Minggu, 29 Oktober 2023

Tasawuf (Mistisisme Islam)

Dalam kajian Dirasah Islamiyyah bahwa aspek ruhani manusia masuk dalam disiplin tasawuf atau spiritualitas Islam. Istilah lain untuk tasawuf adalah irfan, yang terbagi dua: nazariyah (teoritis) dan `amaliyah (praktis). Yang pertama adalah fokus pada masalah wujud (ontologi) yaitu Tuhan, manusia, dan alam semesta. Bagian ini menjelaskan ada tidaknya Allah, dan hubungannya dengan manusia, dan hubungan Allah dengan alam semesta. Irfan nazariyah dikaji agar mampu membuka tabir atau penghalang sehingga bisa yakin dan jelas atas kebenaran yang dicarinya. Sedangkan yang kedua adalah menjelaskan hubungan dan pertanggungjawaban manusia terhadap dirinya, dunia, dan Tuhan. Bagian ini lebih mirip dengan etika (akhlaq) dalam menjalani hidup yang sesuai dengan tuntunan Ilahi.

Murtadha Muthahhari menyebutnya sebagai sayr wa suluk (perjalanan ruhani) yang menjelaskan bagaimana seorang penempuh ruhani (salik) yang ingin mencapai puncak kesempurnaan. Penempuhnya pun dibimbing oleh mursyid atau guru spiritual agar langkah-langkahnya teratur dan mengetahui yang seharusnya melalui maqam (tahapan) awal sampai terakhir. Seseorang yang menempuh perjalanan ruhani ini memiliki potensi menjadi manusia sempurna (insan kamil). Karena itu, irfan `amaliyah lebih dekat dengan pengertian tasawuf sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah melalui rutinitas ibadah dan riyadhah spiritual.

Menurut Harun Nasution, tasawuf dalam Islam  muncul sesudah  umat  Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani, dan agama Hindu dan  Buddha. Itu sebabnya muncul anggapan bahwa tasawuf lahir dipengaruh unsur-unsur non-Islam. Namun, justru banyak ayat dan hadits serta perilaku Rasulullah saw yang sesuai dengan doktrin tasawuf, seperti anjuran berbuat baik dan senantiasa mensucikan diri. Mereka yang menjalankannya secara istiqamah kemudian disebut sufi dan orang yang mempopulerkan kata sufi adalah Abu Hasyim Al-Kufi (w.150 H.).

Memang ada beberapa istilah dan definisi tentang sufi. Pertama, berasal dari kata shafa, artinya suci. Jadi, sufi dalam pengertian ini merujuk kepada orang yang menyucikan diri melalui ibadah dan amal-amal saleh lainnya. Kedua, shaf, artinya baris. Yang dimaksud shaf di sini adalah barisan pertama dalam salat berjamaah di masjid dan biasanya ditempati mereka yang datang lebih awal kemudian melakukan ibadah, seperti membaca al-Quran dan berdzikir sebelum mendirikan shalat berjamaah. Ketiga, ahlu suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi Muhammad saw ke Madinah dan meninggalkan harta kekayaannya di Makkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Masjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah (pelana) sebagai bantal. Keempat, sophos, artinya hikmah atau kebenaran. Istilah sufi dilekatkan kepada mereka yang senantiasa mendekat pada sumber kebenaran (Allah). Kelima, suf, artinya kain wol. Seseorang yang menjalani riyadhah spiritual pada masa itu meninggalkan pakaian mewah diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan, kemiskinan, dan tidak berorientasi pada dunia serta memusatkan perhatian pada spiritualitas atau menyucikan diri.

Perintah menyucikan diri (tazkiyyah al-nafs) yang menjadi doktrin khas tasawuf selaras dengan firman Allah. Misalnya, "Sungguh, bahagialah orang yang menyucikan jiwanya" (QS Asy-syam [91]: 9); “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi diridhai-Nya; maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku” (QS Al-Fajr [89]: 28-30); dan “Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tema menyerahkan diri (kepada) Allah.” (QS Al-An'aam [6]: 162)

Selain menyucikan diri, tasawuf menuntun kaum Muslim agar berperilaku hidup sederhana, jujur, istiqamah, zuhud, dan tawadhu. Manusia yang paling utama dalam mempraktikkannya adalah Rasulullah saw kemudian ahlulbait saw dan sebagian sahabat Nabi saw. Pada masa remaja, Nabi Muhammad saw dikenal sebagai manusia yang digelari al-amin, shiddiq, fathanah, tabligh, sabar, tawakal, zuhud, dan berperilaku baik terhadap semua orang, termasuk yang memusuhinya. Perilaklu hidup Rasulullah saw yang terdapat dalam sejarah merupakan bentuk praktis dari cara hidup seorang sufi.

Dalam kehidupan modern, tasawuf menjadi obat yang mengatasi krisis kerohanian manusia modern yang telah lepas dari pusat dirinya sehingga ia tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti dan tujuan dari hidupnya. Ketidakjelasan atas makna dan tujuan hidup ini membuat penderitaan batin. Karena itu, melalui spiritualitas Islam ladang kering menjadi tersirami air sejuk dan memberikan penyegaran serta mengarahkan hidup lebih bermakna dan jelas tujuannya.

Manfaat tasawuf bukan sekadar mengembalikan nilai spiritualitas, tetapi juga bermanfaat dalam berbagai bidang kehidupan manusia modern. Budhi Munawar Rachman menyebutkan beberapa contoh penerapan dan pertemuan tasawuf dengan ilmu-ilmu sekuler. Misalnya, pertemuan tasawuf dengan fisika atau sains modern yang holistik akan membawa kepada kesadaran arti kehadiran manusia dan tugas-tugas utamanya di muka bumi. Pertemuan tasawuf dengan ekologi menyadarkan mengenai pentingnya kesinambungan alam dengan keanekaragaman hayatinya didasarkan pada paham kesucian alam. Pertemuan tasawuf dengan penyembuhan alternatif memberikan kesadaran bahwa masalah kesehatan bukan hanya bersifat fisikal, tetapi ada persoalan ruhani. Pertemuan tasawuf dengan psikologi menekankan segi transpersonal.

Dalam tasawuf terdapat aturan yang harus dilalui oleh seorang penempuh jalan spiritual. Langkah pertama yang harus dilakukannya adalah bertobat. Ia harus menyesal atas dosa-dosanya yang lalu dan betul-betul tidak berbuat dosa  lagi. Kedua, untuk memantapkan tobatnya ia harus zuhud. Ia mulai menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai serta fokus beribadah. Ketiga adalah wara'. Ia harus menjauhkan dirinya dari perbuatan syubhat dan tidak memakan makanan atau minuman yang tidak jelas kedudukan halal-haramnya. Keempat adalah faqr. Ia harus menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Kelima adalah ia harus sabar. Bukan hanya dalam menjalankan perintah-perintah Allah yang berat dan menjauhi larangan-larangan-Nya, tetapi juga sabar dalam menerima musibah berat yang ditimpakan Allah. Keenam adalah tawakal. Ia menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Allah. Ia tidak memikirkan hari esok karena bagi seorang sufi cukup apa yang ada untuk hari ini. Ketujuh adalah ridla. Ia tidak menentang cobaan dari Allah, bahkan menerimanya dengan senang hati. Karena itu, seorang sufi tidak menyimpan perasaan  benci kepada siapa pun karena semua yang terjadi adalah bagian dari kehendak Allah.

 Rangkaian riyadhah tersebut bisa disingkat dengan istilah mengosongkan jiwa (takhali), mengisinya kembali dengan nilai-nilai Ilahi (tahalli), dan tajalli atau merasakan manifestasi Ilahi dalam kehidupan yang dilakoninya.

Dalam khazanah tasawuf, seseorang yang melakoni riyadhah untuk menjadi sufi, pada fase puncaknya akan mengalami mukasyafah atau penyingkapan sesuatu yang tidak diketahuinya kemudian menjadi tahu. Selanjutnya musyahadah, menyadari sekaligus bersaksi bahwa diri ini tiada apa-apanya karena yang ada dan berada hanya Allah Yang Mahaesa. Tidak ada yang Ada selain Ia. Seseorang yang berada dalam posisi ini pantas disebut muwahid (orang yang bertauhid). Posisi ini akan terus berlanjut pada penyatuan dengan Tuhan.

Memang tidak semua orang dapat menerima pengalaman-pengalaman seorang sufi yang mengalami ektase (fana). Hal ini karena kalimat yang keluar bersifat “janggal” dan nyeleneh sehingga sulit dipahami oleh orang-orang yang belum mempunyai pengetahuan tasawuf yang mendalam. Misalnya, ungkapan yang diucapkan Abu Mansur Al-Hallaj dengan kalimat “Ana Al-Haqq”, Abu Yazid Al-Busthami yang berujar “Maha Suci Aku”, dan Syaikh Siti Jenar berkata “Tidak ada Siti Jenar, yang ada hanya Allah”.

Ungkapan tersebut oleh sebagian orang dianggap sebagai pengingkaran terhadap syariat dan pelanggaran akidah. Semestinya dipahami bahwa mereka sedang kehilangan kesadaran kemanusiaannya dan mengalami perasaan menyatu dengan Allah. Hal ini karena mereka merasa telah berhasil menaklukkan dirinya dan menyatukan ruhnya dengan sumber ruh (Allah) sehingga “dirinya” merasa tiada dan yang ada hanyalah Allah. Peniadaan diri yang bermakna pengakuan bahwa wujud yang benar-benar ada di alam semesta ini hanya Allah merupakan bentuk tauhid yang hakiki.

Dalam tasawuf pula terdapat aliran atau kelompok yang disebut dengan istilah tarekat. Dalam tarekat terdapat sosok mursyid yang membimbing perilaku orang-orang yang mengikuti tarekat dan terdapat amaliah ibadah yang dilakukan sekaligus menjadi ciri khas dari setiap tarekat. Beberapa tarekat yang terkenal adalah Qadiriyah, Rifa’iyah, Sadziliyah, Maulawiyah, Naqshabandiyah, Bektashiyah, Ni’matullah, Tijaniyah, Jarrahiyah, Chistiyah, Ightisaasiyyah, Alwaaniyyah, Haddaadiyyah, Syathariyyah, Shiddiqiyyah, Naqsabandiyyah Khalidiyah, Qadariyah Naqsabandiyah, dan lainnya. *** (ahmad sahidin, alumni uin sgd bandung)