Dalam kajian Dirasah Islamiyyah bahwa aspek ruhani manusia masuk dalam disiplin tasawuf atau spiritualitas Islam. Istilah lain untuk tasawuf adalah irfan, yang terbagi dua: nazariyah (teoritis) dan `amaliyah (praktis). Yang pertama adalah fokus pada masalah wujud (ontologi) yaitu Tuhan, manusia, dan alam semesta. Bagian ini menjelaskan ada tidaknya Allah, dan hubungannya dengan manusia, dan hubungan Allah dengan alam semesta. Irfan nazariyah dikaji agar mampu membuka tabir atau penghalang sehingga bisa yakin dan jelas atas kebenaran yang dicarinya. Sedangkan yang kedua adalah menjelaskan hubungan dan pertanggungjawaban manusia terhadap dirinya, dunia, dan Tuhan. Bagian ini lebih mirip dengan etika (akhlaq) dalam menjalani hidup yang sesuai dengan tuntunan Ilahi.
Murtadha Muthahhari menyebutnya sebagai sayr wa suluk (perjalanan ruhani) yang menjelaskan bagaimana seorang penempuh ruhani (salik) yang ingin mencapai puncak kesempurnaan. Penempuhnya pun dibimbing oleh mursyid atau guru spiritual agar langkah-langkahnya teratur dan mengetahui yang seharusnya melalui maqam (tahapan) awal sampai terakhir. Seseorang yang menempuh perjalanan ruhani ini memiliki potensi menjadi manusia sempurna (insan kamil). Karena itu, irfan `amaliyah lebih dekat dengan pengertian tasawuf sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah melalui rutinitas ibadah dan riyadhah spiritual.
Menurut
Harun Nasution, tasawuf dalam Islam
muncul sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen,
filsafat Yunani, dan agama Hindu dan
Buddha. Itu sebabnya muncul anggapan bahwa tasawuf lahir dipengaruh
unsur-unsur non-Islam. Namun, justru banyak ayat dan hadits serta perilaku
Rasulullah saw yang sesuai dengan doktrin tasawuf, seperti anjuran berbuat baik
dan senantiasa mensucikan diri. Mereka yang menjalankannya secara istiqamah
kemudian disebut sufi dan orang yang mempopulerkan kata sufi adalah
Abu Hasyim Al-Kufi (w.150 H.).
Memang
ada beberapa istilah dan definisi tentang sufi. Pertama, berasal dari kata shafa,
artinya suci. Jadi, sufi dalam pengertian ini merujuk kepada orang yang
menyucikan diri melalui ibadah dan amal-amal saleh lainnya. Kedua, shaf,
artinya baris. Yang dimaksud shaf di sini adalah barisan pertama dalam
salat berjamaah di masjid dan biasanya ditempati mereka yang datang lebih awal
kemudian melakukan ibadah, seperti membaca al-Quran dan berdzikir sebelum
mendirikan shalat berjamaah. Ketiga, ahlu suffah, yaitu para sahabat
yang hijrah bersama Nabi Muhammad saw ke Madinah dan meninggalkan harta kekayaannya
di Makkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Masjid Nabi
dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah (pelana) sebagai
bantal. Keempat, sophos, artinya hikmah atau kebenaran. Istilah sufi
dilekatkan kepada mereka yang senantiasa mendekat pada sumber kebenaran
(Allah). Kelima, suf, artinya kain wol. Seseorang yang menjalani riyadhah
spiritual pada masa itu meninggalkan pakaian mewah diganti dengan kain wol
kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan
kesederhanaan, kemiskinan, dan tidak berorientasi pada dunia serta memusatkan
perhatian pada spiritualitas atau menyucikan diri.
Perintah
menyucikan diri (tazkiyyah al-nafs) yang menjadi doktrin khas tasawuf
selaras dengan firman Allah. Misalnya, "Sungguh, bahagialah orang yang
menyucikan jiwanya" (QS Asy-syam [91]: 9); “Hai jiwa yang tenang,
kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi diridhai-Nya; maka
masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku” (QS
Al-Fajr [89]: 28-30); dan “Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku,
hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu
bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang
yang pertama-tema menyerahkan diri (kepada) Allah.” (QS Al-An'aam [6]: 162)
Selain
menyucikan diri, tasawuf menuntun kaum Muslim agar berperilaku hidup sederhana,
jujur, istiqamah, zuhud, dan tawadhu. Manusia yang paling utama
dalam mempraktikkannya adalah Rasulullah saw kemudian ahlulbait saw dan
sebagian sahabat Nabi saw. Pada masa remaja, Nabi Muhammad saw dikenal sebagai
manusia yang digelari al-amin, shiddiq, fathanah, tabligh,
sabar, tawakal, zuhud, dan berperilaku baik terhadap semua orang,
termasuk yang memusuhinya. Perilaklu hidup Rasulullah saw yang terdapat dalam
sejarah merupakan bentuk praktis dari cara hidup seorang sufi.
Dalam
kehidupan modern, tasawuf menjadi obat yang mengatasi krisis kerohanian manusia
modern yang telah lepas dari pusat dirinya sehingga ia tidak mengenal lagi
siapa dirinya, arti dan tujuan dari hidupnya. Ketidakjelasan atas makna dan
tujuan hidup ini membuat penderitaan batin. Karena itu, melalui spiritualitas
Islam ladang kering menjadi tersirami air sejuk dan memberikan penyegaran serta
mengarahkan hidup lebih bermakna dan jelas tujuannya.
Manfaat
tasawuf bukan sekadar mengembalikan nilai spiritualitas, tetapi juga bermanfaat
dalam berbagai bidang kehidupan manusia modern. Budhi Munawar Rachman
menyebutkan beberapa contoh penerapan dan pertemuan tasawuf dengan ilmu-ilmu
sekuler. Misalnya, pertemuan tasawuf dengan fisika atau sains modern yang
holistik akan membawa kepada kesadaran arti kehadiran manusia dan tugas-tugas
utamanya di muka bumi. Pertemuan tasawuf dengan ekologi menyadarkan mengenai pentingnya
kesinambungan alam dengan keanekaragaman hayatinya didasarkan pada paham
kesucian alam. Pertemuan tasawuf dengan penyembuhan alternatif memberikan
kesadaran bahwa masalah kesehatan bukan hanya bersifat fisikal, tetapi ada
persoalan ruhani. Pertemuan tasawuf dengan psikologi menekankan segi
transpersonal.
Dalam
tasawuf terdapat aturan yang harus dilalui oleh seorang penempuh jalan
spiritual. Langkah pertama yang harus dilakukannya adalah bertobat. Ia
harus menyesal atas dosa-dosanya yang lalu dan betul-betul tidak berbuat
dosa lagi. Kedua, untuk memantapkan
tobatnya ia harus zuhud. Ia mulai menjauhkan diri dari dunia materi dan
dunia ramai serta fokus beribadah. Ketiga adalah wara'. Ia harus
menjauhkan dirinya dari perbuatan syubhat dan tidak memakan makanan atau
minuman yang tidak jelas kedudukan halal-haramnya. Keempat adalah faqr.
Ia harus menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia
tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban
agamanya. Kelima adalah ia harus sabar. Bukan hanya dalam menjalankan
perintah-perintah Allah yang berat dan menjauhi larangan-larangan-Nya, tetapi
juga sabar dalam menerima musibah berat yang ditimpakan Allah. Keenam adalah tawakal.
Ia menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Allah. Ia tidak memikirkan hari
esok karena bagi seorang sufi cukup apa yang ada untuk hari ini. Ketujuh adalah
ridla. Ia tidak menentang cobaan dari Allah, bahkan menerimanya dengan
senang hati. Karena itu, seorang sufi tidak menyimpan perasaan benci kepada siapa pun karena semua yang
terjadi adalah bagian dari kehendak Allah.
Rangkaian riyadhah tersebut bisa
disingkat dengan istilah mengosongkan jiwa (takhali), mengisinya kembali
dengan nilai-nilai Ilahi (tahalli), dan tajalli atau merasakan
manifestasi Ilahi dalam kehidupan yang dilakoninya.
Dalam
khazanah tasawuf, seseorang yang melakoni riyadhah untuk menjadi sufi,
pada fase puncaknya akan mengalami mukasyafah atau penyingkapan sesuatu
yang tidak diketahuinya kemudian menjadi tahu. Selanjutnya musyahadah,
menyadari sekaligus bersaksi bahwa diri ini tiada apa-apanya karena yang ada
dan berada hanya Allah Yang Mahaesa. Tidak ada yang Ada selain Ia. Seseorang
yang berada dalam posisi ini pantas disebut muwahid (orang yang
bertauhid). Posisi ini akan terus berlanjut pada penyatuan dengan Tuhan.
Memang
tidak semua orang dapat menerima pengalaman-pengalaman seorang sufi yang
mengalami ektase (fana). Hal ini karena kalimat yang keluar bersifat
“janggal” dan nyeleneh sehingga sulit dipahami oleh orang-orang yang
belum mempunyai pengetahuan tasawuf yang mendalam. Misalnya, ungkapan yang
diucapkan Abu Mansur Al-Hallaj dengan kalimat “Ana Al-Haqq”, Abu Yazid
Al-Busthami yang berujar “Maha Suci Aku”, dan Syaikh Siti Jenar berkata “Tidak
ada Siti Jenar, yang ada hanya Allah”.
Ungkapan
tersebut oleh sebagian orang dianggap sebagai pengingkaran terhadap syariat dan
pelanggaran akidah. Semestinya dipahami bahwa mereka sedang kehilangan
kesadaran kemanusiaannya dan mengalami perasaan menyatu dengan Allah. Hal ini
karena mereka merasa telah berhasil menaklukkan dirinya dan menyatukan ruhnya
dengan sumber ruh (Allah) sehingga “dirinya” merasa tiada dan yang ada hanyalah
Allah. Peniadaan diri yang bermakna pengakuan bahwa wujud yang benar-benar ada
di alam semesta ini hanya Allah merupakan bentuk tauhid yang hakiki.
Dalam tasawuf pula terdapat aliran atau kelompok yang disebut dengan istilah tarekat. Dalam tarekat terdapat sosok mursyid yang membimbing perilaku orang-orang yang mengikuti tarekat dan terdapat amaliah ibadah yang dilakukan sekaligus menjadi ciri khas dari setiap tarekat. Beberapa tarekat yang terkenal adalah Qadiriyah, Rifa’iyah, Sadziliyah, Maulawiyah, Naqshabandiyah, Bektashiyah, Ni’matullah, Tijaniyah, Jarrahiyah, Chistiyah, Ightisaasiyyah, Alwaaniyyah, Haddaadiyyah, Syathariyyah, Shiddiqiyyah, Naqsabandiyyah Khalidiyah, Qadariyah Naqsabandiyah, dan lainnya. *** (ahmad sahidin, alumni uin sgd bandung)