Islam dalam bahasa Arab berasal dari kata aslama, yang berarti tunduk atau pasrah. Dalam Al-Quran memuat istilah muslim, taslim, salim, dan islam; yang bermakna pasrah, berserah diri, dan menerima dengan sepenuh hati. Karena itu, Islam dapat dimaknai sebagai institusi agama yang menganjurkan pemeluknya untuk bersikap pasrah terhadap ketentuan dan aturan yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Dan semua ulama sepakat bahwa Islam merupakan agama terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw (shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam).
Dalam Islam terkandung semua ajaran agama yang
diajarkan para Nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Ajaran kasih sayang dari Nabi
Isa as yang disebut agama Kristen terdapat dalam Islam. Ajaran monoteis
(mengesakan Allah) yang diajarkan Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as yang
disebut agama Millah Ibrahim masuk dalam Islam. Ajaran-ajaran Nabi Musa as dan
Nabi Dawud as yang disebut agama Yahudi terdapat dalam Islam. Kehidupan asketis
(hidup sederhana) yang diajarkan dalam agama Budha dan ajaran pengabdian
(pelayanan) terhadap sesama manusia beserta binatang dan penyatuan dengan alam
semesta yang diajarkan dalam agama Hindu dan Konghucu terdapat dalam Islam.
Bahkan, pemikiran rasional atau filsafat yang kadang
dianggap membahayakan keimanan mendapat tempat dalam Islam. Kemudian gerakan
spiritualitas atau mistisme yang bersumber dari intuisi (rasa) juga mendapatkan
ruang dalam Islam. Kebudayaan lokal yang berada di setiap tempat dan kawasan
umat Islam diperkaya dengan nilai-nilai Islam sehingga menjadi bentuk budaya
baru. Hukum dan adat lokal yang menjungjung kemanusiaan diperkaya dengan
nilai-nilai Islam kemudian menjadi bagian dari hukum Islam yang berlaku di daerahnya
masing-masing.
Pengakuan ini diungkapkan seorang orientalis,
Marshall G.S.Hodgson.[1] Hodgson melihat Islam yang mudah masuk dalam berbagai budaya dan
memperkaya khazanah bangsa. Kehadiran Islam
senantiasa memberi warna baru dan mengisinya dengan nilai yang lebih universal
serta mudah dipahami setiap orang. Sejarah mengisahkan Nabi Muhammad saw di
Arab Saudi memperbarui tradisi haji yang berbau jahiliah dengan ajaran Islam.
Kemudian mengubah perilaku buruk warga Makkah dan Madinah menjadi orang-orang
berakhlak. Kemudian orang-orang Arab yang senantiasa berperang antarsuku
disatukan dalam satu komunitas: umat Islam. Mereka yang menganggap anak
perempuan sebagai beban ekonomi keluarga diberi pencerahan bahwa anak (baik
laki-laki atau perempuan) merupakan anugerah dan amanah dari Allah serta
menjadi kekayaan yang berharga bagi keluarga. Pernikahan diubah agar sesuai
dengan nilai-nilai Islam sehingga unsur penindasan dan menganggap istri sekadar
pemuas seks dihapuskan. Pernikahan diatur berdasarkan ajaran Islam sehingga
bernilaikan suci dan kaum lelaki tidak lagi memperlakukan istri dan anak-anaknya
dengan buruk. Kebiasaan menindas terhadap kaum dhuafa dihilangkan dengan
mengangkat kaum dhuafa sederajat dengan manusia lainnya.
Begitu
juga ketika Islam masuk ke Tatar Sunda dan Tanah
Jawa ternyata bisa saling menguatkan dan memperkaya khazanah budaya lokal.
Dalam acara adat pernikahan dan seni rudat Sunda diisi doa dan ajaran
Islam.Tradisi menolak musibah, menyambut seren taun, dan perayaan atas hasil
panen—meski masih bernuansa tradisi lokal Sunda—diberi warna Islam berupa doa
dan pemaknaan berdasarkan penafsiran yang mengambil dari Al-Quran dan
Rasulullah saw. Budaya lokal yang diisi ajaran-ajaran Islam kemudian menjadi
bentuk baru dan memperkaya. Proses memperkaya budaya lokal akibat dari
penyesuaian orang Islam dengan lingkungannya ini disebut bercorak Islam (Islamicate).
Sekadar menambah pengetahuan
bahwa Abdul Karim Soroush[2] membagi Islam dalam dua bagian: Islam sebagai identitas dan Islam
sebagai kebenaran.
Yang pertama adalah alat ideologis untuk identitas sekaligus respon terhadap
‘krisis identitas’ kemudian menjadi mazhab dan wajah Islam yang bercampur
dengan budaya lokal. Sementara yang kedua (Islam sebagai kebenaran) merupakan
Islam yang bermakna sumber kebenaran (yang menunjukkan jalan Islam) dan
dijalankan Nabi Muhammad saw. Islam sebagai kebenaran bisa dimaknai sebagai
ajaran-ajaran (doktrin).[3]
Sudah menjadi pengetahuan (umum) masyarakat Islam
bahwa ajaran-ajaran Islam terbagi dalam aqidah, fiqih, dan akhlaq. Pembagian
ini kemungkinan dirujuk dari hadits yang menyebutkan tentang iman, Islam, dan
ihsan yang disebutkan Rasulullah saw.[4] Segala sesuatu yang berkaitan dengan keimanan (iman) disebut aqidah;
yang berkaitan dengan amaliah dan ibadah (syariah) disebut fiqih; dan yang
berkaitan dengan kebaikan dan perbuatan saleh (ihsan) disebut akhlaq.
Sampai sekarang, tiga dimensi itu menjadi pengetahuan dasar umat Islam.
Perlu diketahui bahwa Islam dalam khazanah ilmu dan pendidikan terbagi-bagi dalam berbagai disiplin ilmu yang disebut dirasah islamiyyah atau ulum al-islamiyyah. Yang termasuk dalam disiplin ilmu-ilmu Islam adalah sirah nabawiyah, tarikh Islamiyyah, ulumul hadis, ulumul quran, ushul fiqh, ilmu fiqh, ilmu tafsir, ilmu kalam, filsafat, ilmu tasawuf, balaghah, bahasa Arab, akhlak, dan lainnya.
Setiap disiplin ilmu dalam khazanah ilmu-ilmu Islam mengalami perkembangan, bahkan menjadi ilmu tersendiri. Misalnya ulumul quran melahirkan cabang-cabang ilmu seperti tajwid, qiraat, tahfidz, dan makhrajul huruf.
Karena itu, memahami
ajaran Islam tidak semudah membalik telapak tangan. Orang Islam yang ingin
memahami dengan benar tentang aqidah perlu mengkaji ilmu kalam (teologi;
ushuluddin) beserta tokoh dan aliran-alirannya. Termasuk bidang fiqih dan
akhlak perlu dipelajari dengan sempurna dari berbagai sumber dan mazhab atau
para ahlinya. Tidak mungkin ilmu-ilmu agama Islam yang luas dapat dipelajari
dalam waktu singkat atau sekadar andalkan training sehari dua hari. Agar paham
dengan ilmu-ilmu agama Islam, maka perlu meluangkan waktu dan belajar khusus
dengan sistematis sehingga dalam menjalankan ajaran agama Islam tidak ala
kadarnya, atau sekadar memegang identitas agama. *** (ahmad sahidin)
[1] Marshall G.S.Hodgson dalam buku The Venture of Islam:
Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia (terjamahan
Dr.Mulyadhi Kartanegara dari judul asli: The
Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, Volume one:
The Classical Age of Islam, Book one: The Islamic Infusion: Genesis a New
Social Order) yang diterbitkan Penerbit Paramadina, Jakarta, 1999. Hodgson
melihat Islam dalam konteks sejarah menjadi Islamic, Islamicate, Islamdom.
Islamic merupakan Islam sebagai nilai dan doktrin; Islamicate
adalah nilai-nilai Islam yang mewujud dalam diri seorang Islam yang keberadaannya dipengaruhi sosial budaya di
lingkungannya; dan Islamdom
adalah Islam dalam konteks negara atau komunitas orang-orang Islam dari
aspek statistik-kuantitas.
[2] Lahir di Teheran, Iran, pada 1945. Majalah Time edisi April 2005 menobatkan Soroush sebagai satu dari
100 orang berpengaruh di dunia
berdasarkan penelitian Foreign Policy.
[3] Gagasan ini dilontarkan juga oleh Murtadha Muthahhari
yang menyebutkan bahwa Islam waqi’i
merupakan Islam sejati yang
memikul ruhiyah samawiyah; yang berlawanan dengan Islam geografis (al-jughrafi). Lihat
Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Al-Quran dalam Menyikapi
Perbedaan (Bandung: Mizan, 2006).
[4] Hadits ini terdapat pada Imam An-Nawawi, Hadits
Arba’in An-Nawawawi (Jakarta:
Al-I’tishom, 2001) halaman 10.