ISLAM bagaikan air yang mengalir dari mata air yang jernih. Ia mengalir dari dataran tinggi turun ke dataran rendah. Saat mengalir tidak dapat disangkal kalau air terkontaminasi dengan berbagai kotoran yang terdapat pada setiap aliran sungai. Karena itu, untuk menjernihkannya perlu proses penyulingan. Maksudnya, jika kita ingin mereguk atau mendapatkan keaslian Islam harus steril dari kontaminasi dan virus berbahaya sejak wafat Rasulullah saw sampai sekarang. Karena itu, umat Islam harus berupaya mensterilkan pemahaman keagamaan dengan kajian kritik historis[1]sebelum menerapkan dalam keseharian.
Berkaitan dengan ini, Rasulullah saw pernah bersabda, “Sesungguhnya,
banyak dusta dan kebohongan dinisbatkan kepada diriku.”[2]
Mengapa hal itu sampai terjadi? Imam Ali bin Abu Thalib ra menerangkan bahwa
orang-orang pada zaman Nabi Muhammad saw terbagi empat. Pertama, seorang
munafik yang menampakkan keimanan dan berpura-pura dalam keislaman. Orang yang
termasuk ini adalah mereka yang membuat perkataan dan ucapannya sendiri, tetapi
menyandarkan semua itu kepada Rasulullah. Setelah Nabi Muhammad wafat, mereka
mendekatkan diri kepada pemimpin-pemimpin yang sesat dan menginginkan jabatan
dan kemewahan dunia. Kedua, seseorang yang mendengar sesuatu (hadits)
dari Rasulullah saw, tetapi tidak kuat ingatannya kemudian ragu dan keliru,
bahkan tidak sengaja berbuat bohong. Dalam setiap pembicaraannya, orang itu
berkata: aku telah mendengarnya dari Rasulullah saw begini dan begitu. Ketiga,
seorang yang mendengar dari Rasulullah saw tentang suatu larangan dan perintah,
tetapi pada saat lain Nabi membatalkannya dan orang itu tidak mengetahuinya.
Atau mereka yang mendengar pembatalan itu, tetapi tidak mendengar yang
sebelumnya. Keempat, seorang yang jujur, tidak berdusta, dan tidak
memalsukan sesuatu dari Allah maupun Rasul-Nya. Ia benci kedustaan karena takut
kepada Allah dan menghormati Rasul-Nya. Bahkan, ia hapal ucapan Rasulullah saw
dan menyampaikannya dengan sebenar-benarnya serta tidak menambahkan maupun
mengurangi. Ia hapal ketentuan yang menghapus atau menggantikan ketentuan
sebelumnya kemudian mengamalkannya. Begitu pun ia hapal ketentuan yang telah
dihapuskan Rasulullah saw kemudian menghindarinya. Orang ini pun tahu ucapan
yang bersifat umum dan meletakkan sesuai dengan tempat dan benar. Juga
mengetahui yang khusus dan meletakkan sesuai dengan tempat dan benar pula.
Bahkan, ia pun pandai dalam membedakan antara hadits yang bermakna jelas dan
tegas serta mengetahui hadits yang maknanya samar dan simbolik sehingga tidak
dapat diketahui secara pasti. Banyak orang yang mendengar hadits, tetapi tidak
paham isi dan maksudnya serta mengapa diucapkan. Tidak semua sahabat berani
meminta penjelasan dari Rasulullah dan akan merasa senang jika ada yang menanyakannya.[3]
Itulah sebabnya dalam menerima riwayat maupun hadis kita perlu
bersikap kritis. Jangan-jangan hadits yang dianggap shahih oleh ulama terdahulu
ternyata setelah dikaji malah bertentangan dengan al-Quran. Alih-alih mengikuti
sunnah Nabi malah terperosok dalam kesesatan. Kalau sudah seperti itu siapa
yang disalahkan? Para ulama yang tidak selektif dalam menghimpun hadits atau
kaum Muslim yang malas membedakan antara yang benar dan salah.
Tentunya semua orang tidak mau disalahkan. Bahkan, tidak sedikit orang yang ketika terbukti salah malah mengatakan bagian dari ijtihad. Akibat tidak ada standar yang jelas dan diakui seluruh umat Islam dalam menguji sebuah riwayat maka wajar kalau setiap orang saling berebut pengakuan. Bahkan, tidak segan berani melakukan tindakan anarkis dengan mengatasnamakan amar ma`ruf nahi munkar. Alih-alih mewujudklan Islam yang rahmatan lil a`lamin malah menjadi la`natan a`lamin? Jelas hal ini perlu direnungkan bersama kemudian mencari solusinya dengan terlebih dahulu menelusuri asal muasalnya. Bahkan, fenomena tersebut sempat dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad saw sendiri semasa hidupnya.
Dalam riwayat Tirmidzi, Al-Hakim, dan Ibnu Jarir yang bersumber dari
Hasan bin Ali bahwa Muhammad saw bermimpi melihat keluarga Umayyah menduduki
dan menguasai mimbarnya setelah beliau wafat. Pada riwayat lain diceritakan Rasulullah
saw bermimpi melihat sekelompok kera yang bergelantungan di mimbar masjid. Di
hadapan mimbar tersebut beberapa Muslim mundur berangsur-angsur. Beliau
terbangun dan merasa tidak senang dengan mimpi tersebut. Kemudian Allah menghiburnya
dengan menurunkan surah Al-Kautsar [108] ayat 1 dan Al-Qadar [97] ayat 1-5.
Sejarah mencatat bahwa yang dikhawatirkan Nabi Muhammad saw memang
terjadi. Setelah wafat Nabi Muhammad saw, lahirlah orang-orang yang
memanfaatkan jabatan khalifah untuk kepentingan pribadi dan politik. Mereka
naik ke mimbar dan berbicara tentang Islam dengan indah dan memikat, tetapi
diiringi kepentingan pribadi dan legitimasi kekuasaan. Bahkan, muncul sekelompok
orang yang menganggap paling ittiba dalam sunnah Nabi dan menilai
kelompok lain sebagai ghair-sunnah, gahir-ittiba, ahlul bid`ah, dan
zindiq. Tidak hanya itu, di antara firqah (sekte) terjadi saling mencaci
dan saling menyalahkan.
Tidak jarang kita menemukan orang yang mengaku beriman kepada
Allah dan Rasululah saw. Namun, dalam perilaku dan urusan keseharian tidak
merujuk pada Kitab Allah dan Sunnah Nabawiyah. Yang dijalankannya dalam
keseharian, baik ibadah maupun kehidupan sosial kemasyarakatan, adalah Islam
yang berasal dari para ulama dan guru ngaji, bukan Islam yang berasal
dari sumbernya. Inilah kondisi Islam pascaRasulullah saw. Ajaran dan
nilai-nilai Islam sudah tidak murni karena sudah bercampur dengan kepentingan
pribadi, politik, ekonomi, mazhab, dan lainnya.
Islam pascaRasulullah saw hanya tinggal nama karena Islam yang
asli berganti dengan Islam palsu—yang ditafsirkan dan dipahami untuk
kepentingan identitas, mazhab, politik, ekonomi, dan lainnya. Dalam istilah
lain, Sunnah Nabawi telah berganti dengan sunnah jahili.
Memang kaum Muslim terdahulu yang mengikuti petunjuk Nabi Muhammad
saw masih dapat mengenali mana yang benar dan sesat. Untuk kaum Muslim sekarang
cukup sulit karena catatan sejarah dan buku-buku panduan ibadah maupun
ajaran-ajaran Islam yang terkandung dalam buku-buku agama sudah tidak steril
dari berbagai kontaminasi politik dan mazhab sehingga perlu dijernihkan.
Ajaibnya, hampir setiap ulama atau pemikir Islam yang muncul
secara langsung atau tidak, mengaku bahwa pemahaman keagamaannya yang paling
murni dan bersih. Tidak jarang pula masing-masing organisasi Islam atau mazhab
juga mengklaim paling benar dan paling sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah
Nabawiyah. Kalau sudah saling klaim, tentu perlu melakukan kajian ulang dengan
standar kebenaran yang dapat diakui semua organisasi Islam dan mazhab. Adakah
itu?
Saya kira perlu untuk ditelusuri dari buku ke buku; dari pemikiran
ke pemikiran; dan dari pemahaman ke pemahaman. Jelas ini suatu kerja besar yang
perlu dilakukan umat Islam kontemporer dengan mengacu pada kerja ilmiah dan
kesadaran beragama yang tulus dengan rujukan utama Al-Quran. Namun, urusan
pemahaman agama meski merujuk pada teks suci senantiasa terjadi perbedaan.
Untuk memecahkannya memang dibutuhkan otoritas agama yang benar-benar diakui
seluruh Dunia Islam.
Kalau kita melihat saudara kita dari kaum Muslim Syiah yang ini
sedang menantikan kehadiran Imam Mahdi yang menjadi pemegang otoritas Islam
secara global. Mereka terus menyiapkan dirinya untuk kehadirannya dengan berbagai
gerakan politik dan pengembangan khazanah Islam. Mereka yakin bahwa umat Islam
akan mengalami kejayaan dan kemakmuran kalau dipimpin oleh Imam Mahdi. Selama
bukan oleh pemegang otoritas agama, meski dipegang ulama ternama pasti
mengalami kekurangan dan mengundang kritik dari orang-orang yang tidak
menyepakatinya atau kelompok yang berbeda dengannya.
Sementara kaum Muslim Sunni kini masih saling bertikai dalam pemikiran
di antara ulama dan cendekiwannya, sehingga pembaruan yang dilakukan senantiasa
mengalami perbaikan dan pengembangan. Dalam ajaran Islam yang dipahami kaum Sunni,
sekarang ini tidak jelas siapa yang menjadi pemegang otoritas agama Islam:
ulama atau pemerintah? Tidak jarang pemerintah dengan ulama saling bertolak
belakang dalam menjalankan program pembangunan masyarakat dan menentukan masa
depan umat Islam. Bahkan, tidak jarang ulama dan cendekiawan berada dalam
telunjuk pemerintah sehingga dengan mudah mengeluarkan fatwa-fatwa yang
melancarkan kemauan dan kehendak penguasa dalam mengatur masyarakatnya. Memang
akan bernilai positif kalau program tersebut berpihak pada masyarakat, tetapi
yang terjadi diperuntukan kepentingan pemerintah dan penguasa yang ingin
mempertahankan tahta dan mengeruk harta dari masyarakat.
Karena itu, kalau melihat sejarah panjang Islam saya beranggapan
bahwa Islam kini tinggal sejarah. Islam yang dalam konteks ajaran murni telah
berhenti periodenya saat wafat Nabi Muhammad saw. Sedangkan Islam yang
berkembang sejak wafat Nabi Muhammad saw sampai sekarang adalah Islam sebagai
pemahaman kaum Muslim terhadap ajaran-ajaran yang dirujuk dari sumbernya: Allah
dan Muhammad saw.
Saya sepakat dengan Abdul Karim Soroush, cendekiawan Muslim asal
Iran, bahwa Islam yang berkembang dan dipeluk umat Islam sekarang ini adalah
Islam identitas. Islam yang hanya berbentuk label dan pemahaman-pemahaman
keagamaan. Tidak jarang umat Islam hanya cukup menjalankan agama berdasarkan
pemahaman gurunya, ulama, dan cendekiawan. Umat Islam tidak lagi berani untuk
melakukan kajian kritis terhadap pemahaman guru dan ulama yang dirujuknya.
Karena itu, Islam setelah Rasulullah saw merupakan Islam yang berwajah
identitas mazhab, ideologi, dan Islam versi ulama.
Begitulah perjalanan sejarah Islam. Tidak salah memang kalau ada sekelompok
umat Islam yang ingin menghadirkan Islam masa Rasulullah saw pada masa
sekarang. Tidak salah juga kalau ada kelompok Islam yang menganggap masa
Rasulullah saw sekadar referensi dan inspirasi untuk membangun Islam sesuai
konteks zaman dan penyesuaian dengan khazanah peradaban modern. Mengurai
kehidupan dan permasalahan umat Islam tidak cukup dengan sekadar percaya pada
analisa orang, tetapi membutuhkan sikap kritis dalam melihat perjalanan umat
Islam dari zaman ke zaman.
Bagi saya kelompok-kelompok Islam tersebut tengah berupaya mencari solusi atas berbagai permasalahan yang dihadapi umat Islam untuk membuat kehidupan semakin lebih baik. Saya percaya mereka sedang berupaya menjawab tantangan zaman dan menyelesaikan persoalan umat agar kehidupan umat semakin lebih baik. *** (ahmad sahidin)
[1] Persoalan kritik
historis dalam ilmu sejarah merupakan tahapan setelah mendapatkan sumber atau
data sejarah. Namun, tidak semua data
masa lalu bisa bisa menjadi sumber penulisan sejarah (historiografi). Yang
termasuk ke dalam sumber sejarah itu hanya ada dua: saksi mata sejarah dan
naskah (tercetak) atau jejak arkeologis. Menurut Kuntowijoyo, untuk yang
pertama sangat susah sekali menemukannya. Apalagi jika yang dikajinya itu
peristiwa atau masa yang berabad-abad pasti tidak akan ditemukan orang yang
hidupnya ratusan tahun. Karena itu, sumber yang pertama ini untuk
penelusurannya kadang diabaikan kecuali jika rentang waktunya dekat. Hanya
naskah yang tercetak atau jejak arkeologis yang memungkinkan bisa menjadi
sumber untuk merekonstruksi sebuah peristiwa atau penulisan sejarah.
Selanjutnya, data yang ada itu harus diuji kebenarannya diuji dengan bantuan
berbagai disiplin ilmu sebelum benar-benar dinyatakan sebagai sumber yang
valid. Untuk membuktikan bahwa sumber itu benar-benar otentik harus dibuktikan
dengan melakukan kritik historis. Setelah sumber itu lolos maka sumber itu bisa
dikatakan fakta sejarah kemudian masuk tahapan interpretasi sejarah. Setelah
tahapan pencarian fakta dan data, kritik historis, dan interpretasi dilalukan,
barulah dapat ditulis menjadi karya.sejarah.
[2]
Lihat Syaikh Kulaini, Ushul Kafi, jilid 1, h.62.
[3]
Lihat Muhammad Al-Baqir, Mutiara Nahjul Balaghah (Bandung: Mizan,
2001) h.31-33.