Agama Islam tidak hanya mengurusi persoalan keimanan dan penyucian jiwa, tetapi juga aspek ibadah yang bersifat lahiriah seperti shalat, wudhu, zakat, puasa, haji, nikah, dagang, dan perdagangan pun diatur. Ilmu yang berkaitan dengan aspek ini disebut fiqih. Sejak masa kelahiran agama Islam di Makkah dan Madinah, aturan keseharian dan ibadah Rasulullah saw dan khulafa ar-rasyidun belum tersusun sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih. Pada masa itu, fiqih bersifat praktis tanpa disebutkan jenis dan pembagiannya. Semua jenis ibadah hanya didasarkan pada al-Quran, praktik dan teladan Rasulullah saw. Penyusunan mulai dilakukan setelah terjadi interaksi dengan kebudayaan lain sehingga berkembang dan melahirkan berbagai jenis disiplin ilmu, termasuk fiqih.
Awalnya
muncul para ulama yang konsern dalam bidang teologi yang khusus membincangkan
keimanan, takdir, dan kebaikan atau keburukan serta kafir tidaknya seseorang.
Kemudian muncul kebutuhan untuk menghimpun fakta dan ketetapan-ketetapan
Rasulullah saw sebagai pelengkap dari al-Quran yang disebut hadits atau sunah.
Pada masa ini muncul para muhadits (ahli hadits), seperti Bukhari,
Muslim, An-Nasai, Tirmidzi, Al-Kulaini, Ash-Shaduq, dan lainnya. Selanjutnya
muncul para fuqaha (ahli fiqih) yang menghimpun aturan ibadah dan
kehidupan kaum Muslim yang disebut fiqih. Setidaknya ada lima fuqaha
yang terkenal dan mempengaruhi pelaksanaan ibadah kaum Muslim.
Jafar
Ash-Shadiq. Jafar Ash-Shadiq lahir 17 Rabiul
Awwal 83 Hijriah (20 April 702 M) di Madinah. Ia adalah keturunan Rasulullah
saw generasi kelima. Sejak kecil Jafar sudah mendapatkan tempaan ilmu agama di
bawah bimbingan ayahnya, Muhammad Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin
Ali bin Abu Thalib. Jafar hidup pada
masa Dinasti Umayyah sedang mengalami kemunduran dan Dinasti Abbasiyah mulai
berkuasa. Pada masa itu, Jafar dikenal sebagai ulama yang konsern dalam urusan
yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan.
Selain
menguasai ilmu-ilmu Islam, Jafar juga menguasai ilmu kedokteran, kimia,
matematika, dan lainnya. Kemuliaan akhlak dan ketinggian ilmunya itu
mengantarkan Jafar menjadi tempat merujuk (marja taqlid) kaum Muslim
saat mendapatkan masalah yang berkaitan dengan agama maupun lainnya. Majelisnya
banyak didatangi orang untuk menimba ilmu maupun meminta jawaban atas berbagai
persoalan yang dihadapi kaum Muslim. Sedikitnya ada empat ribu murid yang
belajar kepada Jafar Ash-Shadiq, di antaranya Jabir bin Hayyan, Sufyan
Ats-Tsauri, Sufyan bin Uyayna, dan Abu Hanifah.
Popularitas
Jafar Ash-Shadiq di tengah kaum Muslim membuat penguasa Dinasti Abbasiyyah,
Mansur Ad-Dawaniqi, merasa khawatir menjadi gerakan politik yang dapat
meruntuhkan kekuasaannya. Karena itu, ia membuat rencana untuk mengenyahkannya.
Bahkan, tindakan untuk menyingkirkannya telah dilakukan sebelumnya oleh
penguasa sebelumnya, yaitu Abdul-Abbas Al-Saffah. Jafar Ash-Shadiq dipisahkan
dari pengikutnya dengan membawanya ke Irak. Tidak lama kemudian dikembalikan
lagi ke Madinah dan diawasi secara ketat, termasuk kepada keluarganya.
Semakin
hari bertambah banyak pengikut Jafar Ash-Shadiq. Kekhawatiran penguasa
terhadapnya berlanjut dengan memerintahkan Gubernur Madinah, Muhammad bin
Suleima, untuk membunuhnya dengan menggunakan racun. Jafar Ash-Shadiq yang
dikenal sebagai pendiri mazhab Ja`fari ini wafat pada 15 Syawal 148 H. (4
Desember 765) saat usia 65 tahun. Pemakamannya dipimpin putranya, Musa
Al-Kazhim, di Jannat Al-Baqi, Madinah.
Abu
Hanifah. Ia adalah keturunan Persia yang
lahir pada 80 H./699 M. di Kufah. Lengkapnya bernama Nu’man bin Tsabit bin
Zautha bin Maha. Ia terkenal dengan nama Abu Hanifah karena berasal dari desa
Hanafi. Murid Jafar As-Shadiq ini hidup pada masa kekuasaan Yazid bin Hurairah
Al-Fazzari, Gubernur Irak. Melihat kecemermelangan ilmu Abu Hanifah, Yazid
pernah memintanya untuk menjadi ketua urusan perbendaharan negara (baitul
maal), tetapi ditolaknya. Sampai berulang kali sampai Yazid menawarkan
pangkat yang lebih tinggi dan ia tetap mentolaknya. Sikap tersebut membuat
Yazid kecewa dan dianggapnya sebagai bentuk permusuhan terhadap pemerintah.
Karena itu, Abu Hanifah ditangkap dan dimasukkan ke penjara selama dua pekan
tanpa siksaan. Lima belas hari kemudian baru disiksa sebanyak empat belas kali
pukulan dan setelah itu baru dibebaskan.
Beberapa
hari sesudah itu, Gubernur Yazid menawarkan kepadanya menjadi qadi
(hakim). Tawaran itu kembali ditolaknya. Akibatnya, Abu Hanifah ditangkap lagi
dan dijatuhi hukuman dera sebanyak seratus sepuluh kali. Setiap hari didera
sebanyak sepuluh kali pukulan. Namun, tetap saja tidak membuat pendirian Abu
Hanifah goyah.
Bergantinya
kekuasaan dari Dinasti Umayyah ke Dinasti Abbasiyah tidak membuat Abu Hanifah
bebas dari siksaan. Seperti masa sebelumnya, penguasa Dinasti Abbasiyah pun
menawarinya jabatan qadi. Tolakan
Abu Hanifah berlanjut lagi dengan penjara dan hukuman seratus kali dera. Abu
Hanifah setiap pagi dipukul dengan cambuk dengan leher dikalungi rantai besi
yang berat. Saking kesal terhadap Abu Hanafi, penguasa Dinasti Abbasiyah
meracuninya sampai wafat.
Malik
bin Anas. Abu 'Abdillah bin Anas bin Malik
bin Abu Amir bin Amr bin Al-Harits adalah pendiri mazhab Malikiyah. Malik bin
Anas lahir pada 93 H. di Madinah. Ia mengambil sumber-sumber fiqih dari hadits
yang diterimanya dari Nafi` bin Abu Nu'aim, Az-Zuhri, dan Nafi'. Ia banyak
mempunyai murid dan beberapa di antarnya menjadi ulama ternama, seperti
Al-Auza'iy, Sufyan Ats-Tsauri, Sufyan bin 'Uyainah, Ibnu Mubarak, dan Muhammad
Idris Asy-Syafi'i. Malik terkenal sebagai ulama yang keras dalam mempertahankan
pendapatnya. Ia pernah diadukan kepada Ja'far bin Sulaiman, penguasa Dinasti
Abbasiyah, dengan tuduhan tidak menyetujui pembaiatan penguasa. Malik ditangkap
dan disiksa dengan cambuk sebanyak tujuh puluh kali sampai ruas lengannya
sebelah atas bergeser dari persendian pundaknya. Siksaan itu terjadi karena
fatwa Malik tidak sesuai dengan keinginan penguasa. Karya Malik bin Anas yang
terkenal adalah Al-Muwatta yang ditulisnya pada 144 H. Dalam kitabnya
itu terdapat atsar Rasulullah saw, sahabat, dan tabi'in. Para
ulama setelahnya banyak memberikan syarah (penjelasan) terhadap
kitabnya, seperti 'Abil Walid dan Ad-Dahlawy. Malik bin Anas wafat pada 14
Rabi'ul Awwal 169 H. di Madinah dengan meninggalkan tiga putra: Yahya,
Muhammad, dan Hammad.
Asy-Syafi`i.
Asy-Syafi`i dikenal sebagai fuqaha
yang banyak dirujuk umat Islam Indonesia dan Mesir. Lengkapnya bernama Abu
Abdullah Muhammad bin Idris dan lahir di Gaza, Palestina, pada 150 H. Sejak
masih bayi ia ditinggal wafat ayahnya dan dipelihara ibunya yang berasal dari
Qabilah Azad dari Yaman. Ia tumbuh dalam kondisi miskin dan banyak mengalami
penderitaan. Usia 2 tahun dibawa pindah oleh ibunya ke Makkah. Ibunya sendiri
yang mengajarinya al-Quran sehingga usia 10 tahun sudah hafidz.
Menginjak usia belasan, Asy-Syafi`i mempelajari ilmu agama di daerah Bani
Hudzail, Kabilah yang paling fasih dalam berbahasa Arab di Makkah. Selama 17
tahun menetap di Bani Hudzail, ia banyak menghafal syair-syair, memahami
sastra, dan sejarah Arab kuno. Saat belajar ini ia bertemu dengan Mas’ab bin
Abdullah bin Zubair yang mengantarkannya menjadi seorang faqih ternama. Mas’ab
bin Abdullah berkata, “Wahai Syafi’i, sungguh engkau fasih dalam berbahasa Arab
dan cerdas, alangkah baiknya menguasai ilmu fiqih sebagai kepandaianmu.”
Asy-Syafi’i bertanya, “Di mana aku harus belajar?” Masab bin Abdullah menjawab,
“Pergilah ke Malik bin Anas.” Kemudian ia pergi ke Madinah menemui Malik bin
Anas dan mempelajari kitab Al-Muwatta’ karya Malik bin Anas
sampai berhasil melafalkan isinya tanpa melihat teks. Setelah itu, ia menimba
ilmu ke Yaman, Baghdad, dan Mesir. Kemudian menyelesaikan karya tulis fiqih dan
uhsul fikih, yaitu kitab Al-Umm. Akibat tekanan penguasa dan siksaan
yang terus menderanya karena tidak mau kompromi dengan penguasa, ulama pendiri
mazhab Syafi’i ini wafat pada Rajab 204 H. di Fisthath, Mesir.
Ahmad bin Hanbal. Lengkapnya bernam Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Ia dikenal sebagai fuqaha yang pendapatnya menjadi rujukan umat Islam Makkah, Arab Saudi. Ia lahir pada Rabi'ul Awwal 164 H dari rahim Shafiyyah binti Maimunah, ibunya. Pendidikan pertamanya di Baghdad, Irak. Ia belajar menghafal al-Quran dan ilmu-ilmu bahasa Arab. Kemudian berguru kepada Al-Qadhi Abu Yusuf, murid Abu Hanifah. Pada usia 16 tahun menulis hadits yang banyak dinukil dari Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim Al-Wasithy. Kemudian belajar ke Bashrah, Hijaz, dan Yaman. Di Hijaz ini ia berguru kepada Asy-Syafi'i. Ia menulis kitab Al-Musnad, Al-Manasik ash- Shaghir, Al-Manasik Al-Kabir, Az-Zuhud, Ar-Radd 'ala Jahmiyyah wa az-Zindiqiyyah, As-Shalah, As-Sunnah, Al-Wara' wa Al-Iman, Al-'Ilal wa Ar-Rijal, dan Fadhail Ash- Shahabah. Ahmad bin Hanbal pernah ditawari menjadi qadhi di Yaman oleh penguasa Dinasti Abbasiyah. Namun, tawaran itu ditolaknya karena pemerintah menetapkan Mut`tazilah sebagai mazhab resmi. Ketidaksetujuan terhadap pemikiran (teologi) Mu`tazilah mengantarkan Ahmad bin Hanbal ditangkap dan disiksa serta digiring ke Thursus dan dibawa kembali ke Baghdad untuk dipenjara dan dicambuk. Setelah lama mendekam dipenjara, ia dikembalikan ke rumahnya dalam keadaan tidak mampu berjalan. Bahkan, ia dilarang menyampaikan pelajaran agama di masjid maupun majelis ilmu. Pendiri mazhab Hanbali ini wafat pada 12 Rabiul Awwal 241 H.
Begitu juga terdapat
beberapa ulama fiqih yang termasuk penerus mazhab. Misalnya mazhab fiqih
Hanafiyah terdapat tokoh fiqih seperti Abu Yusuf, Muhamad ibn Hasan
Asy-SyaiDaulah, An-Nasafi, Az-Zaila’I, Al-Kamal, Al-Aini, An-Najim. Yang
termasuk tokoh-tokoh mazhab Malikiyah adalah Abdurrahman ibn Al-Qasim, Abu Muhammad
Abdillah Wahab, Khalil, Al-Ajhuri, Al-Kharasyi, Al-Adawi. Yang termasuk
tokoh-tokoh mazhab Syafi’iyah adalah Ismail ibn Yahya Al-Muzani, Al-Buwaithi,
Muhyiddin An-Nawawi, Taqiyyudin As-Subki, Zakariya Al-Anshari, Ibn Hajar
Al-Haitami. Yang termasuk tokoh-tokoh mazhab Hanbaliyah adalah Ibn Taimiyyah,
Ibn Qayyim Al-Jauziyyah. Ada pun yang termasuk
tokoh-tokoh mazhab Jafariyah atau Syiah adalah Hassan ibn Mahbub, Ahmad ibn Ali
Nasr Bazanti, Husain ibn Sa’id, Fa’di ibn Syathan, Yonis ibn Abdurrahman, Muhammad
ibn Ya’qub Kulayni, ‘Ayasyi Samarqandi,Ibn Jamid Iskafi, Syaikh Mufid, Sayyid
Murtadha, Syaikh Abu Jafar Tusi, Ibn Idris Hilli, Syaikh Abul Qasim Ja’far ibn
Hasan ibn Yahya ibn Said Hilli (Muhaqqiq Hilli), ibn Hasan ibn Yusuf ibn Ali
ibn Muthahhar Hilli (Allamah Hilli), Muhammad ibn Makki (Syahid awal), Syaikh
Ali ibn Abul Ul Ala Karaki (Muhaqqiq Tsani), Syaikh Zainuddin (Syahid Atsani),
Muhammad ibn Baqir ibn Muhammad Akmal Bahbahani (Wahid Bahbahani), Syaikh
Murtadha Anshari, Hajji Mirza Muhammad Hasan Syirazi, Hajji Mirza Husein Naini,
dan lainnya.
Selain
mereka, terdapat ulama-ulama fiqih yang memiliki pemikiran keagamaan dan
pengikut tersendiri. Beberapa mazhab fiqih yang terkenal menjadi besar dan
banyak dianut berkat dukungan penguasa (kecuali mazhab Jafari yang selalu
ditekan penguasa). Misalnya, mazhab Hanafi berkembang besar saat Abu Yusuf,
murid Abu Hanifah, diangkat menjadi qadhi dalam pemerintahan Dinasti
Abbasiyah (masa kekuasaan Al-Mahdi, Al-Hadi, dan Al-Rasyid). Mazhab Maliki
berkembang karena Yahya bin Yahya, penerus Malik bin Anas, diangkat menjadi qadhi
oleh para penguasa Islam di Andalusia (Spanyol). Di Afrika, penguasa mewajibkan
umat Islam untuk mengikuti mazhab Malik bin Anas. Mazhab Syafi'i banyak dianut
di Mesir karena penguasa Shalahuddin Al-Ayyubi menjadikannya sebagai mazhab
resmi pemerintah. Begitu juga mazhab Hanbali dijadikan mazhab resmi Jazirah
Arab, khususnya Arab Saudi.
Sementara mazhab fiqih lainnya (yang tidak terkenal) tidak muncul atau hilang karena tidak mampu berkoalisi dengan penguasa, seperti Ats-Tsuriyah, Uyaiynah, Al-Awza'iyah, Ath-Thabariyah, dan Azh- Zhahiriyah. Mazhab Ats-Tsauri dipelopori Abu Abd Allah Sufyan bin Masruq Ats-Tsauri yang lahir di Kufah pada 65 H dan wafat di Bashrah pada 161 H. Mazhabnya tidak berkembang karena penguasa mengejar dan membunuh Ats-Tsauri yang enggan membaiat penguasa zamannya. Mazhab Uyaiynah dipelopori Abi Muhammad Sufyan bin Uyaiynah yang wafat 198 H. Uyaiynah belajar agama dan mengambil hadits dari Imam Jafar Ash-Shadiq, Az-Zuhry, Ibn Dinar, dan Abi Ishaq. Mazhab ini hilang karena tidak ada dukungan penguasa.
Mazhab
Al-Awza'iyah didirikan oleh Abd Ar-Rahman bin Amr Al-Awza'iy yang berasal dari
Syam. Pada masa akhir Dinasti Umayyah dan awal kekuasaan Abbasiyah madzhabnya
tersisihkan karena Muhammad bin Utsman dijadikan qadhi dan memutuskan
hukum berdasarkan fiqih Syafi'i. Mazhab Ath-Thabari berasal dari Abu Ja'far
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid bin Ghalib Ath-Thabari. Ia lahir di
Thabaristan pada 224 H dan wafat di Baghdad pada 310 H. Mazhab ini termasuk
aliran fiqih Sunni yang berpendirian mandiri alias tidak mengikuti mazhab
sebelumnya. Ketika Dinasti Abbasiyah berkuasa, mazhab ini dilarang diikuti kaum
Muslim karena Ath-Thabari dianggap anti pemerintah oleh ulama yang merasa
terkalahkan popularitasnya. Mazhab Azh-Zhahiri berasal dari Abu Sulayman Dawud
bin Ali. Ia lahir di Kufah pada 202 H. dan menetap di Baghdad sampai tahun 270
H. Mazhab ini memahami nash agama secara harfiah sehingga disebut
Azh-Zhahiriyah dan berkembang di kawasan Maroko. Di antara penerus mazhab ini
adalah Ibnu Hazm yang bermukim di Andalusia.
Apabila telusuri dari sejarah Islam, banyak ulama yang konsern dalam bidang fiqih. Seperti Ibnu Rusyd, meski dikenal sebagai filsuf, ternyata juga seorang fuqaha yang berhasil menulis kitab Bidayatul Mujtahid yang sekarang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Begitu pula dua sufi besar Ibnu Arabi dan Sayyid Haidar Amuli melengkapi khazanah fiqih dengan tasawuf (sufisme) sehingga terhimpun kepaduan dimensi lahiriah dan batiniah agama. Sosok karismatik Ayatullah Ruhullah Musawwi Khomeini dari Iran pun melengkapi khazanah fiqih dengan penjelasan-penjelasan sufistik, rasional, dan modern. Hal ini terlihat dari tiga karyanya, yaitu Asrar Al-Shalah, Mi`raj As-Salikin wa Shalah Al-Arifin, dan Adab Al-Shalah. Bahkan di kalangan Syiah awal abad modern, ilmu fiqih ini telah melahirkan ulama-ulama mujtahid yang berperan sebagai marja taqlid, yang dirujuk oleh kaum Syiah.
Sampai sekarang—berdasarkan Wikipedia--diperkirakan lebih dari
enam puluh empat marja taqlid, yang sebagian besar tinggal di Irak, Iran,
Lebanon, dan lainnya. Marja taqlid ini menyusun kitab risalah amaliah (fiqih)
dan menjawab pertanyaan yang diajukan para pengikutnya. Fatwa marja tersebut
disusun dalam bentuk buku fatwa sehingga orang-orang Syiah yang menjadi
pengikutnya bisa merujuk. Di antara marja taqlid yang terkenal adalah Muhammad
Syirazi, Imam Khomeini, Sayid Abul Qasim Khui, Sayid Muhammad Husein
Fadhlullah, Muhammad Baqir Shadr, Sayid Ali Sistani, Sayid Ali Khamenei, Syaikh
Jafar Subhani, Syaikh Muhammad Nasir Makarim Syirazi, Syaikh Shafi Luthfullah
Ghulpayghani, Ayatullah Husseini Nassab, Ayatullah Yusof Sanaa’i, Sayid
Muhammad Said Al-Hakim, Sayid Kamal Haidary, Ayatullah Ibrahim Jannati, dan
lainnya.
Selain
berkembang di Timur Tengah, di Indonesia muncul fiqih sosial dan perdagangan
bebas yang digagas Ali Yafie[1]
dan fiqih pemberdayaan umat (pengembangan dari zakat produktif) oleh Didin
Hafiduddin. Ada pula fiqih lintas agama ditulis oleh Nurcholish Madjid,
Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer, dan akademisi Universitas Paramadina
Mulya Jakarta[2]yang
membahas status kewarganegaraan non-Muslim dalam entitas politik Islam, status
pajak non-Muslim, kawin beda agama, waris beda agama, memasuki tempat ibadah
non-Muslim, berdoa bersama penganut agama lain, dan membolehkan mengucapkan
salam kepada non-Muslim. Sedangkan masalah yang berkaitan dengan ibadah mahdhah
seperti shalat, puasa, haji, dan lainnya tetap mengacu pada fiqih
terdahulu. Tidak heran kalau umat Islam mandeg dan merasa cukup dengan mengekor pada
mazhab yang sudah legal. Sudah pasti para ulama dan
cendekiawan Islam perlu terus mengembangkan khazanah ilmu-ilmu
Islam, terutama dalam rangka menjawab persoalan yang dihadapi umat pada setiap
zamannya.
Perlu diketahui dan menjadi
masalah adalah mengapa sampai terjadi perbedaan atau ikhtilaf? Jalaluddin Rakhmat menyebutkan ada tiga yang
melatar belakangi terjadinya perbedaan pendapat dalam fiqih.[3]
Pertama adalah perbedaan
penafsiran nash (al-quran dan al-hadis). Ketika Rasulullah saw hidup perbedaan
dapat diatasi dan diselesaikan dengan baik. Setelah wafat, baru para sahabat
dan tabiin meributkan kebenaran dari setiap yang dirujuk dan dijadikan dasar
dalam ibadahnya. Dikarenakan sudah wafat, sebagian orang meminta penjelasan
berkaitan dengan al-quran dan al-hadis kepada sahabat dan ada yang bertanya
kepada Keluarga Nabi. Meski dari satu generasi, tetapi jawabannya ternyata
berbeda. Kalangan fuqaha (ulama fiqih) juga demikian. Misalnya menafsirkan
Surah Al-Maidah ayat 6, “Wahai orang-orang yang beriman; jika kamu hendak
melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan
usaplah kepalamu dan kedua kakimu sampai kedua mata kaki. ” Mazhab Jafari
(Syiah Imamiyah atau Ahlulbait) mengartikan bahwa wudhu itu membasuh muka dan
kedua tangan sampai sikut kemudian mengusap kepala dan kaki. Berapa kali jumlah
basuhan dan usapan, itu yang kadang diperdebatkan. Kemudian apakah harus dengan
air yang berbeda antara yang basuhan dan usapan, atau sisa air basuhan yang
diusapkan pada kepala dan kaki. Harus dalam keadaan kering untuk kepala dan
kaki, atau setengah basah (tidak terlalu kering). Ini yang kadang terjadi
perbedaan di antara sesama ulama Syiah. Dalam mazhab Sunni biasanya tidak
demikian penjelasannya. Basuhan paling banyak tiga kali untuk wajah atau muka,
kedua tangan, dan kedua kaki. Sebelumnya mengusap kepala sebelum basuh kaki.
Kemudian ada yang mengatakan dalam wudhu harus didahului dengan mencuci,
telapak tangan, hidung, mulut, telinga, dan diakhiri doa. Ada juga dalam mazhab
Sunni yang menyebutkan bahwa dalam setiap basuhan dan usapan anggota wudhu
harus baca doa yang khusus. Bahkan, dalam menentukan batas muka dan rambut juga
kadang berbeda-beda di antara mazhab fiqih Sunni: Syafii, Hanafi, Maliki, dan
Hanbali. Kemudian lanjutan dari ayat 6, “Jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan,
lalu kamu tidak memperoleh air; maka bertayamumlah dengan tanah yang baik
(bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” Menurut Abu
Hanifah, ayat ini menjelaskan: musafir dan orang sakit, jika tidak menemukan
air, wajib tayamum. Orang yang tidak bepergian dan sehat, jika tidak ada air, tidak
berlaku tayamum dan tidak wajib baginya shalat.[4]
Pendapat ini pernah dipraktikan Umar bin Khaththab, Ibnu Umar, dan Ibnu Mas’ud
tentang seseorang yang junub dan tidak menemukan air. Ketiganya sepakat selama
belum ada air untuk mandi besar, ia tidak boleh shalat. Mazhab Jafari dan
Syafii menyatakan wajib tayamum dan shalat jika tidak ada air, baik dalam
keadaan bepergian maupun tidak.
Kedua, perbedaan periwatan
hadis atau faktor sejarah. Pada zaman Rasulullah saw para sahabat menerima
hadis dan melihat langsung praktik ibadahnya. Rasulullah saw tidak hanya di
masjid, juga kadang ke pasar atau di tengah masyarakat serta di rumah. Dalam
keadaan demikian yang berbeda itu pastinya ada sahabat yang tidak mengetahui
ucapan dan perilaku Nabi saat di pasar atau di rumah, bahkan tidak tahu kalau
di pasar ada yang tanya tentang shalat dan lainnya. Memang ada sahabat yang
mencatatnya. Namun, tidak semua catatan sahabat sama. Yang dicatat Aisyah dan
Abu Bakar atau Ali pasti beda karena masing-masing menerima dan melihat dalam
kondisi yang tidak bersamaan, juga kadang ada waktu bersama. Masing-masing yang
mendengar dan melihat pasti akan beda dalam mencatatnya. Apalagi yang mendengar
dari sahabat kemudian disampaikan lagi kepada yang lain, pasti ada yang kurang
dari segi kalimat maupun isinya disingkat biar cepat tersampaikan. Selain
faktor kondisi dan catatan yang tidak sama, juga persepsi para sahabat dan
pemahaman yang berbeda serta kecerdasan yang tidak sama di antara sahabat.
Kemudian muncul para pengambil hadis yang hadis-hadis itu kemudian disusun
dengan standar yang tidak sama di antara ahli hadis. Tidak aneh kalau ada suatu
ibadah yang dianggap tidak kuat sumbernya oleh ahli hadis yang satu, tetapi
oleh yang lain dianggap kuat. Masalah penentuan sahabat Nabi juga masih terjadi
perbedaan. Ada yang menyebutkan bahwa sahabat itu adalah orang Islam yang hidup
bersama Nabi sejak dari Makkah sampai Madinah. Orang yang baru masuk Islam masa
penaklukan Makkah juga masih kategori sahabat. Ada yang mengatakan bayi yang lahir
beberapa hari menjelang wafat Nabi pun masih dianggap generasi sahabat.
Penentuan standar sahabat ini yang kemudian menjadikan para ulama ada yang
menolak sahabat untuk diambil hadisnya, menolak hadis dari mantan-mantan musuh
Rasulullah saw yang kalah perang kemudian masuk Islam. Juga ada yang berani
menolak hadis dari orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi. Ada ulama
yang hanya mau menerima hadis dan riwayat dari keluarga dan keturunan
Rasulullah saw. Bahkan, ada yang tidak mau menerima hadis dari sahabat dan
istri Nabi yang setelah wafat Rasulullah saw melakukan tindakan yang tidak
bermoral dan menyalahi aturan Nabi.
Ketiga, perbedaan ushul
fiqih. Yang ini berkaitan dengan metodologi dalam menyimpulkan sebuah hukum
dari al-Quran atau hadis.[5]
Di antara ulama dalam menganalisa hadis atau ayat yang kemudian hasilnya dalam
bentuk hukum (wajib-haram-sunah/mustahab-makruh) akan beragam dan saling
berbeda. Misalnya—mengambil contoh dari Ustadz Jalal[6]
—bahwa ada sahabat melihat Rasulullah saw takbir tujuh dan lima dalam shalat
Ied. Dari riwayat itu seorang ulama (fuqaha) bisa menyimpulkan bahwa yang
dilakukan Nabi dalam shalat Ied adalah ketentuan agama sehingga wajib dilakukan
takbir tujuh kali pada rakaat pertama kemudian lima kali saat rakaat kedua
dalam shalat Ied. Ulama lain bisa memaknainya lain: bisa sunah. Kemudian contoh
lain adalah riwayat tentang bejana yang dijilat anjing hendaknya dibasuh sampai
tujuh kali. Ulama mazhab Zhahiri memahami bahwa kalau anjing menjilat tangan,
kaki, baju atau lainnya selain dari bejana maka tidak apa-apa (karena yang
disebutkan dalam riwayat adalah bejana). Sedangkan ulama mazhab lainnya yang
rata-rata sepakat bahwa harus dicuci seperti yang terjadi pada bejana. Dalam
al-Quran disebutkan bahwa daging babi haram dikonsumsi. Bagi mazhab Zhahiri
(karena tercantum dalam ayat adalah daging babi) maka kulit, jantung, lemah
(gajih), bulu, dan jeroan babi tidak haram. Bagi yang lain, babi dari mulai
ekor sampai daging dan bulu dikategorikan haram. Satu lagi yang dapat
dicontohkan adalah ayat yang menerangkan seseorang boleh tidak puasa Ramadhan
kalau ia sedang sakit atau dalam perjalanan. Seorang tokoh mazhab Mutazilah
pernah diketahui sedang makan dan minum siang hari. Ketika ditegur, ia
mengatakan sedang sakit kepala sehingga boleh tidak puasa. Dalam ayat 184 surah
al-Baqarah itu memang tidak dijelaskan jenis dan ukuran sakit atau jarak
perjalanan yang membolehkan untuk tidak puasa. Yang menentukan jenis sakit dan
jarak perjalanan yang menyebabkan bisa berbuka atau tetap puasa didasarkan
penalaran seorang ulama. Hasil penalaran atau ijtihad itu kemudian menjadi
panduan hukum buat orang-orang yang mejadi pengikutnya. Dengan hasil ijtihad
itu kemudian kaum Muslim dan Muslimah menjalankan ibadah dan amal-amal Islam.
Masing-masing ulama pasti berbeda dalam mengambil kesimpulan. Karena itu,
perbedaan pendapat kemudian menjadi perbedaan mazhab merupakan sesuatu yang
wajar. Meski berbeda masih berada dalam Islam karena berasal dari sumber yang
sama. Tidak perlu khawatir dengan perbedaan karena itu bagian dari anugerah dan
rahmat. Rasulullah saw menyatakan bahwa ikhtilaf (perbedaan pendapat) di
antara umat Islam adalah rahmat. Akan menjadi laknat atau sesuatu yang buruk
kalau sudah tidak ada lagi kesadaran untuk saling menghormati dan menghargai
pendapat atau keyakinan yang dianut orang lain. Kalau sudah demikian, bukan
hanya antara mazhab, bahkan dalam mazhab atau keluarga pun bisa pecah dan
terjadi konflik. Kesadaran toleransi terhadap perbedaan bisa tumbuh kalau semua
pihak berani untuk belajar dan mengenal langsung dari sumbernya serta tidak
menaruh curiga atau benci. Kalau hanya sekadar kata orang lain yang tidak ahli
atau bukan pemeluknya, bisa-bisa tidak benar atau ditambah-tambah. Jika begitu
maka yang kita dapatkan bukan sesuatu yang benar, malah timbul kecurigaan yang
kemudian berujung tidak mau menerima kehadiran orang lain yang berbeda mazhab
dengan kita. Sadari bahwa yang dianut kita memang benar, tetapi yang dipeluk
orang lain pun memiliki kemungkinan benar. Kalau pun ingin mengujinya maka
harus masuk dalam lingkaran akademis dan dikaji dengan standar ilmiah.
Masalah perbedaan fiqih bisa tuntas dalam tataran individu, yaitu masing-masing mengikuti fikih yang dianutnya dalam melaksanakan ibadah ritual. Meski dalam tataran sosial akan terjadi bentrokan di antara individu satu sama lain yang berbeda fiqih maka akhlak menjadi jalan keluar untuk mendamaikan perbedaan fiqih. Semua manusia sepakat bahwa akhlak atau sikap serta perbuatan baik dan menghormati orang yang berbeda dengan tidak memaksakan pendapat dan membiarkan orang lain beribadah sesuai dengan fiqih yang dianutnya. Sikap inilah yang merupakan bagian dari akhlak Islam. Seseorang boleh memegang fiqih yang dianutnya, tetapi jangan pernah berniat untuk mengubah orang lain yang berbeda paham fiqih. Kalau sekadar ingin mengetahui dalil-dalil yang dipegang orang lain bisa dilakukan dengan mengkaji langsung pada kitab-kitab yang dijadikan rujukan dalam masalah fiqih atau ibadah. *** (ahmad sahidin, alumni uin sgd bandung)
[1] Prof.KH.Ali Yafie, Menggagas
Fiqih Sosial (Bandung: Mizan, 1994) dan Fiqih Perdagangan Bebas
(Jakarta: Teraju, 2003).
[2] Nurcholish Madjid.et.al, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat
Inklusif-Pluralis. Editor: Mun'im A.Sirry (Jakarta:Yayasan Wakaf
Paramadina, 2003).
[3] Jalaluddin Rakhmat, Islam
Alternatif (Bandung: Mizan, 1998) h.232-239.
[4] Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif (Bandung: Mizan, 1998) h.234.
[5] Ada persoalan dalam menentukan shahih
tidaknya hadis. Bagi Muhammad Al-Ghazali dari Mesir, Fazlur Rahman dari
Pakistan, dan Muhibbin Noor dari IAIN Walisongo Semarang-Indonesia menyatakan
bahwa tidak seluruh kitab Bukhari itu shahih dan masih terdapat hadis-hadis
yang bertentangan dengan al-Quran.
[6] Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif
(Bandung: Mizan, 1998) h.237.