaran setan” ini terjadi? Guru Besar Ilmu Pendidikan Universitas Islam
Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung, Prof.Dr.H.Ahmad Tafsir, M.A
mengungkapkan bahwa hal itu dapat dimengerti karena semua orang berkepentingan
dengan pendidikan. ”Orang yang ingin memperbaiki hidup, negara, dan dunia,
pasti akan melakukannya melalui pendidikan. Bahkan, orang yang akan merusak
negara juga akan melakukannya melalui pendidikan. Jadi, semua orang yang hidup di dunia ini
berkepentingan dengan dunia pendidikan. Tak heran carut marutnya pendidikan di
Indonesia ini disebabkan banyaknya kepentingan, terutama kepentingan politis,”
kata pria kelahiran Bengkulu, 19 April 1942, ini menerangkan saat ditemui di
kampus UIN SGD Bandung, Kamis (3/4).
Lebih jauh Ahmad Tafsir
menjelaskan perkembangan pendidikan nasional. Menurutnya, pasca krisis,
orang-orang menimpahkan penyebabnya pada hukum, politik dan ekonomi. Kemudian
dilakukan perbaikan di bidang-bidang tersebut. Selanjutnya, pertengahan 2000 dinyatakan
penyebab yang mendasar dari krisis di Indonesia itu krisis akhlak, yang
bersangkutan dengan pendidikan nasional. Apanya yang salah?
Menurut Ahmad
Tafsir, ada tiga yang salah dalam pendidikan nasional Indonesia. Pertama, kurang
fokus kepada pendidikan Imtaq (Iman dan Taqwa), sehingga basis untuk akhlak itu
lemah. Yang kedua, kurang fokus kepada penajaman kompetensi. Yang ketiga,
kurang fokus pada pempraktekkan demokrasi. Selanjutnya, tahun 2003 dilakukan perubahan
sistem pendidikan nasional, yang memasukan pesantren atau madrasah ke pendidikan
nasional. Dampaknya, banyak bermunculan sekolah umum plus (agama) yang
didirikan yayasan-yayasan Islam. Fenomena ini memang cukup menggembirakan
karena itu menjadi syiar agama dan kehidupan masyarakat terbingkai dengan
nilai-nilai agama, yang merupakan hasil dari pendidikan.
Tapi, apakah
semua masyarakat Indonesia bisa mendapat pendidikan yang layak dan mencerahkan
masa depan? Bagi yang memiliki dana bisa mendapatkannya, tapi bagi yang dhuafa
menjadi mimpi yang tak terbeli. Ini yang menjadi masalah lain dalam pemdidikan
kita, ketidakmampuan masyarakat atau orangtua untuk memberikan pendidikan pada
anak-anaknya. Kita memang tak bisa mengandalkan pemerintah yang hanya bisa
mengalokasikan dana pemdidikan di bawah negara tetangga. Harapan mewujudkan
masyarakat yang cerdas, beradab, bermoral, dan terampil, hanya tinggal harapan
bila tak ada yang ikut peduli dalam menyelesaikan persoalan-persoalan
pendidikan.
Mari kita bersama berbuat dan berkontribusi dalam pendidikan,
dengan menyisihkan sebagian rezeki untuk beasiswa dan pendidikan anak-anak
dhuafa. (Ahmad Sahidin; tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Swadaya)