Hadirnya agama Islam tidak hanya berwajah kesalehan, tetapi juga berwajah pemikiran atau filsafat. Sejarah mencatat banyak filsuf lahir dan karya-karyanya mengantarkan Barat memperoleh kemajuan. Beberapa cendekiawan Barat mengakui bahwa karya-karya kaum Muslim telah berperan sebagai jembatan dan menginspirasi kemajuan bangsa Barat, khususnya dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Anehnya, sebagian kaum Muslim masih ada yang enggan mengakui filsafat sebagai bagian dari khazanah Islam. Mereka menilai filsafat berbahaya karena dapat menggoyahkan keimanan, bahkan menjadi ateis.
Kekhawatiran
tersebut lahir dari niat baik untuk memurnikan umat Islam dari unsur-unsur yang
tidak Islami atau yang tidak sesuai dengan nash Islam. Dengan sinis dan
tanpa menyeledikinya terlebih dahulu, mereka langsung melontarkan cap negatif
dan tidak segan-segan menyiksa dan menghukum mati filsuf dan sufi. Misalnya
Suhrawardi Al-Maqtul, Abu Mansur Al-Hallaj, Ayn Qudat Al-Hamadzani, Syaikh Siti
Jenar, dan lainnya telah menjadi korban.
Alih-alih
ditumpas, malah semakin bermunculan para intelektual Muslim yang mengembangkan
khazanah filsafat Islam, khususnya di Dunia Muslim Syi`ah. Sedangkan di Dunia
Muslim Sunni, terutama pada abad pertengahan, filsafat dan teologi sempat
mandeg setelah Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyyah menghabisinya serta para fuqaha
mengeluarkan larangan mempelajari filsafat. Sebaliknya, para ulama Syi`ah malah
menganjurkan untuk melakukan kajian-kajian yang bersifat kritis dan filosofis.
Para ulama Syi`ah sendiri banyak yang menjadi filsuf dan melahirkan karya-karya
monumental, seperti Imam Ja`far Ash-Shadiq, Nashruddin Ath-Thusi, Mulla Shadra,
Muhammad Husain Thabathabai`, Imam Khomeini, Muhammad Baqir Ash-Shadr, Murtadha
Muthahhari, Mehdi Hairi Yazdi, Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, dan lainnya.
Tuduhan
lainnya yang sering terlontar, terutama dari orientalis Barat, adalah filsafat
Islam tidak lain merupakan filsafat Yunani (Barat) yang ditulis dalam bahasa
Arab atau yang diIslamkan. Tuduhan seperti ini sulit diterima karena masalah
pengaruh dari kebudayaan sebelumnya adalah lumrah terjadi pada semua peradaban.
Para
filsuf Muslim tidak menjiplak dengan serta merta, tetapi justru menyempurnakan
khazanah menjadi lebih mendalam dan jelas alur pemikirannya. Contohnya aliran
filsafat emanasi (peripatetik) yang dikembangkan Al-Farabi dan Ibnu Sina
melebihi filsafat emanasi Plotinus dan melahirkan filsafat kenabian, serta ilmu
kedokteran dan sains yang sebelumnya tidak dibicarakan dalam filsafat Yunani.
Dalam
filsafat Islam terdapat pemaduan antara agama dan filsafat (wahyu dan akal)
yang biasanya bagi kalangan ilmuwan Barat dianggap mustahil dan saling bertolak
belakang. Sejarah renaisans Barat membuktikan bagaimana konflik antara agama
dan filsafat (ilmu) terjadi sampai banyak filsuf dan ilmuwan yang menjadi
korban.
Dalam
sejarah Islam memang pernah ada konflik, tetapi itu terjadi karena adanya
hasutan dari orang yang tidak senang terhadap ketenaran seorang filsuf atau
kekhawatiran penguasa yang berlebihan. Karena itu, opini dan karya yang bernada
menggugat paham resmi negara dinilai sebagai upaya provokasi untuk
menghancurkan penguasa. Alasan politis lebih dominan dalam beberapa tragedi
yang terjadi dalam sejarah Islam ketimbang alasan pemikiran atau paham
keagamaan.
Memang
para pemikir Islam kontemporer masih memperdebatkan tentang penamaan filsafat
Islam. Ada yang tetap mempertahankannya dan ada pula yang menggugatnya. Menurut
yang menggugat, penamaannya seharusnya disesuaikan dengan letak geografis para
filsuf itu sendiri, seperti filsafat Arab, filsafat Iran, filsafat Andalusia,
atau filsafat Indonesia. Jelas ini menampakkan lokalitas dan menghilangkan
universalisme Islam. Alasan universalisme Islam ini kemudian dipertahankan
untuk penamaan pemikiran-pemikiran filosofis yang dikembangkan kaum Muslim di
mana pun letak geografisnya.
Secara
umum filsafat Islam terbagi dalam beberapa aliran, yaitu teologi dialektik (ilmu
kalam), peripatetisme (masysya`iyyah), illuminisme (israqiyyah),
sufisme (irfan), dan filsafat hikmah (hikmah muta`aliyah).
Metode
yang digunakan teologi dan peripatetisme sama bersifat deduktif-silogistik
sehingga dikenal dengan istilah Aristotelianisme. Mereka yang termasuk dalam
aliran ini adalah Washil bin Atha, Al-Juwaini, Hasan Al-Bashri, Ibnu Sina,
Al-Farabi, Ibnu Bajjah (wafat 533 H./ 1138 M.), Ibnu Thufail (wafat 581 H./
1185 M.) dan Ibnu Rusyd (520-595 H./1126-1198 M.) dan lainnya. Yang menonjol
dalam aliran peripatetik adalah rasionalitas dan teori emanasi dalam
menjelaskan kosmologi.
Menurut
teori emanasi yang dikembangkan Al-Farabi (870-950 M.), wujud Allah sebagai
suatu wujud Akal Mutlak menghasilkan Akal Pertama sebagai hasil “proses”
berpikir-Nya. Selanjutnya, Akal Pertama ini berpikir tentang Allah dan lahirlah
Akal Kedua. Begitulah hingga lahir Akal Kesepuluh sebagai akal terakhir dan
terendah dalam tingkatan-tingkatan wujud di alam immaterial; yang dalam
al-Quran disebut alam al-amr bahwa“ruh
itu termasuk amr Rabb-ku” (QS.al-Isra [17]: 85). Dalam proses
berpikirnya akal-akal tersebut menghasilkan terciptanya jiwa, planet (langit),
bintang-bintang, bulan, dan bumi.[1]
Emanasi
versi Ibnu Sina tingkatannya sama seperti di atas, hanya penggunaan istilahnya
yang berbeda. Al-Farabi dan Ibnu Sina sepakat bahwa dari pancaran akhir (al-`aql al-`asyir atau intelek ke-10/wahib
al-shuwar) ini lahir jiwa makhluk-makhluk dunia seperti al-nafs
al-nabatiyyah (tumbuhan), al-nafs al-hayawaniyyah (hewan) dan jiwa
manusia yang berpikir (al-nafs al-nathiqah).[2]
Metode
iluminisme dikembangkan oleh Syihabudin Suhrawardi Al-Maqtul (1154-1191 M.) dan
sufisme oleh Ibnu Arabi (1165-1240 M.). Kedua aliran ini sama didasarkan pada
pengetahuan yang dihasilkan tanpa harus merumuskan silogisme, tetapi dengan
mengalami sesuatu secara langsung. Alat yang digunakannya adalah hati (qalb,
ruh). Bedanya, pengetahuan iluminisme bisa diungkapkan dengan bahasa
diskursif-logis; sedangkan sufisme hanya dirasakan dan diketahui pelakunya.
Menurut
Suhrawardi, ada pencari kebenaran: kaum sufi yang memiliki pengalaman mistik,
tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk mengungkapkannya secara diskursif;
filsuf yang memiliki kecakapan nalar diskursif, tetapi tidak memiliki
pengalaman mistik; dan mereka yang memiliki pengalaman mistik dan mampu dalam
mengungkapkannya dengan bahasa diskursif. Suhrawardi ermasuk dalam kategori
yang terakhir. Ia mendapatkan pencerahan melalui pengalaman intuitif dan
kebenarannya teruji dengan bahasa diskursif yang bersifat rasional.[3]
Pemikiran
yang terkenal dari Suhrawardi adalah konsep cahaya. Menurut Suhrawardi, semua
wujud yang ada (maujud) bermula dari prinsip utama tunggal yang disebut
Cahaya Absolut pertama (Nur Al-Anwar), yaitu Tuhan. Ia adalah sumber
dari segala cahaya dan semua cahaya yang ada di alam ini berasal dari-Nya.
Cahaya-Nya pula yang menjadi sumber dari segala gerak yang menjadi pangkal
terbentuknya kenyataan yang ada.
Pancaran
Cahaya Absolut pertama jumlahnya tidak terbatas dan bertingkat-tingkat dan
terus memancar dengan tingkatan yang semakin menjauh dari sumber cahaya.[4] Jumlah yang tidak
terbatas ini karena benda-benda angkasa dan materi yang ada di langit dan bumi
tidak terbatas. Semakin banyak kandungan cahaya atau semakin dekat dengan
sumber cahaya maka semakin tinggi derajatnya.[5]
Manusia
lebih mulia ketimbang hewan karena memiliki cahaya yang lebih besar. Unsur
kegelapan yang lebih banyak diterima hewan menjadikan derajatnya lebih rendah
dari manusia. Besar dan kecilnya cahaya yang diterima manusia tergantung dari
kesungguhannya dalam mendekati sumber cahaya (Allah). Apabila tidak berupaya
mendekat atau malah menghindar maka kegelapan yang akan memenuhinya. Karena
itu, wajar jika ada manusia yang perilakunya lebih dari hewan.[6]
Menurut
Suhrawardi, ada dua jenis cahaya. Pertama adalah cahaya murni (nur mujarrad).
Cahaya ini adalah cahaya yang tidak menjadi atribut bagi sesuatu selain dari
dirinya sendiri. Ia adalah cahaya asli yang tidak tercampur pada sesuatu yang
lain. Dari cahaya ini lahir berbagai bentuk cahaya. Cahaya ini tiada lain
adalah Tuhan. Kedua adalah cahaya aksiden (nur al-`arid). Yakni cahaya
yang mempunyai bentuk dan mampu menjadi atribut selain dirinya. Atau bisa juga
disebut cahaya yang dapat dilihat (dengan indera penglihatan), seperti sinar
bintang, bulan, matahari, atau benda-benda angkasa dan materi yang ada di alam
semesta.[7]
Dari
penjelasan tersebut, tampaknya Suhrawardi menolak gagasan kesamaan Tuhan dengan
alam semesta. Tuhan dan alam semesta berbeda, ibarat lampu dan sinarnya. Lampu
adalah sumber cahaya dan sinar adalah yang dihasilkan lampu.
Dalam
mengembangkan pemikirannya, Suhrawardi melakukannya dengan tiga tahapan. Tahap
pertama adalah menyucikan diri dalam jangka waktu yang lama sambil merenungkan
segala yang berkaitan dengan Tuhan, diri sendiri, alam semesta, dan lainnya.
Dari
perenungan tersebut akan mendapatkan pengalaman spiritual dalam bentuk ilham
atau kilatan pengetahuan. Selanjutnya, memasuki tahap kedua. Yakni melakukan
analisa dan pencarian bukti dan sebab akibat, memilah dan menguraikan apa yang
telah didapat dari perenungan tersebut. Setelah mendapatkan hasil (pengetahuan)
dari proses tahap pertama dan kedua, mulai melakukan tahap ketiga, yaitu
menuliskan pengetahuan tersebut dengan baik dan sistematis.
Metodologi
filsafat Suhrawardi merupakan kombinasi antara hikmah dzawqiyyah
(sufisme) dan hikmah bahtsiyah (peripatetisme). Melalui penyatuan
epistemologi, Suhrawardi berusaha mengenali dan memunculkan apa yang ada di
dalam diri (pengetahuan yang hadir melalui diri sendiri).
Pengetahuan
ini menuntut subjek yang mengetahui benda berada dalam posisi tempat
pengetahuan tersebut memahami benda secara langsung; dengan cara menghubungkan
pandangannya sebagai suatu pertemuan aktual antara (subjek) yang melihat dan
(objek) yang dilihat atau terlihat sehingga diperoleh pengetahuan atas hubungan
di antara keduanya. Karena itu, menurut Suhrawardi, sesuatu yang terlihat tidak
memerlukan definisi karena bentuk dari sesuatu yang ada dalam pikiran adalah
sama bentuknya dalam persepsi indera (empiris).[8] Artinya, untuk
memperoleh pengetahuan harus membangun relasi kesatuan antara subjek dan objek.
Karena itu, keterpisahan dalam realitas menjadi hilang digantikan dengan
kesatuan (di antara keduanya) yang menghadirkan suatu pengetahuan yang mencerahkan
bagi dirinya dan melalui dirinya. Begitulah proses lahirnya pengetahuan dalam
filsafat iluminasi Suhrawardi Al-Maqtul.
Metode
filsafat hikmah yang dikembangkan oleh Sadr al-Din Muhammad al-Syirazi
(979-1050 H) atau Mulla Shadra adalah kombinasi teologi Syiah, peripatetisme (masysya`iyyah),
illuminisme (israqiyyah), dan sufisme (irfan). Keempatnya
disatukan dalam wadah yang disebutnya al-hikmah al-muta’aliyah. Menurut Shadra, metode rasional-filosofis
tidak bisa berdiri secara terpisah dari metode penyucian hati (tazkiyatun
qalb) dan begitu pula sebaliknya; keduanya saling membutuhkan untuk
memperoleh makrifat dan pengetahuan.
Dalam
menguraikan filsafatnya, Shadra menggunakan empat prinsip dasar.[9]Prinsip pertama
adalah wahdat al-wujud. Menurut Shadra, wujud merupakan realitas tunggal
yang memiliki intensitas gradasi dan tingkatan-tingkatan. Contohnya ada wujud
Allah, wujud manusia, wujud pohon, dan seterusnya. Semua itu satu wujud
(realitas), tetapi berbeda tingkat intensitas perwujudannya. Allah merupakan
wujud yang bersifat tunggal yang mencakup seluruh entitas dan ciptaan yang
disebut ‘sesuatu’. Meskipun wujud itu beragam, tetapi hakikatnya satu. Meskipun
wujud itu satu, tidak berarti bahwa semua wujud itu sama karena ada wujud yang bergantung
dan ada yang berdiri sendiri. Di sinilah letak perbedaan wujud Allah dengan
keragaman wujud lainnya.
Prinsip
kedua adalah tasykik al-wujud. Merupakan kelanjutan dari yang
pertama. Menurut Shadra, manifestasi wujud yang hadir adalah satu. Meski satu,
dilihat dari segi tingkat kekuatan, kedalaman dan kelemahan, manifestasi
wujud-wujud itu dalam realitasnya berbeda-beda. Misalnya, wujud Allah berbeda
dengan wujud manusia, wujud hewan, dan lainnya. Kemampuan wujud dalam
memanifestasikan dirinya melalui beragam corak dan keragaman dalam realitas
itulah yang disebut tasykik al-wujud.
Shadra
meyakini bahwa wujud-wujud eksternal yang bergantung pada wujud yang berdiri
sendiri merupakan sistematika dari sebuah hakikat. Atau bisa dibahasakan bahwa
yang menjadi keragamannya adalah keseragamannya; dan keseragamannya adalah
keragamannya yang bersumber dari satu genus yang disebut tasykik al-wujud
(gradasi wujud). Contohnya, cahaya matahari lebih kuat dari cahaya bulan;
cahaya bulan lebih kuat dari cahaya bintang; cahaya bintang lebih kuat dari
cahaya lampu; dan cahaya lampu lebih kuat dari cahaya kunang-kunang. Dengan
keragaman cahaya yang ada, dari sisi intensitas dan frekuensi, ia seragam dalam
sebutan cahaya.
Prinsip
ketiga adalah ashalat al-wujud. Shadra memilih wujud sebagai yang sejati
daripada mahiyyah (kuiditas).[10] Pilihannya itu
didasarkan dengan alasan bahwa setiap mahiyyah berbeda dari kuiditas
yang lain, seperti mahiyyah pohon berbeda secara total dari mahiyyah
kehijauan. Masing-masing mahiyyah tidak memiliki sesuatu yang sama
sehingga diperlukan satu realitas dasar untuk menggabungkan berbagai mahiyyah
yang berbeda. Realitas dasar ini adalah wujud, bukan mahiyyah; karena
setiap mahiyyah adalah qua (tanpa wujud dan tidak memiliki efek)
dan yang memiliki efek itu hanyalah wujud.
Perinsip
keempat adalah harakat al-jauhariyah yang diartikan gerakan substansial
atau perubahan bertahap sejalan dengan perputaran
waktu. Menurut Shadra, perubahan yang terjadi tidak terbatas pada kategori
aksiden, tetapi juga terjadi pada kategori
substansi. Jika substansi benda tidak berubah maka keadaan-keadaan,
sifat-sifat, dan aksiden-aksidennya tidak mungkin berubah. Gerakan substansial
ini bisa dimaknai bahwa substansi (mahiyyah) dan seluruh aksiden
mengalami gerak yang terus-menerus, tanpa ada henti-hentinya dan
tidak ada satu benda pun yang bersifat stagnan
di alam semesta ini.[11] Semua substansi
dan benda terus berubah-ubah sedemikian rupa sehingga seluruh alam fisik ini
senantiasa berada dalam proses gerak yang bersifat menyempurna.
Tentang
gerakan substansial ini Shadra mengambil contoh pada proses kejadian manusia dalam surat
Al-Mukminun [23] ayat 12-14, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu
saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani
(yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami
jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging,
dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu
Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk)
lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.”
Shadra
menjelaskan bahwa
setelah manusia lahir ke dunia, ia tidak berhenti di dunia saja dan akan terus bergerak
maju ke alam kubur dan akhirat.
Bahkan, gerak perjalanan hidup
manusia pun mengalami tahapan-tahapan dan
prosesnya berjalan secara terus-menerus (berkesinambungan) menuju pada wujud
yang sempurna (Allah Yang Mahasempurna).
Menurut
Shadra, seseorang yang ingin menjadi manusia sempurna harus mengenali Allah dan
sifat-sifat-Nya. Ada tiga konsep yang berkaitan dengan Allah.[12] Pertama,
hakikat Allah tidak bisa dibuktikan dengan sesuatu apapun atau sesuatu yang
lain, karena diri-Nya telah menjadi bukti bagi adanya segala sesuatu. Karena
itu, bukti adanya Allah itu hanya dibuktikan oleh diri-Nya sendiri. Dialah
wujud yang absolut dan tunggal. Kedua, Allah merupakan wujud murni. Ia
tidak memiliki mahiyyah di samping wujud-Nya. Wujud-Nya menjadi sebab
itu sendiri; Ia murni dan satu-satunya yang mengandung realitas. Ketiga,
Keesaan Allah. Keesaan Allah tidak dapat diketahui kecuali melalui Allah
sendiri karena hanya Dia yang tahu tentang diri-Nya.
Tentang
sifat-sifat Allah, Shadra membagi pada tiga bagian. Pertama, haqiqiyah
kamaliyah adalah sifat-sifat hakiki sempurna seperti kemurahan, kekuasaan,
dan pengetahuan, yang bukan tambahan bagi zat-Nya. Kedua, salbiyah mahdhah
adalah sifat negasi murni seperti kekudusan, ketunggalan, keazalian, dan
sebagainya yang berpangkal pada penyifatan dengan sifat-sifat kekurangan.
Ketiga, idhafiyah mahdhah adalah sifat-sifat penisbatan murni seperti
pencipta pertama, pencipta dari ketiadaan, pencipta, dan lainnya; yang
merupakan tambahan pada zat-Nya, yang mengikutinya dan mengikuti apa yang
dengan sifat-sifat itu dinisbatkan pada zat-Nya.[13]
Konsep
lainnya yang dibahas Shadra adalah al-bada` dan al-ma`ad. Menurut
Shadra, al-bada` merupakan
sebuah konsep perubahan yang berkaitan dengan
ketentuan dan kehendak (atau takdir) Allah. Shadra juga membedakan antara qadha
dan qadar. Qadha diartikan oleh Shadra sebagai kehendak dan
pengetahuan abadi yang tidak dapat diubah—yang dalam Al-Quran digambarkan
dengan istilah “Pena”, “Lembaran Tersembunyi”, “Induk Semua Kitab”—yang berada
dalam pengetahuan Allah. Sedangkan qadar
merupakan suatu ketentuan yang telah diukur, dibatasi, tidak abadi serta bisa
berubah-ubah; karena berada dalam lingkup kehidupan makhluk-makhluk Allah
seperti manusia, alam, binatang, tumbuhan dan lainnya.[14]
Sementara
al-ma`ad, oleh Shadra dimaknai sebagai tempat kembalinya sesuatu kepada
yang sebelumnya (al-mabda); kembalinya sesuatu kepada penyatuan setelah
keterpisahan melalui kematian kepada kehidupan, atau kembalinya ruh kepada
tubuh setelah terpisah. Al-ma`ad dalam ajaran Islam merupakan hal yang penting
karena menyangkut keyakinan terhadap bukti dan janji kebenaran Allah
serta tentang adanya kebangkitan setelah mati dan
pertanggungjawaban makhluk atas segala aktivitasnya di dunia.
Mulla
Shadra dalam kitab Al-Hikmah Al-Muta`aliyah Fi Al-Asfar Al-Aqliyyat
Al-Arba`ah menerangkan bahwa al-ma`ad merupakan bagian dari perjalanan ruhani yang
harus dilewati setiap manusia yang ingin mencapai kesempurnaan.
Shadra
menggambarkannya dalam empat tahap perjalanan ruhani, yaitu (1) Perjalanan
dari makhluk menuju Allah. Pada tingkat ini, perjalanan yang dilakukan
adalah dengan mengangkat hijab kegelapan dan hijab cahaya yang membatasi antara
seorang hamba dengan Tuhannya. Karena itu, seorang penempuh jalan ruhani (salik)
harus melewati stasiun jiwa, qalb, ruh dan maqsad al-aqsa.
Pada tahap ini perjalanan ruhani baru dimulai dari pelepasan diri dan bergabung
menuju Tuhan; (2) Perjalanan bersama Tuhan di dalam Tuhan. Pada tahap
ini seorang penempuh jalan ruhani memulai tahap kewaliannya, karena wujudnya
telah menjadi diri-Nya dan dengan itu dia melakukan penyempurnaan dalam nama-nama
agung Tuhan; (3) Perjalanan dari Tuhan menuju makhluk bersama Tuhan.
Dalam tahap ini seseorang menempuh perjalanan dalam perbuatan Tuhan, kesadaran
Tuhan telah menjadi kesadarannya dan menempuh perjalanan di antara alam Jabarut,
Malakut dan Nasut serta menyaksikan segala sesuatu yang ada pada
alam tersebut melalui pandangan Tuhan; (4) Perjalanan dari makhluk menuju
makhluk bersama Tuhan. Tahap ini adalah perjalanan penyaksian seluruh
makhluk dan apa yang terjadi padanya di dunia dan akhirat serta mengetahui
perjalanan kembali menuju Allah dan bentuk kembalinya; serta azab dan nikmat
yang akan diberikan Allah.[15]
[1] Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam
(Bandung: Mizan, 2006) h.116-120.
[2] Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam
(Bandung: Mizan, 2006) h..122.
[3] Mulyadhi Kartanegara, “Aliran
Iluminasionis (Isyrâqiyah)” dalam www.icas-indonesia.org.
[4]
Amroeni Drajat, Filsafat Iluminasi (Jakata: Riora Cipta, 2001) h.l.55-75.
[5] Dalam
khazanah sufi, seseorang yang mencapai hakikat cahaya Ilahi harus meniti
tangga-tangga spiritual seperti tobat, zuhud, ridha, mahabbah,
tawakal, muraqabatullah, dan terakhir maqam syauq (kerinduan).
[6]
Pernyataan tersebut sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-Araf [7] ayat
179, “Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk kebanyakan dari jin dan manusia, mereka
mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami dan mereka
mempunyai mata tidak dipergunakannya
untuk melihat , dan mereka mempunyai telinga
tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu sebagai hewan
(binatang) ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang
yang lalai.”
[7]
Amroeni Drajat, Filsafat Iluminasi (Jakata: Riora Cipta, 2001) h.75.
[8] Inilah yang disebutkan dalam hadits qudsi, “Aku
(Allah) sesuai dengan apa yang persepsikan (sangka)”. Jadi, menurut
filsafat iluminisme, Tuhan yang ada dalam persepsi manusia adalah realitas yang
sesungguhnya.
[9] Teori Shadra ini penulis kutip dari tulisan “Para
Filosof Bertutur Lagi (2)” dalam situs http://www.wisdoms4all.com,
artikel Muh. Adlani, “Kearifan Puncak” pada situs http://telagahikmah.org, dan buku Filsafat Mulla Shadra
karya Dr.Syaifan Nur (Jakarta: Teraju, 2003) bagian filsafat wujud.
[10] Mahiyyah (kuiditas) merupakan prinsip dasar dalam
pemikiran hikmah Israqiyah filsuf Suhrawardi Al-Maqtul yang hidup
sebelum Mulla Shadra.
[11] Murtadha Muthahhari, Filsafat Hikmah: Pengantar
Pemikiran Shadra (Bandung: Mizan, 2002) h.97.
[12] Fazlur Rahman, Filsafat Shadra (Bandung: Pustaka
ITB, 2000) h.165-166.
[13] Mulla Shadra, Teosofi Islam (Bandung: Pustaka
Hidayah, 2005) h.62-63.
[14] Mulla Shadra, Teosofi Islam (Bandung: Pustaka Hidayah,
2005) h.243-244.
[15] Disadur dari ringkasan
Disertasi “Pandangan Eskatologi Mulla Sadra” karya Dr.Khalid Al-Walid
(Program S-3 Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).