Senin, 23 Oktober 2023

Filsafat Islam

Hadirnya agama Islam tidak hanya berwajah kesalehan, tetapi juga berwajah pemikiran atau filsafat. Sejarah mencatat banyak filsuf lahir dan karya-karyanya mengantarkan Barat memperoleh kemajuan. Beberapa cendekiawan Barat mengakui bahwa karya-karya kaum Muslim telah berperan sebagai jembatan dan menginspirasi kemajuan bangsa Barat, khususnya dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Anehnya, sebagian kaum Muslim masih ada yang enggan mengakui filsafat sebagai bagian dari khazanah Islam. Mereka menilai filsafat berbahaya karena dapat menggoyahkan keimanan, bahkan menjadi ateis. 

Kekhawatiran tersebut lahir dari niat baik untuk memurnikan umat Islam dari unsur-unsur yang tidak Islami atau yang tidak sesuai dengan nash Islam. Dengan sinis dan tanpa menyeledikinya terlebih dahulu, mereka langsung melontarkan cap negatif dan tidak segan-segan menyiksa dan menghukum mati filsuf dan sufi. Misalnya Suhrawardi Al-Maqtul, Abu Mansur Al-Hallaj, Ayn Qudat Al-Hamadzani, Syaikh Siti Jenar, dan lainnya telah menjadi korban.

Alih-alih ditumpas, malah semakin bermunculan para intelektual Muslim yang mengembangkan khazanah filsafat Islam, khususnya di Dunia Muslim Syi`ah. Sedangkan di Dunia Muslim Sunni, terutama pada abad pertengahan, filsafat dan teologi sempat mandeg setelah Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyyah menghabisinya serta para fuqaha mengeluarkan larangan mempelajari filsafat. Sebaliknya, para ulama Syi`ah malah menganjurkan untuk melakukan kajian-kajian yang bersifat kritis dan filosofis. Para ulama Syi`ah sendiri banyak yang menjadi filsuf dan melahirkan karya-karya monumental, seperti Imam Ja`far Ash-Shadiq, Nashruddin Ath-Thusi, Mulla Shadra, Muhammad Husain Thabathabai`, Imam Khomeini, Muhammad Baqir Ash-Shadr, Murtadha Muthahhari, Mehdi Hairi Yazdi, Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, dan lainnya.

Tuduhan lainnya yang sering terlontar, terutama dari orientalis Barat, adalah filsafat Islam tidak lain merupakan filsafat Yunani (Barat) yang ditulis dalam bahasa Arab atau yang diIslamkan. Tuduhan seperti ini sulit diterima karena masalah pengaruh dari kebudayaan sebelumnya adalah lumrah terjadi pada semua peradaban.

Para filsuf Muslim tidak menjiplak dengan serta merta, tetapi justru menyempurnakan khazanah menjadi lebih mendalam dan jelas alur pemikirannya. Contohnya aliran filsafat emanasi (peripatetik) yang dikembangkan Al-Farabi dan Ibnu Sina melebihi filsafat emanasi Plotinus dan melahirkan filsafat kenabian, serta ilmu kedokteran dan sains yang sebelumnya tidak dibicarakan dalam filsafat Yunani.

Dalam filsafat Islam terdapat pemaduan antara agama dan filsafat (wahyu dan akal) yang biasanya bagi kalangan ilmuwan Barat dianggap mustahil dan saling bertolak belakang. Sejarah renaisans Barat membuktikan bagaimana konflik antara agama dan filsafat (ilmu) terjadi sampai banyak filsuf dan ilmuwan yang menjadi korban.

Dalam sejarah Islam memang pernah ada konflik, tetapi itu terjadi karena adanya hasutan dari orang yang tidak senang terhadap ketenaran seorang filsuf atau kekhawatiran penguasa yang berlebihan. Karena itu, opini dan karya yang bernada menggugat paham resmi negara dinilai sebagai upaya provokasi untuk menghancurkan penguasa. Alasan politis lebih dominan dalam beberapa tragedi yang terjadi dalam sejarah Islam ketimbang alasan pemikiran atau paham keagamaan.

Memang para pemikir Islam kontemporer masih memperdebatkan tentang penamaan filsafat Islam. Ada yang tetap mempertahankannya dan ada pula yang menggugatnya. Menurut yang menggugat, penamaannya seharusnya disesuaikan dengan letak geografis para filsuf itu sendiri, seperti filsafat Arab, filsafat Iran, filsafat Andalusia, atau filsafat Indonesia. Jelas ini menampakkan lokalitas dan menghilangkan universalisme Islam. Alasan universalisme Islam ini kemudian dipertahankan untuk penamaan pemikiran-pemikiran filosofis yang dikembangkan kaum Muslim di mana pun letak geografisnya.

Secara umum filsafat Islam terbagi dalam beberapa aliran, yaitu teologi dialektik (ilmu kalam), peripatetisme (masysya`iyyah), illuminisme (israqiyyah), sufisme (irfan), dan filsafat hikmah (hikmah muta`aliyah).

Metode yang digunakan teologi dan peripatetisme sama bersifat deduktif-silogistik sehingga dikenal dengan istilah Aristotelianisme. Mereka yang termasuk dalam aliran ini adalah Washil bin Atha, Al-Juwaini, Hasan Al-Bashri, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Bajjah (wafat 533 H./ 1138 M.), Ibnu Thufail (wafat 581 H./ 1185 M.) dan Ibnu Rusyd (520-595 H./1126-1198 M.) dan lainnya. Yang menonjol dalam aliran peripatetik adalah rasionalitas dan teori emanasi dalam menjelaskan kosmologi.

Menurut teori emanasi yang dikembangkan Al-Farabi (870-950 M.), wujud Allah sebagai suatu wujud Akal Mutlak menghasilkan Akal Pertama sebagai hasil “proses” berpikir-Nya. Selanjutnya, Akal Pertama ini berpikir tentang Allah dan lahirlah Akal Kedua. Begitulah hingga lahir Akal Kesepuluh sebagai akal terakhir dan terendah dalam tingkatan-tingkatan wujud di alam immaterial; yang dalam al-Quran disebut alam al-amr bahwa“ruh itu termasuk amr Rabb-ku” (QS.al-Isra [17]: 85). Dalam proses berpikirnya akal-akal tersebut menghasilkan terciptanya jiwa, planet (langit), bintang-bintang, bulan, dan bumi.[1]

Emanasi versi Ibnu Sina tingkatannya sama seperti di atas, hanya penggunaan istilahnya yang berbeda. Al-Farabi dan Ibnu Sina sepakat bahwa dari pancaran akhir  (al-`aql al-`asyir atau intelek ke-10/wahib al-shuwar) ini lahir jiwa makhluk-makhluk dunia seperti al-nafs al-nabatiyyah (tumbuhan), al-nafs al-hayawaniyyah (hewan) dan jiwa manusia yang berpikir (al-nafs al-nathiqah).[2] 

Metode iluminisme dikembangkan oleh Syihabudin Suhrawardi Al-Maqtul (1154-1191 M.) dan sufisme oleh Ibnu Arabi (1165-1240 M.). Kedua aliran ini sama didasarkan pada pengetahuan yang dihasilkan tanpa harus merumuskan silogisme, tetapi dengan mengalami sesuatu secara langsung. Alat yang digunakannya adalah hati (qalb, ruh). Bedanya, pengetahuan iluminisme bisa diungkapkan dengan bahasa diskursif-logis; sedangkan sufisme hanya dirasakan dan diketahui pelakunya.

Menurut Suhrawardi, ada pencari kebenaran: kaum sufi yang memiliki pengalaman mistik, tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk mengungkapkannya secara diskursif; filsuf yang memiliki kecakapan nalar diskursif, tetapi tidak memiliki pengalaman mistik; dan mereka yang memiliki pengalaman mistik dan mampu dalam mengungkapkannya dengan bahasa diskursif. Suhrawardi ermasuk dalam kategori yang terakhir. Ia mendapatkan pencerahan melalui pengalaman intuitif dan kebenarannya teruji dengan bahasa diskursif yang bersifat rasional.[3]

Pemikiran yang terkenal dari Suhrawardi adalah konsep cahaya. Menurut Suhrawardi, semua wujud yang ada (maujud) bermula dari prinsip utama tunggal yang disebut Cahaya Absolut pertama (Nur Al-Anwar), yaitu Tuhan. Ia adalah sumber dari segala cahaya dan semua cahaya yang ada di alam ini berasal dari-Nya. Cahaya-Nya pula yang menjadi sumber dari segala gerak yang menjadi pangkal terbentuknya kenyataan yang ada.

Pancaran Cahaya Absolut pertama jumlahnya tidak terbatas dan bertingkat-tingkat dan terus memancar dengan tingkatan yang semakin menjauh dari sumber cahaya.[4] Jumlah yang tidak terbatas ini karena benda-benda angkasa dan materi yang ada di langit dan bumi tidak terbatas. Semakin banyak kandungan cahaya atau semakin dekat dengan sumber cahaya maka semakin tinggi derajatnya.[5]

Manusia lebih mulia ketimbang hewan karena memiliki cahaya yang lebih besar. Unsur kegelapan yang lebih banyak diterima hewan menjadikan derajatnya lebih rendah dari manusia. Besar dan kecilnya cahaya yang diterima manusia tergantung dari kesungguhannya dalam mendekati sumber cahaya (Allah). Apabila tidak berupaya mendekat atau malah menghindar maka kegelapan yang akan memenuhinya. Karena itu, wajar jika ada manusia yang perilakunya lebih dari hewan.[6]   

Menurut Suhrawardi, ada dua jenis cahaya. Pertama adalah cahaya murni (nur mujarrad). Cahaya ini adalah cahaya yang tidak menjadi atribut bagi sesuatu selain dari dirinya sendiri. Ia adalah cahaya asli yang tidak tercampur pada sesuatu yang lain. Dari cahaya ini lahir berbagai bentuk cahaya. Cahaya ini tiada lain adalah Tuhan. Kedua adalah cahaya aksiden (nur al-`arid). Yakni cahaya yang mempunyai bentuk dan mampu menjadi atribut selain dirinya. Atau bisa juga disebut cahaya yang dapat dilihat (dengan indera penglihatan), seperti sinar bintang, bulan, matahari, atau benda-benda angkasa dan materi yang ada di alam semesta.[7] 

Dari penjelasan tersebut, tampaknya Suhrawardi menolak gagasan kesamaan Tuhan dengan alam semesta. Tuhan dan alam semesta berbeda, ibarat lampu dan sinarnya. Lampu adalah sumber cahaya dan sinar adalah yang dihasilkan lampu.    

Dalam mengembangkan pemikirannya, Suhrawardi melakukannya dengan tiga tahapan. Tahap pertama adalah menyucikan diri dalam jangka waktu yang lama sambil merenungkan segala yang berkaitan dengan Tuhan, diri sendiri, alam semesta, dan lainnya.

Dari perenungan tersebut akan mendapatkan pengalaman spiritual dalam bentuk ilham atau kilatan pengetahuan. Selanjutnya, memasuki tahap kedua. Yakni melakukan analisa dan pencarian bukti dan sebab akibat, memilah dan menguraikan apa yang telah didapat dari perenungan tersebut. Setelah mendapatkan hasil (pengetahuan) dari proses tahap pertama dan kedua, mulai melakukan tahap ketiga, yaitu menuliskan pengetahuan tersebut dengan baik dan sistematis.

Metodologi filsafat Suhrawardi merupakan kombinasi antara hikmah dzawqiyyah (sufisme) dan hikmah bahtsiyah (peripatetisme). Melalui penyatuan epistemologi, Suhrawardi berusaha mengenali dan memunculkan apa yang ada di dalam diri (pengetahuan yang hadir melalui diri sendiri).

Pengetahuan ini menuntut subjek yang mengetahui benda berada dalam posisi tempat pengetahuan tersebut memahami benda secara langsung; dengan cara menghubungkan pandangannya sebagai suatu pertemuan aktual antara (subjek) yang melihat dan (objek) yang dilihat atau terlihat sehingga diperoleh pengetahuan atas hubungan di antara keduanya. Karena itu, menurut Suhrawardi, sesuatu yang terlihat tidak memerlukan definisi karena bentuk dari sesuatu yang ada dalam pikiran adalah sama bentuknya dalam persepsi indera (empiris).[8] Artinya, untuk memperoleh pengetahuan harus membangun relasi kesatuan antara subjek dan objek. Karena itu, keterpisahan dalam realitas menjadi hilang digantikan dengan kesatuan (di antara keduanya) yang menghadirkan suatu pengetahuan yang mencerahkan bagi dirinya dan melalui dirinya. Begitulah proses lahirnya pengetahuan dalam filsafat iluminasi Suhrawardi Al-Maqtul. 

Metode filsafat hikmah yang dikembangkan oleh Sadr al-Din Muhammad al-Syirazi (979-1050 H) atau Mulla Shadra adalah kombinasi teologi Syiah, peripatetisme (masysya`iyyah), illuminisme (israqiyyah), dan sufisme (irfan). Keempatnya disatukan dalam wadah yang disebutnya al-hikmah al-muta’aliyah.  Menurut Shadra, metode rasional-filosofis tidak bisa berdiri secara terpisah dari metode penyucian hati (tazkiyatun qalb) dan begitu pula sebaliknya; keduanya saling membutuhkan untuk memperoleh makrifat dan pengetahuan.

Dalam menguraikan filsafatnya, Shadra menggunakan empat prinsip dasar.[9]Prinsip pertama adalah wahdat al-wujud. Menurut Shadra, wujud merupakan realitas tunggal yang memiliki intensitas gradasi dan tingkatan-tingkatan. Contohnya ada wujud Allah, wujud manusia, wujud pohon, dan seterusnya. Semua itu satu wujud (realitas), tetapi berbeda tingkat intensitas perwujudannya. Allah merupakan wujud yang bersifat tunggal yang mencakup seluruh entitas dan ciptaan yang disebut ‘sesuatu’. Meskipun wujud itu beragam, tetapi hakikatnya satu. Meskipun wujud itu satu, tidak berarti bahwa semua wujud itu sama karena ada wujud yang bergantung dan ada yang berdiri sendiri. Di sinilah letak perbedaan wujud Allah dengan keragaman wujud lainnya. 

Prinsip kedua adalah tasykik al-wujud. Merupakan kelanjutan dari yang pertama. Menurut Shadra, manifestasi wujud yang hadir adalah satu. Meski satu, dilihat dari segi tingkat kekuatan, kedalaman dan kelemahan, manifestasi wujud-wujud itu dalam realitasnya berbeda-beda. Misalnya, wujud Allah berbeda dengan wujud manusia, wujud hewan, dan lainnya. Kemampuan wujud dalam memanifestasikan dirinya melalui beragam corak dan keragaman dalam realitas itulah yang disebut tasykik al-wujud.

Shadra meyakini bahwa wujud-wujud eksternal yang bergantung pada wujud yang berdiri sendiri merupakan sistematika dari sebuah hakikat. Atau bisa dibahasakan bahwa yang menjadi keragamannya adalah keseragamannya; dan keseragamannya adalah keragamannya yang bersumber dari satu genus yang disebut tasykik al-wujud (gradasi wujud). Contohnya, cahaya matahari lebih kuat dari cahaya bulan; cahaya bulan lebih kuat dari cahaya bintang; cahaya bintang lebih kuat dari cahaya lampu; dan cahaya lampu lebih kuat dari cahaya kunang-kunang. Dengan keragaman cahaya yang ada, dari sisi intensitas dan frekuensi, ia seragam dalam sebutan cahaya.

Prinsip ketiga adalah ashalat al-wujud. Shadra memilih wujud sebagai yang sejati daripada mahiyyah (kuiditas).[10] Pilihannya itu didasarkan dengan alasan bahwa setiap mahiyyah berbeda dari kuiditas yang lain, seperti mahiyyah pohon berbeda secara total dari mahiyyah kehijauan. Masing-masing mahiyyah tidak memiliki sesuatu yang sama sehingga diperlukan satu realitas dasar untuk menggabungkan berbagai mahiyyah yang berbeda. Realitas dasar ini adalah wujud, bukan mahiyyah; karena setiap mahiyyah adalah qua (tanpa wujud dan tidak memiliki efek) dan yang memiliki efek itu hanyalah wujud.

Perinsip keempat adalah harakat al-jauhariyah yang diartikan gerakan substansial atau perubahan bertahap sejalan dengan perputaran waktu. Menurut Shadra, perubahan yang terjadi tidak terbatas pada kategori aksiden, tetapi juga terjadi pada kategori substansi. Jika substansi benda tidak berubah maka keadaan-keadaan, sifat-sifat, dan aksiden-aksidennya tidak mungkin berubah. Gerakan substansial ini bisa dimaknai bahwa substansi (mahiyyah) dan seluruh aksiden mengalami gerak yang terus-menerus, tanpa ada henti-hentinya dan tidak ada satu benda pun yang bersifat stagnan di alam semesta ini.[11] Semua substansi dan benda terus berubah-ubah sedemikian rupa sehingga seluruh alam fisik ini senantiasa berada dalam proses gerak yang bersifat menyempurna.

Tentang gerakan substansial ini Shadra mengambil contoh pada proses kejadian manusia dalam surat Al-Mukminun [23] ayat 12-14, Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.

Shadra menjelaskan bahwa setelah manusia lahir ke dunia, ia tidak berhenti di dunia saja dan akan terus bergerak maju ke alam kubur dan akhirat. Bahkan, gerak perjalanan hidup manusia pun mengalami tahapan-tahapan dan prosesnya berjalan secara terus-menerus (berkesinambungan) menuju pada wujud yang sempurna (Allah Yang Mahasempurna).

Menurut Shadra, seseorang yang ingin menjadi manusia sempurna harus mengenali Allah dan sifat-sifat-Nya. Ada tiga konsep yang berkaitan dengan Allah.[12] Pertama, hakikat Allah tidak bisa dibuktikan dengan sesuatu apapun atau sesuatu yang lain, karena diri-Nya telah menjadi bukti bagi adanya segala sesuatu. Karena itu, bukti adanya Allah itu hanya dibuktikan oleh diri-Nya sendiri. Dialah wujud yang absolut dan tunggal. Kedua, Allah merupakan wujud murni. Ia tidak memiliki mahiyyah di samping wujud-Nya. Wujud-Nya menjadi sebab itu sendiri; Ia murni dan satu-satunya yang mengandung realitas. Ketiga, Keesaan Allah. Keesaan Allah tidak dapat diketahui kecuali melalui Allah sendiri karena hanya Dia yang tahu tentang diri-Nya.

Tentang sifat-sifat Allah, Shadra membagi pada tiga bagian. Pertama, haqiqiyah kamaliyah adalah sifat-sifat hakiki sempurna seperti kemurahan, kekuasaan, dan pengetahuan, yang bukan tambahan bagi zat-Nya. Kedua, salbiyah mahdhah adalah sifat negasi murni seperti kekudusan, ketunggalan, keazalian, dan sebagainya yang berpangkal pada penyifatan dengan sifat-sifat kekurangan. Ketiga, idhafiyah mahdhah adalah sifat-sifat penisbatan murni seperti pencipta pertama, pencipta dari ketiadaan, pencipta, dan lainnya; yang merupakan tambahan pada zat-Nya, yang mengikutinya dan mengikuti apa yang dengan sifat-sifat itu dinisbatkan pada zat-Nya.[13]

Konsep lainnya yang dibahas Shadra adalah al-bada` dan al-ma`ad. Menurut Shadra, al-bada` merupakan sebuah konsep perubahan yang berkaitan dengan ketentuan dan kehendak (atau takdir) Allah. Shadra juga membedakan antara qadha dan qadar. Qadha diartikan oleh Shadra sebagai kehendak dan pengetahuan abadi yang tidak dapat diubah—yang dalam Al-Quran digambarkan dengan istilah “Pena”, “Lembaran Tersembunyi”, “Induk Semua Kitab”—yang berada dalam pengetahuan Allah.  Sedangkan qadar merupakan suatu ketentuan yang telah diukur, dibatasi, tidak abadi serta bisa berubah-ubah; karena berada dalam lingkup kehidupan makhluk-makhluk Allah seperti manusia, alam, binatang, tumbuhan dan lainnya.[14]

Sementara al-ma`ad, oleh Shadra dimaknai sebagai tempat kembalinya sesuatu kepada yang sebelumnya (al-mabda); kembalinya sesuatu kepada penyatuan setelah keterpisahan melalui kematian kepada kehidupan, atau kembalinya ruh kepada tubuh setelah terpisah. Al-ma`ad dalam ajaran Islam merupakan hal yang penting karena menyangkut keyakinan terhadap bukti dan janji kebenaran Allah serta tentang adanya kebangkitan setelah mati dan pertanggungjawaban makhluk atas segala aktivitasnya di dunia.

Mulla Shadra dalam kitab Al-Hikmah Al-Muta`aliyah Fi Al-Asfar Al-Aqliyyat Al-Arba`ah menerangkan bahwa al-ma`ad  merupakan bagian dari perjalanan ruhani yang harus dilewati setiap manusia yang ingin mencapai kesempurnaan.

Shadra menggambarkannya dalam empat tahap perjalanan ruhani, yaitu (1) Perjalanan dari makhluk menuju Allah. Pada tingkat ini, perjalanan yang dilakukan adalah dengan mengangkat hijab kegelapan dan hijab cahaya yang membatasi antara seorang hamba dengan Tuhannya. Karena itu, seorang penempuh jalan ruhani (salik) harus melewati stasiun jiwa, qalb, ruh dan maqsad al-aqsa. Pada tahap ini perjalanan ruhani baru dimulai dari pelepasan diri dan bergabung menuju Tuhan; (2) Perjalanan bersama Tuhan di dalam Tuhan. Pada tahap ini seorang penempuh jalan ruhani memulai tahap kewaliannya, karena wujudnya telah menjadi diri-Nya dan dengan itu dia melakukan penyempurnaan dalam nama-nama agung Tuhan; (3) Perjalanan dari Tuhan menuju makhluk bersama Tuhan. Dalam tahap ini seseorang menempuh perjalanan dalam perbuatan Tuhan, kesadaran Tuhan telah menjadi kesadarannya dan menempuh perjalanan di antara alam Jabarut, Malakut dan Nasut serta menyaksikan segala sesuatu yang ada pada alam tersebut melalui pandangan Tuhan; (4) Perjalanan dari makhluk menuju makhluk bersama Tuhan. Tahap ini adalah perjalanan penyaksian seluruh makhluk dan apa yang terjadi padanya di dunia dan akhirat serta mengetahui perjalanan kembali menuju Allah dan bentuk kembalinya; serta azab dan nikmat yang akan diberikan Allah.[15]

Setelah Shadra, khazanah filsafat Islam dikembangkan oleh Abd al-Razzak Lahiji, Mulla Muhsin Al-Faidh Al-Kasyani, Sayyid Muhammad Husein Thabathabatai`, Imam Khomeini, Murtadha Muthahhari, Muhammad Baqir Shadr, Mehdi Hairi Yazdi, dan Muhammad Taqi Misbah Yazdi, dan lainnya. *** (ahmad sahidin, alumni uin sgd bandung)


[1] Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2006) h.116-120.

[2] Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2006) h..122.

[3] Mulyadhi Kartanegara, “Aliran Iluminasionis (Isyrâqiyah)” dalam www.icas-indonesia.org.

[4] Amroeni Drajat, Filsafat Iluminasi (Jakata: Riora Cipta, 2001) h.l.55-75.

[5] Dalam khazanah sufi, seseorang yang mencapai hakikat cahaya Ilahi harus meniti tangga-tangga spiritual seperti tobat, zuhud, ridha, mahabbah, tawakal, muraqabatullah, dan terakhir maqam syauq (kerinduan).

[6] Pernyataan tersebut sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-Araf [7] ayat 179, Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami dan mereka mempunyai mata  tidak dipergunakannya untuk melihat , dan mereka mempunyai telinga  tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu sebagai hewan (binatang) ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”

[7] Amroeni Drajat, Filsafat Iluminasi (Jakata: Riora Cipta, 2001) h.75.

[8] Inilah yang disebutkan dalam hadits qudsi, “Aku (Allah) sesuai dengan apa yang persepsikan (sangka)”. Jadi, menurut filsafat iluminisme, Tuhan yang ada dalam persepsi manusia adalah realitas yang sesungguhnya. 

[9] Teori Shadra ini penulis kutip dari tulisan “Para Filosof Bertutur Lagi (2)” dalam situs http://www.wisdoms4all.com, artikel Muh. Adlani, “Kearifan Puncak” pada situs http://telagahikmah.org, dan buku Filsafat Mulla Shadra karya Dr.Syaifan Nur (Jakarta: Teraju, 2003) bagian filsafat wujud.

[10] Mahiyyah (kuiditas) merupakan prinsip dasar dalam pemikiran hikmah Israqiyah filsuf Suhrawardi Al-Maqtul yang hidup sebelum Mulla Shadra.

[11] Murtadha Muthahhari, Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Shadra (Bandung: Mizan, 2002) h.97.

[12] Fazlur Rahman, Filsafat Shadra (Bandung: Pustaka ITB, 2000) h.165-166.

[13] Mulla Shadra, Teosofi Islam (Bandung: Pustaka Hidayah, 2005) h.62-63.

[14] Mulla Shadra, Teosofi Islam (Bandung: Pustaka Hidayah, 2005) h.243-244.

[15] Disadur dari ringkasan  Disertasi “Pandangan Eskatologi Mulla Sadra” karya Dr.Khalid Al-Walid (Program S-3 Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).