Kamis, 23 Maret 2023

Mungkinkah Perlu Belajar Islam Lagi?

Tersiar dalam media bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat berencana akan melakukan kajian terhadap mazhab Ahlulbait atau yang lebih dikenal dengan sebutan Syiah. Keinginan mengkaji Ahlulbait ini dikarenakan terjadi kasus penyerangan terhadap umat Islam yang menganut ajaran Syiah di Sampang. 

Belum juga muncul hasil kajian dari MUI, Menteri Agama (Menag) Suryadarma Ali menyampaikan pernyataan yang cukup menyentak bahwa Syiah sesat dan bukan bagian dari Islam. Menag menyebutkan fatwa MUI tahun 1984 dan hasil kajian Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) tentang Syiah yang secara akidah dan ajaran bertentangan dengan Islam. 

Membaca berita demikian saya tertegun. Betapa blegug pisan seorang Menag menyampaikan pernyataan demikian. Menag selaku pemimpin agama tertinggi di Indonesia seharusnya tidak langsung telan dan suarakan rekomendasi dari orang-orang yang keilmuannya tidak jelas. Menag harus mengajak dialog para ahli dari akademisi dan wakil dari organisasi Islam Syiah seperti Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI) dan Ahlulbait Indonesia (ABI) serta organisasi Islam Sunni besar seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Kalau hanya MMI yang diminta rekomendasi jelas tidak mewakili umat Islam Indonesia. 

Kalau saya melihat dari pernyataan di media massa, Menag tampaknya menyetujui terjadinya anarkisme agama yang akan dilakukan kelompok ekstream Islam terhadap pemeluk mazhab Ahlulbait. Menag tidak belajar dari kasus penyerangan terhadap pemeluk mazhab Ahlulbait di Sampang (Madura) dan YAPI Bangil (Jawa Timur) akibat pernyataan tokoh agama yang duduk di MUI Jawa Timur. 

Dampak dari fatwa MUI Sampang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap jamaah Syiah Sampang yang sampai tega melakukan pembakaran pesantren dan menjarah barang-barang berharga serta menyebarkan isu yang tidak berdasar. 

Jelas tindakan mereka termasuk kekerasan yang harus ditindak tegas dan dihukum sesuai dengan perbuatannya.Bukannya menenteramkan kehidupan umat beragama malah menciptakan keadaan yang merugikan umat beragama dan kehidupan masyarakat Indonesia. 

KALAU melihat fatwa MUI tahun 1984 yang ditandatangani Ketua MUI Prof Ibrahim Hosen, fatwa MUI hanya menginformasikan agar umat Islam waspada terhadap penyebaran Syiah. Dalam fatwa tersebut, Syiah disebut ajaran Islam yang berbeda dari segi hadis, berbeda dalam menetapkan kepemimpinan Islam setelah Rasulullah saw, dan menolak khulafa ar-rasyidin yang empat (Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib). 

Dari fatwa MUI tersebut jelas tidak ada pernyataan tegas tentang kesesatan Syiah atau pelarangan untuk dianut. Saya kira munculnya fatwa tersebut juga berkaitan dengan konteks politik dunia Islam yang pada masa itu sedang bergeliatnya gerakan revolusioner Islam Iran di bawah komando Imam Khomeini. Mungkin khawatir berimbas dan memengaruhi umat Islam Indonesia sehingga MUI mengeluarkan fatwa tersebut.  

Sekarang ini, fatwa MUI tahun 1984 yang dijadikan argumen untuk menyerang pemeluk mazhab Ahlulbait (Syiah), sudah termasuk kedaluarsa karena Ketua MUI Pusat Prof.Dr.KH.Umar Shihab pada 1 Januari 2012 menyatakan Syiah adalah mazhab Islam yang sah. 

Kiai Umar juga menyatakan, MUI Pusat akan melakukan pertemuan dengan MUI Sampang, Jawa Timur, yang memfatwakan Syiah sebagai ajaran sesat. 

Bahkan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof.Dr.KH.Din Syamsuddin dan Ketua PBNU Dr.KH.Said Aqil Siradj sependapat dengan fatwa MUI teranyar tersebut. 

Begitu juga Prof.Dr.KH. Jalaluddin Rakhmat, Ketua Dewan Syura IJABI, dalam siaran pers mengeluarkan fakta sudah terjalinnya ukhuwah di antara Sunni dan Syiah dalam konferensi internasional Ulama Islam sedunia di Mekkah (Arab Saudi), Bogor (Indonesia), dan Amman (Jordan). Di antara organisasi Islam Sunni Indonesia yang hadir adalah dari NU dan Muhammadiyah yang sama-sama dengan perwakilan dari negeri-negeri Islam lainnya menyatakan mazhab Syiah bagian dari Islam. 

Karena itu, pernyataan Menag tentang Syiah jelas bertentangan dengan keputusan ulama Islam sedunia dan landasan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 2 bahwa negara melindungi dan menjamin warga Indonesia untuk memeluk agama dan menjalankan sesuai dengan keyakinannya Jelas bahwa pernyataan Menag sudah keluar dari undang-undang yang sudah ditetapkan negara. 

KEMBALI pada soal kajian Syiah, sebetulnya sudah banyak ulama dan cendekiawan yang melakukan kajian secara ilmiah. Namun, untuk kajian yang dihasilkan orang Indonesia memang belum banyak. Apalagi untuk level ulama Indonesia yang berada di MUI, tampaknya  sesuatu yang baru karena rata-rata orangnya adalah pemeluk mahzab Ahlussunah dan belum belajar Syiah dari sumbernya. Baru-baru ini ada sosok Umar Shihab yang pernah belajar mazhab Syiah di negeri Iran dan negara lainnya. Saya kira ulama yang duduk di MUI seharusnya mulai belajar tentang mazhab-mazhab Islam seperti Ahlulbait, Mu’tazilah, dan Islam Liberal. 

Tentang kajian Islam mazhab Ahlulbait (Syiah) di Indonesia, sebetulnya sudah muncul hasil penelitian para ahli dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang kemudian diterbitkan Mizan pada 2000 dengan judul  Syi'ah dan Politik di Indonesia: sebuah penelitian”.  Buku ini ditulis oleh para ahli seperti A. Rahman Zainuddin, M. Hamdan Basyar, Afadlal, Dhuroruddin Mashad, Erni Budiwanti, Riza Sihbudi, dan Azyumardi Azra. Bagian akhir buku ini diberi catatan wawancara Jalaluddin Rakhmat berkaitan dengan Syiah dan sejarah masuknya di Indonesia sampai perkembangannya yang muncul dalam sejumlah yayasan yang beredar di Indonesia. 

Kemudian Prof.Dr.KH. Muhammad Quraish Shihab juga menulis buku “Sunnah dan Syiah, Mungkinlah Bersatu?” yang diterbitkan Lentera Hati, Jakarta. Buku ini membahas doktrin Ahlussunah dan Syiah dengan merujuk pada sumber-sumbernya dan diakhiri dengan gagasan ukhuwah yang menyatukan kedua mazhab tersebut. Baik akidah maupun fikih dibahas oleh Prof.Dr.KH. Muhammad Quraish Shihab dengan berimbang dan dimunculkan persamaan di antara keduanya. Dari buku ini diketahui bahwa perbedaan antara Ahlussunah dan Syiah lebih sedikit ketimbang dari kesamaannya. 

Ada pula penelitian Dr.Muhammad Zafar Iqbal tentang hubungan kultural Persia dengan Nunsantara dan pengaruh mazhab Syiah dalam khazanah kebudayaan lokal di Nusantara, termasuk bukti-bukti adanya para penyebar Islam yang bermazhab Syiah. Hasil penelitiannya diterbitkan dengan judul “Kafilah Budaya: Pengaruh Persia terhadap Kebudayaan Indonesia” yang diterbitkan Citra, Jakarta (2006). 

Kalau dilacak pada perpustakaan kampus seperti Universitas Islam Negeri yang tersebar di Indonesia dan kampus ternama seperti Universitas Indonesia dan Universitas Gajah Mada akan ditemukan sejumlah karya ilmiah tentang Syiah dan kontribusinya dalam khazanah Islam. 

Sejumlah hasil kajian tersebut dapat menajdi langkah berikutnya bagi para ulama di MUI (yang masih menganggap Syiah sesat) untuk melakukan kajian ajaran mazhab Ahlulbait. 

Karena itu, saya kira umat Islam Indonesia sudah seharusnya mulai membuka diri untuk menerima perbedaan. Biarlah para ulama dan orang-orang pandai yang melakukan kajian hingga tuntas dan (orang awam seperti saya ini) cukup melihat hasilnya. *** (ahmad sahidin)

tulisan lama yang baru ditemukan dalam kumpulan file; moga bermanfaat!