Minggu, 01 Oktober 2023

ISLAM Bagaikan Air

ISLAM bagaikan air yang mengalir dari mata air yang jernih. Ia mengalir dari dataran tinggi turun ke dataran rendah. Saat mengalir tidak dapat disangkal kalau air terkontaminasi dengan berbagai kotoran yang terdapat pada setiap aliran sungai. Karena itu, untuk menjernihkannya perlu proses penyulingan. Maksudnya, jika kita ingin mereguk atau mendapatkan keaslian Islam harus steril dari kontaminasi dan virus berbahaya sejak wafat Rasulullah saw sampai sekarang. Karena itu, umat Islam harus berupaya mensterilkan pemahaman keagamaan dengan kajian kritik historis[1]sebelum menerapkan dalam keseharian.  

Berkaitan dengan ini, Rasulullah saw pernah bersabda, “Sesungguhnya, banyak dusta dan kebohongan dinisbatkan kepada diriku.[2] Mengapa hal itu sampai terjadi? Imam Ali bin Abu Thalib ra menerangkan bahwa orang-orang pada zaman Nabi Muhammad saw terbagi empat. Pertama, seorang munafik yang menampakkan keimanan dan berpura-pura dalam keislaman. Orang yang termasuk ini adalah mereka yang membuat perkataan dan ucapannya sendiri, tetapi menyandarkan semua itu kepada Rasulullah. Setelah Nabi Muhammad wafat, mereka mendekatkan diri kepada pemimpin-pemimpin yang sesat dan menginginkan jabatan dan kemewahan dunia. Kedua, seseorang yang mendengar sesuatu (hadits) dari Rasulullah saw, tetapi tidak kuat ingatannya kemudian ragu dan keliru, bahkan tidak sengaja berbuat bohong. Dalam setiap pembicaraannya, orang itu berkata: aku telah mendengarnya dari Rasulullah saw begini dan begitu. Ketiga, seorang yang mendengar dari Rasulullah saw tentang suatu larangan dan perintah, tetapi pada saat lain Nabi membatalkannya dan orang itu tidak mengetahuinya. Atau mereka yang mendengar pembatalan itu, tetapi tidak mendengar yang sebelumnya. Keempat, seorang yang jujur, tidak berdusta, dan tidak memalsukan sesuatu dari Allah maupun Rasul-Nya. Ia benci kedustaan karena takut kepada Allah dan menghormati Rasul-Nya. Bahkan, ia hapal ucapan Rasulullah saw dan menyampaikannya dengan sebenar-benarnya serta tidak menambahkan maupun mengurangi. Ia hapal ketentuan yang menghapus atau menggantikan ketentuan sebelumnya kemudian mengamalkannya. Begitu pun ia hapal ketentuan yang telah dihapuskan Rasulullah saw kemudian menghindarinya. Orang ini pun tahu ucapan yang bersifat umum dan meletakkan sesuai dengan tempat dan benar. Juga mengetahui yang khusus dan meletakkan sesuai dengan tempat dan benar pula. Bahkan, ia pun pandai dalam membedakan antara hadits yang bermakna jelas dan tegas serta mengetahui hadits yang maknanya samar dan simbolik sehingga tidak dapat diketahui secara pasti. Banyak orang yang mendengar hadits, tetapi tidak paham isi dan maksudnya serta mengapa diucapkan. Tidak semua sahabat berani meminta penjelasan dari Rasulullah dan akan merasa senang jika ada yang menanyakannya.[3]

Itulah sebabnya dalam menerima riwayat maupun hadis kita perlu bersikap kritis. Jangan-jangan hadits yang dianggap shahih oleh ulama terdahulu ternyata setelah dikaji malah bertentangan dengan al-Quran. Alih-alih mengikuti sunnah Nabi malah terperosok dalam kesesatan. Kalau sudah seperti itu siapa yang disalahkan? Para ulama yang tidak selektif dalam menghimpun hadits atau kaum Muslim yang malas membedakan antara yang benar dan salah.

Tentunya semua orang tidak mau disalahkan. Bahkan, tidak sedikit orang yang ketika terbukti salah malah mengatakan bagian dari ijtihad. Akibat tidak ada standar yang jelas dan diakui seluruh umat Islam dalam menguji sebuah riwayat maka wajar kalau setiap orang saling berebut pengakuan. Bahkan, tidak segan berani melakukan tindakan anarkis dengan mengatasnamakan amar ma`ruf nahi munkar. Alih-alih mewujudklan Islam yang rahmatan lil a`lamin malah menjadi la`natan a`lamin? Jelas hal ini perlu direnungkan bersama kemudian mencari solusinya dengan terlebih dahulu menelusuri asal muasalnya. Bahkan, fenomena tersebut sempat dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad saw sendiri semasa hidupnya. 

Dalam riwayat Tirmidzi, Al-Hakim, dan Ibnu Jarir yang bersumber dari Hasan bin Ali bahwa Muhammad saw bermimpi melihat keluarga Umayyah menduduki dan menguasai mimbarnya setelah beliau wafat. Pada riwayat lain diceritakan Rasulullah saw bermimpi melihat sekelompok kera yang bergelantungan di mimbar masjid. Di hadapan mimbar tersebut beberapa Muslim mundur berangsur-angsur. Beliau terbangun dan merasa tidak senang dengan mimpi tersebut. Kemudian Allah menghiburnya dengan menurunkan surah Al-Kautsar [108] ayat 1 dan Al-Qadar [97] ayat 1-5.

Sejarah mencatat bahwa yang dikhawatirkan Nabi Muhammad saw memang terjadi. Setelah wafat Nabi Muhammad saw, lahirlah orang-orang yang memanfaatkan jabatan khalifah untuk kepentingan pribadi dan politik. Mereka naik ke mimbar dan berbicara tentang Islam dengan indah dan memikat, tetapi diiringi kepentingan pribadi dan legitimasi kekuasaan. Bahkan, muncul sekelompok orang yang menganggap paling ittiba dalam sunnah Nabi dan menilai kelompok lain sebagai ghair-sunnah, gahir-ittiba, ahlul bid`ah, dan zindiq. Tidak hanya itu, di antara firqah (sekte) terjadi saling mencaci dan saling menyalahkan.

Tidak jarang kita menemukan orang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasululah saw. Namun, dalam perilaku dan urusan keseharian tidak merujuk pada Kitab Allah dan Sunnah Nabawiyah. Yang dijalankannya dalam keseharian, baik ibadah maupun kehidupan sosial kemasyarakatan, adalah Islam yang berasal dari para ulama dan guru ngaji, bukan Islam yang berasal dari sumbernya. Inilah kondisi Islam pascaRasulullah saw. Ajaran dan nilai-nilai Islam sudah tidak murni karena sudah bercampur dengan kepentingan pribadi, politik, ekonomi, mazhab, dan lainnya.

Islam pascaRasulullah saw hanya tinggal nama karena Islam yang asli berganti dengan Islam palsu—yang ditafsirkan dan dipahami untuk kepentingan identitas, mazhab, politik, ekonomi, dan lainnya. Dalam istilah lain, Sunnah Nabawi telah berganti dengan sunnah jahili.

Memang kaum Muslim terdahulu yang mengikuti petunjuk Nabi Muhammad saw masih dapat mengenali mana yang benar dan sesat. Untuk kaum Muslim sekarang cukup sulit karena catatan sejarah dan buku-buku panduan ibadah maupun ajaran-ajaran Islam yang terkandung dalam buku-buku agama sudah tidak steril dari berbagai kontaminasi politik dan mazhab sehingga perlu dijernihkan.

Ajaibnya, hampir setiap ulama atau pemikir Islam yang muncul secara langsung atau tidak, mengaku bahwa pemahaman keagamaannya yang paling murni dan bersih. Tidak jarang pula masing-masing organisasi Islam atau mazhab juga mengklaim paling benar dan paling sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah Nabawiyah. Kalau sudah saling klaim, tentu perlu melakukan kajian ulang dengan standar kebenaran yang dapat diakui semua organisasi Islam dan mazhab. Adakah itu?

Saya kira perlu untuk ditelusuri dari buku ke buku; dari pemikiran ke pemikiran; dan dari pemahaman ke pemahaman. Jelas ini suatu kerja besar yang perlu dilakukan umat Islam kontemporer dengan mengacu pada kerja ilmiah dan kesadaran beragama yang tulus dengan rujukan utama Al-Quran. Namun, urusan pemahaman agama meski merujuk pada teks suci senantiasa terjadi perbedaan. Untuk memecahkannya memang dibutuhkan otoritas agama yang benar-benar diakui seluruh Dunia Islam.

Kalau kita melihat saudara kita dari kaum Muslim Syiah yang ini sedang menantikan kehadiran Imam Mahdi yang menjadi pemegang otoritas Islam secara global. Mereka terus menyiapkan dirinya untuk kehadirannya dengan berbagai gerakan politik dan pengembangan khazanah Islam. Mereka yakin bahwa umat Islam akan mengalami kejayaan dan kemakmuran kalau dipimpin oleh Imam Mahdi. Selama bukan oleh pemegang otoritas agama, meski dipegang ulama ternama pasti mengalami kekurangan dan mengundang kritik dari orang-orang yang tidak menyepakatinya atau kelompok yang berbeda dengannya.

Sementara kaum Muslim Sunni kini masih saling bertikai dalam pemikiran di antara ulama dan cendekiwannya, sehingga pembaruan yang dilakukan senantiasa mengalami perbaikan dan pengembangan. Dalam ajaran Islam yang dipahami kaum Sunni, sekarang ini tidak jelas siapa yang menjadi pemegang otoritas agama Islam: ulama atau pemerintah? Tidak jarang pemerintah dengan ulama saling bertolak belakang dalam menjalankan program pembangunan masyarakat dan menentukan masa depan umat Islam. Bahkan, tidak jarang ulama dan cendekiawan berada dalam telunjuk pemerintah sehingga dengan mudah mengeluarkan fatwa-fatwa yang melancarkan kemauan dan kehendak penguasa dalam mengatur masyarakatnya. Memang akan bernilai positif kalau program tersebut berpihak pada masyarakat, tetapi yang terjadi diperuntukan kepentingan pemerintah dan penguasa yang ingin mempertahankan tahta dan mengeruk harta dari masyarakat.   

Karena itu, kalau melihat sejarah panjang Islam saya beranggapan bahwa Islam kini tinggal sejarah. Islam yang dalam konteks ajaran murni telah berhenti periodenya saat wafat Nabi Muhammad saw. Sedangkan Islam yang berkembang sejak wafat Nabi Muhammad saw sampai sekarang adalah Islam sebagai pemahaman kaum Muslim terhadap ajaran-ajaran yang dirujuk dari sumbernya: Allah dan Muhammad saw.

Saya sepakat dengan Abdul Karim Soroush, cendekiawan Muslim asal Iran, bahwa Islam yang berkembang dan dipeluk umat Islam sekarang ini adalah Islam identitas. Islam yang hanya berbentuk label dan pemahaman-pemahaman keagamaan. Tidak jarang umat Islam hanya cukup menjalankan agama berdasarkan pemahaman gurunya, ulama, dan cendekiawan. Umat Islam tidak lagi berani untuk melakukan kajian kritis terhadap pemahaman guru dan ulama yang dirujuknya. Karena itu, Islam setelah Rasulullah saw merupakan Islam yang berwajah identitas mazhab, ideologi, dan Islam versi ulama.

Begitulah perjalanan sejarah Islam. Tidak salah memang kalau ada sekelompok umat Islam yang ingin menghadirkan Islam masa Rasulullah saw pada masa sekarang. Tidak salah juga kalau ada kelompok Islam yang menganggap masa Rasulullah saw sekadar referensi dan inspirasi untuk membangun Islam sesuai konteks zaman dan penyesuaian dengan khazanah peradaban modern. Mengurai kehidupan dan permasalahan umat Islam tidak cukup dengan sekadar percaya pada analisa orang, tetapi membutuhkan sikap kritis dalam melihat perjalanan umat Islam dari zaman ke zaman.

Bagi saya kelompok-kelompok Islam tersebut tengah berupaya mencari solusi atas berbagai permasalahan yang dihadapi umat Islam untuk membuat kehidupan semakin lebih baik. Saya percaya mereka sedang berupaya menjawab tantangan zaman dan menyelesaikan persoalan umat agar kehidupan umat semakin lebih baik. *** (ahmad sahidin)


[1] Persoalan kritik historis dalam ilmu sejarah merupakan tahapan setelah mendapatkan sumber atau data sejarah. Namun, tidak semua data masa lalu bisa bisa menjadi sumber penulisan sejarah (historiografi). Yang termasuk ke dalam sumber sejarah itu hanya ada dua: saksi mata sejarah dan naskah (tercetak) atau jejak arkeologis. Menurut Kuntowijoyo, untuk yang pertama sangat susah sekali menemukannya. Apalagi jika yang dikajinya itu peristiwa atau masa yang berabad-abad pasti tidak akan ditemukan orang yang hidupnya ratusan tahun. Karena itu, sumber yang pertama ini untuk penelusurannya kadang diabaikan kecuali jika rentang waktunya dekat. Hanya naskah yang tercetak atau jejak arkeologis yang memungkinkan bisa menjadi sumber untuk merekonstruksi sebuah peristiwa atau penulisan sejarah. Selanjutnya, data yang ada itu harus diuji kebenarannya diuji dengan bantuan berbagai disiplin ilmu sebelum benar-benar dinyatakan sebagai sumber yang valid. Untuk membuktikan bahwa sumber itu benar-benar otentik harus dibuktikan dengan melakukan kritik historis. Setelah sumber itu lolos maka sumber itu bisa dikatakan fakta sejarah kemudian masuk tahapan interpretasi sejarah. Setelah tahapan pencarian fakta dan data, kritik historis, dan interpretasi dilalukan, barulah dapat ditulis menjadi karya.sejarah.

[2]  Lihat Syaikh Kulaini, Ushul Kafi, jilid 1, h.62.

[3]  Lihat Muhammad Al-Baqir, Mutiara Nahjul Balaghah (Bandung: Mizan, 2001) h.31-33.