Dalam Khutbah Idul Adha, guru saya: Ustadz Miftah Rakhmat mengisahkan cerita salah seorang sahabat yang dikutip dari buku Qishas al-Abrar karya Syahid Murtadha Muthahhari.
Diceritakan bahwa pada zaman Rasulullah Saw, ada seorang sahabat yang diuji dengan kekurangan kepemilikan. Ia tidak dapat memenuhi keperluan istri dan anak-anaknya. Ketika kefakiran dirasa sudah begitu berat, istrinya memintanya untuk menemui Rasulullah Saw, untuk meminta bantuan dari Nabi.
Berjalanlah
ia menuju majelis Nabi. Sesampainya di sana, ia mendengar Nabi Saw tengah
bersabda: “Man
sa`alana a’thainahu, wa man istaghna aghnahullah... Barangsiapa
yang meminta kepada kami, akan kami beri. Barangsiapa yang merasa cukup, Allah
akan mencukupinya.”
Mendengar
ini, sahabat ini urung menyatakan keperluannya. Ia bertekad tidak akan meminta
bantuan manusia selama ia sanggup menjalankannya. Katanya: Aku akan tawakal kepada Allah, cukuplah Allah penolongku. Kemudian ia melangkah ke sahara. Ia
mengumpulkan tumbuh-tumbuhan kering yang dapat dicarinya, menjualnya ke kota,
dan menjadikannya mata pencariannya.
Berjalanlah
waktu sekian lama. Hingga akhirnya ia sanggup memenuhi keperluan keluarganya,
bahkan memiliki kekayaan berlimpah dan pekerja yang banyak. Ketika ia kembali
bertemu Rasulullah Saw, ia kisahkan ceritanya.
Nabi
tersenyum dan bersabda: “Masih ingatkah kau ucapanku: Man sa`alana a’thainahu, wa man
istaghna aghnahullah... Barangsiapa yang meminta kepada kami, akan
kami beri. Barangsiapa yang merasa cukup, Allah akan mencukupinya.”
Apakah
pesan dari riwayat tersebut? Cukuplah Allah sebagai penolong. Luruskan niat dan
tetap berpegang teguh pada jalan Ilahi. Bisakah diwujudkan? ***