Membaca buku Dahulukan Akhlak di Atas Fikih karya Jalaluddin Rakhmat terasa tidak menjelimet. Wajar karena beliau sosok ilmuwan sekaligus ulama. Dalam menerangkan tidak sulit dicerna karena menggunakan bahasa rakyat dan merakyat, bukan melangit dan khusus orang-orang langitan.
Akademisi Indonesia mengenal Kang Jalal (Jalaluddin Rakhmat) sebagai ahli komunikasi. Karena itu, setiap ceramah dan tulisannya menggunakan istilah dan bahasa yang mudah dicerna. Termasuk buku Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih. Melihat dari judulnya saja orang mungkin sudah bisa paham kalau urusan akhlak merupakan hal utama dan tidak menimbulkan perselisihan.
Perselisihan timbul
ketika setiap orang mempertanyakan dan menguji kembali dasar-dasar sumber yang
digunakan dalam penulisan buku atau pemikiran seseorang. Apalagi kalau dikaji
berdasarkan filsafat dan metodologi ilmu-ilmu modern maka akan ketahuan
“bolong-bolong” atau kekurangannya. Namun, kajian ini akan terasa berat bagi
orang-orang awam seperti saya sehingga kajian kritis khusus buat mereka sudah
ahli. Wajar kalau ada seorang ustdaz di Jakarta, pelajar Indonesia di Qom
(Iran), dan dosen di UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang tidak sependapat
dengan gagasan dahulukan akhlak.
Kepada para pengritik
atau yang tidak sependapat dengan gagasan dahulukan akhlak versi Jalaluddin Rakhmat,
biasanya saya sarankan untuk membaca langsung bukunya. Namun hingga kini saya
belum menemukan catatan kritik mereka yang tertuang dalam bentuk buku atau
makalah ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal-jurnal ilmiah. Saya sangat
berharap ada yang berani melakukan kritik terhadap (pemikiran) dari buku Dahulukan Akhlak di Atas Fikih. Namun
kritiknya harus ilmiah dengan kaidah-kaidah keilmuan.
Bagi saya, pemikiran
manusia tidak sakral. Meskipun mengambil rujukan dari Quran dan Hadis, selama
hasil rumusan pemikiran atau interpretasi seorang manusia biasa tidak bebas
dari kesalahan.
Saya membaca buku Dahulukan Akhlak di Atas secara
tuntas. Hanya sekadar tamat, tidak mendalami atau menyelami isi pemikiran atau
gagasan Ustadz Jalal secara mendalam dan analitik. Maklum saya termasuk orang
kurang dari urusan analisis karena bukan seorang ahli dalam ilmu-ilmu Islam
atau filsafat. Biarlah itu menjadi orang-orang yang ahli atau ustadz yang mahir
dalam bidangnya.
Dari bacaan saya
terhadap buku Dahulukan
Akhlak di Atas Fikih, saya menduga bahwa pokok gagasan dari Ustadz
Jalal terdapat pada halaman 141-143 tentang dahulukan akhlak dan halaman 57-91
tentang karakteristik paradigma akhlak.
Dalam buku ini, Kang Jalal merujuk
pada Quran menyebutkan bahwa keimanan ditunjukkan dengan akhlak yang baik dan
kekafiran juga ditandai dengan akhlak yang buruk seperti tidak setia,
pengkhianat, pendusta, keras kepala, dan maksiat.
Kang Jalal juga mengutip
hadis dari Rasulullah saw bahwa orang yang tidak beriman adalah suka mengganggu
tetangga, tidak memperhatikan saudara dan membiarkan tetangganya kelaparan, dan
tidak memegang amanah. Rasulullah saw tidak pernah menggunakan ukuran fiqih
untuk menakar keimanan seseorang. Tetapi keimanan diukur berdasarkan akhlak
yang baik dan kemuliaan seseorang didasarkan pada akhlak. Misalnya dalam
hadis: barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir—disusul dengan ciri-ciri
akhlak—hendaknya memuliakan tamu, menghormati tetangga, berbicara yang benar
atau diam, dan sebagainya.
Dari pembacaan saya atas
buku Dahulukan Akhlak
di Atas Fikih, saya memahami bahwa Jalaluddin Rakhmat berupaya
untuk mengajak umat Islam kembali pada misi awal Rasulullah Saw ketika diutus
menjadi Rasul Allah. Akhlak yang menjadi “ide besar” dari turunnya Nabi. Allah
menurunkan Rasulullah saw untuk menyempurnakan perilaku-perilaku manusia dan
menuntun umat manusia agar sejalan dengan yang dikehendaki Allah berdasarkan
pada Quran dan nilai profetik Islam yang diteladankan oleh Nabi Muhammad
Saw.
Sekadar diketahui bahwa
dalam sejarah Islam ditemukan banyak perbedaan atau mazhab dalam khazanah
ilmu-ilmu Islam. Dalam aqidah terdapat mazhab-mazhab yang berbeda satu sama
lain. Dalam hadis dan tafsir juga terdapat perbedaan yang melahirkan
aliran-aliran. Kemudian dalam tarekat, tasawuf, atau filsafat juga terdapat
perbedaan dan ikhtilaf yang di antara mazhabnya saling terjadi perpecahan dan
melahirkan aliran atau ajaran baru.
Begitu juga dalam fikih
terdapat banyak mazhab. Ahlussunah memiliki banyak mazhab seperti Hanafi,
Maliki, Syafii, Hanbali, Dzahiri, dan lainnya. Mereka berbeda dalam menentukan
dasar pemikirannya sehingga melahirkan kesimpulan tersendiri dan berbeda satu
sama lain. Namun, saya yakin dari para pelopor mazhabnya sebelum merumuskan
fikih, mereka mengambil sumbernya dari Quran, Hadis, dan Sunnah Rasulullah saw.
Hanya penafsiran dalam menentukan praktik ibadah yang kemudian berbeda atau
ikhtilaf. Berbeda juga dikarenakan dalam merujuk pada hadis yang berbeda dari
setiap pelopor mazhab atau tidak sama sehingga hasil rumusan fikihnya pun
berbeda.
Kalau melihat perkataan
dari para imam mazhab fikih, terlihat bagaimana sikap untuk saling menghargai
perbedaan pendapat. Misalnya Abu Hanifah berkata: apa yang menjadi pegangan
kami hanyalah pendapat. Kami tidak akan memaksakan seorang pun untuk
mengikutinya. Begitu juga Imam Syafii, Hanbali, atau Maliki—yang saya
temukan—bersikap untuk memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk mengikuti
atau memilih fikihnya yang cocok dengannya dan tidak memaksakan kepada orang
lain serta tidak menganggap yang lain atau berbeda sebagai sesat (sepanjang
memiliki argumen yang kuat).
Dari penghargaan atas
pendapat yang berbeda ini akan membuat seorang Muslim atau Muslimah menjadi
sadar pentingnya persaudaraan dalam Islam dan berupaya menjauhi hal-hal yang
dapat memecah persatuan atau persaudaraan di antara umat Islam.
Kang Jalal menulis, “Karena berbagai mazhab itu kita
pandang benar, kita tidak akan sulit meninggalkan fiqih kita demi menjaga
persaudaraan di antara kaum Muslim. Jadi, bolehlah Anda menganggap pendapat
Anda atau seseorang lebih kuat daripada yang lain. Yakinilah itu dalam diri
Anda. Itulah pendapat Anda yang lebih Anda sukai. Tetapi, ketika Anda
mengamalkannya, ikutilah yang lazim di tengah-tengah masyarakat” (hal.66).
Saya sepakat
dengan Kang
Jalal karena tidak mungkin memaksakan fikih harian yang
saya pakai diamalkan di tengah orang-orang yang berbeda mazhab fikih. Apalagi
kalau berada dalam lingkungan yang kurang paham tentang perbedaan mazhab atau
yang hanya mengetahui ajarannya berdasarkan kata guru atau orang tua, pasti
akan dianggap sebagai menyimpang. Karena itu, Kang Jalal menyarankan untuk
mengamalkan fiqih yang berlaku di lingkungan tempat tinggal Anda demi menjaga
kerukunan di antara umat Islam. Dahulukan akhlak berarti mengubah paradigma
agar terwujudnya suasana ukhuwah Islamiyyah dan menjaga diri dari
persoalan-persoalan yang dapat mengakibatkan pecahnya umat Islam. Bukankah
menjaga kehidupan agar harmonis dan damai termasuk bagia dari akhlak yang
diajarkan Nabi Muhammad saw.
Sebagaimana dimanatkan
dalam bukunya, Kang Jalal menulis, “Tinggalkan
fiqih, jika fiqih itu bertentangan dengan akhlak” (halaman
67).
Karena kalau tetap
dipaksakan berbeda dan orang sekitar yang mayoritas tidak menerima karena belum
paham maka (selain) akan terlihat janggal atau aneh bagi orang-orang yang tidak
mengetahui mazhab atau adanya perbedaan dalam amaliah ibadah (fikih Islam) akan
muncul kesan yang kurang bagus. Untung saja kalau tidak sampai muncul ucapan
pengkafiran.
Kasus benturan pendapat
di antara umat Islam yang awam, saya kira karena faktor ketidaktahuan. Orang
awam tidak bisa dialog karena hanya emosi keagamaan yang dimilikinya sehingga
merasa paling benar saat punya ilmu sedikit tentang agamanya. Orang awam tidak
bisa diajak diskusi. Karena itu, daripada disesatkan oleh orang awam dan tidak
amannya jiwa kita dari gangguan mereka, lebih baik menyesuaikan dengan amalan
ibadah (fikih) yang berlaku di masyarakat. Mungkin pada saat yang tepat dan
suasana yang penuh keakraban bisa sedikit-sedikit dicerahkan dengan
memerhatikan kondisi psikologis orang awam dan suasana sosial kultural. Inilah
prinsip dahulukan akhlak di atas fiqih yang bertujuan menjaga persaudaraan di
antara umat Islam.
Dalam al-Quran
disebutkan bahwa persaudaraan diperintahkan dalam surah Al-Hujurat ayat 10,
An-Nahl ayat 16, An-Nisa ayat 128, Al-Maidah ayat 2, dan lainnya. Juga
disebutkan Rasulullah saw saat Futuh Makkah dihadapan masyarakat Islam, dan
dalam khutbah haji wada di Arafah bahwa menjauhkan diri dari pertengkaran dan
memelihara persaudaraan di antara sesama umat Islam termasuk ajaran Rasulullah
saw.
Saya yakin bahwa
persaudaraan akan tercipta kalau umat Islam menjalankan perilaku-perilaku yang
baik (akhlak mulia) yang tidak membuat orang lain tersakiti dan tidak
menjadikan perbuatan fikih kita sebagai amunisi untuk menyerang orang lain.
Karena itu, mendahulukan akhlak di atas fikih merupakan gagasan yang pas bagi
masyarakat Islam Indonesia yang majemuk dan memiliki perbedaan dalam fikih maupun
pandangan keagamaan.
Cukup segitu saja ulasan
buku Dahulukan Akhlak di Atas Fikih. Maaf lahir batin karena kurang
mendalam dan tidak subtantif maklum masih belajar. *** (ahmad sahidin)