Minggu, 12 Maret 2023

Resensi buku Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih

SEBAIKNYA orang-orang yang kurang dapat memahami pesan yang terkandung dalam sebuah karya atau pemikiran, tidak langsung memberikan komentar yang asal bunyi. Namun, harus berupaya untuk membaca dan menelaahnya langsung dengan menyeluruh, bahkan kalau perlu “menyimpan” dahulu prasangka yang berasal dari orang lain. 

Sebagai informasi dan mudah-mudahan tertarik untuk membaca kemudian menelaahnya, buku Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih karya Jalaluddin Rakhmat ini isinya terbagi dua bagian. 

Bagian pertama

Bagian pertama terdiri dari lima bahasan atau bab. Pada bahasan kesatu (1) menjelaskan tentang karakteristik paradigma fiqih. Dalam bahasan ini disebutkan bahwa orang yang cenderung (memegang) paradigma fiqih atau mendahulukan cara pandang fiqih biasanya menganggap bahwa kebenaran itu tunggal. Orang seperti ini menganggap fiqih atau tata cara ibadah yang dilakukannya adalah mutlak benar dan orang yang berbeda dengannya tidak benar. 

Dari menunggalkan kebenaran kemudian ia akan menganggap mazhab yang dianutnya sebagai kebenaran dan selanjutnya memiliki keinginan untuk menunggalkan azas mazhab yang berlaku di negerinya. Di negeri yang dihuni umat Islam tidak sedikit pemerintah atau kelompok Islam yang menginginkan mempersatukan umat Islam yang berbeda dalam satu mazhab fiqih. Orang yang berparadigma fiqih lebih jauh mengukur kesalehan dari ketaatan atau kesetiaan pada fiqih atau mazhab tertentu. Kalau seorang Muslim itu tidak melaksanakan ibadah sunnah seperti shalat tahajud, dhuha, puasa senin kamis, berjenggot, dan yang berkaitan dengan fiqih maka dikategorikan tidak saleh. 

Bahkan, kalau mendapati seorang Muslim melakukan tata cara gerakan shalat yang berbeda langsung disebut sesat atau menyimpang. Biasanya orang yang sering langsung lempar komentar demikian kurang mendalam dalam mengkaji fiqih, bahkan termasuk awam dalam beragama. Orang yang sudah tidak mempersoalkan kebenaran tunggal, menyadari mazhab tidak satu, dan ukuran kesalehan bukan pada fiqih, dapat disebut sudah mendahulukan akhlak di atas fiqih.    

Bahasan kedua (2) tentang karakteristik paradigma akhlak. Pada bahasan kedua ini disebutkam bahwa orang yang memegang prinsip paradigma akhlak memiliki empat ciri: menganggap kebenaran itu jamak, meninggalkan fikih demi persaudaraan, menganggap ikhtilaf sebagai peluang untuk kemudahan, dan kesalehan diukur dengan akhlak.

Bahasan ketiga (3) dari syariat ke fiqih. Bahasan ini meliputi makna syariat dan fiqih secara bahasa, syariat dan fiqih secara istilah, prosedur merumuskan fiqih, dan definisi ilmu ushul.

Bahasan keempat (4) dari ikhtilaf ke khilaf. Dalam bahasan ini meliputi penjelasan Imam Ali tentang ikhtilaf dan khilaf, sebab-sebab ikhtilaf, dan sebab-sebab khilaf.

Bahasan kelima (5) dahulukan akhlak. Di dalamnya membahas akhlak dalam Quran, akhlak dalam sunnah, dan akhlak dalam kajian ushul fiqih.

Bagian kedua

Bagian kedua buku Dahulukan Akhlak di Atas Fikih terdiri dari tujuh bahasan yang berkaitan dengan sejarah lahirnya fikih, fikih sahabat, fikih tabiin, fikih imam mazhab Ahlussunah dan fikih Jafari, stagnasi pemikiran fiqih, fiqih skripturalisme, dan fikih mazhab liberal.

Bahasan-bahasan tersebut terdapat dalam bab demi bab sehingga uraiannya bersifat tersendiri. Bahasan akhir buku ini dikupas tentang masalah Sunnah dan Hadis sebagai pegangan dan pedoman umat Islam. Terdapat juga analisa tentang sahih dan tidaknya serta sejarah penulisan hadis dan pemalsuan hadis.

Semua bab atau bahasan dalam buku Dahulukan Akhlak di Atas Fikih diurutkan sebanyak dua belas bahasan atau bab. Setiap tulisan dikuatkan dengan rujukan yang tertuang dalam catatan akhir dan sumber bacaan atau daftar pustaka bertengger di akhir buku sebagai penguat dari buku ini. Anda ingin tahu lebih jauh, silakan baca. Jangan lupa bagikan hasil bacanya melalui tulisan pendek agar orang lain mendapatkan pencerahan!  *** (ahmad sahidin)