Sabtu, 11 Maret 2023

Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih

PEKAN kemarin saya sempat menyelesaikan baca buku karya Jalaluddin Rakhmat yang berjudul Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih yang diterbitkan Mizan. Buku Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih ini termasuk bestseller. Sebelum memiliki buku ini, sebetulnya sudah pernah menyimaknya dari pengajian ahad yang berlangsung di Masjid Al-Munawwarah. Bahkan transkrip ceramahnya pernah dimuat dalam buletin Al-Tanwir yang dikeluarkan Yayasan Muthahhari Bandung. 

Ustadz Jalal—panggilan akrab di kalangan jamaah pengajian—beberapa kali menyampaikan gagasan buku tersebut. Kalau tidak salah ada sekira empat edisi dalam buletin Al-Tanwir kemudian oleh Ustadz Miftah Fauzi Rakhmat, putranya, disusun kembali dalam buku yang diterbitkan Muthahhari Press pada 2002. 

Buku Dahulukan Akhlaq di Atas Fiqih versi Muthahhari Press ini tidak terlalu tebal dan ukurannya pun termasuk buku saku. Sayangnya, buku edisi awal ini tidak dicetak banyak. Saya sendiri tidak memilikinya karena memang ketika itu belum punya uang buat membelinya. Kalau tidak salah, saya baru memilikinya pada pertengahan 2011. 

Sementara buku Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih yang diterbitkan Mizan ini secara fisik sangat berbeda:  warna kover oranye dengan siluet atas putih dan tulisan judul yang indah. Bisa disebut lebih gaya dan menarik ketimbang kover yang sebelumnya. Sayangnya, ukuran bukunya tidak lagi buku saku. Namun, dari segi suntingan bahasa (kosa kata) dan standar buku terpenuhi dengan baik.

Dalam pengantarnya, Ustadz Jalal menyebutkan buku Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih ini akan diterjemahkan dalam bahasa Arab dan bahasa Perancis. Kalau tidak salah dengar dalam acara Milad Imam Ali Ridha yang diselenggarakan Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI) di Bandung, pada 23 Oktober 2011, Ustadz Babul Ulum sudah menerjemahkannya dalam bahasa Arab dan diterbitkan di Irak.   

Meski saya memiliki buku Dahulukan Akhlak Di Atas Fiqih, tetapi saya tidak membacanya dengan serius. Maklum agak malas untuk menyelesaikan baca dan mendalaminya kalau sudah ada buku baru yang saya beli. Kalau tidak salah, baru satu bab yang saya baca. Meski baru sekadar baca, saya pernah baca sebuah ulasan dari seseorang yang diulas secara serius. 

Sayangnya, ulasan tersebut tidak berdasarkan pada buku Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih, tetapi pada wawancara Ustadz Jalal dengan komunitas Jaringan Islam Liberal (JIL) yang kemudian diposting dalam situs resminya. 

Tentunya, ulasan yang berdasarkan pada wawancara kurang begitu mendalam dan jauh dari kelayakan untuk disebut hasil dari kajian ilmiah. Saya menyarankan kepadanya untuk membaca dahulu lebih dalam buku Dahulukan Akhlak Di Atas Fiqih, baru kemudian memberikan ulasan dengan lebih jernih dan ilmiah. Tidak hanya karena sekadar membaca judul buku atau hasil wawancara kemudian mengeluarkan komentar yang kurang positif. 

Memang dari judulnya, buku karya Ustadz Jalal ini terasa menohok pemahaman keagamaan secara umum yang biasanya memahami fiqih lebih utama dalam ajaran Islam. Bahkan, seorang Gurubesar Pemikiran Islam di UIN Bandung menyatakan tidak setuju dengan buku Dahulukan Akhlak Di Atas Fiqih. Kalau tidak salah dengar, beliau mengatakan, justru fiqih yang akan melahirkan akhlak atau kemuliaan seorang Muslim kalau dijalankan dengan baik. Karena itu, menurutnya, yang perlu didahulukan bukan akhlak tetapi fiqih atau amaliah Islam. kalau seseorang sudah bagus fiqihnya pasti akan berakhlak. 

Ketika mendengar komentar tersebut, saya tersenyum. Saya tanya kepadanya, apakah beliau sudah membaca buku Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih dengan tuntas dan mendalam? Beliau menggelengkan kepala. Saya berkesimpulan, beliau hanya sekadar baca dari ulasan resensi atau wawancara, bisa juga dapat informasi dari orang lain. 

Tadinya saya mau berkata kepada beliau bahwa misi Nabi Muhammad saw adalah menyempurnakan akhlak, bukan menjalankan syariat yang bersifat lahiriah. 

Bahkan dalam buku Ustadz Jalal banyak memuat ayat Quran dan hadis Rasulullah saw yang berkaitan dengan pentingnya akhlak. Misalnya, shalat dapat mencegah perbuatan keji. Dengan menjalankan kehidupan disertai akhlak yang baik maka shalat yang dimaksud dalam ayat Quran bisa tercapai. 

Begitu juga dalam surah Al-Maun disebutkan bahwa termasuk pendusta kalau tidak berbuat baik kepada anak yatim.  Disebutkan salah satunya dengan memberi makan. Saya pikir memberi makan buat orang yang tidak mampu atau anak yatim yang kelaparan termasuk perbuatan baik. Bukankah perbuatan demikian termasuk dalam akhlak yang dicontohkan Sang Nabi? 

Ustadz Jalal juga memuat sebuah dialog Rasulullah saw dengan orang yang bertanya tentang agama. Orang tersebut bertanya berkali-kali dengan berpindah-pindah posisi; dari depan, kiri, kanan, dan belakang. Jawaban Sang Nabi tetap: akhlak yang baik dengan contoh tidak marah. 

Nah, orang yang tidak marah atau tidak cepat emosi dan mampu mengendalikan diri atau menjaga dari perbuatan yang keji, saya kira masuk dalam kategori akhlak yang baik. Terlepas dari motivasi dari berbuat demikian karena apa, tetapi secara lahiriah itu akhlak dan diperintahkan Sang Nabi dalam sejumlah riwayat. 

Bahkan, kalau ditelaah dari Al-Quran disebutkan Sang Nabi itu berperilaku agung nan mulia dan teladan yang pantas diikuti umat manusia. Mendahulukan akhlak dalam konteks buku Ustadz Jalal, yang saya pahami, berarti menjalankan Sunnah Nabawiyah yang berimplikasi pada terwujudnya kerukunan dan kehidupan yang harmonis serta tercegahnya perilaku-perilaku keji yang mengatasnamakan agama. 

Karena itu, paradigma dahulukan akhlak di atas fiqih berupaya mengembalikan umat Islam pada misi awal Sang Nabi diturunkan di dunia ini: menyempurnakan akhlak. *** (ahmad sahidin)