BUKU yang memuat
peristiwa traggis itu berwarna merah darah. Di cover depan tampak seorang praja junior berseragam
lengkap membukuk dengan lengan dan mata tertutup.
“IPDN Undercover,
Sebuah Kesaksian Bernurani”, itulah buku yang mengkabarkan kekejaman dan
rusaknya sistem yang ada di lingkungan kampus yang dibiayai rakyat. IPDN, yang
dulunya bernama STPDN, tak kunjung baik. Namanya berganti, namun sistem dan
praktek kekerasannya masih tetap dipelihara.
Apa jadinya bila
seorang Inu Kencana Syafiie, bila tak membocorkannya ke pihak yang berwajib.
Tentu kejadian getir, pahit, berdarah, dan raungan sakit pun akan tertimbun
begitu saja. Cerita akan tinggal cerita, berganti dengan cerita yang baru, yang
senada raungannya.
Bak selebritis, kian
hari nama Inu Kencana Syafiie kian melambung. Wajahnya menghiasi hampir semua
media elektronik dan cetak. Bahkan, kehidupannya pun mulai dikenali dan
orang-orang pun membicarakannya. Ini semua akibat tragedi kematian yang menimpa
Wahyu Hidayat dan Cliff Muntu yang dianiaya para seniornya di IPDN (Institut
Pemerintahan Dalam Negeri) Sumedang, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.
Dengan berani,
Dosen IPDN ini mengungkapkan berbagai kasus, skandal, tragedi yang merengut
korban jiwa di lembaga pendidikan milik Departemen Dalam Negeri dalam bukunya
yang berjudul “IPDN Undercover, Sebuah Kesaksian Bernurani”.
Menurut pengakuan
Inu, yang menuturkan di awal bukunya, buku tersebut sudah ia tawarkan hingga 17
penerbit. Namun tak satu pun yang menerimanya. Besar kemungkinan karena takut
berhadapan dengan pelindung IPDN yaitu, kementerian dalam negeri, atau tak
punya daya jual di masyarakat. Tapi nyatanya, Penerbit Progresio, Syaamil
Pustaka, yang kini sedang meraup untung cukup besar.
Inu Kencana Syafiie, sebagai lelaki yang dilahirkan di Payakumbuh, Sumatera
Barat 55 tahun lalu, serta dibesarkan di Siak, Bengkalis dan Pekanbaru Riau, telah
menunjukkan kelaki-lakiannya, yaitu dengan berani mem kasus kematian Wahyu
Hidayat—salah seorang Praja STPDN tahun 2003 hingga kasus tewasnya Cliff Muntu,
Madya Praja IPDN yang menggemparkan itu; sehingga berbagai teror dan ancaman pun
datang silih berganti.
Dalam buku itu,
Inu terus terang bahwa keberaniannya membongkar kasus tragis IPDN, menyeretnya
pada sidang senat IPDN. Pimpinan senat langsung menekannya, bahwa tindakan yang
dilakukannnya itu mencoreng nama baik IPDN. Inu dianggap membuka aib
ditempatnya mengais rezeki. Namun Inu justru membantahnya dengan alasan yang
kemanusiaan dan untuk perbaikan IPDN. Meski begitu, tetap saja Inu kerap dapat
SMS
teror.
Tapi, semua itu
tak mengendurkannya untuk membuka terus berbagai masalah atau “borok” dan
tragedi di kampus tempatnya berkiprah, yang dituangkan dalam buku setebal 282
halaman dan diterbitkan April 2007 oleh Progresio, kelompok penerbitan Syaamil
Pustaka, Bandung.
Dalam buku yang
sudah dirancang beberapa tahun silam itu, Inu Kencana Syafiie selain
mengisahkan apa yang terjadi di IPDN—kasus seks bebas, narkoba, dan kasus
kematian Wahyu Hidayat—juga mengetengahkan autobiografi penulisnya yang sempat
menjadi atheis dan akhirnya jatuh dalam pelukan Islam; dan juga memuat kisah
masa kecil dan pengalamannya mendapatkan istri serta pahit getirnya menjalani
kehidupan ini.
Buku yang dijual
seharga Rp. 48 ribu dengan cetak perdana 10.000 eksemplar ini dilengkapi
foto-foto terjadinya kekerasan terhadap Praja oleh Seniornya. Namun, sayang, kasus
kematian Cliff Muntu yang mencuatkan namanya itu, justru tidak disinggungnya
dalam buku ini—hanya diulas pada pengantar saja. Kita berharap, Inu Kencana
Syafiie suatu hari nanti—bila memang ada permintaan untuk cetak ulang—menambahkan
kekurangannya itu.
AHMAD SAHIDIN,
Wartawan Lepas di Beberapa Media Cetak dan Elektronik