Sejarah umat Islam penuh dengan perbedaan dan perpecahan. Hal ini karena adanya pemahaman yang berbeda dalam memahami sumber-sumber ajaran Islam sehingga muncul ikhtilaf (perbedaan pendapat) di antara ulama, terutama generasi setelah para sahabat atau yang disebut kalangan tabiin dan tabiit tabiin. Dari generasi ini lahir orang-orang Islam yang memahami ajaran Islam secara rasional, tekstual, dan yang menggabungkan keduanya. Dalam hal ini lahir disiplin ilmu, yang dikenal dengan istilah Ilmu Kalam atau teologi[1] (dikenal juga dengan pemahaman tentang aqidah Islam).
Menariknya, di antara para teolog (mutakalimin) terjadi saling menuduh kafir,
murtad, dan zindiq (ateis) terhadap lawannya. Dari persoalan kafir mengkafirkan
atau caci maki itu berlanjut dengan pertumpahan darah sehingga wajar bila Imam
Asy-Syafii, Imam Sufyan Ats-Suri, Imam Malik bin Anas, dan Imam Ahmad bin
Hanbal, tidak mewajibkan teologi dipelajari oleh umat Islam.[2]
Ada pula ulama yang menganjurkan agar mempelajarinya. Salah satunya adalah Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (w.1111
M.) yang berpendapat bahwa hukum mempelajari teologi itu mengandung aspek mashlahat dan madharat. Aspek madharat
mempelajari teologi adalah dikhawatirkan terjerumus dalam syirik, kufur, bid`ah,
menggoyahkan keimanan, dan menyebabkan umat Islam terpecah-pecah ke dalam firqah-firqah
(mazhab-mazhab), fanatik terhadap kelompoknya, dan menciptakan kebencian
terhadap kelompok yang berbeda.
Sementara
sisi mashlahat dalam mempelajari aqidah (teologi Islam) adalah seorang
Muslim akan lebih mengenal hakikat ajaran-ajaran Islam, menguatkan keimanan
kepada Allah dan dapat menemukan kejelasan terhadap suatu masalah yang
berkaitan dengan ketuhanan maupun persoalan lainnya. Dengan mempelajarinya maka seorang Muslim bisa membedakan antara yang
benar (haqq) dan yang sesat (bathil).[3]
Menurut
Muhammad Amin Abdullah, kaum Muslim dianjurkan untuk mengenal dan memahami
teologi Islam. Sebab disiplin ini merupakan bagian dari Ilmu-ilmu Islam (ulum
al-Islam) yang seharusnya dikuasai oleh kaum Muslim karena isinya
menyangkut pokok-pokok atau dasar-dasar ajaran Islam.
Pendapat Amin Abdullah
bisa dibenarkan karena kalau melihat arti teologi itu sendiri berkaitan dengan doktrin keimanan kepada
Tuhan. Kata teologi berasal dari kata theos (Tuhan) dan kata logos
(Ilmu) dan kalau diartikan “teologi” adalah ilmu yang mengkaji
tentang ketuhanan.
Istilah
teologi awalnya beredar dikalangan Nasrani (Kristen) yang disebut sebagai doktrin
ketuhanan Kristen dan bagian dari ilmu filsafat yang membahas tentang filsafat
agama dan metafisika. Namun kemudian diserap kalangan intelektual Muslim modern
seperti Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, Harun Nasution, dan Nurcholish Madjid,
yang disamakan dengan akidah atau ilmu kalam karena membahas tentang keimanan dan ketuhanan serta dasar-dasar pokok
agama.
Menurut Ahmad
Gibson Al-Busthomi, istilah kalam atau teologi mulai populer dan menjadi
wacana Islam pada masa Al-Ma`mun menjadi penguasa Dinasti Abbasiyah yang banyak
mengagumi khazanah filsafat Yunani dan pemikiran-pemikiran teologi Mu`tazilah.[4]
Disebut ilmu Kalam karena pada masa itu para ulama banyak mempersoalkan tentang makna dan
isi dari kalam Allah (wahyu) sehingga melahirkan pemahaman yang berbeda-beda
dan terbentuklah mazhab atau aliran-aliran aqidah (teologi Islam). Dalam
sejarah, aliran-aliran aqidah Islam lahir akibat konflik politik dan pembelaan
dari cap kafir, kufur, murtad, dan zindiq yang disampaikan
lawannya.
Muhammad bin
Abdul Karim Ahmad Al-Syahrastani menyebutkan ada empat pokok bahasan yang
dikaji para mutakalim (teolog Muslim) klasik. Pertama berkenaan dengan permasalahan sifat-sifat
dan keesaan Allah dalam hubungannya dengan sifat-sifat tersebut. Termasuk
membahas masalah qadim (kekal) dan tidaknya Allah, yang mungkin dan
tidak bagi Allah, mengenai yang wajib dan tidak mungkin bagi Allah. Kedua adalah membahas hal-hal yang berkaitan
dengan qadha, qadar, iradah, keadilan Tuhan, ketetapan dan takdir Allah, jabr dan kasb, kehendak Tuhan
terhadap perbuatan baik dan buruk yang dilakukan manusia. Ketiga, yang
dibahas para ulama waktu itu berkenaan dengan persoalan janji dan acaman Allah,
al-asma wa al-ahkam. Hal ini meliputi persoalan iman, tobat, ancaman,
penangguhan hukuman, kategori kafir dan sesat. Keempat adalah berkaitan
dengan persoalan wahyu, akal, nubuwwah (kenabian), dan imamah
(kepemimpinan), kebaikan dan kejahatan, yang baik dan yang terbaik, ke-ma`sum-an
para nabi, syarat-syarat pemimpin Islam, cara pemindahan atau pelimpahan
kekuasaan, dan konsesus umat (ijma).[5] Melihat dari pokok bahasan tersebut maka kedudukan aqidah (teologi) dalam
ilmu-ilmu Islam sangat menentukan keyakinan seorang Muslim dalam keimanannya
kepada Allah. Apabila seorang Muslim tidak paham inti dari teologi Islam,
bisa-bisa terjerumus dalam aliran pemikiran atau pemahaman Islam yang
menyimpang, bahkan sesat. Karenanya, para ulama atau cendekiawan Muslim menyusun,
mengarahkan, memberi muatan materi, dan metodologi kajiannya.
Upaya tersebut telah diawali oleh Muhammad bin Abdul Karim Ahmad Al-Syahrastani, seorang
teolog dan sejarahwan yang hidup di Persia pada paruh pertama abad ke-6 H./12
M., menulis kitab Al-Milal wa Al-Nihal.[6]
Ada juga ulama terdahulu seperti Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud
Al-Maturidy Al-Samarqandy yang menulis kitab Al-Tauhid; Al-Imam Abi
Al-Hasan bin Ismail Al-Asyari (w. 330 H.) menulis kitab Maqalat
Al-Islamiyyin wa Ikhtilaf Al-Mushallin; Abdul Jabbar bin Ahmad menulis
kitab Syarh Al-Ushul Al-Khamsah; Imam Al-Thahawiyah menulis kitab Syarh
Al-Aqidah Al-Thahawiyah;[7]
dan Harun Nasution menulis teologi Islam dengan pendekatan kritis.[8]
Pada masa sekarang ini wacana teologi telah mengalami perkembangan yang cukup
pesat. Para cendekiawan Muslim modern tampak sudah mulai melakukan kajian dan
penafsiran teologi yang lebih mendalam dan kontekstual serta bersifat kritis
dan ilmiah. Tentu saja coraknya berbeda dengan teologi Islam yang berkembang
pada zaman klasik dan pertengahan Islam, terutama pada pokok bahasan dan karya
yang dihasilkannya.[9]
Dalam wacana
pemikiran aqidah (teologi Islam) klasik yang dibahas adalah persoalan yang
berhubungan dengan ketuhanan, keimanan, takdir, dosa, kafir, kufur, imamah,
khalifah, dan perbuatan-perbuatan manusia. Sejarah mengisahkan pada masa klasik
Islam (setelah masa khulafa rasyidun) muncul aliran-aliran Islam seperti Syiah,
Khawarij, Qadariyah, Jabariyah, Murjiah, Asyariah, Mutazilah, Maturidiyah, dan
Ahlussunah wa Jamaah.
Sementara
pemahaman teologi Islam yang berkembang pada abad pertengahan cenderung melakukan
kombinasi antara khazanah ilmu-ilmu Islam dengan wawasan filsafat Yunani dan
mistisme Islam—dalam satu wadah yang disebut teosofi Islam. Sebut saja
Ibnu Arabi, Abdul Karim Al-Jilli, Abu Yazid Al-Busthami, Abu Mansur Al-Hallaj,
Ar-Razi, Siti Jenar, Suharawardi Al-Maqtul, Mulla Shadra, Hamzah Fansuri,
Syamsuddin As-Sumatrani, Yusuf Al-Maqasari, Hasan Mustapa, dan lainnya. Mereka
yang mengembangkan pemikiran aqidah (teologi) menjadi bernuansa sufistik dan filosofis. Mereka tidak hanya mengkaji, tetapi juga mengajarkan bagaimana cara mencapai
hakikat kesempurnaan hidup dan dekat kepada Allah.
Pada masa modern ini, teologi Islam perkembangannya terlihat
dari upaya mewujudkan ajaran Islam dalam konteks praktis
sehingga Islam menjadi solusi atas masalah yang dihadapi umat. Di antara tokoh-tokoh yang berupaya mewujudkan
ajaran Islam dengan konteks modern adalah Muhammad Abduh, Jamaluddin
Al-Afghani, Muhammad Iqbal, Muhammad Ali Jinnah, Muhammad Rasyid Ridha, Yusuf
Qardhawi, Ayatullah Imam Khomeini, Muhammad Yunus, Farid Essack, Nurcholish
Madjid, Jalaluddin Rakhmat, dan lainnya. *** (ahmad sahidin, alumni uin sgd bandung)
[1]
Teologi berasal dari dua kata: theos dan logos, yang artinya ilmu yang
berkaitan dengan ketuhanan; yang menguraikan keyakinan dan keimanan (aqidah)
atau dasar-dasar agama dalam Islam (ushuludin).
[2] Mengenai hukum mempelajari
Ilmu Kalam dan pendapat para ulama Sunni bisa dilihat dalam Muhammad Al-Ghazali
dan Murtadha Muthahhari, Agar Kita Tidak Sesat: Menyikapi Maraknya Aliran Sesat
di Indonesia (Bandung: Pustaka Hidayah, 2008) h 30-36.
[3] Sesat dalam bahasa Inggris, yaitu ‘heresy’ yang
berasal dari bahasa Yunani,‘hairesis’, yang artinya memilih atau pilihan
keyakinan atau faksi dari pemeluk yang melawan. Dalam istilah bahasa Arab,
sesat diistilahkan dengan ‘bid`ah’ yang berarti sebuah perbuatan atau
ajaran yang tidak ada dalam Al-Quran dan tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad
saw. Secara umum, bid'ah diartikan membuat sesuatu yang baru dan
disandarkan pada perkara agama/ibadah). Syaikh Ibnu Taimiyah menyebutkan, bi`dah
dalam agama Islam adalah perkara yang Allah dan rasul-Nya tidak syariatkan.
Begitupun dengan mereka yang meyakini adanya Nabi setelah Muhammad saw,
termasuk kategori sesat.
[4] Mengenai asal mula munculnya
istilah ‘Kalam’ yang diperdebatkan para teolog Muslim bisa dilihat pada artikel
Ahmad Gibson Al-Busthomi, “Kalam Allah: Analisis Sintetik terhadap
Pemikiran tentang Keqadiman dan kemakhlukkan Kalam Allah” dalam situs http://hhmsociety.multiply.com.
[5] Lihat Muhammad bin Abdul
Karim Ahmad Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal: Aliran-Aliran
Teologi Dalam Islam (Bandung: Mizan, 2004). Hal. 34-35.
[6] Buku ini telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia oleh Syuaidi Asy`ari dan diterbitkan Penerbit Mizan,
Bandung. Cetakan 1, Januari 2004/ Dzulqa`dah 1424 H.
[7] Dr.H.Abuddin Nata, MA, Metodologi
Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999) h.222-232.
[8] Prof.Dr.Harun Nasution, Teologi
Islam, Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press,
1986) cCetakan ke-V.
[9] Informasi mengenai teologi
Islam ini berasal dari Ahmad Gibson Al-Busthomi—mantan Ketua Jurusan
Aqidah dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung—dalam
sebuah diskusi kecil di kampus. Perlu diketahui, pemakaian istilah teologi
Islam klasik dan teologi Islam kontemporer yang terdapat dalam buku ini merujuk
pada pembabakan sejarah: klasik, pertengahan, modern, dan kontemporer
(masa/zaman yang sedang dijalani/kekinian).