Sabtu, 21 Oktober 2023

Hadis dan Sunah

Sebagian umat Islam meyakini bahwa hadis dan sunah Rasulullah saw merupakan sumber kedua setelah al-Quran. Keyakinan ini dipegang kaum Muslim Sunni, yang merujuk pada keterangan populer dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw meninggalkan dua pusaka: kitab Allah dan sunah Rasulullah saw. Apabila berpegang kepada keduanya maka akan selamat dan meraih kebahagiaan dunia akhirat.[1]

Menurut keyakinan umat Islam yang bermazhab Syiah bahwa yang menjadi sumber Islam setelah wahyu Allah adalah hadis dan sunah Rasulullah saw beserta hadis dari para Imam Ahlulbait (keturunan Nabi Muhammad saw). Didasarkan pada sabda Rasulullah saw, “Aku tinggalkan di antara kalian dua ‘perlambang’ yang berat dan berharga; jika kalian berpegang erat pada keduanya kalian tidak akan tersesat setelahku. Mereka adalah Kitabullah dan keturunanku, Ahlulbait-ku. Yang Pemurah telah mengabariku bahwa keduanya tidak akan berpisah satu sama lain hingga mereka datang menjumpaiku di telaga (surga).[2]

Ditegaskan pula dalam al-Quran bahwa Ahlulbait disebutkan sebagai manusia-manusia suci setelah Rasulullah saw. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan segala kekotoran (rijs)[3] dari kamu, wahai ahlulbait dan mensucikanmu sesuci-sucinya. (QS Al-Ahzab [33]: 33)

 Anas bin Malik meriwayatkan, “Sejak turun ayat Sesungguhnya Allah berkehendak... (kalimat terakhir al-Ahzab ayat 33) dan selama enam bulan sesudah itu, Rasulullah saw biasa berdiri di pintu rumah Fathimah dan berkata, ‘Waktunya untuk shalat, wahai Ahlulbait! Sungguh Allah berkehendak untuk menghilangkan segala yang dibenci dari kalian dan menjadikan kalian suci dan tak ternoda.”[4] 

Para ulama dan cendekiawan kontemporer sudah mulai bersikap kiritis dalam memperlakukan kitab-kitab hadis. Misalnya kitab Jami` al-Shahih karya Imam Bukhari telah dikritik oleh Fazlur Rahman (1919-1988 M), Abu Hasan al-Daruquthni (306-385 H), al-Sarkhasi (w 493 H/1098 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridla (1865-1935 M), Ahmad Amin (w 1373 H/1945 M), dan Muhammad Ghazali (w 1416 H/1996 M).

Muhammad Ghazali berpendapat bahwa setelah diteliti dalam kitab hadits Bukhari terdapat hadis atau sunah Rasulullah saw yang jauh berbeda dengan perilaku, pernyataan dan kepribadian Rasulullah saw yang digambarkan dalam al-Quran. 

Ghazali menyebutkan hadis-hadis tentang mendengar nyanyian adalah perbuatan jahilyah dan haram, tentang malaikat maut yang ditonjok Nabi Musa as atau hadits mengenai Nabi kena sihir adalah hadits yang kebenarannya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Bukankah Nabi Muhammad saw suci dan terjaga dari kesalahan dan dosa? Bukankah segala ucapan dan tingkah laku Nabi saw adalah perwujudan al-Quran dan ucapannya berasal dari Allah (wahyu)?

Sangat tidak masuk akal kalau Rasulullah saw yang sehari-hari berada dalam kondisi bersih dan suci serta menjalankan amalan-amalan yang diperintahkan Allah, bisa terkena sihir. Sihir akan mengena kepada mereka yang jauh dari nilai-nilai ilahiyah dan dekat dengan setan. Karena itu, sesuatu yang sudah pasti berdasarkan wahyu Allah dan ternyata berbeda dengan hadits atau sunah maka hadits dan sunah yang harus disingkirkan.   

Gugatan terhadap hadis Bukhari dilakukan juga oleh Muhibbin Noor, guru besar IAIN Walisongo, Semarang.[5] Menurut Muhibbin, tidak semua hadits yang terdapat dalam kitab Jami' al-Shahih karya Imam Bukhari itu benar-benar shahih. Terdapat beberapa hadits yang termasuk kategori lemah dan palsu serta yang bertentangan dengan al-Quran maupun antarhadits di dalam kitab tersebut.

Ada pula yang tidak sesuai dengan fakta sejarah, seperti  tentang Isra Mi'raj. Di dalam kitab itu, disebutkan bahwa terjadinya Isra Mi'raj itu sebelum menjadi Nabi. Faktanya, Isra Mi'raj itu setelah Rasulullah diutus menjadi Nabi. Kemudian, ada pula hadits Nabi yang bertentangan dengan ayat al-Quran. Contohnya, tentang seseorang yang meninggal dunia akan disiksa jika si mayat ditangisi ahli warisnya bertentangan dengan ayat al-Quran bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain.

Muhibbin menyebutkan bahwa kelemahan Bukhari, salah satunya tentang minimal jumlah perawi hadits yang harus meriwayatkan hadits. Di dalam kitab tersebut ditemukan cukup banyak hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi.

Begitu juga dalam hal persambungan sanad hadits terdapat kelemahan, yaitu ada hadits yang muallaq, mursal, dan munqathi` (terputus). Bahkan, ada perawi hadits yang tidak tsiqah, bahkan dituduh majhul (tidak diketahui identitasnya), dianggap kadzab (berbohong), dan lainnya. Misalnya, Asbath Abu al-Yasa` Al-Bashri. Ia tidak diketahui identitasnya atau majhul, dan menyalahi riwayat orang-orang tsiqah; Ismal bin Mujalad, seorang perawi yang dhaif (lemah) dan tidak termasuk orang yang kuat hafalannya; dan Hisyam bin Hajir, Ahmad bin Yazid bin Ibrahim Abu Al-Hasan Al-Harani, dan Salamah bin Raja' sebagai perawi dhaif. Begitu juga Ubay bin Abbas dikenal sebagai perawi yang tidak kuat hafalannya dan munkir al-hadits.

Doktor lulusan IAIN Sunan Kali Jaga ini mengatakan, selain ada hadits yang bertentangan dengan al-Quran maupun hadits Nabi saw sendiri dan tidak sesuai dengan fakta sejarah, juga diragukan hadits yang banyak mengungkapkan tentang masa depan. Misalnya, tentang ungkapan, 'alaikum bi sunnati wa sunnati khulafa`ur rasyidin (Ikutlah kalian akan sunahku dan sunah khulafa`ur rasyidin). Bagaimana mungkin Rasulullah saw mengucapkan hadits ini, padahal saat itu belum ada khulafa`ur rasyidin. Khalifah yang empat baru ada setelah Rasulullah saw wafat.

Muhibbin Noor mengutip Al-Daruquthni, menyatakan terdapat sekitar 110 hadits palsu dalam kitab Jami' al-Shahih karya Imam Bukhari dari sejumlah 6.000-an hadits. Di antara hadits yang dinilainya lemah dan palsu, yaitu tentang poligami, kehidupan dalam rumah tangga, pernikahan, dan lainnya.

Dalam hadis riwayat Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah saw menikahi Maimunah pada saat berihram. Ini bertentangan dengan hadits Nabi saw yang melarang melakukan pernikahan selama masa haji atau berihram. Kemudian, pernyataan Rasulullah menikahi Maimunah pada waktu ihram juga bertentangan dengan hadits yang ditulis Al-Bukhari sendiri bahwa Rasulullah menikahi Maimunah setelah bertahalul. Karena itu, Muhibbin menilai bahwa dalam kitab Jami' al-Shahih terdapat ketidaklayakan sebagai hadits shahih karena adanya pertentangan atau ketidaksesuaian dengan nash al-Quran dan sunah mutawatirah, bertentangan dengan sirah nabawiyah dan fakta sejarah, adanya materi hadis yang mengandung prediksi atau ramalan dan bersifat politis, serta mengandung fanatisme kesukuan.

Sikap kritis dalam menerima hadits dan sunah dilakukan juga oleh seorang cendekiawan Muslim asal Bandung, Jalaluddin Rakhmat (Kang Jalal), yang secara khusus telah menulis kritik terhadap hadits yang berkaitan dengan sosok Rasulullah saw.

Menurut Kang Jalal, sejarah (tarikh) Nabi Muhammad saw yang sampai kepada umat Islam sekarang sudah tidak shahih karena ditulis sesuai dengan kepentingan penguasa. Setelah Rasulullah saw wafat dan sejak berkuasanya Dinasti Umayyah, banyak hadits yang dibuat-buat oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk memuliakan dan mengagungkan penguasa serta mengunggulkan mazhabnya.

Karena itu, untuk memperoleh tarikh Nabi saw yang shahih harus memisahkan fakta dari fiksi, dan kebenaran dari dusta. Dalam upaya menguji kebenaran tarikh Nabi saw, khususnya hadits dan sunah, Kang Jalal menggunakan tiga tahap: pertama, mengujinya dengan doktrin al-Quran bahwa Muhammad saw adalah teladan yang baik dan berakhlak mulia; kedua, mempertemukan riwayat Nabi saw dengan pesan Allah dalam al-Quran. Jika hadits atau sunah itu sesuai dengan al-Quran maka bisa diterima; jika tidak maka wajib ditolak; ketiga, mengujinya dengan kritik sanad (orang yang mengabarkan) dan matan (isi/materi) dengan tambahan analisa aliran politik dari periwayat hadits.[6]

Dari penelitiannya, Kang Jalal menemukan riwayat-riwayat yang bertentangan dengan gambaran Rasulullah saw dalam al-Quran, seperti tentang turunnya wahyu pertama yang dikabarkan dari Aisyah binti Abu Bakar. Padahal, Aisyah pada masa itu belum lahir.

Dalam hadits tersebut disebutkan juga bahwa Jibril menyampaikan wahyu kepada Rasulullah saw dengan cara yang mengerikan, didekap dengan keras sampai kepayahan dan ketakutan. Sangat berbeda dengan yang diinformasikan dalam al-Quran surah Al-An`aam [6] ayat 125 bahwa orang yang mendapat pendapat petunjuk mengalami kelapangan dada, kelegaan hati, dan ketentraman jiwa. Bukan sebaliknya.

Begitu juga tentang riwayat yang menyatakan Nabi Muhammad saw lupa rakaat shalat,[7] ketika mau shalat lupa mandi janabah,[8]dan menonton tarian orang-orang hitam di masjid sambil bermesraan dengan Aisyah.[9] Melihat riwayat hadits seperti ini tampak bahwa utusan Allah tidak dijaga Allah dan berperilaku seperti dalam film dan budaya Barat.

Menurut Kang Jalal, hadis tersebut bertentangan dengan akhlak dan sifat Nabi Muhammad yang digambarkan dalam al-Quran: teladan utama (QS Al-Ahzab [33]: 21), berakhlak yang agung (QS Al-Qalam [68]: 4), tidak sesat atau keliru dan tidak berdasarkan hawa nafsu (keinginannya) karena ucapannya berdasarkan wahyu (QS An-Najm [53]: 2-4). Karena itu, umat Islam harus kritis dan membandingkannya dengan ayat-ayat Allah; karena al-Quran terjaga dari kesalahan sehingga kebenarannya terjamin. Allah Ta`ala berfirman, “Sesungguhnya, Kami (Allah) yang menurunkan  al -Quran,  dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS Al-Hijr [15]: 9). Bahkan, hadis tentang keutamaan sahabat Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan At-Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi (5/696 No.3862) pun termasuk dhaif.

Berikut ini hadisnya: telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya yang berkata telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Ibrahim bin Sa’ad yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaidah bin Abi Ra’ithah dari Abdurrahman bin Ziyad dari Abdullah bin Mughaffal yang berkata Rasulullah saw bersabda, “Demi Allah, Demi Allah tentang shahabatku, Demi Allah, Demi Allah tentang shahabatku, Janganlah kalian menjadikannya sebagai sasaran caci maki sepeninggalku. Barangsiapa mencintai mereka maka karena cinta kepadakulah dia mencintai mereka dan barang siapa membenci mereka maka karena benci kepadakulah dia membenci mereka dan barangsiapa menyakiti mereka maka dia menyakiti Aku dan siapa yang menyakiti Aku sungguh ia telah menyakiti Allah Swt dan barang siapa menyakiti Allah Swt dikhawatirkan Allah Swt akan menyiksanya.”

Hadis tersebut dhaif (lemah) karena di dalamnya terdapat perawi yang tidak dikenal (majhul), yaitu Abdurrahman bin Ziyad. Ia adalah perawi yang tidak jelas. Ada yang menyebutkan namanya Abdurrahman bin Ziyad, ada yang menyebutkan namanya Abdurrahman bin Abdullah, ada pula yang menyebutnya Abdullah bin Abdurrahman dan Abdurrahman bin Abi Ziyad.

Perbedaan nama-nama tersebut menunjukkan ketidakjelasan siapa dia sebenarnya. Misalnya nama Abdurrahman bin Ziyad terdapat Musnad Ahmad 5/54 no 20568, Musnad Ahmad 5/57 no 20597, Fadhail Ash Shahabah no 1, Musnad Al Jami’ no 9479, Syu’ab Al Iman 2/191 no 1511, Tarikh Baghdad 9/125 no 4741; Abdullah bin Abdurrahman dalam kitab Hilyatul Awliya 8/287, Shahih Ibnu Hibban 16/244 no 7256, As Sunnah no 992, Tarikh Al Kabir juz 5 no 389, Adh Dhu’afa 2/272 no 833, Al Kamil 4/167; nama Abdurrahman bin Abdullah dalam kitab Musnad Ahmad 5/54 no 20568, Musnad Ahmad 5/57 no 20597, Fadhail Ash Shahabah no 1, Musnad Al Jami’ no 9479, Syu’ab Al Iman 2/191 no 1511, Tarikh Baghdad 9/125 no 4741; nama Abdurrahman bin Abi Ziyad dalam kitab Adh Dhu’afa Al Uqaili 2/272 no 833; nama Abdul Malik bin Abdurrahman dalam kitab Tahdzib At Tahdzib juz 6 no 359. Al-Bukhari dalam Tarikh Al Kabir juz 5 no 389 menyebutkan namanya Abdullah bin Abdurrahman dan Bukhari telah memberikan cacat padanya dengan sebutan fiihi nazhar (perlu diteliti lagi). Begitu juga dengan Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 6 no 359 dan Adz Dzahabi dalam Mizan Al I’tidal no 4867 menyebutkan biografi Abdurrahman bin Ziyad dan mengutip Ibnu Main yang mengatakan bahwa Abdurrahman bin Ziyad tidak dikenal.

Bagaimana dengan hadis dalam mazhab Syiah? Penelitian terhadap kitab hadis Syiah seperti Al-Kafi,[10] At-Tahdzib,[11] Al-Ihtibshar,[12] dan Man Layahdharul Faqih,[13] dilakukan juga oleh para ulama Syiah. Menurut golongan ulama Khabariyah (Akhbari) bahwa kitab hadis Syiah termasuk shahih. Namun, bagi ulama Uhusuliyah perlu diteliti dahulu karena dalam kitab hadis Syiah ada kategori shahih, hasan, muwats-tsaq (perawi non-Syiah), dan dhaif. Ada pula kitab Bihârul Anwâr yang disusun oleh Baqir Al-Majlisi yang terdiri dalam 26 jilid, Al Wafie fi 'Ilmi al-Hadits disusun oleh Muhsin al-Kasyani terdiri dalam 14 juz dan merupakan kumpulan dari empat kitab hadits utama, Tafshil Wasail Syi'ah Ila Tahsil Ahadist Syari'ah disusun oleh Al-Hus Asy-Syâmi' al 'Amili, Jami' al Ahkam disusun oleh Muhammad Ar-Ridla Ats-Tsairi Al-Kâdzimi (w.1242 H) terdiri dalam 25 jilid, dan kitab hadis lainnya.

Kitab hadis Sunni maupun Syiah pada dasarnya perlu untuk dikaji secara kritis berdasarkan kajian historis, analisis aliran politik, dan konteks zaman disusunnya kitab tersebut. Semakin dikaji dengan kritis maka akan terlihat kedudukan benar dan salahnya sehingga kita dapat mengambil hadis-hadis yang perlu diamalkan dan yang perlu ditinggalkan. *** (Ahmad Sahidin, alumni uin sgd bandung)



[1] Hadits ini diriwayatkan oleh Hakim dalam kitab Al-Mustadrak dan dalam kitab Al-Muwatha tanpa sanad.

[2] Lihat Shahih At-Tirmizi (versi Arab), jilid 5, h.222-663 dilaporkan lebih dari 30 sahabat dengan berbagai rantai periwayatan (sanad) Al-Mustadrak oleh hakim. Dalam bab memahami (keutamaan) sahabat jilid 3, h.109,100,148, dan 533. Hakim juga menyatakan bahwa hadits-hadits shahih menutur kriteria dua Syekh (Bukhari dan Muslim); Sunan Daramis jilid 2 h.432; Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 3, h.14,17, 26,59; jilid 4, h.336, 370-372; jilid 5, h.182,189,350,366,419; Fadha’il Ash-Shahabah, Ahmad bin Hambal, jilid 2, h.585 hadits ke 990; Al-Khasha’ish Nasa ‘i h. h.21.30; As-Sawiq Al-Muhriqah. Ibnu Hajar haitsami, Bab II, bagian 1, h.230; Al-Kabir, Thabari, jilid 3, h.62-63 137; Kanz al-Ummal, Muttaqi hindi, bab al-I’tisham bi Hablilah, jilid 1, h. 44; Tafsir Ibnu Katsir (versi lengkap) jilid 4, h.113, pada komentar pada ayat-ayat 42:23 (empat edisi); At-Tabaqat Al-Kubra, Ibnu Sa’d jilid 2 h.194, publikasi dar Isadder Libanon; al-Jami’ash shaghir, Suyuthi jilid 1 h.194 juga pada jilid 2; Majda az’Zawa’i. Haitsami, jilid 9 h.163; Al-Fatih Al-Kabitr, Binhani, jilid 1 h.451; Ushul Ghabah fi Ma’rifat ash-Shahabat, Ibnu Atsir, jilid 2 h.12; Jami al-Ushul. Ibu Atsir, jilid 1 h.187; Hisory of ibn Asakir, jilid 5, h. 436; At-Tajul Jamilil Ushul, jilid 3 h.308; al-Durr al-Mantsur Hafizh Suyuthi, jilid 2 h.60; Yamabi al-Mawadah, Qunduzi Hanafi h.38,183; Abaqat Al-Anwar, jilid 1 h.16, dan masih banyak yang lain.

[3] Perhatikanlah bahwa kata ‘rijs’ dalam ayat di atas mendapatkan awalan al- yang membuat makna kata tersebut menjadi umum/universal. Jadi ‘ar-Rijs’ bermakna setiap jenis ketidak murnian/kekotoran. Juga, dalam kalimat terakhir ayat di atas, Allah menegaskan ‘dan mensucikanmu sesuci-sucinya’. Kata ‘sesuci-sucinya’ merupakan makna penegasan dari masdar ‘tathhiran’. Inilah satu-satunya ayat dalam Quran di mana Allah Swt menggunakan penekanan ‘sesuci-sucinya’.

[4] Hadits ini terdapat dalam Shahih-Turmudzi, jilid 72, h.85; Musnad Ahrnad Ibn Hanbal, jilid 3, h. 258; al-Mustadrak, Hakim, jilid 3, h.158 yang menulis bahwa hadis ini shahih sesuai dengan kriteria Bukhari dan Muslim (tapi keduanya tidak melaporkan); Tafsir al-Durr al-Manfsur, Suyuthi, jilid 5, h.197, 199; Tafsir, Ibnu Jarir Thabari, jilid 22, h.5,6 (mengatakan ‘selama tujuh bulan’); Tafsir, Ibnu Katsir, jilid 3, h. 483; Musnad, Tialasi, jilid 8, h.274; Usd al-Ghabah, Ibnu Atsir, jilid 5, h.146.

[5] Penelitian disertasi Muhibbin Noor ini telah dibukukan dengan judul Kritik Kesahihan Hadis Imam al-Bukhari:Telaah Kritis atas Kitab al-Jami' al-Shahih yang diterbitkan oleh Penerbit Waqtu pada 2003 dengan ketebalan 236 halaman.

[6] Jalaluddin Rakhmat, Al-Mustafa: Pengantar Studi Kritis Tarikh Nabi saw (Bandung: Muthahhari Press,  2002) h. 46-47.

[7] Tarjamah Shahih Bukhari, jilid 1:322, hadits nomor 471, terjemahan Achmad Sunarto dkk, Semarang: Asy-Syifa, 1993.

[8] Shahih al-Bukhari, jilid 1:108, hadits nomor176, terjemahan H.Zainuddin Hamidy, et.al, Terjemah Hadits Shahih Bukhari. Jakarta: Widjaya.

[9]Tarjamah Shahih Bukhari, jilid 2: 42, hadits nomor 912, terjemahan Achmad Sunarto dkk, Semarang: Asy-Syifa, 1993.

[10] Kitab Al-Kafi disusun oleh Abu Ja`far Muhammad bin Ya`qub Al-Kulayni (w.328 H.) selama 20 tahun, terdapat 16.090 hadits yang sanadnya sampai kepada para Imam Ahlulbait Nabi saw.

[11] Kitab At-Tahzib disusun oleh Syaikh Muhammad bin Hasan Ath-Thusi (w.460 H.). Penyusunannya mengikuti metode Al-Kulayni dan di dalamnya memuat 13.095 hadits.

[12] Kitab Al-Istibshar disusun oleh Muhammad bin Hasan Ath-Thusi dan memuat sebanyak 5.511 haditst.

[13] Kitab Ma La Yahdluruhu Al-Faqih disusun oleh Ash-Shadduq Abi Ja'far Muhammad bin 'Ali bin Babawaih Al-Qummi (w.381 H.) dan memuat 9.044 hadits.