Sebagian umat Islam meyakini bahwa hadis dan sunah Rasulullah saw merupakan sumber kedua setelah al-Quran. Keyakinan ini dipegang kaum Muslim Sunni, yang merujuk pada keterangan populer dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw meninggalkan dua pusaka: kitab Allah dan sunah Rasulullah saw. Apabila berpegang kepada keduanya maka akan selamat dan meraih kebahagiaan dunia akhirat.[1]
Menurut
keyakinan umat Islam yang bermazhab Syiah bahwa yang menjadi sumber Islam
setelah wahyu Allah adalah hadis dan sunah Rasulullah saw beserta hadis dari
para Imam Ahlulbait (keturunan Nabi Muhammad saw). Didasarkan pada sabda
Rasulullah saw, “Aku tinggalkan di antara kalian dua ‘perlambang’ yang berat
dan berharga; jika kalian berpegang erat pada keduanya kalian tidak akan tersesat
setelahku. Mereka adalah Kitabullah dan keturunanku, Ahlulbait-ku. Yang Pemurah
telah mengabariku bahwa keduanya tidak akan berpisah satu sama lain hingga
mereka datang menjumpaiku di telaga (surga).”[2]
Ditegaskan
pula dalam al-Quran bahwa Ahlulbait
disebutkan sebagai manusia-manusia suci setelah Rasulullah saw. Allah
berfirman, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan segala
kekotoran (rijs)[3]
dari kamu, wahai ahlulbait dan mensucikanmu sesuci-sucinya.” (QS
Al-Ahzab [33]: 33)
Anas bin Malik meriwayatkan,
“Sejak turun ayat Sesungguhnya Allah
berkehendak... (kalimat terakhir al-Ahzab ayat 33) dan selama enam bulan
sesudah itu, Rasulullah saw biasa berdiri di pintu rumah Fathimah dan berkata,
‘Waktunya untuk shalat, wahai Ahlulbait! Sungguh Allah berkehendak untuk
menghilangkan segala yang dibenci dari kalian dan menjadikan kalian suci dan
tak ternoda.”[4]
Para ulama
dan cendekiawan kontemporer sudah mulai bersikap kiritis dalam memperlakukan
kitab-kitab hadis. Misalnya kitab Jami` al-Shahih karya Imam Bukhari
telah dikritik oleh Fazlur Rahman (1919-1988 M), Abu Hasan al-Daruquthni
(306-385 H), al-Sarkhasi (w 493 H/1098 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M),
Muhammad Rasyid Ridla (1865-1935 M), Ahmad Amin (w 1373 H/1945 M), dan Muhammad
Ghazali (w 1416 H/1996 M).
Muhammad
Ghazali berpendapat bahwa setelah diteliti dalam kitab hadits Bukhari terdapat
hadis atau sunah Rasulullah saw yang jauh berbeda dengan perilaku, pernyataan
dan kepribadian Rasulullah saw yang digambarkan dalam al-Quran.
Ghazali
menyebutkan hadis-hadis tentang mendengar nyanyian adalah perbuatan jahilyah
dan haram, tentang malaikat maut yang ditonjok Nabi Musa as atau hadits
mengenai Nabi kena sihir adalah hadits yang kebenarannya tidak bisa
dipertanggungjawabkan. Bukankah Nabi Muhammad saw suci dan terjaga dari
kesalahan dan dosa? Bukankah segala ucapan dan tingkah laku Nabi saw adalah
perwujudan al-Quran dan ucapannya berasal dari Allah (wahyu)?
Sangat tidak
masuk akal kalau Rasulullah saw yang sehari-hari berada dalam kondisi bersih dan
suci serta menjalankan amalan-amalan yang diperintahkan Allah, bisa terkena
sihir. Sihir akan mengena kepada mereka yang jauh dari nilai-nilai ilahiyah dan
dekat dengan setan. Karena itu, sesuatu yang sudah pasti berdasarkan wahyu
Allah dan ternyata berbeda dengan hadits atau sunah maka hadits dan sunah yang
harus disingkirkan.
Gugatan
terhadap hadis Bukhari dilakukan juga oleh Muhibbin Noor, guru besar IAIN
Walisongo, Semarang.[5]
Menurut Muhibbin, tidak semua hadits yang terdapat dalam kitab Jami'
al-Shahih karya Imam Bukhari itu benar-benar shahih. Terdapat
beberapa hadits yang termasuk kategori lemah dan palsu serta yang bertentangan
dengan al-Quran maupun antarhadits di dalam kitab tersebut.
Ada pula yang
tidak sesuai dengan fakta sejarah, seperti
tentang Isra Mi'raj. Di dalam kitab itu, disebutkan bahwa terjadinya
Isra Mi'raj itu sebelum menjadi Nabi. Faktanya, Isra Mi'raj itu setelah
Rasulullah diutus menjadi Nabi. Kemudian, ada pula hadits Nabi yang
bertentangan dengan ayat al-Quran. Contohnya, tentang seseorang yang meninggal
dunia akan disiksa jika si mayat ditangisi ahli warisnya bertentangan dengan
ayat al-Quran bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain.
Muhibbin
menyebutkan bahwa kelemahan Bukhari, salah satunya tentang minimal jumlah
perawi hadits yang harus meriwayatkan hadits. Di dalam kitab tersebut ditemukan
cukup banyak hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi.
Begitu juga
dalam hal persambungan sanad hadits terdapat kelemahan, yaitu ada hadits yang muallaq,
mursal, dan munqathi` (terputus). Bahkan, ada perawi hadits yang
tidak tsiqah, bahkan dituduh majhul (tidak diketahui
identitasnya), dianggap kadzab (berbohong), dan lainnya. Misalnya,
Asbath Abu al-Yasa` Al-Bashri. Ia tidak diketahui identitasnya atau majhul,
dan menyalahi riwayat orang-orang tsiqah; Ismal bin Mujalad, seorang
perawi yang dhaif (lemah) dan tidak termasuk orang yang kuat hafalannya;
dan Hisyam bin Hajir, Ahmad bin Yazid bin Ibrahim Abu Al-Hasan Al-Harani, dan
Salamah bin Raja' sebagai perawi dhaif. Begitu juga Ubay bin Abbas
dikenal sebagai perawi yang tidak kuat hafalannya dan munkir al-hadits.
Doktor
lulusan IAIN Sunan Kali Jaga ini mengatakan, selain ada hadits yang
bertentangan dengan al-Quran maupun hadits Nabi saw sendiri dan tidak sesuai
dengan fakta sejarah, juga diragukan hadits yang banyak mengungkapkan tentang
masa depan. Misalnya, tentang ungkapan, 'alaikum bi sunnati wa sunnati
khulafa`ur rasyidin (Ikutlah kalian akan sunahku dan sunah khulafa`ur
rasyidin). Bagaimana mungkin Rasulullah saw mengucapkan hadits ini, padahal
saat itu belum ada khulafa`ur rasyidin. Khalifah yang empat baru ada
setelah Rasulullah saw wafat.
Muhibbin Noor
mengutip Al-Daruquthni, menyatakan terdapat sekitar 110 hadits palsu dalam
kitab Jami' al-Shahih karya Imam Bukhari dari sejumlah 6.000-an hadits.
Di antara hadits yang dinilainya lemah dan palsu, yaitu tentang poligami,
kehidupan dalam rumah tangga, pernikahan, dan lainnya.
Dalam hadis
riwayat Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah saw menikahi Maimunah pada saat
berihram. Ini bertentangan dengan hadits Nabi saw yang melarang melakukan
pernikahan selama masa haji atau berihram. Kemudian, pernyataan Rasulullah
menikahi Maimunah pada waktu ihram juga bertentangan dengan hadits yang ditulis
Al-Bukhari sendiri bahwa Rasulullah menikahi Maimunah setelah bertahalul.
Karena itu, Muhibbin menilai bahwa dalam kitab Jami' al-Shahih terdapat
ketidaklayakan sebagai hadits shahih karena adanya pertentangan atau
ketidaksesuaian dengan nash al-Quran dan sunah mutawatirah,
bertentangan dengan sirah nabawiyah dan fakta sejarah, adanya
materi hadis yang mengandung prediksi atau ramalan dan bersifat politis, serta
mengandung fanatisme kesukuan.
Sikap kritis
dalam menerima hadits dan sunah dilakukan juga oleh seorang cendekiawan Muslim
asal Bandung, Jalaluddin Rakhmat (Kang Jalal), yang secara khusus telah menulis
kritik terhadap hadits yang berkaitan dengan sosok Rasulullah saw.
Menurut Kang
Jalal, sejarah (tarikh) Nabi Muhammad saw yang sampai kepada umat Islam
sekarang sudah tidak shahih karena ditulis sesuai dengan kepentingan
penguasa. Setelah Rasulullah saw wafat dan sejak berkuasanya Dinasti Umayyah,
banyak hadits yang dibuat-buat oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab
untuk memuliakan dan mengagungkan penguasa serta mengunggulkan mazhabnya.
Karena itu,
untuk memperoleh tarikh Nabi saw yang shahih harus memisahkan
fakta dari fiksi, dan kebenaran dari dusta. Dalam upaya menguji kebenaran tarikh
Nabi saw, khususnya hadits dan sunah, Kang Jalal menggunakan tiga tahap: pertama,
mengujinya dengan doktrin al-Quran bahwa Muhammad saw adalah teladan yang baik
dan berakhlak mulia; kedua, mempertemukan riwayat Nabi saw dengan pesan
Allah dalam al-Quran. Jika hadits atau sunah itu sesuai dengan al-Quran maka
bisa diterima; jika tidak maka wajib ditolak; ketiga, mengujinya dengan
kritik sanad (orang yang mengabarkan) dan matan (isi/materi)
dengan tambahan analisa aliran politik dari periwayat hadits.[6]
Dari
penelitiannya, Kang Jalal menemukan riwayat-riwayat yang bertentangan dengan
gambaran Rasulullah saw dalam al-Quran, seperti tentang turunnya wahyu pertama
yang dikabarkan dari Aisyah binti Abu Bakar. Padahal, Aisyah pada masa itu
belum lahir.
Dalam hadits
tersebut disebutkan juga bahwa Jibril menyampaikan wahyu kepada Rasulullah saw
dengan cara yang mengerikan, didekap dengan keras sampai kepayahan dan
ketakutan. Sangat berbeda dengan yang diinformasikan dalam al-Quran surah
Al-An`aam [6] ayat 125 bahwa orang yang mendapat pendapat petunjuk mengalami
kelapangan dada, kelegaan hati, dan ketentraman jiwa. Bukan sebaliknya.
Begitu juga
tentang riwayat yang menyatakan Nabi Muhammad saw lupa rakaat shalat,[7]
ketika mau shalat lupa mandi janabah,[8]dan
menonton tarian orang-orang hitam di masjid sambil bermesraan dengan Aisyah.[9]
Melihat riwayat hadits seperti ini tampak bahwa utusan Allah tidak dijaga Allah
dan berperilaku seperti dalam film dan budaya Barat.
Menurut Kang
Jalal, hadis tersebut bertentangan dengan akhlak dan sifat Nabi Muhammad yang
digambarkan dalam al-Quran: teladan utama (QS Al-Ahzab [33]: 21), berakhlak
yang agung (QS Al-Qalam [68]: 4), tidak sesat atau keliru dan tidak berdasarkan
hawa nafsu (keinginannya) karena ucapannya berdasarkan wahyu (QS An-Najm [53]:
2-4). Karena itu, umat Islam harus kritis dan membandingkannya dengan ayat-ayat
Allah; karena al-Quran terjaga dari kesalahan sehingga kebenarannya terjamin.
Allah Ta`ala berfirman, “Sesungguhnya, Kami (Allah) yang
menurunkan al -Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya.” (QS Al-Hijr [15]: 9). Bahkan, hadis tentang keutamaan
sahabat Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan At-Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi
(5/696 No.3862) pun termasuk dhaif.
Berikut ini
hadisnya: telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya yang berkata telah
menceritakan kepada kami Ya’qub bin Ibrahim bin Sa’ad yang berkata telah
menceritakan kepada kami Ubaidah bin Abi Ra’ithah dari Abdurrahman bin Ziyad
dari Abdullah bin Mughaffal yang berkata Rasulullah saw bersabda, “Demi Allah,
Demi Allah tentang shahabatku, Demi Allah, Demi Allah tentang shahabatku,
Janganlah kalian menjadikannya sebagai sasaran caci maki sepeninggalku.
Barangsiapa mencintai mereka maka karena cinta kepadakulah dia mencintai mereka
dan barang siapa membenci mereka maka karena benci kepadakulah dia membenci
mereka dan barangsiapa menyakiti mereka maka dia menyakiti Aku dan siapa yang
menyakiti Aku sungguh ia telah menyakiti Allah Swt dan barang siapa menyakiti
Allah Swt dikhawatirkan Allah Swt akan menyiksanya.”
Hadis
tersebut dhaif (lemah) karena di dalamnya terdapat perawi yang tidak
dikenal (majhul), yaitu Abdurrahman bin Ziyad. Ia adalah perawi yang
tidak jelas. Ada yang menyebutkan namanya Abdurrahman bin Ziyad, ada yang
menyebutkan namanya Abdurrahman bin Abdullah, ada pula yang menyebutnya
Abdullah bin Abdurrahman dan Abdurrahman bin Abi Ziyad.
Perbedaan
nama-nama tersebut menunjukkan ketidakjelasan siapa dia sebenarnya. Misalnya
nama Abdurrahman bin Ziyad terdapat Musnad Ahmad 5/54 no 20568, Musnad Ahmad
5/57 no 20597, Fadhail Ash Shahabah no 1, Musnad Al Jami’ no 9479, Syu’ab Al
Iman 2/191 no 1511, Tarikh Baghdad 9/125 no 4741; Abdullah bin Abdurrahman
dalam kitab Hilyatul Awliya 8/287, Shahih Ibnu Hibban 16/244 no 7256, As Sunnah
no 992, Tarikh Al Kabir juz 5 no 389, Adh Dhu’afa 2/272 no 833, Al Kamil 4/167;
nama Abdurrahman bin Abdullah dalam kitab Musnad Ahmad 5/54 no 20568, Musnad
Ahmad 5/57 no 20597, Fadhail Ash Shahabah no 1, Musnad Al Jami’ no 9479, Syu’ab
Al Iman 2/191 no 1511, Tarikh Baghdad 9/125 no 4741; nama Abdurrahman bin Abi
Ziyad dalam kitab Adh Dhu’afa Al Uqaili 2/272 no 833; nama Abdul Malik bin
Abdurrahman dalam kitab Tahdzib At Tahdzib juz 6 no 359. Al-Bukhari dalam Tarikh
Al Kabir juz 5 no 389 menyebutkan namanya Abdullah bin Abdurrahman dan
Bukhari telah memberikan cacat padanya dengan sebutan fiihi nazhar (perlu
diteliti lagi). Begitu juga dengan Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 6 no 359 dan
Adz Dzahabi dalam Mizan Al I’tidal no 4867 menyebutkan biografi Abdurrahman bin
Ziyad dan mengutip Ibnu Main yang mengatakan bahwa Abdurrahman bin Ziyad tidak
dikenal.
Bagaimana
dengan hadis dalam mazhab Syiah? Penelitian terhadap kitab hadis Syiah seperti Al-Kafi,[10]
At-Tahdzib,[11]
Al-Ihtibshar,[12]
dan Man Layahdharul Faqih,[13]
dilakukan juga oleh para ulama Syiah. Menurut golongan ulama Khabariyah (Akhbari)
bahwa kitab hadis Syiah termasuk shahih. Namun, bagi ulama Uhusuliyah perlu
diteliti dahulu karena dalam kitab hadis Syiah ada kategori shahih, hasan, muwats-tsaq
(perawi non-Syiah), dan dhaif. Ada pula kitab Bihârul Anwâr
yang disusun oleh Baqir Al-Majlisi yang terdiri dalam 26 jilid, Al Wafie fi
'Ilmi al-Hadits disusun oleh Muhsin al-Kasyani terdiri dalam 14 juz dan
merupakan kumpulan dari empat kitab hadits utama, Tafshil Wasail Syi'ah Ila
Tahsil Ahadist Syari'ah disusun oleh Al-Hus Asy-Syâmi' al 'Amili, Jami'
al Ahkam disusun oleh Muhammad Ar-Ridla Ats-Tsairi Al-Kâdzimi (w.1242 H)
terdiri dalam 25 jilid, dan kitab hadis lainnya.
Kitab hadis
Sunni maupun Syiah pada dasarnya perlu untuk dikaji secara kritis berdasarkan
kajian historis, analisis aliran politik, dan konteks zaman disusunnya kitab
tersebut. Semakin dikaji dengan kritis maka akan terlihat kedudukan benar dan
salahnya sehingga kita dapat mengambil hadis-hadis yang perlu diamalkan dan
yang perlu ditinggalkan. *** (Ahmad Sahidin, alumni uin sgd bandung)
[1] Hadits ini diriwayatkan oleh Hakim dalam kitab Al-Mustadrak dan dalam kitab Al-Muwatha tanpa
sanad.
[2] Lihat Shahih At-Tirmizi (versi Arab), jilid 5, h.222-663 dilaporkan
lebih dari 30 sahabat dengan berbagai rantai periwayatan (sanad)
Al-Mustadrak oleh hakim. Dalam bab memahami (keutamaan) sahabat jilid 3,
h.109,100,148, dan 533. Hakim juga menyatakan bahwa hadits-hadits shahih
menutur kriteria dua Syekh (Bukhari dan Muslim); Sunan Daramis jilid 2
h.432; Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 3, h.14,17, 26,59; jilid 4, h.336,
370-372; jilid 5, h.182,189,350,366,419; Fadha’il Ash-Shahabah, Ahmad
bin Hambal, jilid 2, h.585 hadits ke 990; Al-Khasha’ish Nasa ‘i h.
h.21.30; As-Sawiq Al-Muhriqah. Ibnu Hajar haitsami, Bab II, bagian 1,
h.230; Al-Kabir, Thabari, jilid 3, h.62-63 137; Kanz al-Ummal,
Muttaqi hindi, bab al-I’tisham bi Hablilah, jilid 1, h. 44; Tafsir Ibnu
Katsir (versi lengkap) jilid 4, h.113, pada komentar pada ayat-ayat 42:23
(empat edisi); At-Tabaqat Al-Kubra, Ibnu Sa’d jilid 2 h.194, publikasi
dar Isadder Libanon; al-Jami’ash shaghir, Suyuthi jilid 1 h.194 juga
pada jilid 2; Majda az’Zawa’i. Haitsami, jilid 9 h.163; Al-Fatih Al-Kabitr,
Binhani, jilid 1 h.451; Ushul Ghabah fi Ma’rifat ash-Shahabat, Ibnu
Atsir, jilid 2 h.12; Jami al-Ushul. Ibu Atsir, jilid 1 h.187; Hisory
of ibn Asakir, jilid 5, h. 436; At-Tajul Jamilil Ushul, jilid 3
h.308; al-Durr al-Mantsur Hafizh Suyuthi, jilid 2 h.60; Yamabi
al-Mawadah, Qunduzi Hanafi h.38,183; Abaqat Al-Anwar, jilid 1 h.16,
dan masih banyak yang lain.
[3] Perhatikanlah bahwa kata ‘rijs’ dalam ayat di atas mendapatkan
awalan al- yang membuat makna kata tersebut menjadi umum/universal. Jadi
‘ar-Rijs’ bermakna setiap jenis ketidak murnian/kekotoran. Juga, dalam
kalimat terakhir ayat di atas, Allah menegaskan ‘dan mensucikanmu
sesuci-sucinya’. Kata ‘sesuci-sucinya’ merupakan makna penegasan dari masdar
‘tathhiran’. Inilah satu-satunya ayat dalam Quran di mana Allah Swt
menggunakan penekanan ‘sesuci-sucinya’.
[4] Hadits ini terdapat dalam Shahih-Turmudzi, jilid 72, h.85; Musnad Ahrnad
Ibn Hanbal, jilid 3, h. 258; al-Mustadrak, Hakim, jilid 3, h.158 yang menulis bahwa hadis ini shahih sesuai dengan
kriteria Bukhari dan Muslim (tapi keduanya tidak melaporkan); Tafsir al-Durr al-Manfsur, Suyuthi, jilid 5, h.197, 199; Tafsir, Ibnu Jarir Thabari, jilid 22, h.5,6 (mengatakan ‘selama tujuh bulan’); Tafsir, Ibnu Katsir, jilid 3, h. 483; Musnad,
Tialasi, jilid 8, h.274; Usd al-Ghabah, Ibnu Atsir, jilid 5, h.146.
[5] Penelitian disertasi Muhibbin Noor ini telah dibukukan dengan judul Kritik
Kesahihan Hadis Imam al-Bukhari:Telaah Kritis atas Kitab al-Jami' al-Shahih
yang diterbitkan oleh Penerbit Waqtu pada 2003 dengan ketebalan 236 halaman.
[6] Jalaluddin Rakhmat, Al-Mustafa:
Pengantar Studi Kritis Tarikh Nabi saw (Bandung: Muthahhari Press, 2002) h. 46-47.
[7] Tarjamah Shahih Bukhari, jilid 1:322, hadits nomor
471, terjemahan Achmad Sunarto dkk, Semarang: Asy-Syifa, 1993.
[8] Shahih al-Bukhari, jilid 1:108, hadits
nomor176, terjemahan H.Zainuddin Hamidy, et.al, Terjemah Hadits Shahih
Bukhari. Jakarta: Widjaya.
[9]Tarjamah Shahih Bukhari, jilid 2: 42, hadits nomor
912, terjemahan Achmad Sunarto dkk, Semarang: Asy-Syifa, 1993.
[10] Kitab Al-Kafi disusun oleh Abu Ja`far Muhammad bin Ya`qub Al-Kulayni
(w.328 H.) selama 20 tahun, terdapat 16.090 hadits yang sanadnya sampai kepada
para Imam Ahlulbait Nabi saw.
[11] Kitab At-Tahzib disusun oleh Syaikh Muhammad bin Hasan Ath-Thusi (w.460
H.). Penyusunannya mengikuti metode Al-Kulayni dan di dalamnya memuat 13.095
hadits.
[12] Kitab Al-Istibshar disusun oleh Muhammad bin Hasan Ath-Thusi dan memuat
sebanyak 5.511 haditst.
[13] Kitab Ma La Yahdluruhu Al-Faqih disusun oleh Ash-Shadduq Abi Ja'far
Muhammad bin 'Ali bin Babawaih Al-Qummi (w.381 H.) dan memuat 9.044 hadits.