Rabu, 25 Oktober 2023

Fiqih (Hukum Islam)

 Agama Islam tidak hanya mengurusi persoalan keimanan dan penyucian jiwa, tetapi juga aspek ibadah yang bersifat lahiriah seperti shalat, wudhu, zakat, puasa, haji, nikah, dagang, dan perdagangan pun diatur. Ilmu yang berkaitan dengan aspek ini disebut fiqih. Sejak masa kelahiran agama Islam di Makkah dan Madinah, aturan keseharian dan ibadah Rasulullah saw dan khulafa ar-rasyidun belum tersusun sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih. Pada masa itu, fiqih bersifat praktis tanpa disebutkan jenis dan pembagiannya. Semua jenis ibadah hanya didasarkan pada al-Quran, praktik dan teladan Rasulullah saw. Penyusunan mulai dilakukan setelah terjadi interaksi dengan kebudayaan lain sehingga berkembang dan melahirkan berbagai jenis disiplin ilmu, termasuk fiqih.

Awalnya muncul para ulama yang konsern dalam bidang teologi yang khusus membincangkan keimanan, takdir, dan kebaikan atau keburukan serta kafir tidaknya seseorang. Kemudian muncul kebutuhan untuk menghimpun fakta dan ketetapan-ketetapan Rasulullah saw sebagai pelengkap dari al-Quran yang disebut hadits atau sunah. Pada masa ini muncul para muhadits (ahli hadits), seperti Bukhari, Muslim, An-Nasai, Tirmidzi, Al-Kulaini, Ash-Shaduq, dan lainnya. Selanjutnya muncul para fuqaha (ahli fiqih) yang menghimpun aturan ibadah dan kehidupan kaum Muslim yang disebut fiqih. Setidaknya ada lima fuqaha yang terkenal dan mempengaruhi pelaksanaan ibadah kaum Muslim.

Jafar Ash-Shadiq. Jafar Ash-Shadiq lahir 17 Rabiul Awwal 83 Hijriah (20 April 702 M) di Madinah. Ia adalah keturunan Rasulullah saw generasi kelima. Sejak kecil Jafar sudah mendapatkan tempaan ilmu agama di bawah bimbingan ayahnya, Muhammad Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abu Thalib.  Jafar hidup pada masa Dinasti Umayyah sedang mengalami kemunduran dan Dinasti Abbasiyah mulai berkuasa. Pada masa itu, Jafar dikenal sebagai ulama yang konsern dalam urusan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan.

Selain menguasai ilmu-ilmu Islam, Jafar juga menguasai ilmu kedokteran, kimia, matematika, dan lainnya. Kemuliaan akhlak dan ketinggian ilmunya itu mengantarkan Jafar menjadi tempat merujuk (marja taqlid) kaum Muslim saat mendapatkan masalah yang berkaitan dengan agama maupun lainnya. Majelisnya banyak didatangi orang untuk menimba ilmu maupun meminta jawaban atas berbagai persoalan yang dihadapi kaum Muslim. Sedikitnya ada empat ribu murid yang belajar kepada Jafar Ash-Shadiq, di antaranya Jabir bin Hayyan, Sufyan Ats-Tsauri, Sufyan bin Uyayna, dan Abu Hanifah.

Popularitas Jafar Ash-Shadiq di tengah kaum Muslim membuat penguasa Dinasti Abbasiyyah, Mansur Ad-Dawaniqi, merasa khawatir menjadi gerakan politik yang dapat meruntuhkan kekuasaannya. Karena itu, ia membuat rencana untuk mengenyahkannya. Bahkan, tindakan untuk menyingkirkannya telah dilakukan sebelumnya oleh penguasa sebelumnya, yaitu Abdul-Abbas Al-Saffah. Jafar Ash-Shadiq dipisahkan dari pengikutnya dengan membawanya ke Irak. Tidak lama kemudian dikembalikan lagi ke Madinah dan diawasi secara ketat, termasuk kepada keluarganya.

Semakin hari bertambah banyak pengikut Jafar Ash-Shadiq. Kekhawatiran penguasa terhadapnya berlanjut dengan memerintahkan Gubernur Madinah, Muhammad bin Suleima, untuk membunuhnya dengan menggunakan racun. Jafar Ash-Shadiq yang dikenal sebagai pendiri mazhab Ja`fari ini wafat pada 15 Syawal 148 H. (4 Desember 765) saat usia 65 tahun. Pemakamannya dipimpin putranya, Musa Al-Kazhim, di Jannat Al-Baqi, Madinah.

Abu Hanifah. Ia adalah keturunan Persia yang lahir pada 80 H./699 M. di Kufah. Lengkapnya bernama Nu’man bin Tsabit bin Zautha bin Maha. Ia terkenal dengan nama Abu Hanifah karena berasal dari desa Hanafi. Murid Jafar As-Shadiq ini hidup pada masa kekuasaan Yazid bin Hurairah Al-Fazzari, Gubernur Irak. Melihat kecemermelangan ilmu Abu Hanifah, Yazid pernah memintanya untuk menjadi ketua urusan perbendaharan negara (baitul maal), tetapi ditolaknya. Sampai berulang kali sampai Yazid menawarkan pangkat yang lebih tinggi dan ia tetap mentolaknya. Sikap tersebut membuat Yazid kecewa dan dianggapnya sebagai bentuk permusuhan terhadap pemerintah. Karena itu, Abu Hanifah ditangkap dan dimasukkan ke penjara selama dua pekan tanpa siksaan. Lima belas hari kemudian baru disiksa sebanyak empat belas kali pukulan dan setelah itu baru dibebaskan.

Beberapa hari sesudah itu, Gubernur Yazid menawarkan kepadanya menjadi qadi (hakim). Tawaran itu kembali ditolaknya. Akibatnya, Abu Hanifah ditangkap lagi dan dijatuhi hukuman dera sebanyak seratus sepuluh kali. Setiap hari didera sebanyak sepuluh kali pukulan. Namun, tetap saja tidak membuat pendirian Abu Hanifah goyah.

Bergantinya kekuasaan dari Dinasti Umayyah ke Dinasti Abbasiyah tidak membuat Abu Hanifah bebas dari siksaan. Seperti masa sebelumnya, penguasa Dinasti Abbasiyah pun menawarinya jabatan qadi.  Tolakan Abu Hanifah berlanjut lagi dengan penjara dan hukuman seratus kali dera. Abu Hanifah setiap pagi dipukul dengan cambuk dengan leher dikalungi rantai besi yang berat. Saking kesal terhadap Abu Hanafi, penguasa Dinasti Abbasiyah meracuninya sampai wafat.

Malik bin Anas. Abu 'Abdillah bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amr bin Al-Harits adalah pendiri mazhab Malikiyah. Malik bin Anas lahir pada 93 H. di Madinah. Ia mengambil sumber-sumber fiqih dari hadits yang diterimanya dari Nafi` bin Abu Nu'aim, Az-Zuhri, dan Nafi'. Ia banyak mempunyai murid dan beberapa di antarnya menjadi ulama ternama, seperti Al-Auza'iy, Sufyan Ats-Tsauri, Sufyan bin 'Uyainah, Ibnu Mubarak, dan Muhammad Idris Asy-Syafi'i. Malik terkenal sebagai ulama yang keras dalam mempertahankan pendapatnya. Ia pernah diadukan kepada Ja'far bin Sulaiman, penguasa Dinasti Abbasiyah, dengan tuduhan tidak menyetujui pembaiatan penguasa. Malik ditangkap dan disiksa dengan cambuk sebanyak tujuh puluh kali sampai ruas lengannya sebelah atas bergeser dari persendian pundaknya. Siksaan itu terjadi karena fatwa Malik tidak sesuai dengan keinginan penguasa. Karya Malik bin Anas yang terkenal adalah Al-Muwatta yang ditulisnya pada 144 H. Dalam kitabnya itu terdapat atsar Rasulullah saw, sahabat, dan tabi'in. Para ulama setelahnya banyak memberikan syarah (penjelasan) terhadap kitabnya, seperti 'Abil Walid dan Ad-Dahlawy. Malik bin Anas wafat pada 14 Rabi'ul Awwal 169 H. di Madinah dengan meninggalkan tiga putra: Yahya, Muhammad, dan Hammad.

Asy-Syafi`i. Asy-Syafi`i dikenal sebagai fuqaha yang banyak dirujuk umat Islam Indonesia dan Mesir. Lengkapnya bernama Abu Abdullah Muhammad bin Idris dan lahir di Gaza, Palestina, pada 150 H. Sejak masih bayi ia ditinggal wafat ayahnya dan dipelihara ibunya yang berasal dari Qabilah Azad dari Yaman. Ia tumbuh dalam kondisi miskin dan banyak mengalami penderitaan. Usia 2 tahun dibawa pindah oleh ibunya ke Makkah. Ibunya sendiri yang mengajarinya al-Quran sehingga usia 10 tahun sudah hafidz. Menginjak usia belasan, Asy-Syafi`i mempelajari ilmu agama di daerah Bani Hudzail, Kabilah yang paling fasih dalam berbahasa Arab di Makkah. Selama 17 tahun menetap di Bani Hudzail, ia banyak menghafal syair-syair, memahami sastra, dan sejarah Arab kuno. Saat belajar ini ia bertemu dengan Mas’ab bin Abdullah bin Zubair yang mengantarkannya menjadi seorang faqih ternama. Mas’ab bin Abdullah berkata, “Wahai Syafi’i, sungguh engkau fasih dalam berbahasa Arab dan cerdas, alangkah baiknya menguasai ilmu fiqih sebagai kepandaianmu.” Asy-Syafi’i bertanya, “Di mana aku harus belajar?” Masab bin Abdullah menjawab, “Pergilah ke Malik bin Anas.” Kemudian ia pergi ke Madinah menemui Malik bin Anas dan mempelajari kitab Al-Muwatta’ karya Malik bin Anas sampai berhasil melafalkan isinya tanpa melihat teks. Setelah itu, ia menimba ilmu ke Yaman, Baghdad, dan Mesir. Kemudian menyelesaikan karya tulis fiqih dan uhsul fikih, yaitu kitab Al-Umm. Akibat tekanan penguasa dan siksaan yang terus menderanya karena tidak mau kompromi dengan penguasa, ulama pendiri mazhab Syafi’i ini wafat pada Rajab 204 H. di Fisthath, Mesir.

Ahmad bin Hanbal. Lengkapnya bernam Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Ia dikenal sebagai fuqaha yang pendapatnya menjadi rujukan umat Islam Makkah, Arab Saudi. Ia lahir pada Rabi'ul Awwal 164 H dari rahim Shafiyyah binti Maimunah, ibunya. Pendidikan pertamanya di Baghdad, Irak. Ia belajar menghafal al-Quran dan ilmu-ilmu bahasa Arab. Kemudian berguru kepada Al-Qadhi Abu Yusuf, murid Abu Hanifah. Pada usia 16 tahun menulis hadits yang banyak dinukil dari Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim Al-Wasithy. Kemudian belajar ke Bashrah, Hijaz, dan Yaman. Di Hijaz ini ia berguru kepada Asy-Syafi'i. Ia menulis kitab Al-Musnad, Al-Manasik ash- Shaghir, Al-Manasik Al-Kabir, Az-Zuhud, Ar-Radd 'ala Jahmiyyah wa az-Zindiqiyyah, As-Shalah, As-Sunnah, Al-Wara' wa Al-Iman, Al-'Ilal wa Ar-Rijal, dan Fadhail Ash- Shahabah. Ahmad bin Hanbal pernah ditawari menjadi qadhi di Yaman oleh penguasa Dinasti Abbasiyah. Namun, tawaran itu ditolaknya karena pemerintah menetapkan Mut`tazilah sebagai mazhab resmi. Ketidaksetujuan terhadap pemikiran (teologi) Mu`tazilah mengantarkan Ahmad bin Hanbal ditangkap dan disiksa serta digiring ke Thursus dan dibawa kembali ke Baghdad untuk dipenjara dan dicambuk. Setelah lama mendekam dipenjara, ia dikembalikan ke rumahnya dalam keadaan tidak mampu berjalan. Bahkan, ia dilarang menyampaikan pelajaran agama di masjid maupun majelis ilmu. Pendiri mazhab Hanbali ini wafat pada 12 Rabiul Awwal 241 H. 

Begitu juga terdapat beberapa ulama fiqih yang termasuk penerus mazhab. Misalnya mazhab fiqih Hanafiyah terdapat tokoh fiqih seperti Abu Yusuf, Muhamad ibn Hasan Asy-SyaiDaulah, An-Nasafi, Az-Zaila’I, Al-Kamal, Al-Aini, An-Najim. Yang termasuk tokoh-tokoh mazhab Malikiyah adalah Abdurrahman ibn Al-Qasim, Abu Muhammad Abdillah Wahab, Khalil, Al-Ajhuri, Al-Kharasyi, Al-Adawi. Yang termasuk tokoh-tokoh mazhab Syafi’iyah adalah Ismail ibn Yahya Al-Muzani, Al-Buwaithi, Muhyiddin An-Nawawi, Taqiyyudin As-Subki, Zakariya Al-Anshari, Ibn Hajar Al-Haitami. Yang termasuk tokoh-tokoh mazhab Hanbaliyah adalah Ibn Taimiyyah, Ibn Qayyim Al-Jauziyyah. Ada pun yang termasuk tokoh-tokoh mazhab Jafariyah atau Syiah adalah Hassan ibn Mahbub, Ahmad ibn Ali Nasr Bazanti, Husain ibn Sa’id, Fa’di ibn Syathan, Yonis ibn Abdurrahman, Muhammad ibn Ya’qub Kulayni, ‘Ayasyi Samarqandi,Ibn Jamid Iskafi, Syaikh Mufid, Sayyid Murtadha, Syaikh Abu Jafar Tusi, Ibn Idris Hilli, Syaikh Abul Qasim Ja’far ibn Hasan ibn Yahya ibn Said Hilli (Muhaqqiq Hilli), ibn Hasan ibn Yusuf ibn Ali ibn Muthahhar Hilli (Allamah Hilli), Muhammad ibn Makki (Syahid awal), Syaikh Ali ibn Abul Ul Ala Karaki (Muhaqqiq Tsani), Syaikh Zainuddin (Syahid Atsani), Muhammad ibn Baqir ibn Muhammad Akmal Bahbahani (Wahid Bahbahani), Syaikh Murtadha Anshari, Hajji Mirza Muhammad Hasan Syirazi, Hajji Mirza Husein Naini, dan lainnya.

Selain mereka, terdapat ulama-ulama fiqih yang memiliki pemikiran keagamaan dan pengikut tersendiri. Beberapa mazhab fiqih yang terkenal menjadi besar dan banyak dianut berkat dukungan penguasa (kecuali mazhab Jafari yang selalu ditekan penguasa). Misalnya, mazhab Hanafi berkembang besar saat Abu Yusuf, murid Abu Hanifah, diangkat menjadi qadhi dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah (masa kekuasaan Al-Mahdi, Al-Hadi, dan Al-Rasyid). Mazhab Maliki berkembang karena Yahya bin Yahya, penerus Malik bin Anas, diangkat menjadi qadhi oleh para penguasa Islam di Andalusia (Spanyol). Di Afrika, penguasa mewajibkan umat Islam untuk mengikuti mazhab Malik bin Anas. Mazhab Syafi'i banyak dianut di Mesir karena penguasa Shalahuddin Al-Ayyubi menjadikannya sebagai mazhab resmi pemerintah. Begitu juga mazhab Hanbali dijadikan mazhab resmi Jazirah Arab, khususnya Arab Saudi.

Sementara mazhab fiqih lainnya (yang tidak terkenal) tidak muncul atau hilang karena tidak mampu berkoalisi dengan penguasa, seperti Ats-Tsuriyah, Uyaiynah, Al-Awza'iyah, Ath-Thabariyah, dan Azh- Zhahiriyah.  Mazhab Ats-Tsauri dipelopori Abu Abd Allah Sufyan bin Masruq Ats-Tsauri yang lahir di Kufah pada 65 H dan wafat di Bashrah pada 161 H. Mazhabnya tidak berkembang karena penguasa mengejar dan membunuh Ats-Tsauri yang enggan membaiat penguasa zamannya. Mazhab Uyaiynah dipelopori Abi Muhammad Sufyan bin Uyaiynah yang wafat 198 H. Uyaiynah belajar agama dan mengambil hadits dari Imam Jafar Ash-Shadiq, Az-Zuhry, Ibn Dinar, dan Abi Ishaq. Mazhab ini hilang karena tidak ada dukungan penguasa. 

Mazhab Al-Awza'iyah didirikan oleh Abd Ar-Rahman bin Amr Al-Awza'iy yang berasal dari Syam. Pada masa akhir Dinasti Umayyah dan awal kekuasaan Abbasiyah madzhabnya tersisihkan karena Muhammad bin Utsman dijadikan qadhi dan memutuskan hukum berdasarkan fiqih Syafi'i. Mazhab Ath-Thabari berasal dari Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid bin Ghalib Ath-Thabari. Ia lahir di Thabaristan pada 224 H dan wafat di Baghdad pada 310 H. Mazhab ini termasuk aliran fiqih Sunni yang berpendirian mandiri alias tidak mengikuti mazhab sebelumnya. Ketika Dinasti Abbasiyah berkuasa, mazhab ini dilarang diikuti kaum Muslim karena Ath-Thabari dianggap anti pemerintah oleh ulama yang merasa terkalahkan popularitasnya. Mazhab Azh-Zhahiri berasal dari Abu Sulayman Dawud bin Ali. Ia lahir di Kufah pada 202 H. dan menetap di Baghdad sampai tahun 270 H. Mazhab ini memahami nash agama secara harfiah sehingga disebut Azh-Zhahiriyah dan berkembang di kawasan Maroko. Di antara penerus mazhab ini adalah Ibnu Hazm yang bermukim di Andalusia.

Apabila telusuri dari sejarah Islam, banyak ulama yang konsern dalam bidang fiqih. Seperti Ibnu Rusyd, meski dikenal sebagai filsuf, ternyata juga seorang fuqaha yang berhasil menulis kitab Bidayatul Mujtahid yang sekarang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Begitu pula dua sufi besar Ibnu Arabi dan Sayyid Haidar Amuli melengkapi khazanah fiqih dengan tasawuf (sufisme) sehingga terhimpun kepaduan dimensi lahiriah dan batiniah agama. Sosok karismatik Ayatullah Ruhullah Musawwi Khomeini dari Iran pun melengkapi khazanah fiqih dengan penjelasan-penjelasan sufistik, rasional, dan modern. Hal ini terlihat dari tiga karyanya, yaitu Asrar Al-Shalah, Mi`raj As-Salikin wa Shalah Al-Arifin, dan Adab Al-Shalah. Bahkan di kalangan Syiah awal abad modern, ilmu fiqih ini telah melahirkan ulama-ulama mujtahid yang berperan sebagai marja taqlid, yang dirujuk oleh kaum Syiah.

Sampai sekarang—berdasarkan Wikipedia--diperkirakan lebih dari enam puluh empat marja taqlid, yang sebagian besar tinggal di Irak, Iran, Lebanon, dan lainnya. Marja taqlid ini menyusun kitab risalah amaliah (fiqih) dan menjawab pertanyaan yang diajukan para pengikutnya. Fatwa marja tersebut disusun dalam bentuk buku fatwa sehingga orang-orang Syiah yang menjadi pengikutnya bisa merujuk. Di antara marja taqlid yang terkenal adalah Muhammad Syirazi, Imam Khomeini, Sayid Abul Qasim Khui, Sayid Muhammad Husein Fadhlullah, Muhammad Baqir Shadr, Sayid Ali Sistani, Sayid Ali Khamenei, Syaikh Jafar Subhani, Syaikh Muhammad Nasir Makarim Syirazi, Syaikh Shafi Luthfullah Ghulpayghani, Ayatullah Husseini Nassab, Ayatullah Yusof Sanaa’i, Sayid Muhammad Said Al-Hakim, Sayid Kamal Haidary, Ayatullah Ibrahim Jannati, dan lainnya.  

Selain berkembang di Timur Tengah, di Indonesia muncul fiqih sosial dan perdagangan bebas yang digagas Ali Yafie[1] dan fiqih pemberdayaan umat (pengembangan dari zakat produktif) oleh Didin Hafiduddin. Ada pula fiqih lintas agama ditulis oleh Nurcholish Madjid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer, dan akademisi Universitas Paramadina Mulya Jakarta[2]yang membahas status kewarganegaraan non-Muslim dalam entitas politik Islam, status pajak non-Muslim, kawin beda agama, waris beda agama, memasuki tempat ibadah non-Muslim, berdoa bersama penganut agama lain, dan membolehkan mengucapkan salam kepada non-Muslim. Sedangkan masalah yang berkaitan dengan ibadah mahdhah seperti shalat, puasa, haji, dan lainnya tetap mengacu pada fiqih terdahulu. Tidak heran kalau umat Islam mandeg dan merasa cukup dengan mengekor pada mazhab yang sudah legal. Sudah pasti para ulama dan cendekiawan Islam perlu terus mengembangkan khazanah ilmu-ilmu Islam, terutama dalam rangka menjawab persoalan yang dihadapi umat pada setiap zamannya.

Perlu diketahui dan menjadi masalah adalah mengapa sampai terjadi perbedaan atau ikhtilaf? Jalaluddin Rakhmat menyebutkan ada tiga yang melatar belakangi terjadinya perbedaan pendapat dalam fiqih.[3]

Pertama adalah perbedaan penafsiran nash (al-quran dan al-hadis). Ketika Rasulullah saw hidup perbedaan dapat diatasi dan diselesaikan dengan baik. Setelah wafat, baru para sahabat dan tabiin meributkan kebenaran dari setiap yang dirujuk dan dijadikan dasar dalam ibadahnya. Dikarenakan sudah wafat, sebagian orang meminta penjelasan berkaitan dengan al-quran dan al-hadis kepada sahabat dan ada yang bertanya kepada Keluarga Nabi. Meski dari satu generasi, tetapi jawabannya ternyata berbeda. Kalangan fuqaha (ulama fiqih) juga demikian. Misalnya menafsirkan Surah Al-Maidah ayat 6, “Wahai orang-orang yang beriman; jika kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan usaplah kepalamu dan kedua kakimu sampai kedua mata kaki. ” Mazhab Jafari (Syiah Imamiyah atau Ahlulbait) mengartikan bahwa wudhu itu membasuh muka dan kedua tangan sampai sikut kemudian mengusap kepala dan kaki. Berapa kali jumlah basuhan dan usapan, itu yang kadang diperdebatkan. Kemudian apakah harus dengan air yang berbeda antara yang basuhan dan usapan, atau sisa air basuhan yang diusapkan pada kepala dan kaki. Harus dalam keadaan kering untuk kepala dan kaki, atau setengah basah (tidak terlalu kering). Ini yang kadang terjadi perbedaan di antara sesama ulama Syiah. Dalam mazhab Sunni biasanya tidak demikian penjelasannya. Basuhan paling banyak tiga kali untuk wajah atau muka, kedua tangan, dan kedua kaki. Sebelumnya mengusap kepala sebelum basuh kaki. Kemudian ada yang mengatakan dalam wudhu harus didahului dengan mencuci, telapak tangan, hidung, mulut, telinga, dan diakhiri doa. Ada juga dalam mazhab Sunni yang menyebutkan bahwa dalam setiap basuhan dan usapan anggota wudhu harus baca doa yang khusus. Bahkan, dalam menentukan batas muka dan rambut juga kadang berbeda-beda di antara mazhab fiqih Sunni: Syafii, Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Kemudian lanjutan dari ayat 6, “Jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air; maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” Menurut Abu Hanifah, ayat ini menjelaskan: musafir dan orang sakit, jika tidak menemukan air, wajib tayamum. Orang yang tidak bepergian dan sehat, jika tidak ada air, tidak berlaku tayamum dan tidak wajib baginya shalat.[4] Pendapat ini pernah dipraktikan Umar bin Khaththab, Ibnu Umar, dan Ibnu Mas’ud tentang seseorang yang junub dan tidak menemukan air. Ketiganya sepakat selama belum ada air untuk mandi besar, ia tidak boleh shalat. Mazhab Jafari dan Syafii menyatakan wajib tayamum dan shalat jika tidak ada air, baik dalam keadaan bepergian maupun tidak.

Kedua, perbedaan periwatan hadis atau faktor sejarah. Pada zaman Rasulullah saw para sahabat menerima hadis dan melihat langsung praktik ibadahnya. Rasulullah saw tidak hanya di masjid, juga kadang ke pasar atau di tengah masyarakat serta di rumah. Dalam keadaan demikian yang berbeda itu pastinya ada sahabat yang tidak mengetahui ucapan dan perilaku Nabi saat di pasar atau di rumah, bahkan tidak tahu kalau di pasar ada yang tanya tentang shalat dan lainnya. Memang ada sahabat yang mencatatnya. Namun, tidak semua catatan sahabat sama. Yang dicatat Aisyah dan Abu Bakar atau Ali pasti beda karena masing-masing menerima dan melihat dalam kondisi yang tidak bersamaan, juga kadang ada waktu bersama. Masing-masing yang mendengar dan melihat pasti akan beda dalam mencatatnya. Apalagi yang mendengar dari sahabat kemudian disampaikan lagi kepada yang lain, pasti ada yang kurang dari segi kalimat maupun isinya disingkat biar cepat tersampaikan. Selain faktor kondisi dan catatan yang tidak sama, juga persepsi para sahabat dan pemahaman yang berbeda serta kecerdasan yang tidak sama di antara sahabat. Kemudian muncul para pengambil hadis yang hadis-hadis itu kemudian disusun dengan standar yang tidak sama di antara ahli hadis. Tidak aneh kalau ada suatu ibadah yang dianggap tidak kuat sumbernya oleh ahli hadis yang satu, tetapi oleh yang lain dianggap kuat. Masalah penentuan sahabat Nabi juga masih terjadi perbedaan. Ada yang menyebutkan bahwa sahabat itu adalah orang Islam yang hidup bersama Nabi sejak dari Makkah sampai Madinah. Orang yang baru masuk Islam masa penaklukan Makkah juga masih kategori sahabat. Ada yang mengatakan bayi yang lahir beberapa hari menjelang wafat Nabi pun masih dianggap generasi sahabat. Penentuan standar sahabat ini yang kemudian menjadikan para ulama ada yang menolak sahabat untuk diambil hadisnya, menolak hadis dari mantan-mantan musuh Rasulullah saw yang kalah perang kemudian masuk Islam. Juga ada yang berani menolak hadis dari orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi. Ada ulama yang hanya mau menerima hadis dan riwayat dari keluarga dan keturunan Rasulullah saw. Bahkan, ada yang tidak mau menerima hadis dari sahabat dan istri Nabi yang setelah wafat Rasulullah saw melakukan tindakan yang tidak bermoral dan menyalahi aturan Nabi. 

Ketiga, perbedaan ushul fiqih. Yang ini berkaitan dengan metodologi dalam menyimpulkan sebuah hukum dari al-Quran atau hadis.[5] Di antara ulama dalam menganalisa hadis atau ayat yang kemudian hasilnya dalam bentuk hukum (wajib-haram-sunah/mustahab-makruh) akan beragam dan saling berbeda. Misalnya—mengambil contoh dari Ustadz Jalal[6] —bahwa ada sahabat melihat Rasulullah saw takbir tujuh dan lima dalam shalat Ied. Dari riwayat itu seorang ulama (fuqaha) bisa menyimpulkan bahwa yang dilakukan Nabi dalam shalat Ied adalah ketentuan agama sehingga wajib dilakukan takbir tujuh kali pada rakaat pertama kemudian lima kali saat rakaat kedua dalam shalat Ied. Ulama lain bisa memaknainya lain: bisa sunah. Kemudian contoh lain adalah riwayat tentang bejana yang dijilat anjing hendaknya dibasuh sampai tujuh kali. Ulama mazhab Zhahiri memahami bahwa kalau anjing menjilat tangan, kaki, baju atau lainnya selain dari bejana maka tidak apa-apa (karena yang disebutkan dalam riwayat adalah bejana). Sedangkan ulama mazhab lainnya yang rata-rata sepakat bahwa harus dicuci seperti yang terjadi pada bejana. Dalam al-Quran disebutkan bahwa daging babi haram dikonsumsi. Bagi mazhab Zhahiri (karena tercantum dalam ayat adalah daging babi) maka kulit, jantung, lemah (gajih), bulu, dan jeroan babi tidak haram. Bagi yang lain, babi dari mulai ekor sampai daging dan bulu dikategorikan haram. Satu lagi yang dapat dicontohkan adalah ayat yang menerangkan seseorang boleh tidak puasa Ramadhan kalau ia sedang sakit atau dalam perjalanan. Seorang tokoh mazhab Mutazilah pernah diketahui sedang makan dan minum siang hari. Ketika ditegur, ia mengatakan sedang sakit kepala sehingga boleh tidak puasa. Dalam ayat 184 surah al-Baqarah itu memang tidak dijelaskan jenis dan ukuran sakit atau jarak perjalanan yang membolehkan untuk tidak puasa. Yang menentukan jenis sakit dan jarak perjalanan yang menyebabkan bisa berbuka atau tetap puasa didasarkan penalaran seorang ulama. Hasil penalaran atau ijtihad itu kemudian menjadi panduan hukum buat orang-orang yang mejadi pengikutnya. Dengan hasil ijtihad itu kemudian kaum Muslim dan Muslimah menjalankan ibadah dan amal-amal Islam. Masing-masing ulama pasti berbeda dalam mengambil kesimpulan. Karena itu, perbedaan pendapat kemudian menjadi perbedaan mazhab merupakan sesuatu yang wajar. Meski berbeda masih berada dalam Islam karena berasal dari sumber yang sama. Tidak perlu khawatir dengan perbedaan karena itu bagian dari anugerah dan rahmat. Rasulullah saw menyatakan bahwa ikhtilaf (perbedaan pendapat) di antara umat Islam adalah rahmat. Akan menjadi laknat atau sesuatu yang buruk kalau sudah tidak ada lagi kesadaran untuk saling menghormati dan menghargai pendapat atau keyakinan yang dianut orang lain. Kalau sudah demikian, bukan hanya antara mazhab, bahkan dalam mazhab atau keluarga pun bisa pecah dan terjadi konflik. Kesadaran toleransi terhadap perbedaan bisa tumbuh kalau semua pihak berani untuk belajar dan mengenal langsung dari sumbernya serta tidak menaruh curiga atau benci. Kalau hanya sekadar kata orang lain yang tidak ahli atau bukan pemeluknya, bisa-bisa tidak benar atau ditambah-tambah. Jika begitu maka yang kita dapatkan bukan sesuatu yang benar, malah timbul kecurigaan yang kemudian berujung tidak mau menerima kehadiran orang lain yang berbeda mazhab dengan kita. Sadari bahwa yang dianut kita memang benar, tetapi yang dipeluk orang lain pun memiliki kemungkinan benar. Kalau pun ingin mengujinya maka harus masuk dalam lingkaran akademis dan dikaji dengan standar ilmiah.

Masalah perbedaan fiqih bisa tuntas dalam tataran individu, yaitu masing-masing mengikuti fikih yang dianutnya dalam melaksanakan ibadah ritual. Meski dalam tataran sosial akan terjadi bentrokan di antara individu satu sama lain yang berbeda fiqih maka akhlak menjadi jalan keluar untuk mendamaikan perbedaan fiqih. Semua manusia sepakat bahwa akhlak atau sikap serta perbuatan baik dan menghormati orang yang berbeda dengan tidak memaksakan pendapat dan membiarkan orang lain beribadah sesuai dengan fiqih yang dianutnya. Sikap inilah yang merupakan bagian dari akhlak Islam. Seseorang boleh memegang fiqih yang dianutnya, tetapi jangan pernah berniat untuk mengubah orang lain yang berbeda paham fiqih. Kalau sekadar ingin mengetahui dalil-dalil yang dipegang orang lain bisa dilakukan dengan mengkaji langsung pada kitab-kitab yang dijadikan rujukan dalam masalah fiqih atau ibadah. *** (ahmad sahidin, alumni uin sgd bandung)


[1] Prof.KH.Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial (Bandung: Mizan, 1994) dan Fiqih Perdagangan Bebas (Jakarta: Teraju, 2003).

[2] Nurcholish Madjid.et.al, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis. Editor: Mun'im A.Sirry (Jakarta:Yayasan Wakaf Paramadina, 2003).  

[3] Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif (Bandung: Mizan, 1998) h.232-239.

[4] Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif (Bandung: Mizan, 1998) h.234. 

[5] Ada persoalan dalam menentukan shahih tidaknya hadis. Bagi Muhammad Al-Ghazali dari Mesir, Fazlur Rahman dari Pakistan, dan Muhibbin Noor dari IAIN Walisongo Semarang-Indonesia menyatakan bahwa tidak seluruh kitab Bukhari itu shahih dan masih terdapat hadis-hadis yang bertentangan dengan al-Quran.

[6] Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif (Bandung: Mizan, 1998) h.237.