Jumat, 31 Maret 2023

Tiga Paradigma Keagamaan versi Kang Jalal

Jalauddin Rakhmat atau Kang Jalal menyebut Islam Madani sebagai konsep keagamaan yang diusungnya. 

Memang bukan yang baru, tapi gagasan ini menguatkan pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh pluralis Indonesia seperti Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid—yang telah meninggal dunia. ‘Pekerjaan rumah’ ini yang belum tuntas ini kemudian dilengkapi Kang Jalal. 

Sebagaimana disebutkan dalam buku Dahulukan Akhlak Di Atas Fikih, paradigm adalah cara memandang atau persepsi manusia terhadap apa-apa yang dipandang. Karena itu, paradigma menentukan apa yang diyakini kemudian menentukan perilakunya. Untuk menciptakan masyarakat menuju kondisi ‘madani’, Kang Jalal bergerak dengan melakukan telaah dari sumber-sumber agama sehingga menghasilkan pemikiran yang khas yang memiliki nuansa yang berbeda dari cendekiawan sebelumnya. Pemikiran yang khas inilah yang kemudian saya sebut paradigm a keagamaan Jalaluddin Rakhmat.

Dalam telaah saya dari berbagai bukunya dan ceramahnya, sedikitnya ada tiga paradigma keagamaan yang diusung oleh Kang Jalal.

 

Pertama, pluralisme. Kang Jalal sengaja mengusungnya untuk membuka wawasan masyarakat Indonesia melihat keragaman kehidupan masyarakat dan supaya tidak bersikap fanatis serta toleransi antar warga beragama. Buku ‘Islam dan Pluralisme’, ‘Psikologi Agama’, ‘The Road to Allah,’ ‘Reformasi Sufistik’, ‘Madrasah Ruhaniah’, dan kegiatan ilmiah lainnya yang memaparkan nilai-nilai universal, adalah bukti dari kepeduliannya dalam menciptakan masyarakat madani. 

 

Kedua, paradigma non-sektarianisme. Landasan tentang ini setidaknya terdapat dalam buku ‘Dahulukan Akhlak di Atas Fikih’ yang banyak membahas tentang pentingnya ukhuwah Islamiyah ketimbang meributkan tata cara beribadah (fiqih) di antara sesama umat Islam dan menghidupkan akhlak-akhlak mulia yang dirujuk dari Rasulullah saw dan keluarganya.

 

Ketiga, beragama secara kritis. Landasan paradigma terakhir ini terlihat dari buku ‘Al-Mushthafa’ dan ‘The Road to Muhammad’ yang memuat kajian kritis beserta metodologinya terhadap sirah nabawiyyah. Melalui dua buku tersebut Kang Jalal membersihkan sejarah Rasulullah saw dari berbagai cerita-cerita dusta dan hal-hal yang tidak pantas yang ada pada Rasulullah saw.

 

Untuk menajamkan paradigma studi kritis historis, Kang Jalal mengambil program doktor (kembali) di UIN Alauddin Makasar dengan desertasi Asal Usul Sunnah Sahabat. Kang Jalal menyebutkan umat Islam sekarang 80% beragama berdasarkan pada hadis-hadis sahabat, bukan pada Al-Quran dan Sunnah Nabawiyah. Melalui kajian kritisnya, Kang Jalal mengajak umat Islam Indonesia menyadari kekeliruannya kemudian tergerak untuk mengkaji kembali dan menyegarkan keislamannya.

 

Dalam pandangan keagamaan yang diusung Kang Jalal, jelas bahwa paradigma pertama berupaya mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin dan paradigma kedua dalam rangka rahmatan lil muslimin serta ketiga adalah bersifat penyadaran beragama secara individu agar semakin saleh. 

 

Benarkah demikian pemikiran keagamaan dari sosok Kang Jalal? Besar kemungkinan jauh dari yang diungkap, bahkan tidak secuil pun yang saya tulis ini menggambarkan sosoknya. Guru, ampun paralun tos kumawantun. J *** (ahmad sahidin, 16 Juli 2011)