Senin, 13 Maret 2023

Dahulukan Akhlak itu Misi Rasulullah Saw

Membaca buku Dahulukan Akhlak di Atas Fikih karya Jalaluddin Rakhmat terasa tidak menjelimet. Wajar karena beliau sosok ilmuwan sekaligus ulama. Dalam menerangkan tidak sulit dicerna karena menggunakan bahasa rakyat dan merakyat, bukan melangit dan khusus orang-orang langitan. 

Akademisi Indonesia mengenal Kang Jalal (Jalaluddin Rakhmat) sebagai ahli komunikasi. Karena itu, setiap ceramah dan tulisannya menggunakan istilah dan bahasa yang mudah dicerna. Termasuk buku Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih. Melihat dari judulnya saja orang mungkin sudah bisa paham kalau urusan akhlak merupakan hal utama dan tidak menimbulkan perselisihan.  

 

Perselisihan timbul ketika setiap orang mempertanyakan dan menguji kembali dasar-dasar sumber yang digunakan dalam penulisan buku atau pemikiran seseorang. Apalagi kalau dikaji berdasarkan filsafat dan metodologi ilmu-ilmu modern maka akan ketahuan “bolong-bolong” atau kekurangannya. Namun, kajian ini akan terasa berat bagi orang-orang awam seperti saya sehingga kajian kritis khusus buat mereka sudah ahli. Wajar kalau ada seorang ustdaz di Jakarta, pelajar Indonesia di Qom (Iran), dan dosen di UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang tidak sependapat dengan gagasan dahulukan akhlak. 

 

Kepada para pengritik atau yang tidak sependapat dengan gagasan dahulukan akhlak versi Jalaluddin Rakhmat, biasanya saya sarankan untuk membaca langsung bukunya. Namun hingga kini saya belum menemukan catatan kritik mereka yang tertuang dalam bentuk buku atau makalah ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal-jurnal ilmiah. Saya sangat berharap ada yang berani melakukan kritik terhadap (pemikiran) dari buku Dahulukan Akhlak di Atas Fikih. Namun kritiknya harus ilmiah dengan kaidah-kaidah keilmuan.

 

Bagi saya, pemikiran manusia tidak sakral. Meskipun mengambil rujukan dari Quran dan Hadis, selama hasil rumusan pemikiran atau interpretasi seorang manusia biasa tidak bebas dari kesalahan. 

 

Saya membaca buku Dahulukan Akhlak di Atas secara tuntas. Hanya sekadar tamat, tidak mendalami atau menyelami isi pemikiran atau gagasan Ustadz Jalal secara mendalam dan analitik. Maklum saya termasuk orang kurang dari urusan analisis karena bukan seorang ahli dalam ilmu-ilmu Islam atau filsafat. Biarlah itu menjadi orang-orang yang ahli atau ustadz yang mahir dalam bidangnya. 

 

Dari bacaan saya terhadap buku Dahulukan Akhlak di Atas Fikih, saya menduga bahwa pokok gagasan dari Ustadz Jalal terdapat pada halaman 141-143 tentang dahulukan akhlak dan halaman 57-91 tentang karakteristik paradigma akhlak. 

 

Dalam buku ini, Kang Jalal merujuk pada Quran menyebutkan bahwa keimanan ditunjukkan dengan akhlak yang baik dan kekafiran juga ditandai dengan akhlak yang buruk seperti tidak setia, pengkhianat, pendusta, keras kepala, dan maksiat. 

 

Kang Jalal juga mengutip hadis dari Rasulullah saw bahwa orang yang tidak beriman adalah suka mengganggu tetangga, tidak memperhatikan saudara dan membiarkan tetangganya kelaparan, dan tidak memegang amanah. Rasulullah saw tidak pernah menggunakan ukuran fiqih untuk menakar keimanan seseorang. Tetapi keimanan diukur berdasarkan akhlak yang baik dan kemuliaan seseorang didasarkan pada akhlak. Misalnya dalam hadis: barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir—disusul dengan ciri-ciri akhlak—hendaknya memuliakan tamu, menghormati tetangga, berbicara yang benar atau diam, dan sebagainya. 

 

Dari pembacaan saya atas buku Dahulukan Akhlak di Atas Fikih, saya memahami bahwa Jalaluddin Rakhmat berupaya untuk mengajak umat Islam kembali pada misi awal Rasulullah Saw ketika diutus menjadi Rasul Allah. Akhlak yang menjadi “ide besar” dari turunnya Nabi. Allah menurunkan Rasulullah saw untuk menyempurnakan perilaku-perilaku manusia dan menuntun umat manusia agar sejalan dengan yang dikehendaki Allah berdasarkan pada Quran dan nilai profetik Islam yang diteladankan oleh Nabi Muhammad Saw. 

 

Sekadar diketahui bahwa dalam sejarah Islam ditemukan banyak perbedaan atau mazhab dalam khazanah ilmu-ilmu Islam. Dalam aqidah terdapat mazhab-mazhab yang berbeda satu sama lain. Dalam hadis dan tafsir juga terdapat perbedaan yang melahirkan aliran-aliran. Kemudian dalam tarekat, tasawuf, atau filsafat juga terdapat perbedaan dan ikhtilaf yang di antara mazhabnya saling terjadi perpecahan dan melahirkan aliran atau ajaran baru.

 

Begitu juga dalam fikih terdapat banyak mazhab. Ahlussunah memiliki banyak mazhab seperti Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali, Dzahiri, dan lainnya. Mereka berbeda dalam menentukan dasar pemikirannya sehingga melahirkan kesimpulan tersendiri dan berbeda satu sama lain. Namun, saya yakin dari para pelopor mazhabnya sebelum merumuskan fikih, mereka mengambil sumbernya dari Quran, Hadis, dan Sunnah Rasulullah saw. Hanya penafsiran dalam menentukan praktik ibadah yang kemudian berbeda atau ikhtilaf. Berbeda juga dikarenakan dalam merujuk pada hadis yang berbeda dari setiap pelopor mazhab atau tidak sama sehingga hasil rumusan fikihnya pun berbeda. 

 

Kalau melihat perkataan dari para imam mazhab fikih, terlihat bagaimana sikap untuk saling menghargai perbedaan pendapat. Misalnya Abu Hanifah berkata: apa yang menjadi pegangan kami hanyalah pendapat. Kami tidak akan memaksakan seorang pun untuk mengikutinya. Begitu juga Imam Syafii, Hanbali, atau Maliki—yang saya temukan—bersikap untuk memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk mengikuti atau memilih fikihnya yang cocok dengannya dan tidak memaksakan kepada orang lain serta tidak menganggap yang lain atau berbeda sebagai sesat (sepanjang memiliki argumen yang kuat). 

 

Dari penghargaan atas pendapat yang berbeda ini akan membuat seorang Muslim atau Muslimah menjadi sadar pentingnya persaudaraan dalam Islam dan berupaya menjauhi hal-hal yang dapat memecah persatuan atau persaudaraan di antara umat Islam. 

 

Kang Jalal menulis, “Karena berbagai mazhab itu kita pandang benar, kita tidak akan sulit meninggalkan fiqih kita demi menjaga persaudaraan di antara kaum Muslim. Jadi, bolehlah Anda menganggap pendapat Anda atau seseorang lebih kuat daripada yang lain. Yakinilah itu dalam diri Anda. Itulah pendapat Anda yang lebih Anda sukai. Tetapi, ketika Anda mengamalkannya, ikutilah yang lazim di tengah-tengah masyarakat” (hal.66). 

 

Saya sepakat dengan Kang Jalal karena tidak mungkin memaksakan fikih harian yang saya pakai diamalkan di tengah orang-orang yang berbeda mazhab fikih. Apalagi kalau berada dalam lingkungan yang kurang paham tentang perbedaan mazhab atau yang hanya mengetahui ajarannya berdasarkan kata guru atau orang tua, pasti akan dianggap sebagai menyimpang. Karena itu, Kang Jalal menyarankan untuk mengamalkan fiqih yang berlaku di lingkungan tempat tinggal Anda demi menjaga kerukunan di antara umat Islam. Dahulukan akhlak berarti mengubah paradigma agar terwujudnya suasana ukhuwah Islamiyyah dan menjaga diri dari persoalan-persoalan yang dapat mengakibatkan pecahnya umat Islam. Bukankah menjaga kehidupan agar harmonis dan damai termasuk bagia dari akhlak yang diajarkan Nabi Muhammad saw. 

 

Sebagaimana dimanatkan dalam bukunya, Kang Jalal menulis, “Tinggalkan fiqih, jika fiqih itu bertentangan dengan akhlak” (halaman 67). 

 

Karena kalau tetap dipaksakan berbeda dan orang sekitar yang mayoritas tidak menerima karena belum paham maka (selain) akan terlihat janggal atau aneh bagi orang-orang yang tidak mengetahui mazhab atau adanya perbedaan dalam amaliah ibadah (fikih Islam) akan muncul kesan yang kurang bagus. Untung saja kalau tidak sampai muncul ucapan pengkafiran. 

 

Kasus benturan pendapat di antara umat Islam yang awam, saya kira karena faktor ketidaktahuan. Orang awam tidak bisa dialog karena hanya emosi keagamaan yang dimilikinya sehingga merasa paling benar saat punya ilmu sedikit tentang agamanya. Orang awam tidak bisa diajak diskusi. Karena itu, daripada disesatkan oleh orang awam dan tidak amannya jiwa kita dari gangguan mereka, lebih baik menyesuaikan dengan amalan ibadah (fikih) yang berlaku di masyarakat. Mungkin pada saat yang tepat dan suasana yang penuh keakraban bisa sedikit-sedikit dicerahkan dengan memerhatikan kondisi psikologis orang awam dan suasana sosial kultural. Inilah prinsip dahulukan akhlak di atas fiqih yang bertujuan menjaga persaudaraan di antara umat Islam. 

 

Dalam al-Quran disebutkan bahwa persaudaraan diperintahkan dalam surah Al-Hujurat ayat 10, An-Nahl ayat 16, An-Nisa ayat 128, Al-Maidah ayat 2, dan lainnya. Juga disebutkan Rasulullah saw saat Futuh Makkah dihadapan masyarakat Islam, dan dalam khutbah haji wada di Arafah bahwa menjauhkan diri dari pertengkaran dan memelihara persaudaraan di antara sesama umat Islam termasuk ajaran Rasulullah saw.  

 

Saya yakin bahwa persaudaraan akan tercipta kalau umat Islam menjalankan perilaku-perilaku yang baik (akhlak mulia) yang tidak membuat orang lain tersakiti dan tidak menjadikan perbuatan fikih kita sebagai amunisi untuk menyerang orang lain. Karena itu, mendahulukan akhlak di atas fikih merupakan gagasan yang pas bagi masyarakat Islam Indonesia yang majemuk dan memiliki perbedaan dalam fikih maupun pandangan keagamaan. 

 

Cukup segitu saja ulasan buku Dahulukan Akhlak di Atas Fikih. Maaf lahir batin karena kurang mendalam dan tidak subtantif maklum masih belajar. *** (ahmad sahidin)