Kamis, 23 Maret 2023

Islam Madani

KALANGAN akademisi dan intelektual Indonesia sudah tidak asing lagi dengan nama Jalaluddin Rakhmat. Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI) ini biasa disapa Kang Jalal. Kemudian oleh para pengikutnya disebut Ustadz Jalal. Ini khas Ijabiyyun (masyarakat Muslim yang berafiliasi pada organisasi IJABI). Saya sendiri kadang menyapanya (kalau bertemu) dengan sapaan umum yakni Kang Jalal atau Pak Jalal. 

Hampir setiap minggu pagi di Masjid Al-Munawwarah, Jalan Kampus IV, Kebaktian- Kiaracondong, Bandung, memberikan pencerahan agama kepada jamaahnya. Dalam kajiannya  saya kerapkali mendapatkan hal-hal baru dan analisa yang tidak berulang-ulang. Ini yang saya kira membedakannya dari berbagai kajian agama yang pernah saya ikuti di Bandung. 

Saya mengikuti kajian agama bersama Kang Jalal sejak kuliah, tepatnya pada 2000. Ketika kuliah di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, buku karya Ustadz Jalal yang berkesan adalah Islam Alternatif dan Islam Aktual yang diterbitkan Mizan. 

Kemudian seorang kawan yang sekarang anggota IJABI mengajak saya untuk mengikuti kajiannya. Saya pun mengikutinya. Tapi tidak sesering kawan saya. Maklum, saya tidak begitu tertarik dengan wacana agama kontemporer. 

Ketika Kang Jalal mulai mengkaji sejarah Nabi Muhammad saw yang kemudian dibukukan dengan judul Al-Mushthafa dan The Road  to Muhammad, ketertarikan saya pada kajian-kajiannya tumbuh. Dari sanalah kemudian saya mulai membaca kembali buku-bukunya dan mengikuti pengajiannya—meskipun tidak sesering kawan saya. 

Dalam sebuah wawancara di HU KOMPAS, Kang Jalal menyebut bahwa pemahaman keagamaannya adalah Islam Madani. 

Menurut Kang Jalal, pemahaman Islam di Indonesia terbagi dalam tiga bentuk: Islam fiqhiy, Islam siyasiy, dan Islam madani. Yang pertama atau Islam fiqhiy didasarkan  pada praktik-praktik ritual umat Islam dan keislaman seorang muslim diukur dari rajin tidaknya beribadah. Tidak jarang dalam Islam fiqhiy ini terjadi benturan yang tajam, bahkan saling mengklaim sebagai yang benar. 

Sedangkan kalangan muslim lainnya yang berbeda dalam praktik-praktik ritual biasanya disebut sesat atau menyimpang dari ajaran agama yang benar. Keislaman model ini masih ada hingga sekarang di masyarakat, khususnya yang memegang teguh pemahaman-pemahaman ritual dalam lembaga-lembaga Islam. Tidak jarang praktik ritual warga Nahdlatul Ulama dikecam warga Persatuan Islam dan Muhammadiyah. 

Begitu juga sebaliknya. Bisa juga, seorang muslim dikatakan saleh kalau panjang jenggotnya, mengenakan koko dan peci haji, sering menyebut istilah-istilah Arab dalam pergaulannya, berkelompok dengan sesamanya, dan lainnya. Keislaman fiqhiy ini biasanya menjamur dalam kalangan masyarakat biasa.

 

Lalu, Islam siyasiy atau Islam politik. Selain yang memusatkan hanya pada ritual semata, ada juga orang-orang yang menjadikan Islam sebagai kegiatan politik hingga berupaya menciptakan negara Islam, menegakkan syariat Islam, atau mendirikan khilafah. Berbagai partai politik  yang berwajah agama pun muncul. Lewat gerakan politik,kalangan Islam siyasi ini mengajak masyarakat untuk kembali merujuk zaman Islam menguasai seluruh dunia, seperti masa Daulah Ustmaniyah. Tidak hentinya mereka beralasan bahwa berbagai masalah yang menimba bangsa ini diakibatkan karena tidak berhukum pada syariah Islam. Karena itu, mereka berjuang untuk menegakkannya dengan cara dan agendanya yang telah digariskan organisiasi atau lembaga tempat mereka berkiprah.

 

Apabila dilihat dari sejarah, kedua Islam tersebut belum mencapai hasil yang memuaskan atau terbukti kontribusinya dalam peradaban Indonesia. Banyaknya pejabat atau politisi muslim yang duduk dalam pemerintahan tidak membuat Indonesia semakin baik, malah sebaliknya mereka yang memperburuk citra Islam. Para pejabat yang korupsi dapat ditebak agamanya, bahkan instansi agama pun terkenal yang paling tinggi tingkat korupsinya. Mungkin dari kesejahteraan hidup para politisi sudah berubah, tetapi masyarakat tidak merasakannya.

 

Begitu pun dengan Islam fiqhiy yang muncul hanyalah kegiatan-kegiatan seremonial agama dalam bentuk tabligh atau pengerahan massa untuk ritual zikir dan doa bersama. Tidak sedikit pula yang memanfaatkan uang umat Islam dengan dalih infak atau sedekah kemudian dananya digunakan untuk kepentingan sendiri dan kelompoknya. Para penganut pemahaman fiqhiy ini akan terkena kecewa jika tokoh agamanya tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Ketika tokoh agama ini melakukan sesuatu yang bertentangan dengan yang disampaikannya langsung mengecam dan meninggalkannya. Bahkan, tidak sedikit tokoh Islam fiqhiy ini pula yang menyebabkan sesama muslim tidak akur dalam hubungan bermasyarakat hanya karena tidak qunut dalam shalat subuh, tidak ikut tahlilan, atau tidak sama dalam gerakan atau bacaan shalat.

 

Nah, yang terakhir adalah Islam madani. Islam apakah ini? Menurut Kang Jalal, Islam madani berpusat pada kasih sayang kepada sesama manusia sehingga Islam menjadi rahmat bagi semua orang (rahmatan lil’alamin). Kesalehan seorang manusia diukur dari kadar cinta seseorang kepada sesama dan berkhidmat pada kemanusiaan. Singkatnya, Islam madani berpusat pada karakter manusia dan menciptakan masyarakat yang berperadaban yang disertai keilmuan dan kesadaran spiritual yang tinggi.

 

Bisa dipahami bahwa Islam fiqhiy dan Islam siyasiy bukan sebuah Islam yang final, tetapi dapat mengantarkan kaum Muslim beralih pada Islam Madani. Kalau dilacak dari wacana agama, istilah Islam madani atau masayarakat madani sudah pernah dibahas sebelumnya oleh Nurcholish Madjid dan para penganut paham pluralis di Indonesia.

 

Kalau dilihat dari istilah dan konsep memang bukan hal baru. Karena itu, dengan gagasan Islam Madani justru ‘menambal’ dan ‘melengkapi’ kekurangan dari pemikiran yang digagas mereka, khususnya dalam konteks ukhuwah Islamiyah dan paradigma keislaman. *** (ahmad sahidin)