Umat Islam meyakini bahwa al-Quran sebagai Kitab Suci yang kebenarannya berlaku sepanjang sejarah. Al-Quran turun pada kondisi masyarakat Arab tidak memiliki pedoman hidup sehingga Allah menurunkannya bersamaan dengan Nabi akhir zaman Muhammad saw. Wahyu pertama turun di Gua Hira di Jabal Nur yang terletak di Sebelah Utara Masjidil Haram, Makkah. Bentuk Gua Hira agak memanjang dan berada di belakang dua batu raksasa yang sangat dalam dan sempit. Gua ini hanya bisa didiami sekitar lima orang dan cukup untuk tidur tiga orang berdampingan karena tinggi gua hanya sebatas orang berdiri atau dua meter. Di kawasan ini tidak ditemui tanaman, hanya kegersangan dan hawa panas yang menghiasai Jabar Nur. Apalagi batu-batu besar menambah keadaan sekitar Gua Hira terasa menakutkan.
Menjelang
usia 40 tahun, Muhammad bin Abdullah menjadikan Gua Hira sebagai tempat
merenung (tafakur) karena resah dengan kehidupan penduduk Makkah yang
penuh maksiat dan menjadi penyembah berhala serta menemukan jalan keluarnya.
Kemudian Allah menurunkan wahyu kepada Muhammad yang sekaligus tanda
diangkatnya sebagai Rasulullah pada 17 Ramadhan (sekira 610 Masehi). Sedikitnya
ada sepuluh riwayat tentang turunnya wahyu Allah kepada Rasulullah saw. Di
antaranya diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah binti Abi Bakar bahwa: “Wahyu
pertama yang diterima Rasulullah saw dimulai dengan suatu mimpi yang benar.
Dalam mimpi itu beliau melihat cahaya terang laksana fajar menyingsing di pagi
hari. Kemudian beliau digemarkan (oleh Allah) untuk melakukan ‘uzlah.
Beliau melakukan uzlah di Gua Hira melakukan ibadah selama beberapa
malam kemudian pulang kepada keluarganya untuk mengambil bekal. Demikianlah
berulang kali hingga suatu saat beliau dikejutkan dengan datangnya kebenaran di
dalam Gua Hira.
Pada
suatu hari datanglah Malaikat lalu berkata, “Bacalah”. Beliau menjawab, “Aku
tidak dapat membaca.” Beliau menceritakan bahwa Malaikat itu lalu mendekati aku
dan memelukku sehingga aku merasa lemah sekali. Kemudian aku dilepaskan. Ia
berkata lagi, “Bacalah.” Aku menjawab, “Aku tidak dapat membaca.” Ia mendekati
aku lagi dan mendekapku sehingga aku merasa tidak berdaya sama sekali kemudian
aku dilepaskan. Ia berkata lagi, “Bacalah.” Aku menjawab, “Aku tidak dapat
membaca.” Untuk yang ketiga kalinya ia mendekati aku dan memelukku hingga aku
merasa lemas kemudian aku dilepaskan. Selanjutnya, ia berkata lagi, “Bacalah
dengan nama Rabb-mu yang telah menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal
darah...” dan seterusnya (surah al-Alaq [96]:1-5).
Kemudian
Rasulullah saw segera pulang dalam keadaan gemetar sekujur badannya menemui
Khadijah dan berkata, “Selimutilah aku ... selimutilah aku!” Kemudian beliau
diselimuti hingga hilang rasa takutnya. Setelah itu, beliau berkata kepada
Khadijah, “Hai Khadijah, tahukah engkau mengapa aku tadi begitu?” Lalu beliau
menceritakan apa yang baru dialaminya. Selanjutnya, beliau berkata: “Aku
sesungguhnya khawatir terhadap diriku.” Khadijah menjawab: ”Tidak!
Bergembiralah! Demi Allah, sesungguhnya tidak akan membuat Anda kecewa. Anda
seorang yang suka menyambung tali keluarga, selalu menolong orang yang susah,
menghormati tamu, dan membela orang yang berdiri di atas kebenaran.”
Beberapa
saat kemudian Khadijah, mengajak Muhammad pergi menemui Waraqah bin Naufal,
salah seorang anak paman Khadijah. Di masa jahiliah ia memeluk agama Nasrani.
Ia dapat menulis huruf Ibrani, bahkan pernah menulis bagian-bagian dari Injil
dalam bahasa Ibrani. Ia seorang yang sudah lanjut usia dan telah kehilangan
penglilatannya. Kepadanya Khadijah berkata: “Wahai anak pamanku, dengarkanlah
apa yang hendak dikatakan oleh anak-lelaki saudaramu (yakni Muhammad saw).”
Waraqah bertanya kepada Muhammad saw: “Hai anak saudaraku, ada apakah
gerangan?” Kemudian Rasulullah saw menceritakan apa yang dilihat dan dialami di
dalam Gua Hira. Setelah mendengar keterangan Rasulullah saw, Waraqah berkata:
“Itu adalah Malaikat yang pernah diutus Allah kepada Musa. Alangkah bahagianya
seandainya aku masih muda perkasa! Alangkah gembiranya seandainya aku masih
hidup tatkala kamu diusir oleh kaummu!” Rasulullah saw bertanya: “Apakah mereka
akan mengusir aku?” Waraqah menjawab: “Ya. Tak seorangpun yang datang membawa
seperti yang kamu bawa kecuali akan diperangi. Seandainya kelak aku masih hidup
dan mengalami hari yang kaan kamu hadapi itu, pasti kamu kubantu sekuat
tenagaku.”
Menurut
Muhammad Al-Ghazali, Ja`far Murtadha Amili, dan Jalaluddin Rakhmat, hadits
tersebut bertentangan dengan Al-Quran dan fakta sejarah. Aisyah binti Abu Bakar
yang mengabarkannya pada masa itu belum lahir sehingga tidak mungkin mengetahui
sejarah turunnya wahyu pertama. Pada hadits itu juga disebutkan Jibril
menyampaikan wahyu kepada Rasulullah saw dengan cara yang mengerikan, didekap
dengan keras sampai kepayahan, dan ketakutan, serta Muhammad saw
tidak mengetahui perihal kenabiannya sehingga harus mengkonfirmasi kepada tokoh
agama Nasrani. Sangat berbeda dengan yang
diinformasikan dalam al-Quran surah Al-An`aam [6] ayat 125, adh-Dhuha
[93]: 6-11, dan al-Insyirah [94]: 1-3 bahwa
yang mendapatkan petunjuk (wahyu) jiwanya akan merasakan tenang, tenteram,
gembira, dan dadanya lega karena sudah datang pencerahan. Karena itu, orang yang mendapat wahyu seperti Muhammad bin Abdullah
harusnya digambarkan gembira karena mengalami kelapangan dada, kelegaan hati,
dan jiwa karena merasakan ketenteraman luarbiasa atas nikmat yang luar biasa.
Kembali
pada pembahasan al-Quran bahwa wahyu al-Quran diturunkan kepada Muhammad saw
sesuai dengan respons masyarakat terhadap dakwah Rasulullah saw. Para ahli
tafsir kemudian mengurutkan surah-surah dan
ayat-ayat al-Quran berlandaskan pada atsar. Menurut
Sayyid Muhammad Husain Thabathabai bahwa kefasihan
dan keindahan bahasa al-Quran yang luar biasa membuat takjub orang-orang Arab
yang menggandrungi kefasihan dan keindahan bahasa sehingga dari berbagai tempat
yang jauh mereka datang untuk mendengarkan beberapa ayat dari Nabi Muhammad
saw. Melihat respons orang-orang yang begitu antusias, para pembesar Makkah
berupaya keras menjauhkan orang dari Nabi dan tidak memberi kesempatan untuk
mendengarkan Al-Quran. Mereka beralasan bahwa al-Quran merupakan sihir.
Sebenarnya bukanlah sihir, tetapi kebenaran yang mampu menyadarkan orang untuk
masuk Islam. Umar bin Khaththab, salah seorang tokoh musyrik Makkah, masuk
Islam hanya karena mendengar ayat al-Quran surah Thaha yang dibacakan adiknya.
Ayat-ayat al-Quran yang turun kepada Nabi Muhammad saw kemudian dihapal oleh
kaum Muslim untuk kepentingan ibadah, shalat misalnya. Ketika Nabi Muhammad saw
di Madinah, memerintahkan sekelompok sahabat untuk mengajarkan, mempelajari,
dan menyebarkannya. Sebagian ada yang mencatatnya atas petunjuk Nabi. Bahkan,
Rasulullah memanfaatkan para tawanan untuk mengajar beberapa orang sahabat
sehingga para sahabat dapat membaca dan menulis ayat demi ayat yang diterima
dari Nabi Muhammad saw. Para sahabat yang tekun membaca al-Quran, menghapal,
dan memelihara ayat-ayat al-Quran dengan menuliskannya
pada lembaran kulit binatang dan pelepah kurma inilah yang dikenal dengan sebutan
al-qurra. Kemudian sesudah wafat Rasulullah dan banyaknya al-qurra`
yang meninggal dunia akibat peperangan, Ali bin Abi Thalib di rumahnya
menghimpun al-Quran dalam satu mushaf menurut urutan turunnya yang
diselesaikan sekira enam bulan sejak wafatnya Rasulullah dan
mengusungnya di atas punggung unta untuk diperlihatkan kepada kaum Muslim.
Begitu juga saat Abu Bakar berkuasa, memerintahkan sekelompok qurra`
sahabat di bawah pimpinan Zaid bin Tsabit untuk menghimpun al-Quran dalam satu mushaf.
Setelah selesai, mereka menyalinnya kemudian dibagikan ke beberapa negeri yang
menjadi bagian dari wilayah Islam. Satu mushaf al-Quran tersebut
disimpan di rumah Hafshah binti Umar bin Khaththab. Ketika Utsman bin Affan
berkuasa, ia memerintahkan orang-orang untuk mengambil mushaf yang
disimpan Hafsah dan memerintahkan lima orang sahabat yang dipimpin oleh Zaid
bin Tsabit untuk menyalinnya ke dalam lima mushaf al-Quran.
Utsman memerintahkan agar semua mushaf yang terdapat pada kaum
Muslim atau ada di negeri-negeri wilayah Islam dikumpulkan dan dikirimkan ke
Madinah kemudian dibakar. Sebagai gantinya, lima salinan mushaf
Utsmani (Utsman bin Affan) ini masing-masing dibagikan ke Makkah, Suriah,
Kufah, dan Bashrah, serta satu lagi di Madinah. Antara mushaf al-Quran
yang dihimpun atas perintah Abu Bakar dan mushaf yang disusun atas
perintah Utsman bin Affan tidak berbeda, kecuali dalam satu hal, yaitu surah
al-Bara'ah (At-Taubah) dalam mushaf Abu Bakar diletakkan di antara
surah-surah mi'un (surah-surah yang lebih dari 100 ayat)
dan surat al-Anfal diletakkan di antara surah-surah matsani
(surah-surah yang kurang dari 100 ayat) Sedangkan dalam mushaf
Utsman bin Affan, surah al-Anfal dan al-Bara'ah diletakkan di antara surah
al-A'raf dan Yunus.
Mushaf al-Quran
inilah kemudian yang disahkan oleh Utsman bin Affan sebagai pegangan umat Islam
hingga sekarang, termasuk kaum Muslim diperbolehkan untuk menyalin dan
menyebarkannya. Apabila terdapat mushaf yang tidak sama dari segi isi
maupun susunannya, pasti segera dimusnahkan.
Persoalan
penyusunan mushaf al-Quran tidak menjadi perdebatan yang berkepanjangan
karena keaslian al-Quran telah dijamin Allah sehingga terjaga dari penyimpangan.
Allah Taala berfirman, “Sesungguhnya, Kami-lah yang menurunkan al-Quran dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS al-Hijr[15]:9) Bahkan,
Allah menantang orang-orang untuk membuat yang serupa dengan al-Quran jika
memang ragu atas kebenaran, keaslian dari al-Quran, dan kemukjizatannya.
Dalam
khazanah kajian al-Quran, yang menjadi perdebatan adalah penafsiran al-Quran,
baik itu tafsir maupun takwil. Entah sudah berapa ribu karya tafsir
al-Quran yang dihasilkan para ulama sejak pascawafat Rasulullah saw hingga
sekarang. Sebut misalnya Ali bin Abi Thalib, Ibnu
Abbas, Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah, Thawus bin Kisan Al-Yamani, Atha bin
Abi Rabah, Zaid bin Aslam, Abul Aliyah, Muhammad bin Kaab Al-Qurazhi, Algamah
bin Qais, Masruq bin Al-Ajda, Aswad bin Yazid, Amir Asy- Sya`bi, Hasan
Al-Bashri, Qatadah As-Sadusi, Yazid bin harun As-Sulami, Syuaibah bin
Al-Hajjaj, Al-Jarrah, Sufyan bin Uyainah, Abdul Razzag bin Hammam, Ibnu Jarir
Ath-Thabari, Ali bin Al-Madini, Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam, Ibnu Qutaibah,
Muhammad bin Khalaf, Abu Bakar Muhammad Al-Qasim Al-Ambari, Abu Bakar
As-Sijistani, Abu Bakar Al-Baqillani, Ali bin Ibrahim bin Said Al-Hufi, Mulla Shadra,
Izzuddin bin Abdissalam, Alamuddin As-Syakhawi, Ali bin Ibrahim bin Said,
Jalaluddin Al-Balqini, Jalaluddin As-Suyuthi, Musthafa Shadiq, Sayyid Muhammad
Husein Thabathaba`i, Sayyid Qutbh, Muhammad Musthafa Al-Maraghi, Muhibbudin
Al-khatib, Musthafa Shabri, Muhammad Abdullah Darraz, Jamaluddin Al-Qasimi,
Thahir Al-Jazairi, Muhammad Ali Salamah, Ahmad Muhammad Jamal, Muhammad Quraish
Shihab, dan lainnya.
Menurut Sayyid Muhammad Husein Thabathaba`i dalam buku Memahami
Esensi Al-Quran, perkembangan tafsir dalam mazhab Ahlu Sunnah dimulai
periode sahabat (setelah wafat Rasulullah saw) yang menggunakan metode kutipan
atau penjelasannya menggunakan hadits-hadits Rasulullah saw.
Metode ini masih digunakan pula oleh mufasir generasi tabi`in dan tabiit
tabi`in, seperti Mujahid (w.103 H.), Sa'id bin Jubair (w.94 H.), Ikrimah
(w.10 H.), Ad-Dhahak, Hasan Al-Basri (w.115 H.), Atha bin Abi Rabah (w.115 H.),
Atha bin Abi Muslim (w.133 H.), Abu Aliyah, Muhammad bin Ka'b Al-Kuradhi,
Qatadah (w.117 H.), Athiyah, Zaid bin Aslam (w.136 H.), Thawus Al-Yamani (w.106
H.), Rabi' bin Anas, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dan Abu Shalih Al-Kilbi.
Setelah periode mereka, para mufasir menyusun tafsirnya
dalam sebuah kitab tersendiri, seperti Sufyan bin Uyainah (w.198 H.), Waki`bin Al-Jarah
(w.197 H.), Syu`bah bin Haijaj (w.160 H.), Abd bin Hamid, dan Muhammad bin
Jarir bin Yazid Ath-Thabari (w.310 H.). Mereka meriwayatkan pendapat-pendapat
para sahabat dan tabiin tanpa mengemukakan pendapatnya sendiri.
Mufasir periode selanjutnya adalah mereka yang menghimpun
hadits-hadits dengan membuang sanad dan memasukkan pendapat sahabat dan tabiin,
kisah dan cerita, asbabun nuzul, nasikh,
dan mansukh. Kemudian muncul
ulama yang melakukan penafsiran menurut spesialisasi dan disiplin ilmu yang
dikuasainya. Mereka yang ahli bahasa Arab melakukan penafsiran al-Quran dari
tinjauan bahasa, seperti Az-Zajaj, Al-Wahidi, dan Abu Hayan.
Mereka
yang ahli sastra menafsirkan al-Quran dari sudut sastra, seperti Az-Zamakhsyari
dalam kitab Al-Kasyaf. Mereka
yang ahli teologi menafsirkan al-Quran dari sudut pandang teologi, seperti
Al-Fahruddin Ar-Razi dalam kitab Al-Kabir dan Mafatihul Ghaib.
Kaum sufi melakukan penafsiran al-Quran dari perspektif
sufi, seperti Ibnu Arabi dan Abdurrazaq Al-Kasyani. As-Tsa'labi menulis tafsir
dengan menggunakan cerita. Ahli fikih menafsirkan al-Quran dari
tinjauan fikih, seperti Al-Qurthubi.
Ada pula mufasir yang menggunakan
berbagai ilmu pengetahuan dalam menafsirkan Al-Quran, seperti tafsir Ruhul Maani karya Syihabudin Al-Alusi dari Baghdad, Ruhul Bayan karya Syaikh Ismail Haqi, dan An-Naisaburi dan Gharaibul Quran karya Nidhamudin Hasan Al-Qummi
An-Naisaburi.
Perkembangan tafsir al-Quran dalam mazhab Syiah berbeda dengan Ahlussunnah,
khususnya dalam metode dan pembagian kelompok tafsirnya. Ath-Thabathaba`i menerangkan, berdasarkan nash
Al-Quran bahwa sabda Nabi Muhammad saw dan para Imam Ahlulbait Nabi Muhammad
saw merupakan yang berhak dalam menafsirkan al-Quran. Mufasir Syiah periode pertama adalah mereka
yang mengemukakan tafsir al-Quran berdasarkan keterangan Rasulullah dan para
Imam Ahlul Bait kemudian dimasukkan pada kitab tafsir yang ditulis oleh Zurarah
bin A'yun bin Muslim, Muhammad bin Muslim, Ma'ruf, dan Jarir. Periode kedua
adalah ulama-ulama Syiah seperti Furat bin Ibrahim Al-Kufi, Abu Hamzah
As-Tsali, Muhammad bin Mas'ud al-Kufi as-Samarkandi al-Iyasyi, Ali bin Ibrahim
Al-Qummi, dan Muhammad bin Ibrahim an-Nu'mani. Mereka
menggunakan metode yang digunakan mufasir periode pertama dan memasukkannya
hadits-hadits Rasulullah saw dan para Imam Ahlu Bait dengan menyebutkan sanad. Periode ketiga adalah mufasir
yang memiliki berbagai macam ilmu pengetahuan, seperti Asy-Syarif ar-Ridha
Muhammad bin Husain al-Musawi dengan corak sastra; Syaikh Thaifah Muhammad bin
Hasan Ath-Thusi dengan corak teologi; Shadrul Muta`allihin Muhammad bin
Ibrahim Asy-Syirazi (Mulla Shadra) dengan corak filsafat; Al-Maibadi
Al-Kunabadi dengan corak tasawuf; Syaikh Abdul Ali Al-Huwaizi, Sayyid Hasyim
Al-Bahrani, Al-Faidhul Kasyani dengan kitab tafsir berjudul Nuruts Tsaqalain, Al-Burhan, dan Ash-Shafi. Kemudian ada juga ulama Syiah yang mengumpulkan berbagai macam
ilmu pengetahuan dalam kitab tafsir seperti Syaikh Aminul Islam al-Fadl bin
Hasan Ath-Thabarsi dengan karyanya berjudul Majma'ul Bayan; dan Sayyid
Muhammad Husein Thabathaba`i yang berjudul Tafsir Al-Mizan. Kemudian
pada zaman modern lahir beberapa kitab tafsir seperti Al-Manar karya
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Fi Zhilalil Quran karya Sayyid Quthb, Al-Furqan
karya A.Hassan, Al-Azhar karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir Al-Quran Al-Karim karya Syaikh Mahmud Syaltut, Abbas Mahmud
Al-Aqqad menulis Al-Insan fi Al-Quran dan Al-Mar'ah fi Al-Quran, Al-Maududi
menulis Al-Riba fi Al-Quran, Jalaluddin Rakhmat menulis Tafsir Sufi
al-Fathihah dan Tafsir Bil Ma`tsur, Muhammad Dawam Rahardjo menulis Ensiklopedi
Al-Quran, dan Muhammad Quraish Shihab menulis Tafsir Al-Mishbah, dan
lainnya.
Perkembangan
tafsir sangat beragam, baik corak, metode, maupun mazhabnya. Bahkan, cendekiawan
Muslim kontemporer pun tidak segan-segan menggunakan metode hermeneutika dalam
menafsirkan nash-nash agama. Dalam studi hermeneutika sendiri terbagi
pada dua kutub penafsiran. Kutub pertama adalah yang menganggap hasil
penafsiran yang dilakukan seseorang (termasuk kelompoknya) merupakan kebenaran
yang absah karena teks (nash) yang telah terlepas dari pengarangnya
adalah berdiri-sendiri (otonom) dan tidak ada sangkut-pautnya lagi dengan
pengarang. Karena iu, interpretasi apa pun (yang dihasilkan pembaca atau
penafsir) adalah sah (apalagi bermakna dan bermanfaat untuk kehidupannya).
Kutub kedua
adalah beranggapan bahwa penafsiran adalah tindakan subjektif yang berdasarkan
pada pra-anggapan dan pra-asumsi sebelumnya (atau sesuatu yang melekat di
benaknya). Karena itu, penafsiran yang dihasilkannya adalah hanya berusaha
mendekati atau menggapai kebenaran yang ada pada pengarangnya.
Penafsiran
liberal berpengaruh kepada Asghar Ali Engineer, Farid Esack, Hasan Hanafi, dan
Nasr Hamid Abu Zayd. Mereka pendapat bahwa
tafsir tentang ayat-ayat suci al-Quran tidak akan pernah berakhir karena yang
paling mengerti akan arti sebuah teks tersebut adalah pembuatnya, Allah. Para
mufasir pun pada dasarnya hanya berusaha memahami apa yang dimaksudkan-Nya
sehingga terjadi keanekaragaman tafsir. Namun, keadaan ini akan menimbulkan
masalah karena setiap diri akan merasa dan menilai bahwa dirinya yang paling
paham akan arti sebuah teks tersebut. Karena itu, persoalan kebenaran dan
tafsir (agama) tidak pernah seragam. Ia senantiasa berbeda dan berlainan satu
sama lain. Tidak tunggal. Bahkan, dari tafsir itu sendiri melahirkan penafsiran
yang beraneka ragam.
Sebagaimana
diungkapkan Abu Ja`far, ayah Ja`far Ash-Shadiq bahwa dalam satu ayat al-Quran
memiliki tujuh tafsir dan dalam setiap tafsirnya mengandung beberapa penafsiran
lagi. Hal tersebut sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw, ‘Ina lil qur-aani
dhahran wa bathnan wa libathnihi bathnan ilaa sab’ati abtunin (sesungguhnya
Al-Quran itu ada lahir dan ada batinnya. Untuk setiap batin ada batinnya lagi,
sampai tujuh batin).[1]
Karena itu,
persoalan tafsir memang tidak akan pernah selesai sampai muncul akhir kehidupan
dunia. Selama manusia membaca, menelaah, dan memikirkan segala sesuatu yang
berkaitan dengan persoalan agama (Islam) akan banyak melahirkan berbagai macam
tafsir atau pemahaman agama. Lalu, dari perbedaan itu melahirkan kelompok atau
mazhab; dan dari mazhab itu akan muncul pecahannya dalam bentuk sekte kecil
yang terpisah dari induknya.
Tafsir bukanlah kebenaran yang mutlak. Kebenaran yang paling nyata dari sebuah tafsir adalah seberapa besar kontribusi (manfaat) yang diberikan seseorang atau penafsir terhadap agama, bangsa, kemanusiaan, masyarakat, dan keluarga.*** (Ahmad Sahidin, alumni UIN SGD Bandung)
[1] Hadits ini terdapat dalam kitab Kanz al-`Ummal (jilid I, h.550),
Al-Itqan (jilid 2, h. 486), Furu` al-Kafi (jilid 4, h. 459), `Ilal
al-Syara`i (h..606), Ushul al-Kafi (jilid I, h. 374), Tafsir al-`Iyyasyi
(jilid I, h.2,11,12), al-Khishal
(jilid 2, h.358), al-Mahasin (h.300), Bashaa-ir al-Darajat (h.196), Shahih Bukhari (jilid 4, h.227), Shahih
Muslim (jilid I, h.561) dan lainya.