Minggu, 26 Maret 2023

Mazhab dan Kebencian

Meski sudah ada keputusan bersama dalam Risalah Amman, Deklarasi Makkah, Deklarasi Bogor, Deklarasi Muhsin, dan Risalah Depok, sampai sekarang ternyata masih ada orang yang memperburuk citra mazhab Ahlulbait yang popular disebut Syiah. Apakah mereka tidak baca atau pura-pura tidak tahu? Atau ada konspirasi besar dari orang-orang tertentu yang tidak suka terwujudnya kehidupan damai dalam masyarakat Islam. Kalau dilihat setiap argumen yang dilontarkan mereka, sebetulnya tidak ada hal yang baru hanya pengulangan argumen dari orang-orang yang tidak simpatik alias yang menuduhnya sesat. 

Mereka yang sering menyerang atau benci mazhab Ahlulbait, saya kira tidak memiliki rasa kemanusiaan dan enggan menghargai perbedaan. Kalau sudah tidak mau berbeda dan menghormati paham yang dianut orang lain, telah membuktikan termasuk orang angkuh. Tuhan saja dengan tegas dalam surah Al-Hujarat bahwa manusia diciptakan dengan berbeda-beda, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, berbahasa berbeda, dan perbedaan lainnya. Hanya ketakwaan yang dilihat Tuhan dan yang menentukan makna takwa yang sebenarnya hanyalah Tuhan. 

Memang ada hadis Rasulullah saw, tetapi seringkali orang-orang berbeda dalam memahaminya. Untuk mengetahui makna takwa yang sebernya, biarlah Tuhan kelak di akhirat yang menentukannya. Sekarang di dunia ini cukup saja untuk saling yakin bahwa yang dianutnya benar dan orang lain yang memiliki pemahaman yang berbeda pun punya peluang benar. Hal ini yang dilakukan Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafii, Imam Malik, dan tokoh Islam lainnya memiliki sikap toleran dan mengakui adanya ikhtilaf.   

Dalam diskusi-diskusi, saya belum menemukan hasil kajian yang dapat diterima secara umum. Akan tetapi, yang muncul tetap argumen-argumen, yang tampaknya sekadar pengulangan dari perdebatan ulama terdahulu. Kalau dahlulu para ulama berdiskusi lebih banyak didasarkan pada nuansa apologetik; dalam rangka mempertahankan pendapatnya. Tidak hanya dengan tafsiran atau kutipan yang disesuaikan dengan pendapatnya, bahkan tidak jarang didukung penguasa—yang memang mendapatkan pembelaan teologis dari para ulama yang mendukungnya. Saya menduga pada masa abad pertengahan belum ada ulama yang bersikap ‘ilmiah’ –seperti masa sekarang ini dalam konteks akademis—ketika mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan Syiah maupun Ahlulbait. Memang seharusnya nuansa ilmiah yang dikedepankan sebelum muncul luapan emosional atau hujatan yang lebih menunjukkan kurang berakhlak. 

Serangan yang dilemparkan oleh mereka yang membenci mazhab Ahlulbait tidak kurang dari masalah: nikah mut’ah, shalat tiga waktu, imamah, asyura, arbain Imam Husain, mahdawiyah, dan lainnya yang dianggap sebagai perbuatan baru yang tidak dicontohkan Rasulullah saw.  

Namun kalau saya lihat, dalil atau rujukan yang dijadikan sebagai alat serangnya terlihat sekadar pengulangan dari orang-orang yang tidak simpatik dan mereka yang memusuhi Ahlulbait Rasulullah saw sejak pascawafat Rasulullah saw (28 Shafar 10 Hijriah) hingga sekarang. Kalau dibuka dalam buku-buku sejarah akan terlihat bagaimana nasib para keluarga Nabi Muhammad saw setelah Rasulullah saw wafat.

Meskipun sudah banyak berbagai bantahan dari para pecinta Ahlulbayt terhadap mereka dengan jawaban yang kuat dan rasional, tetap saja tidak tergugah untuk mengkajinya kembali. Malah menolaknya dengan tetap memegang argumen-argumen Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Ibnu Bazz, dan para pengamal ajaran Wahabiyah. 

Selain dari mereka, jarang sekali dikutip. Saya kurang tahu: apakah mereka memegang teguh sekaligus menganggap mereka yang terbenar dalam urusan keagamaan? Ataukah karena dasar yang digunakannya berbeda? Kalau ini menjadi alasan seharusnya semakin terbuka pikirannya ketika para ulama pecinta Ahlulbayt menyajikan dalil-dalil yang merujuk pada kitab-kitab hadis dan sejarah dari para ulama Ahlussunnah. 

Saya tidak tahu: apakah Wahabiyah—yang kini menjelma dalam berbagai bentuk organisasi keagamaan dan gerakan politik—termasuk Ahlussunnah? Kalau benar, mengapa tidak segaris dengan para ulama terdahulu yang justru mencintai dan meriwayatkan keutamaan-keutamaan para Imam Ahlulbait, bahkan menjadi guru mereka. Jawaban yang tepatnya: mereka adalah sempalan. Mungkin tepatnya, bid’ah dari mazhab Ahlusunnah (mudah-mudahan ada yang mengoreksi kekeliruan saya ini). 

Ya… kalau soal bid’ah, melihat sejarah penguasa—setelah Nabi Muhammad saw wafat—terdapat beberapa bid’ah yang menjadi sebuah ketetapan pemerintah. Misalnya, Abu Bakar menghentikan pemberian khums kepada kerabat (keluarga) Rasulullah saw (1) dan membakar Fuja`ah Al-Silmi hidup-hidupyangbertentangan dengan sunah Nabi saw (2); tidak menghukum Khalid bin Walid yang membunuh Malik bin Nuwairah dan kabilahnya karena tidak mengirimkan zakatnya (3); melarang orang menulis dan meriwayatkan sunah Nabi saw serta membakar lima ratus kumpulan hadits (4); mengatakan saham jiddah (nenek) tidak ada di dalam al-Quran dan sunah Rasulullah saw (5); dan lainnya. Umar bin Khaththab mentradisikan shalat tarawih berjamaah dan bersedekap dalam shalat. 

Begitu juga dengan Usman bin Affan: mengalunkan asshalatu khairum minannaum pada azan subuh dan melakukan azan dua kali pada shalat jumat, dan mengangkat pejabatnya dari kalangan keluarganya yang pada masa Rasulullah saw disingkirkan. Kalau dilihat dari buku sejarah, banyak sekali bid’ah yang dilakukan oleh mereka. Namun, pada masyarakat sekarang ini yang dikenal pelaku bid’ah itu adalah kaum muslim yang menyelenggarakan peringatan duka asyura dan arbain Syahadah Imam Husein, Idul Ghadir, Maulid Nabi saw, tawasul, tahlilan, ziarah kubur, nisfu sya’ban, rebo kasan, membaca quran untuk jenazah, mengirim dan menghadiahkan pahala untuk orang-orang yang sudah wafat, meminta syafaat kepada Nabi dan para Imam Ahlulbait, dan lainnya. 

Kalau mendengarkan argumen atau membaca penghujatan mereka terhadap praktik keagamaan tersebut, kadang saya senyum dan bergumam: ya… maklum belum membaca rujukan atau dalil yang mendukung pada praktik keagamaan tersebut sehingga merasa paling benar. Bahkan, ada yang berani mengatakan sesat dan menyesatkan. Ini sudah penghakiman. 

Bagi kaum muslim Indonesia, sebetulnya ada buku yang menjawab gugatan dari Ibnu Taimiyyah dan para tokoh mazhab Wahabi yang ditulis oleh Jafar Murtadha Al-Amily dalam buku ‘Al-Mawasim wa al-Marasim’, yang diterjemahkan dengan judul ‘Perayaan Maulid, Haul, dan Hari-hari Besar Islam’ (diterbitkan Pustaka Hidayah, cetakan IV, 2000). 

Jafar Murtadha Al-Amily  dalam buku tersebut menulis secara khusus dalam Bab  IV : Pembuktian Kesalahan Alasan Para Penentang (yang pada halaman sebelumnya diulas beberapa keberatan dan hujatan dari para ulama yang membenci mazhab Ahlulbait) halaman 59 bahwa: 

 “Kami tidak dapat menerima alasan-alasan para penentang… karena kami tidak mendapatkan alasan yang menyeluruh dari dasar pijakan yang dibangunnya… bahkan kami melihat pendapat mereka yang kurang sesuai di beberapa tempat. Terasa bagi kami bahwa keputusan mereka menonjolkan kepentingan kelompok atau mazhab tertentu. Ini terlihat dari ambisinya yang mencapai batas penentangan yang berlebih-lebihan, dengan tanda-tanda yang kuat, keras, juga mengaburkan sasaran untuk mempengaruhi dan memberikan gambaran keseimbangan emosional terhadap yang lain, yang dari itu mungkin dapat memberikan ketentuan syara’ terhadap suatu persoalan; kadang-kadang malah jauh melenceng dari logika syara’, akal, dan naluri manusia.” 

Kalau ingin lebih tahu bagaimana Jafar Murtadha Al-Amily mempreteli argumen mereka. Silakan beli bukunya dan kaji kembali. Kali aja ada bantahan yang lebih bagus dan ilmiah dari ulama-ulama Indonesia. 

Mohon maaf jika kurang mengena. Maklum saya masih perlu membaca buku alias masih belajar. Hanya ini yang saya ketahui. Mudah-mudahan dari yang lainnya dapat memberikan tambahan. *** (ahmad sahidin)

Catatan:

(1)    Dalam al-Quran, kerabat (keluarga) Rasulullah saw termasuk yang mendapatkan harta jatah dari khums. Allah berfirman, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya apa saja yang kalian peroleh maka seperlimanya (khums) adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul.” (QS Al-Anfal [18]: 41) Penjelasan lengkap mengenai khums, lihat Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Imam Ja`far Shadiq (Jakarta: Lentera, 2004) h.363-383.

(2)     Lihat Ath-Thabari, Tarikh, jilid 4, h.52.

(3)    Lihat Ibn Haja, Al-Isabah, jilid 3, h.336; dan Ath-Thabari, Tarikh, jilid 4, h.1928.

(4)    Al-Dhahabi, Tadhkirah Al-Huffaz, jilid 1, h.3; dan Al-Muttaqi Al-Hindi, Hanz Al-Ummal, jilid 5, h.237. Abu Bakar berkata, ”Janganlah kalian meriwayatkan sesuatu pun dari Rasulullah saw.” Hal ini bertentangan dengan sabda Rasulullah saw, “Allah memuliakan seseorang yang mendengar ilmuku (hadits), menjaganya, dan menyebarkannya. Kadangkala pembawa ilmu (hadits) membawanya kepada orang yang lebih alim darinya dan kadangkala pembawa ilmu (hadits) bukanlah seorang yang alim” (HR Ahmad bin Hanbal, Musnad, jilid 1, h. 437; Al-Hakim, Al-Mustadrak, jilid 1, h.78); “Siapakah yang ditanya tentang ilmu maka dia menyembunyikannya, Allah akan membelenggukannya dengan api neraka.” (HR Ahmad bin Hanbal, Musnad, jilid, h.263)

(5)    Dalam sebuah riwayat, seorang nenek bertanya kepada Abu Bakar tentang pusakanya. Abu Bakar menjawab, ”Tidak ada saham untuk Anda di dalam al-Quran dan sunah Rasulullah saw. Kembalilah.” Lalu, Al-Mughirah bin Syu`'bah berkata, ”Aku berada di sisi Rasulullah saw bahwa beliau memberikannya (nenek) seperenam saham.” (HR Malik bin Anas, Al-Muwatha, jilid 1, h.335; Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad, jilid 4, h.224; Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, jilid 2, h.334)