Rabu, 29 Maret 2023

Membaca buku Dua Pusaka Nabi karya Ali Umar Al-Habsyi

Pekan lalu saya pernah menyempatkan baca buku “Dua Pusaka Nabi” karya Ali Umar Al-Habsyi diterbitkan Ihya Jakarta, 2010. Dari buku ini, saya menemukan bahwa selama Abu Bakar, Umar bin Khaththab, dan Utsman bin Affan memimpin Madinah sebagai khalifah, posisi Imam Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah sebagai "tempat rujukan" berbagai persoalan keagamaan. Setiap kali khalifah tidak menemukan jawaban, Imam Ali memecahkannya.  

Kalau itu benar, berarti selama ketiga khalifah memegang kekuasaan berada dalam kondisi “sempurna” alias tidak lepas dari syariat Islam karena Imam Ali yang menjadi “penasihat” dari ketiganya. Bagaimana dengan beberapa kritikan dari para ulama dan sejarawan yang menyatakan banyak kebijakan dari ketiga khalifah yang menyimpang dari ajaran Islam? Ini yang kesatu.

Sedangkan yang kedua, mungkin dari kebodohan saya saja ini datangnya. Kalau tidak salah jalur geneologi Arab dilekatkan pada laki-laki. Seperti Nabi Muhammad Saw jalurnya dari Abdullah kemudian kepada Abdul Muthalib selanjutnya sampai pada Nabi Ismail as. Di negeri kita juga nama anak dihubungkan dengan ayahnya. Untuk Imam Ahlulbait, kenapa jalurnya berbeda dan tidak dari laki-laki, malah dari Sayidah Fathimah? Mengapa keturunan Nabi yang ditentukan sebagai Imam disebut keturunan Nabi Muhammad saw bukan keturunan Abu Thalib, yang merupakan moyangnya? 

Di daerah saya ada seorang ajengan yang saat Qurban penyembelihannya melekatkan nama orang laki-laki yang berqurban pada ibunya. Bukan pada ayahnya. Saya teringat kepada Imam Hasan dan Imam Husain yang dilekatkan pada ibunya, Sayidah Fathimah putri Rasulullah SAW. Pasti jawabannya karena hadis dari Rasulullah Saw. Adakah alasan yang lebih rasional dan historis daripada doktrin? *** (ahmad sahidin)