Jumat, 10 Maret 2023

Cultural Studies dan Fenomena Arus Budaya

ADA yang menarik perihal budaya, terutama mengenai istilah budaya itu sendiri. Menurut  kirata (kira-kira nyata) berasal dari  kata  budi,yang artinya potensi yang ada pada manusia, dan daya, yang berarti optimalisasi sepenuhnya. Apabila disatukan menjadi budaya yang didefinisikan sebagai hasil kreativitas potensi manusia yang diproses hingga mewujud dalam bentuk aktual yang ada dalam kehidupan manusia.

Selain pendapat di atas, saya menemukan istilah budaya berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu buddhayah (yang merupakan jamak dari kata budi=akal). Almarhum Endang Saefudin Anshari menyatakan, budaya merupakan istilah lain dari culture, yang pada mulanya diambil dari kata kerja bahasa Latin yaitu colo/colore—diartikan yang membuat, mengolah, mengerjakan dan mendiami. 

Pada masa Yunani klasik Herodotus (hidup abad 5 SM) dengan tulisan epos menceritakan persoalan kebudayaan dengan istilah arke. Lalu di abad pasca pertengahan  digantikan dengan istilah etnografi/etnology. Kemudian pada awal abad 20, tepatnya di Inggris bahwa masalah-masalah yang berhubungan dengan manusia termasuk unsur-unsur kebudayaan yang kompleks diintegrasikan oleh para tokoh Barat dengan istilah antropology dan tahun 1964-an lahirlah istilah cultural studies. 

Disiplin cultural studies ini di Indonesia telah dijadikan salah satu konsentrasi Studi Magister pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta. Mungkin karena perubahan istilah studi budaya inilah yang menjadikan UGM dan UI melakukan sentralisasi studi humaniora, filsafat, sastra dan ilmu-ilmu sosial pada Ilmu Pengetahuan Budaya sebagai pusat (ilmu) pengetahuan.

Dari perubahan istilah studi budaya itu, saya menegaskan bahwa budaya sebagai perwujudan aktual dari cipta-karsa-karya manusia, pada perjalanannya mengalami perkembangan yang dinamis. Contohnya kendaraan yang digunakan manusia. Dulu manusia menggunakan binatang sebagai kendaraan. Karena ada keterbatasan kapasitas maka diciptakan kereta gerobak, motor dan mobil, kereta api dan kapal terbang. Atau perkakas rumah tangga seperti alat minum yang mulanya dari kui (potongan dari bambu) atau bekong (dari batok kelapa); lalu menggunakan kendi (dari tanah liat) dan sekarang menggunakan gelas (dari keramik, plastik maupun kaca). 

Dari hal di atas jelas bahwa proses perubahan budaya (dan istilah studi budaya) berkembang sesuai dengan kebutuhan, efesiensi, dan pengaruh-pengaruh yang masuk pada lokalitas-lokalitas budaya yang ada di masanya. Karena di dalamnya ada "hal-hal" yang dihasilkan dari potensi-potensi manusia, maka kemudian disebut dengan istilah kebudayaan. Yakni kebudayaan dalam arti kompleks karena tidak pernah ada yang disebut "budaya-murni" atau beridentitas tunggal, tetapi bersifat "plural" yang di dalamnya ada sub-sub budaya; dan satu sama lain berbeda namun keberadaannya dalam satu wadah yaitu kebudayaan. 

Selain term kebudayaan ada juga yang di sebut dengan peradaban. Samuel  P. Huntington mendefinisikannya sebagai pengelompokkan menusia tertinggi dan tingkat identitas kebudayaan yang luas; yang membedakan satu kelompok dengan kelompok masyarakat lainnya. Atau rumpun yang mempunyai persamaan  bahasa, sejarah, agama, institusi budaya dan identitasnya. Adapun yang menyatukan sekelompok masyarakat ke dalam satu peradaban adalah kesamaan nilai-nilai agama dan tata sosial yang dipelihara sebagai bentuk kehidupannya; atau "entitas" budaya yang memiliki keragaman budaya yang lebih luas, tidak terikat, dan bahkan bisa keluar dari standar yang baku. 

Cultural Studies dan Proyek Besar

Memang dalam cultural studies gaya operasionalnya tidak terpaku pada satu pendekatan tetapi interdisipliner dan multi-metodologi. Bahkan saking multi-nya cultural studies-an sendiri menganggap dirinya anti-disiplin. Karena itulah saya membaginya pada dua wilayah. Pertama wilayah teoritis-metodologis yang meliputi hakikat, faktor-faktor, sifat-sifat, konsep-konsep (diaspora, mimikri, counter culture, local wisdom, hegemoni, dominasi, minoritas, mayoritas, resistensi dan anti-resistensi, kontestasi dll) dan aliran-aliran pendekatan (metodologis) seperti emic-etic (Clifford Geertz), strukturalisme (Ferdinand de Saussure, Claude Levi Strauss), etnometodologi (PP. Broca—Perancis, R. Virchov—Jerman, G. Sergi—Italia, EB. Tylor—Inggris) dan lain-lain. 

Sementara yang kedua adalah subject-matter budaya yang di dalamnya terdapat sub-sub atau unsur-unsur yang meliputi benda material; sistem sosial society ; sistem religi; bahasa; kesenian; mata pencaharian; dan ilmu pengetahuan. Atau bisa dikatakan membahas pelbagai hal yang berkaitan dengan fenomena manusia seperti kreatifitas, praktik-praktik budaya dan bentuk-bentuk kebudayaan yang ada, baik di masa lalu, masa kini maupun perencanaan-perencanaan kebudayaan baru. Dan memang cultural studies pada awalnya ditandai dengan maraknya pembebasan masyarakat kulit hitam dan emigran yang termarjinalkan (cross cultural society) oleh dominasi masyarakat kulit putih.

Inilah salah satu alasan lahirnya cultural studies yaitu pada tahun 1964 dengan nama Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) di Universitas Bermingham, Inggris. Adapun pendirinya antara lain Richard Hoggard, John Stuart Hall dan Raymond Williams, yang ketiganya merupakan intelektual yang berasal dari kelas bawah. Mereka berupaya mengangkat kebudayaannya (yang sering dianggap rendah) dengan meminjam pelbagai teori dan metodologi cabang-cabang studi humaniora. 

Cultural studies memang punya kehendak untuk melawan diskriminasi, penindasan dan mengungkap pelbagai ideologi sekaligus merekonstruksi dan mengubah struktur dominan dalam masyarakat. Menurut Antonius Sumarwan (dosen STF Driyarkara, Jakarta), cultural studies ini telah mengambil inspirasi dari marxisme, yang mengasumsikan bahwa masyarakat industri kapitalis terbagi secara tidak seimbang menurut garis kelas, gender dan etnik.8 Sehingga pada tahun 1970-an, cultural studies tertarik untuk mencermati life style kalangan hitam seperti mods, rocker, rap dan punk; yang tingkah lakunya dianggap simbol perlawanan terhadap budaya dominan. 

Kemudian di tahun 1980-an, cultural studies memperluas kajiannya pada isu-isu gender, perbedaan ras, identitas dan pengalaman kolonialisme dan bahkan cultural studies telah meluaskan pengaruhnya di berbagai dunia. Di Canada, cultural studies menggali konsep-konsep praktik kebangsaan; di Australia, cultural studies menjadi sarana untuk membebaskan Australia dari pengaruh superioritas budaya Inggris; dan di Perancis, cultural studies berbicara pada persoalan identitas kaum imigran dari daerah bekas jajahan; dan begitupun di negeri India, cultural studies mengelola persoalan transformasi masyarakat pra-modern menuju masyarakat modern—dengan menggunakan cerita-cerita dari kelompok petani dan pemberontak yang melakukan perlawanan terhadap penjajah Inggris.

Dan memang cultural studies membahas persoalan seperti post-kolonial, multikulturalisme, ras dan identitas, ruang diaspora, gender, mitos dll; sehingga yang menjadi lahan kajiannya adalah segala bentuk representasi budaya seperti koran, majalah, televisi, tradisi, karya sastra dan segala bentuk praktik kebudayaan yang terjadi. 

Namun jika ditilik-tilik mengenai hadirnya cultural studies memang dapat membawa angin segar dalam membaca atau mengkaji kebudayaan lokal di masyarakat (seperti yang saya lakukan pada mitos Mundinglaya). Namun dibalik kegembiraan itu saya pun pantas bercuriga bahwa cultural studies—jika dipakai di negeri kita—akan memunculkan bibit-bibit (ideologi) rasisme dan memecahkan integrasi-nasionalisme (Indonesia) dengan timbulnya rasa chauvinisme yang berlebihan; yang sekaligus menina-bobokan persoalan besar—seperti neo-colonialisme bergaya isu teroris dan free market—dengan mengalih(perhatian)kan pada etnisitas dan lokalitas serta "narasi-narasi kecil" yang sesungguhnya sudah mandiri dalam keberadaannya. 

Proyek ini seiring juga dengan hadirnya the chaos theory dan  post-modernism yang mengacak-acak tatanan  "narasi-besar" dan membiarkan terserak begitu saja menjadi "narasi-narasi kecil" dengan ketidakteraturannya kembali ke zaman sofis. Bukankah cabang pengetahuan seperti antropologi, sosiologi, komunikasi, filsafat, teologi dan lainnya menjadi produk masa silam dan sekaligus kini kita hanya menjadi pemelihara "museum-museum" ilmu pengetahuan saja. *** (Ahmad Sahidin, alumni Pascasarjana UIN SGD Bandung)